|
di Panggung Sejarah |
|
IDENTITAS SANG PEMIMPIN Nama dan keturunan: Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, mempunyai banyak nama dan keturunan. Suatu keistimewaan buat dia, konon semua itu diperoleh dari Tuhannya. Bahkan yang lebih menarik lagi, Mirza Ghulam Ahmad menguasai banyak bahasa, antaranya: Bahasa Urdu, Inggris, Arab, Parsi, dan bahasa Ibrani. Dengan bahasa-bahasa itulah ia berdialog dengan Tuhannya. Puteranya yang mashur, Bashiruddin Mahmud Ahmad (1899-1965) yang menduduki tahta khalifah kedua dalam jema'at Ahmadiyah, menulis tentang saat-saat kelahiran ayahnya, sebagai berikut: "Hazrat Ahmad a.s. lahir pada tanggal 13 Pebruari 1835 sesuai dengan 14 Syawal 1250 hijrah, hari Jum'at pada waktu shalat shubuh, di rumah Mirza Ghulam Murtaza di desa Qadian. Beliau lahir kembar, yakni beserta beliau lahir pula seorang anak perempuan yang tidak berapa lama meninggal dunia. Demikianlah sempurna kabar ghaib yang telah ada dalam buku-buku Agama Islam, bahwa Imam Mahdi akan lahir kembar."2 Demikian Bashiruddin M.A. menceritakan kelahiran ayahnya. Yang menjadi pertanyaan disini ialah, oleh siapa dan pada siapa kabar ghaib lahir kembar itu telah disampaikan? Kemudian dalam buku-buku Agama Islam yang mana kabar itu dimuat? Kiranya Bashir M.A. dan Ahmadiyahnya tidak berhasrat atau kurang perlu untuk menyebut nama orang-orang maupun buku-buku yang berkenaan dengan kabar ghaib dan lahir kembar itu. Lebih lanjut perihal nama-nama yang dimiliki Mirza Cihulam Ahmad, Bashiruddin maupun Ahmadiyah berkata: "Asal nama beliau hanyalah Ghulam Ahmad, atau nama lengkap (full name) beliau adalah Ghulam Ahmad."3 Kemudian terdapat di depan Ghulam Ahmad, sebuah nama lagi ialah Mirza. Dengan demikian nama kepanjangannya menjadi Mirza Ghulam Ahmad. Di antara ketiga sebutan tadi, hanya Ghulam sajalah yang tidak diperbincangkan. Sisanya yakni Mirza dan Ahmad, merupakan nama-nama yang mengandung didalamnya arti dan tujuan yang istimewa. Menurut Bashiruddin Mahmud Ahmad, perkataan atau sebutan nama MIRZA adalah untuk menyatakan bahwa ayahnya keturunan dari MUGHAL (Moghol). Bashiruddin melanjutkan bahwa ayahnya itu adalah keturunan haji Barlas, raja daerah Kesh, yang jadi paman Amir Tughlak Taimur.4 Disinilah kiranya kena keturunan Moghol Mirza Ghulam Ahmad. Lebih lanjut Bashiruddin menulis: "Dalam tahun-tahun yang akhir dari kerajaan Keiser Babar, yakni pada tahun 1530 masehi, seorang Moghol bernama Hadi Beg meninggalkan tanah tumpah darahnya ialah Samarkhand dan pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab."5 Hadi Beg inilah yang mendirikan kota Qadian, tempat lahirnya Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Hadi Beg adalah termasuk dalam urutan yang keduabelas ke atas dari kakek-kakek Mirza Ghulam. Akhirnya lebih meyakinkan lagi tentang keturunan mogholnya itu, ayah Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Ghulam Murtaza memberi tahu anaknya bahwa nenek-nenek moyangnya adalah dari keturunan Moghol.6 Demikian kesaksian sejarah Ahmadiyah tentang darah Moghol yang, mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam Ahmad. Sayang bahwa darah Moghol ini tidak menjadi kebanggaan bagi yang empunya maupun bagi Ahmadiyahnya. Mungkin dikarenakan arti maupun tujuan dari darah itu kurang atau tidak istimewa, atau samasekali tidak berarti. Alasannya bisa diduga-duga mengapa darah Moghol sampai diabaikan begitu saja. Yang penting untuk diketahui ialah, bahwa setiap nama maupun keturunan yang dimiliki Mirza Ghulam Ahmad, bahkan gelar-gelarnya sekalipun, datangnya dari pemberian Tuhannya. Itulah sebabnya meskipun kenyataannya darah Moghol mengalir dalam tubuh Mirza Ghulam, akan tetapi karena bukan dari pemberian Tuhan, maka Mirza segera menumpangi kwalitet Mogholnya itu dengan darah lain yang baru. Ia berkata: "Aku mendengar dari ayahku bahwa kakek-kakekku