Ahmadiyah Telanjang Bulat
di Panggung Sejarah

oleh Abdullah Hasan Alhadar

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

REKOMENDASI DAN PIGURA
 
Dalam perang kemerdekaan  tahun  1857,  Mirza  Ghulam  Ahmad
sudah menjadi seorang pemuda yang tampan; usianya sekitar 22
tahun. Dengan demikian ia sudah  dapat  menjadi  saksi  yang
baik  atas  karier para sesepuh-sesepuhnya, dalam pergolakan
tahun 1857 dan tahun-tahun sesudahnya.
 
Sejarah  Islam  telah  menggarisbawahi   peristiwa-peristiwa
kekejaman  Inggris  dan  pasukan-pasukan  sewaannya terhadap
kaum  Muslimin  dalam  perang  kemerdekaan  itu.   Kehadiran
Inggris  bagi  Muslimin  India  merupakan musibah besar yang
kedua, sesudah musibah besar yang pertama yang  dibuat  kaum
Sikh  masih  berlangsung terus. Mengulangi kembali peristiwa
kebiadaban Inggris dan pion-pionnya terhadap  kaum  Muslimin
akan  memudahkan  pendekatan  yang akrab pada keluarga Mirza
Ghulam Ahmad.
 
Adapun  peristiwa-peristiwa  yang  tersebut  di  bawah   ini
hanyalah  gambaran  kecil dari penderitaan yang dialami kaum
muslimin India; Penyair Urdu  yang  mashur,  Asadullah  Khan
Ghalib yang menjadi saksi atas kebuasan Inggris menulis:
 
  "Delhi, aku saksikan menjadi lautan darah, hanya
   Tuhanlah yang mengetahui apa yang masih ada padaku. Aku
   kehilangan saudaraku, kehilangan sahabat-sahabatku
   terdekat, kehilangan saudara-saudara seagama. Ribuan
   ummat Muhammad telah binasa di atas tiang gantungan,
   maupun berserakan di segala penjuru Delhi. Siapa lagi
   yang akan kuingat, aku tidak punya apa-apa.
   Segala-galanya telah sirna, siapa pula yang akan
   menangisi kematianku. Orang-orang kulit putih itu masuk
   dan menembak mati siapa saja yang mereka jumpai. Tidak
   memilih anak-anak maupun wanita-wanita."
 
Zahir Dehlvi menulis dalam Dastani Gadar:
 
  "Tentara Inggris menembak siapa saja yang mereka
   jumpai.Seorang penulis kenamaan, Mian Muhammad Amin
   Panjakush, seorang Ulama, Moulvi Imam Buksh Sabhin
   bersama-sama dua puteranya dan Miar Niaz Ali bersama
   1400 orang penduduk Kucha Cholan telah ditembak mati
   semua. Mayat-mayat mereka dilemparkan ke dalam sungai
   Jamuna."
 
Griffiths, seorang peninjau  Inggris  ketika  melihat  Delhi
binasa, menulis:
 
  "Suatu bencana yang mengerikan telah terjadi; sungguh
   sulit untuk dibayangkan, sungguh sulit untuk dilupakan
   kota yang semula penuh sesak oleh manusia, kini hening
   sunyi-sepi. Tidak terdengar suara kecuali suara riuh
   burung di angkasa berputar kemudian turun di atas
   tumpukan mayat-mayat itu. Setiap orang yang lewat, akan
   terasa sesak dada nafas tersumbat"
 
Beatrice Pitney Lamb menulis  peristiwa  berdarah  1857  itu
sebagai berikut:
 
  "Tentara Inggris berbuat apa saja demi kepuasan
   nafsu,iblisnya. Ribuan kaum Muslimin mati digantung
   tanpa diadili, tanpa alasan apapun. Yang paling
   mengerikan ialah ketika mulut-mulut meriam didekatkan
   pada tubuh-tubuh mereka kemudian meledakkannya."
 
Thompson dan Garrat  menceritakan  ketika  tentara  jenderal
Wilson  dan tentara berkuda jenderal Hudson menguasai Delhi,
pasukan Inggris ini telah:
 
  "Melakukan penghinaan yang keji dan pembunuhan yang
   ngeri. Mereka telah menyemir tubuh kaum muslimin dengan
   lemak babi, kemudian menutupi tubuh mereka dengan kulit
   babi. Kaum Hindu yang ikut menyaksikan atraksi-atraksi
   tersebut mendapat kesempatan leluasa untuk mencemarkan
   tubuh kaum muslimin dengan kotoran-kotoran najis.
   Akhirnya tubuh-tubuh yang tidak berdaya itu dibakar
   hidup-hidup sampai mati."
 
Demikian contoh kehancuran  Delhi,  kehancuran  Muslimin  di
kota  itu,  merupakan  gambaran  dari  kehancuran di seluruh
negeri. Sisa dari kaum muslimin berada dalam  penjara  hidup
yang    menyedihkan.    Inggris   telah   memutuskan   untuk
menghancurkan  seluruh  struktur  kehidupan  kaum   Muslimin
sampai  ke akar-akarnya. Bangsa Inggris itu mendapat bantuan
dari pasukan-pasukan sewaannya. Kaum  Sikh  yang  dikalahkan
Inggris  pada  tahun 1848 itu, pada perang kemerdekaan tahun
1857, telah berjasa besar  pada  tuannya.  Mereka  bertempur
mati-matian di sisi Inggris menghancurkan kaum Muslimin.
 
Bagaimana  dengan  keluarga  Mirza  Ghulam  Ahmad, dimanakah
mereka  berada  tatkala  jihad   Akbar   1857   itu   sedang
berkecamuk? Sejarah Islam tidak sulit untuk menemukan mereka
di arena perjuangan yang dahsyat itu. Mereka, keluarga Mirza
Ghulam  Ahmad  ini  diketemukan  di tengah-tengah perjuangan
yang hebat itu sebagai anggauta pasukan sewaan Inggris  yang
berani  mati.  Dengan perasaan bangga Ahmadiyah menceritakan
keberanian  mereka   itu.   Putera   Mirza   Ghulam   Ahmad,
Bashiruddin Mahmud Ahmad berkata:
 
  "Pada waktu pengepungan Delhi, Imanuddin, salah seorang
   dari keluarga Mirza Ghulam Ahmad, menjadi kepala
   pasukan dalam tentara berkuda jenderal Hudson,1 dan
   bapaknya yang bernama Ghulam Muhyiddin menjabat
   Wedana."
 
Demikian tubuh yang mengalir darah, didalamnya terdapat noda
yang  kekal.  Keluarga Mirza Ghulam Ahmad memiliki noda yang
kekal itu. Mereka telah berbakti pada kaum  musyrikin  Sikh,
dan  kini  mereka  pindah  berbakti  pada  musyrikinInggris,
bahu-membahu  dengan  sesama  bangsa  dari   golongan   Sikh
membinasakan   kaun  Muslimin  yang  diakui  sebagai  sesama
saudaranya.
 
Bashiruddin   Mahmud   Ahmad   menceritakan   bahwa    dalam
pemberontakan  tahun  1857  itu,  keluarga  ini  menjalankan
pekerjaan yang patut dipuji pula. Ghulam Murtaza  memasukkan
banyak  orang dalam tentara, dan anaknya yang bernama Ghulam
Kadir ikut dalam  tentara  General  Nicholson  di  Trimughat
waktu  melawan  pemberontakan  dari  46 Native infantry yang
melarikan diri dari Sialkot.2
 
Jenderal Nicholson telah memberikan satu surat kepada Ghulam
Kadir yang menyatakan bahwa dalam tahun 1857, keluarganya di
Qadian distrik  Gurdaspur  betul-betul  telah  membantu  dan
setia  kepada  pemerintah  lebih dari keluarga-keluarga lain
dalam daerah itu.3
 
Selanjutnya Bashiruddin bercerita, bahwa Ghulam Kadir  putra
dari  Ghulam  Murtaza, saudara Mirza Ghulam Ahmad, mempunyai
banyak  surat-surat   pujian   dari   pemerintah.4   Sesudah
memperoleh  surat-surat  dan  pigura-pigura penghargaan dari
majikannya,   keluarga    Mirza    Ghulam    ini    mendapat
perangsang-perangsang   yang   lumayan.  Gulam  Murtaza  dan
saudara-saudaranya memperoleh hak pensiun sebesar 700  rupe,
dan  hak  milik  atas  Qadian  dan  beberapa kampung sekitar
Qadian kemudian memperoleh hak menarik pajak sebesar 5% atas
daerah-daerah itu.5
 
Demikian  kisah  pengabdian  yang  mengharukan dari keluarga
Mirza  Ghulam  Ahmad,  diceritakan  sendiri  oleh  puteranya
Bashiruddin  Mahmud  Ahmad.  Satu  kali  lagi  pengkhianatan
terhadap  saudara-saudaranya  kaum  Muslimin,  pengkhianatan
terhadap  Islam, pengkhianatan terhadap ALLAH dan RASUL-NYA.
Mungkinkah dari keluarga yang berkhianat itu, muncul seorang
Al-Mahdi, Al-Masih yang dijanjikan seorang Nabi atau Rasuli!
 
Catatan kaki:
1 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hazrat Ahmad a.s.,
  hal. 10.
2 idem, hal. 9.
3 idem, hal. 9.
4 idem, hal. 10
5 idem, hal. 12.
 
---------------------------------------------
Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah
Abdullah Hasan Alhadar
PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980
Jln. Tamblong No.48-50, Bandung
Telp. 50708, 57177, 58332

Indeks Islam | Indeks Artikel | Tentang Penulis
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team