Ahmadiyah Telanjang Bulat
di Panggung Sejarah

oleh Abdullah Hasan Alhadar

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

AHMADIYAH SEBAGAI ISOLASIONISME
 
KEMURKAAN ESTAFET
 
Pada tanggal 15 Mei 1953 di kota  Lahore  Pakistan,  seorang
Ulama  besar,  syed  Abul  A'la al-Maududi, karena menyerang
keras  aliran  Qadiani  (Ahmadiyah)  dan  bersama-sama  kaum
Muslimin    menuntut    agar   pengikut-pengikut   Ahmadiyah
dinyatakan  sebagai  golongan  non-muslim,  oleh  pengadilan
militer  di Lahore, beliau dan seorang Ulama bernama Maulana
Niazi, dijatuhi hukuman mati!1
 
Berita vonnis yang tidak disangka-sangka itu,  bahkan  tidak
pernah   terlintas   dalam   pikiran  kaum  Muslimin,  telah
menimbulkan kepanikan  di  kalangan  ummat  Islam  Pakistan,
India,  bahkan  seluruh  dunia Islam ikut terkejut atasnya.2
Keputusan akan  "membunuh" tokoh  kecintaan  ummat,  seorang
mujahid,   dan   seorang   sumber   ilmu  Agama  yang  tidak
kering-keringnya itu,  telah  menimbulkan  kekhawatiran  dan
kegelisahan    dimana-mana.    Kemarahan    kaum    Muslimin
hampir-hampir tidak dapat dibendung lagi.
 
Melihat  situasi  yang   semakin   panas   itu,   pemerintah
cepat-cepat  turun tangan, mengambil langkah mendatangi Syed
Maududi  di  tempat  tahanannya,  menawarkan   pada   beliau
kesempatan  untuk  mohon  ampun  dan mohon dikasihani. Namun
dengan sikap yang berani dan tegas, beliau berkata:
 
 "Tidak, lebih baik aku mati daripada merendah-rendah
  diri di hadapan suatu Tyran. Jika ini sudah Takdir
  Allah, aku dengan segala keikhlasan menerimanya. Akan
  tetapi jika ini bukan KehendakNya, maka ketahuilah!
  Jangan coba-coba menyakiti diriku."3
 
Melihat pendirian syed  Maududi  begitu  gigih,  lebih-lebih
sikap  dari kaum Muslimin Pakistan, India, dan seluruh dunia
Islam dalam suasana prihatin, akhirnya  pemerintah  menempuh
jalan  lain  dan merobah hukuman mati atas diri syed Maududi
menjadi hukuman penjara selama 20 tahun.  Namun  tidak  lama
kemudian  jumlah  20  tahun itu berobah lagi, bahkan berobah
berkali-kali sehingga sampai pada hukuman penjara dua tahun.
 
Tindakan drastis oleh pengadilan militer  Lahore  atas  diri
Ulama besar itu, menurut sinyalemen maupun pendapat-pendapat
tokoh-tokoh  pemerintahan  dan  militer,   didasarkan   atas
pertimbangan  politis semata-mata. Namun bila diteliti lebih
seksama, pokok pangkal daripada peristiwa  1953  itu,  ialah
agitasi golongan Ahmadiyah, yang terang-terangan mengacaukan
ketentraman  iman  kaum  Muslimin  dan  membelakangi  aqidah
mereka.4
 
Bahwa   sebab  utamanya  terletak  pada  kegiatan  Ahmadiyah
mempropagandakan faham-fahamnya yang bersimpang  jalan  itu,
tidak diragukan lagi.
 
Peristiwa  yang  sama  dan  dari sebab-sebab yang sama telah
terjadi lagi,  mungkin  suatu  peristiwa  yang  akhir,  akan
tetapi  mungkin  juga bukan terakhir, telah mengambil tempat
di anak benua India kembali.
 
Pada tanggal 8  Juni  1974,  di  Islamabad  Pakistan,  telah
terjadi  demonstrasi  kemarahan  kaum Muslimin yang mencapai
klimaxnya. Kali ini peristiwa itu lebih banyak makan  korban
harta  benda  dan  jiwa.  Gerakan  Ahmadiyah  yang mula-mula
menceritakan kejadiankejadian tersebut, berkata:
 
 "Sejak Minggu terakhir dari bulan Mei 1974 telah
  terjadi kerusuhan-kerusuhan di Pakistan. Dengan dihasut
  oleh kaum Ulama dan digelorakan oleh surat-surat kabar
  kaum Islam yang fanatik menjalankan tindakan kekerasan
  terhadap orang-orang dan harta benda milik jemaat
  Ahmadiyah di Pakistan. Orang-orang Ahmadiyah dibunuh
  dan mesjid, rumah, toko, perpustakaan, pabrik, gudang
  dan klinik mereka dirampoki, dihancurkan dan dibakar.
  Boikot sosial dan ekonomi dilakukan terhadap
  orang-orang Ahmadiyah di seluruh Pakistan sehingga
  mereka tak dapat memperoleh bahan kebutuhan
  sehari-hari, bahkan air minum tak dapat mereka beli.
  Bayi-bayi juga menderita akibat boikot itu, karena susu
  untuk mereka tak bisa didapat."5
 
Bahkan rentetan dari peristiwa itu lebih jauh lagi. Di  luar
Pakistan,  dari  kota  Mekkah  Al-Mukarramah,  telah  datang
keputusan  Rabithah  'Alam   Islamy,   menyatakan   golongan
Ahmadiyah   sebagai   golongan   non-Muslim  serta  melarang
anggauta-anggautanya naik haji. Jelas sudah, bahwa  penyebab
utama  timbulnya kerusakan-kerusakan maupun korban jiwa itu,
datang dari Ahmadiyah sendiri. Aliran  inilah  biang  keladi
dari kemarahan ummat Islam yang tak terbendungkan itu.
 
Sungguh  sangat disesalkan telah terjadi peristiwa itu, akan
tetapi sangat disayangkan bahwa pemerintah  tidak  mengambil
inisiatif   jauh-jauh   sebelumnya,   bahkan   jauh  sebelum
peristiwa-peristiwa  yang  silam  itu,  untuk   menghentikan
aliran  Mirza  Ghulam  itu  dan  menyatakan  sebagai  aliran
non-Islam maupun membubarkannya sekaligus!
 
Sudah jelas, bila golongan kecil Ahmadiyah ini, bila  dikaji
faham-fahamnya,     maupun     aqidahnya    ataupun    hanya
disebut-sebut. namanya, akan  menimbulkan  tidak  sedap  dan
menggelisahkan    kaum   Muslimin,   bahkan   bisa   terjadi
kemarahan-kemarahan dan korban. Ia jauh lebih  terorganisir,
rapi, sempurna, dan persiapan-persiapan masa depannya maupun
keuangannya sangat padat.
 
Sebaliknya  dari  peristiwa  1974  itu,  gerakan   Ahmadiyah
sendiri mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Golongan
ini berkata:
 
 "Rahasia di-non-Islamkannya Ahmadiyah, ialah
  sebagaimana yang diberitakan oleh harian  - Imroz
  Lahore Pakistan, seperti berikut ini: Chiniot, 16
  November (74). Menteri Kehakiman Propinsi merangkap
  urusan Parlemen, Sadar Asghar Ahmad, dihadapan rapat
  akbar di Jerwala mengatakan, bahwa partai rakyat (yang
  berkuasa di Pakistan sekarang) telah berhasil
  menyelesaikan masalah "Khataman Nubuwah" dengan cara
  yang amat bijaksana. Penyelesaian masalah ini merupakan
  kejadian besar sesudah peristiwa Karbala yang tercatat
  dalam sejarah Islam. Perdana Menteri Ali Butto telah
  berhasil menghancurkan siasat pemimpin-pemimpin
  opposisi dengan menyelesaikan masalah Qadiani itu."
 
Kelihatan belangnya,  bukan?  Kita  ini  (Ahmadiyah)  memang
sudah   tau.   Itulah  sebabnya  tidak  pernah  kecil  hati.
Permainan politik memang begitu. Kaum opposisi di  pemilihan
umum  mendatang  (1975) di Pakistan ingin menjadikan masalah
Ahmadiyah sebagai  issue  menarik  untuk  memperoleh  suara.
Tetapi  Ali  Butto bukan goblog. Dia tau mental "alim-ulama"
yang rakus kursi, berselimutkan Agama ingin mencapai  tujuan
politis."6
 
Lebih lanjut Ahmadiyah berkata:
 
 "Saudi Arabia atau Rabhitah kalau mencap Ahmadiyah non
  Islam  - tidak mengherankan. Itu biasa, asal jangan
  Tuhan yang me-non-Islamkan."7
 
Bahwa peristiwa di  Pakistan  itu  merupakan  tindakan  kaum
oposisi serta para Ulama dengan maksud untuk mencapai tujuan
politis, itu adalah pendapat Ahmadiyah pribadi. Adalah sukar
untuk  diterima,  bahwa ikut sertanya Organisasi Dunia Islam
yang  berkedudukan  di  Mekkah  itu,  termasuk   dari   rasa
solidaritas  atau  bertindak  dalam  rangka  membantu tujuan
politis kaum oposisi di  dalam  negeri  Pakistan.  Melainkan
yang  logis dan mudah dimengerti, bahwa Rabhitah Alam Islamy
telah  me-non-Islamkan  Ahmadiyah  dan  sekaligus   melarang
angauta-anggautanya   naik   haji,  ialah  atas  dasar-dasar
pertimbangan  serta  penelitian  yang  seksama  akan  bentuk
hakiki  dari gerakan Ahmadiyah itu. Ulama-ulama di Pakistan,
India, atau dimana saja, melihat gerak-gerik Ahmadiyah tidak
lagi  dari  segi-segi  lahirnya,  akan tetapi pada segi-segi
bagian dalamnya.
 
Kenyataan  dalam  sejarah   pertumbuhan   dan   perkembangan
Ahmadiyah  sendiri,  bahkan  semenjak  fajar-fajar munculnya
Mirza Ghulam Ahmad dan alirannya, sikap  dan  tindakan  para
Ulama  selalu menentang keras padanya. Dari suatu pengamatan
yang teliti, benih-benih yang ditanam Ahmadiyah di  kemudian
hari  jauh  berbeda-beda  dari  sebelumnya,  ia lebih banyak
menonjolkan merk Islamnya daripada sifatnya yang complex,
 
Syukur bahwa dari Ulama-ulama yang masyhur seperti: Mohammad
Hadr Husein, Abul Hasan Ali an-Nadwi, Abdul 'Alim Assidiqhi,
Abul Ala al-Maududi dan lain-lain,  telah  berhasil  membuka
selubung  kulit  Ahmadiyah serta mengurai-urai isi dalamnya.
Predikat  Ulama  yang  ada  pada  mereka,  lebih-lebih  lagi
sebagai   putera-putera  dari  anak  benua  India,  tidaklah
menimbulkan keragu-raguan untuk menyatakan bahwa hasil-hasil
tulisan  mereka  tentang  kesesatan  Ahmadiyah, adalah hasil
dari sikap-sikap yang jujur, obyektif dan  tidak  emosional.
Sehingga  apa yang tidak jelas dari "Apa dan Siapa Ahmadiyah
itu" menjadi jelas dan disadari.
 
Namun demikian, kendati hasil telah dicapai, yaitu kesadaran
kaum  Muslimin  terhadap aliran Mirza Ghulam Ahmad itu, akan
tetapi pada kenyataannya pencapaian Ulama-ulama itu belumlah
sampai  pada titik-titik intinya, belum mengena bahkan belum
menyentuh  sekalipun  pada  lubuk  dasar  yang  hakiki  dari
Ahmadiyah.   Akibatnya   karena   hal-hal   tersebut,   maka
problema-problema baru yang tampaknya lebih segar dan logis,
susul-menyusul   datang   dari   Ahmadiyah.  Bagaikan  suatu
santapan yang dihidangkan pada kaum  Muslimin,  lebih  sedap
dipandang,  lebih  enak disantap dan lebih komplit dari yang
sudah-sudah.
 
Ternyata  Ahmadiyah  berada  dalam  sigap  berdiri  di  atas
kuda-kuda, menanti setiap serangan maupun kritikan dari luar
dan  siap  pula  menangkis  dan  menyerangnya.  Lebih   jauh
Ahmadiyah berkata:
 
 "Memang, seperti di persada Indonesia ini, umpamanya,
  masih ada pula gelintiran manusia-buta yang menganggap
  Ahmadiyah itu sesat. Sekalipun mereka tak mampu
  membuktikannya menurut Qur'an dan Hadits Nabi s.a.w.
  dan tak pula mampu memperhadapkan "dalil-dalil"nya itu
  dengan Ahmadiyah, namun sekali-sekali terdengar pula
  cetusan hati-kotornya yang tak pernah membekas "juridu
  li-yuthfi 'u nurallahi bi-afwahihim" (mereka berhasrat
  memadamkan cahaya kebenaran Ilahy itu dengan mulutnya),
  tentu saja tak mungkin. Sebab itu untuk mereka tak lain
  ialah: "mutu be-ghaidhikum" (benci dan dengkinya akan
  dibawa atau membawa mereka pada maut."8
  
Akhirnya dengan lantang Ahmadiyah berkata:
  
 "Anda orang berakal, bukan? Jangan mau diburung-ontakan
  oleh anasir-anasir yang memusuhi Ahmadiyah dengan cara
  lempar batu sembunyi tangan. Rata-rata mereka
  berkaok-kaok dari belakang Ahmadiyah tetapi tidak
  berani berhadapan. Mereka tau akan kelihatan
  belangnya."9
 
Catatan kaki:
1 lih: Leonard Binder Religion and Politics in Pakistan
  1963 University of California Press   hal. 302: (In
  Mid-May 1953, Maulana Maududi and Maulana Niazi were
  both sentenced to death by a military court sitting at
  Lahore. The severity of these sentence in an indication
  of the outraged view that less restrained branch of the
  services took of the effect of the Ahmadi agitation.
  
  lih: Misbah-ul-Islam Faruqi- Introducing Maududi-1968 -
  Darr al-Qalam al-Sur St Kuwait-hal. 113: (.., he was
  made to face a farce of trial by a military tribunal
  and was awarded death sentence for writing a pamphlet:
  the Qadiani Problem.
2 lih: L. Binder   hal. 302: religious persons
  throughout Pakistan were, of course shocked at this
  action of the military, but perhaps even more astounded
  at the implied generalization of guilt.
3 lih: M.I Faruqi hal. 114: (When, after the death
  sentence he was offered option of making an appeal for
  mercy, his reply was: I would rather lay down my life
  than request mercy from tyrans. If God has so wished, I
  shall gladly submit. But if it is not His decision, no
  matter what they may plan, they can do no harm to me.)
4 lih: L. Binder   hal. 303: (the military and many
  civil servants, apparently, have been so taken in by
  propaganda of the jamaat they actually believe that
  Maududi single handely created the whole islamic
  constitution controvercy. Regardless of whether this
  view is correct, the important thing to note is that
  the islamic constitution controversy was considered the
  root cause of the dreadful effects of the Ahmadi
  agitation.)
5 lih: bulletin Ahmadiyah, al-Hisyam, jemaat Ahmadiyah
  Ujung Pandang, no. 23/24 th. 1974 hal. 2/3.
6 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3/7.
7 lih. al-Hisyam, no. 25, 1974, hal. 3.
8 lih. Saleh A, Nahdi   Ahmadiyah di mata orang lain,
  1971, Rapen Makassar. hal. 3.
9 lih. bulletin al-Hisyam, no. 23/24, 1974, hal. 5.
 
---------------------------------------------
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Abdullah Hasan Alhadar
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980
Jln. Tamblong No.48-50, Bandung
Telp. 50708, 57177, 58332

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team