berdarah Moghol, akan tetapi aku mendapat wahyu dari Tuhan, bahwa kakek-kakekku berdarah Parsi."7 Dengan perkataan "akan tetapi," lebih-lebih lagi ditambah dengan "mendapat wahyu dari Tuhan" maka praktis kata-kata atau ucapan ayah Mirza Ghulam tentang darah Moghol, menjadi lemah atau bisa gugur! Seringkali diketemukan dalam ucapan-ucapan tokoh-tokoh Ahmadiyah adanya pertentangan satu dengan yang lain. Bahkan kadangkala seorang pimpinan Ahmadiyah berkata tentang sesuatu hal atau masalah, di lain kesempatan orang tersebut merobah atau mengganti ucapannya yang semula. Misalnya dari ucapan-ucapan khalifah kedua Ahmadiyah, Bashiruddin Mahmud Ahmad. Mula-mula ia berkata bahwa perkataan "Mirza" pada nama ayahnya, menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah dari keturunan Moghol. Akan tetapi di lain kesempatan ia berkata: "Perkataan "Mirza" di dalam namanya Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. menunjukkan bahwa beliau a.s. adalah keturunan orang Parsi."8 Pernyataan Bashir yang bertentangan itu telah menimbulkan keragu-raguan. Bagaimana ia bisa berkata bahwa perkataan Mirza pada nama ayahnya, adalah untuk menyatakan keturunan dari Moghol, akan tetapi di lain kitab ia menyatakan bahwa perkataan Mirza, adalah menyatakan keturunan Parsi?! Jelas bahwa ucapan-ucapan Bashiruddin tersebut, tidak beres. Akan tetapi bagi Ahmadiyah hal-hal seperti itu mudah diselesaikan, bahkan dengan cara-cara yang simple. Jika Bashir mula-mula menyatakan bahwa Mirza adalah keturunan Moghol, kemudian ia menyatakan di lain kitab bahwa Mirza adalah keturunan Parsi, maka Ahmadiyah menjelaskan: "Adapun Mirza adalah nama kepangkatan dan suku dari nenek-moyang beliau. Beliau adalah keturunan Parsi dan keturunan Bangsawan."9 Di sini Ahmadiyah membuktikan bahwa Mirza Ghulam Ahmad memiliki dobel keturunan, Moghol dan Parsi. Untuk membereskan makna dobel keturunan, maka Ahmadiyah menegaskan lagi: "Pendiri Jema'at Ahmadiyah, Hadrat Mirza Ghulam Ahmad, berasal dari keluarga terhormat. MIRZA adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghol berasal dari Parsi."10 Demikianlah cara pemberesannya; raja-raja Islam dinasti Moghol yang berasal dari Parsi. Dengan susunan kalimat yang demikian, maka kesulitan yang terdapat pada dua buah tulisan Bashir yang berbeda, telah terpecahkan. Lebih jelas lagi ialah, bahwa keturunan dalam darah yang mengalir dalam tubuh pendiri Ahmadiyah itu, hanyalah darah Moghol saja. Sedangkan keturunan Parsi yang dimiliki Mirza Ghulam tidak lain kecuali tempat, domisili, dimana kakek-kakeknya tinggal berdiam. Dengan kata lain, Mirza Ghulam Ahmad keturunan Moghol dari Parsi. Namun demikian Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya lebih mengutamakan tempat asal kakek-kakeknya daripada darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Parsi lebih penting dari Moghol, sebab di dalam Parsi itulah kepentingan Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, terletak. Dari keturunan Parsi terletak makna dan arti maupun tujuan dari sebuah Hadits, yaitu pada saat Nabi Muhammad s.a.w. sambil menaruh tangan beliau kepundak sahabat Salman Al Parisi, bersabda: "Sekiranya keimanan menggantung di bintang tsuraya, niscaya akan dicapai oleh laki-laki dari Parsi." Mirza Ghulam Ahmad berkeyakinan bahwa yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad s.a.w., tidak lain ialah untuk dirinya, karena dialah anak Parsi itu. Bahkan Tuhan memberi wahyu padanya: "Pegang teguhlah iman itu wahai anak Parsi."11 Sudah jelas bahwa Mirza Ghulam dan alirannya bertekad sebagai yang empunya hak mutlak atas sabda Nabi s.a.w. tersebut. Benarkah mereka berhak, benarkah Mirza Ghulam Ahmad yang dituju sabda Nabi Muhammad s.a.w.? Padahal Mirza Ghulam Ahmad bukan keturunan Parsi, ia keturunan Moghol. Lebih-lebih lagi ia kelahiran India, berdomosili di India. Bahkan ayahnya maupun kakek-kakeknya sampai kepada Hadi Beg kakeknya yang keduabelas itu, berada di India. Abad enam-belas masehi mereka sudah di Hindustan. Sudah hampir tiga ratus tahun kakek-kakek Mirza Ghulam berurat berakar di India. Tigaratus tahun jauh daripada cukup untuk memberi titel pada ayah dan Mirza Ghulam Ahmad maupun pada kakek-kakeknya sebagai pribumi India. Ia harus dipanggil, tidak dengan panggilan "ya ibna-Al-Faras"melainkan dengan panggilan "ya ibnul Hind" wahai anak Hindustan. Cara-cara yang ditempuh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya mengambil Hadits tersebut di atas buat mereka, jelas merupakan pengingkaran mereka terhadap sejarah serta memutar balikkan makna dan tujuan yang sebenarnya dari Hadits tersebut. Padahal tidak perlu menunggu sampai 1200 tahun kemudian serta memilih negeri India sebagai tempatnya, untuk menemukan maupun menunjuk orang yang dimaksud dan dituju dari sabda Nabi Muhammad s.a.w. tersebut. Justru pada saat-saat itulah dan di tempat Nabi bersabda makna dan tujuan dari ucapan Beliau terletak adanya. Sahabat Salman Al-Farisi mempunyai kissah hidup yang unik serta mengagumkan. Dalam pengembaraannya mencari serta menemukan iman Tauhid, putera Parsi yang orisinil ini, pergi meninggalkan tanah tumpah darahnya Parsi, pergi jauh sampai ribuan mil, melalui proses perpindahan kepercayaan dari agama syirik menyembah api (zarahustra) pada agama syirik mentuhankan Isa Al-Masih (Kristen) dan akhirnya sampai pada Agama Tauhid yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. Ketabahan, gairah, tekad, dan revolusi yang bergolak dalam jiwa Salman Al-Farisi, mencari kepuasan iman, ketentraman bathin dan sekaligus menemukannya pada diri Rasulullah s.a.w., telah mendapat pujian langsung dari Nabi sendiri, liwat sabda Beliau di atas. Bahkan Salman Al-Farisi, telah memperoleh kedudukan istimewa. Siapa menduga bahwa musafir dari ribuan mil ini, telah memperoleh derajat "termasuk dari ahli bait Nabi" serta mendapat jaminan sorga dari junjungannya. Catatan kaki: 1 Sincretisme: aliran atau pergerakan yang ingin mempersatukan seluruh pergerakan yang ada di bawah pimpinan seseorang. 2 lih. Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat hidup hazrat Ahmad a.s., 1966, Djemaat Ahmadiyah tjabang Djakarta, hal. 2, terjemah oleh Malik Aziz Ahmad Khan. 3 lih. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, riwayat hidup hazrat Ahmad a.s., hal.2 dan lih. J.D. Shams. h.a., ISLAM, th.?, Ahmadiyya Muslim Foreign Missions Office, Rabwah, hal. 16 (his full name was Ghulam Ahmad, ) 4 lih. M.B.M.A., riwayat hazrat Ahmad a.s., hal. 1/2 5 lih. idem, hal. 6 6 lih. Mirza Ghulam Ahmad, al-Istiftha', 1378 hijrah, Rabwah Matba'ah an Nasrah. hal. 75: (fi kitab sawaanah abaaii wa sami'tu min abi an abaaii kaanuu min-al-jarthumah almuqliyah). Al-jum'iyat-ul-syrargiyah linasyru-al-kutub-diniyah Rabwah. 7 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Al-Istiftha', hal. 75: (wa lakin Allah auhii ilaa annahum kaanu min bani Fares, la minal aghwaan turkiyah.) 8 lih. Bashiruddin Mahmud Ahmad, Djasa Imam Mahdi a.s., Soerabaya Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia (A.A.D.I.) Gemeente, th. 1940, hal. (c) 9 lih. Suara Lajnah Imaillah (majallah kaum ibu Ahmadiyah), no. 10, th 11-1974, B.P.L.I. (Badan Penghubung Lajnah Imaillah Indonesia), Yogjakarta, hal.27. 10 lih. Sinar Islam (majallah Ahmadiyah), no. 5-6, 1974, Jakarta Yayasan Wisma Damai, hal. 26. 11 lih. Mirza Ghulam Ahmad, Tukhfah Baqdad, Matba'ah an-Nashrah, Rabwah 1377h., hal. 26. --------------------------------------------- Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah Abdullah Hasan Alhadar PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980 Jln. Tamblong No.48-50, Bandung Telp. 50708, 57177, 58332 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |