|
di Panggung Sejarah |
|
MIRZA PELEPAS AZAB Itulah yang diniatkan oleh Mirza Ghulam dan Ahmadiyahnya, bahwa hadits itu tidak dha'if dan bahwa satu bata itu memang ada, jadi bukan dua bata, dan bukan tukang kapur maupun tukang kebunnya gedung indah itu. Yang jelas bagi Ahmadiyah, bahwa semua Nabi-nabi itu ibarat batu-batu bata, termasuk Nabi Muhammad s.a.w. dan satu batu-bata yang kekurangan atas gedung itu diisi oleh Mirza Ghulam Ahmad, sebab dialah Nabi yang terakhir itu. Selanjutnya Ahmadiyah masih mengutarakan dalil-dalilnya yang lain, dalam rangka menyongsong kedatangan nabi baru sesudah kenabian Muhammad s.a.w. Mereka lebih suka menggunakan ayat-ayat Qur'an dan sekaligus mengartikan sesuai dengan maksud-maksud mereka. Ayat 15 dari surah Bani Israiel, oleh Ahmadiyah diartikan: "Tidaklah kami menurunkan adzab, melainkan kami kirimkan Rasul lebih dahulu. Ini untuk mencegah agar jangan sampai orang-orang nanti pada hari qiamat menyoal: (surah Thoha ayat 134): Wahai Tuhan kami, kenapa Engkau tidak mengirimkan Rasul kepada kami lebih dahulu supaya kami dapat menurut ayat-ayat Engkau sebelum kami menderita kehinaan dan sengsara." Kemudian ayat lain yang berbunyi, ayat 58 Bani Israil: "Tidaklah satu dusunpun sebelum berdirinya kiamat, melainkan kami akan membinasakan atau mengadzabnya dengan sehebat-hebatnya." Dari kedua ayat ini, demikian Ahmadiyah menegaskan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kedatangan Rasul-rasul sebelum hari kiamat bukan mungkin saja, bahkan harus dan pasti.1 Lagi-lagi Ahmadiyah mengatakan Rasul-rasul yang akan datang. Kedatangan Rasul-rasul itu justru untuk menyelamatkan kaum Muslimin dari kehancuran dan kesengsaraannya. Bila kehancuran itu terjadi? Ahmadiyah menjawab: "Ummat Islam telah mengalami kehancuran dua kali. Kehancuran pertama tatkala penyerbuan raja Moghol, Hulagu Khan, pada tahun 1258 itu, dan kehancuran yang kedua tatkala berada di bawah penjajahan imperialisme Barat."2 Karena dua kali kehancuran inilah maka Tuhan mengirim Rasul-rasulNya. Siapakah rasul yang dikirim Tuhan pada tahun 1258 itu dan siapa Rasul yang dikirim pada masa penindasan imperialisme Barat itu? Kaum Ahmadiyah tidak pernah menyebut-nyebut nama rasul yang diutus Tuhan pada tahun penyerbuan Hulagu Khan itu. Melainkan hanya satu rasul yang diutus pada masa penindasan imperialisme Barat, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Ada kemungkinan Mirza rnerangkap sebagai rasul tahun 1258 itu juga. Sungguh menarik, bagaimana ia dapat menyelamatkan adzab sengsara kaum Muslimin pada tahun 1258 itu, padahal Mirza Ghulam Ahmad baru muncul ke dunia ini lima ratus tahun kemudian. Tentunya dari saat ke saat kaum Muslimin yang hidup antara 500 tahun itu akan mengajukan soal pada Tuhan: "Wahai Tuhan kami, kenapa Engkau tidak kirim rasul-Mu?" Justru pada waktu itulah saat yang paling tepat bila Tuhan mengutus rasul-Nya,dan tidak menunggu sampai Mirza Ghulam Ahmad lahir. Kemudian pada kehancuran kaum Muslimin yang kedua kalinya, Tuhan telah mengirimkan: rasulNya, yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Yang penting untuk ditanyakan di sini, apakah gerangan kiranya yang dibuat Mirza Ghulam Ahmad untuk menyelamatkan kaum Musilmin dan penindasan imperialisme Barat?! Berikut ini Ahmadiyah mengemukakan satu dalil dari Al-Qur'an. Diambil dari surah An-Nisa' ayat 69 yang berbunyi: "Barangsiapa yang menurut perintah Allah dan RasulNya, nabi Muhammad s.a.w., mereka akan termasuk golongan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah yaitu, nabi-nabi orang-orang siddiq, syahid, dan saleh." Jelasnya mereka sebagai ummat selaras dengan keimanan kesetiaan dan keikhlasan mereka masing-masing dan taufik Ilahi menyertainya pula dapat menerima keempat kedudukan tersebut. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ummat Islam sebagai ummat yang terbaik dan patuh serta setia kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. mereka akan diberi empat macam nikmat yaitu: menjadi nabi, menjadi siddiq, menjadi syahid dan menjadi orang saleh."3 Ahmadiyah meneruskan lagi uraiannya tentang ayat An-Nisa' itu dengan mengatakan, dan jika perkataan minannabiyin (dari Nabi-nabi) dihubungkan dengan perkataan wa man yuthi'illaha warrusula (dan barangsiapa mengikut Allah dan rasul) maka adalah perkataan minan nabiyin itu tafsir (penjelasan) dari kalimat wa man yuthi'ilaha (barangsiapa yang mengikut Allah). Akhirnya Ahmadiyah berkata: "Maka dengan susunan seperti ini sudah pasti adanya nabi-nabi pada masa rasul atau kemudian beliau yang akan mengikut beliau."4 Yang menarik buat kita bukan saja adanya nabi-nabi sesudah Nabi Muhammad melainkan kata-kata: ada nabi-nabi pada masa rasul. Untuk apa ditulis itu, apa Ahmadiyah buta pada sejarah atau membodoh-bodohi pengikut-pengikutnya. Lebih baik sebut saja: nabi-nabi di kemudian beliau. Inipun tidak terlepas juga dari blundernya, sebab nabi-nabi itu masih ditulisnya jua. Lebih menarik lagi pada watak Ahmadiyah ialah mengubah arti dan tujuan dari ayat-ayat Al-Qur'an. Seperti dalam surah An-Nisa' tersebut di atas, pengertiannya, bukanlah dimaksud bahwa yang taat pada Allah dan RasulNya akan diberi nikmat menjadi nabi-nabi, siddiqin, syuhada, dan shalihin, melainkan bagi mereka yang taat akan diberi nikmat sebagaimana nikmat yang diterima oleh para nabi, siddiqin, syuhada' dan shalihin. Jika ada dari orang-orang itu muttaqin, shabirin, syakirin, mu'minin, maka Allah akan memberi nikmat sebagaimana yang diterima oleh Nabi-nabi siddiqin syuhada' dan shalihin. Bukankah yang diharap mereka itu ialah keridhaan Allah di dunia dan di akhirat? Jadi jelas bukan nikmat menjadi nabi-nabi. Memang benar sudah banyak ummat Muhammad s.a.w. yang siddiqin, syuhada dan shalihin, tapi tidak pernah ada yang nabiyin, bahkan tidak pernah ada yang nabi, sekalipun. Itu hanya satu kecerdikan Ahmadiyah dengan tujuan membuka jalan bagi masuknya Mirza Ghulam Ahmad menjadi nabi. Dan inipun juga satu kecerdikan kaum Ahmadiyah yang lain. Diambilnya dari surah Al-Maidah ayat 21: "dan ketika nabi Musa a.s. berkata pada kaumnya (Bani Israel) wahai kaumku, ingatlah kamu pada, nikmat Allah yang telah diberikannya kepadamu yaitu waktu ia mengangkat diantara kamu menjadi Nabi-nabi dan raja-raja." Ayat ini tegas menjelaskan bahwa ummat Islam pasti akan menerima kedua macam nikmat tersebut. Nikmat yang kedua sudah sempurna yaitu sudah banyak sekali ummat Islam yang telah menjadi raja-raja dan nikmat yang kedua pasti sempurna pula."5 Demikian Ahmadiyah. Yang dimaksud nikmat pertama yang ditunggu-tunggu kaum Muslimin ialah nikmat menjadi nabi-nabi. Nikmat yang kedua menjadi raja-raja sudah banyak dan kalau nikmat itu sudah dirasakan ummat Muhammad, maka itu sudah berlawanan dengan kenyataannya. Justru raja-raja dalam Islam tidak ada dan syari'at Muhammad s.a.w. tidak mengenal kerajaan serta tidak mengajarnya. Raya-raja yang bangun di kalangan kaum muslimin adalah raja-raja yang banyak mendzalimi rakyatnya, dan hanya menikmati kemewahan harta dan perempuan. Apakah yang demikian satu kenikmatan dari Allah?! Ahmadiyah hanya omong-kosong. Apatah lagi datangnya nikmat inabi-nabi sesudah Nabi Muhammad. Catatan kaki: 1 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal 22. 2 lih: Ali Muchajat, Hakikat al-Masih, Jakarta Al-Busyra, tanpa tahun, hal. 53. 3 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian hal. 20. 4 lih: idem hal. 21/22. 5 lih: M. Ahmad Nuruddin, Masalah Kenabian, hal. 17/18. --------------------------------------------- Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah Abdullah Hasan Alhadar PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980 Jln. Tamblong No.48-50, Bandung Telp. 50708, 57177, 58332 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |