|
di Panggung Sejarah |
|
MIRZA TARTUFFE (SEORANG MUNAFIK, PENIPU BESAR) Karakter Mirza Ghulam Ahmad gagal total ia sebagai pencaci maki, penghina, pengutuk maupun sebagai penyebar kuman kematian pada sesama manusia telah membawa effek pada tingkah lakunya, pada phisiknya dan pada jiwanya. Atau mungkin keadaan jiwa dan phisiknya yang membawa effek pada karakternya yang tidak karuan itu. Kedua-duanya dari kemungkinan itu pasti terjadi pada diri Mirza Ghulam Ahmad, sebab ia termasuk dari contoh figur kemunafikan dan kepalsuan dalam sejarah kerohanian, yang berkedok sebagai nabi maupun sebagai Al-Masih Al-Mau'ud. Ahmadiyah dalam rangka mengangkat Mirza Ghulam ke tingkat derajat yang paling atas menyatakan bahwa maksud kedatangannya ialah untuk memikul missi suci yang lebih dahulu telah diwahyukan Allah dalam Al-Qur'an. Kedatangan Mirza Ghulam oleh Ahmadiyah digambarkan sebagai cahaya fajar sang surya. Ia datang dalam lailatul qadr, malam utama yang lebih baik dari pada 1000 bulan.1 Ahmadiyah menegaskan dengan kata-kata: "Tegas pengakhiran malam itu dengan saat fajar pembawa cahaya sang surya yang menerangi bumi. Cahaya inilah dibawa oleh Al Masih kedua atau Imam Mahdi."2 Ummat manusia seharusnya mengelu-elukan kedatangan cahaya fajar Mirza Ghulam Ahmad itu, sebab ia datang untuk kebangkitan Islam dan meletakkan Islam sebagai agama tertinggi. Ketahuilah! kata Ahmadiyah, bahwa: "Pada surah At-Taubah ayat 33 dan surah Al-Fath ayat 29 kemudian surah Ash-Shaf ayat 9, tersebut firman Tuhan yang berbunyi: DIA-lah yang mengutus utusannya dengan petunjuk dan Agama yang benar yang akan memenangkannya atas semua agama." Ketiga ayat tersebut di atas, kata Ahmadiyah, mengandung berita yang belum disempurnakan. Maksud Ahmadiyah belum disempurnakan itu ialah bahwa agama Islam belum mengatasi agama-agama lain dan ummat Islam juga belum mengatasi (melebihi dari segi apapun) ummat-ummat agama yang lain.3 Maka, kata Ahmadiyah melanjutkan, menurut para ahli dan mufassirin bahwa ayat di atas akan disempurnakan di akhir zaman bilamana tokoh yang dinantikan itu datang. Dalam tafsir Al Bayan di bawah ayat tadi dicatat tafsir yang berikut: "wa dzaIika inda nuzuli Isa ibn Maryam," yaitu: kemenangan Islam atas semua agama yang dimaksud ayat tadi ialah akan terjadi bila turun Isa anak Maryam.4 Lebih meyakinkan lagi Ahmadiyah menegaskan, bahwa Islam bukan hanya belum sampai pada titik yang dinubuwatkan di atas malah agama-agama lain masih memiliki supremasi atas Islam sendiri.5 Kemudian Ahmadiyah berkata: "Nubuwat Al Qur'an tersebut di atas pasti genap dan sempurna pada akhir zaman di tangan UtusanNya yang dikenal dengan sebutan Isa Masih/Imam Mahdi a.s."6 Demiklanlah penegasan Ahmadiyah. Mula-mula dikatakan bahwa ayat itu mengandung berita yang belum disempurnakan, padahal Islam telah ditegakkan dengan sempurna. Jika memang ayat itu mengandung berita yang belum disempurnakan, maka bukan mufassirinlah yang tahu makna maupun tafsir dari ayat itu melainkan Rasulullah sendiri adalah orang pertama yang akan mengatakannya. Kemudian Ahmadiyah mengatakan, bahwa Islam belum mengatasi agama-agasna yang lain. Artinya bahwa Islam masih berada pada tempat paling bawah dari semua agama di dunia. Kalau ummat Islam yang dikatakan masih belum mengatasi ummat agama yang lain, mungkin ada benarnya terutama pada segi-segi sosial ekonominya. Akan tetapi kalau IsIam dikatakan masih belum mengatasi agama-agama yang lain, itu sudah keterlaluan. Ataukah jumlah orangnya yang masih belum mengatasi, padahal pada abad ke-19 Masehi Islam penganutnya sudah melebihi penganut agama Zarathustra dan penganut agama Yahudi, dan daerah wilayahnya lebih besar dari wilayah agama-agama itu bahkan lebih luas lagi dari wilayah agama Buddha dan agama Hindu. Maka jelaslah yang dimaksud Ahmadiyah bahwa Islam belum mengatasi agama-agama yang lain mengandung makna hakikat dari Islam itu sendiri, yang belum mengatasinya. Ini bukan saja suatu pengingkaran terhadap sejarah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. bahkan juga pengingkaran terhadap kandungan ayat Al-Quran. Lebih lantang lagi Ahmadiyah berkata tentang ayat 33 dari surah At-Taubah, Al-Fath ayat 29 dan Ash-Shaf ayat 9 itu sebagai berikut: "Tetapi tampaknya Tuhan belum menghendaki 'liyuzhhirahu 'aladdini kullihi' (memenangkan Islam atas semua agama) itu terjadi pada masa perkembangan Islam yang pertama. Oleh karena di dalam ayat yang sama kalimat-kalimat lanjutan melukiskan bentuk dan corak perkembangan Islam masa yang kedua yang akan mencapai garis kemenangan atas semua agama yang ditentukan itu."7 Jelasnya bahwa Tuhan belum menghendaki kemenangan Islam terjadi pada masa perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabat beliau, melainkan akan terjadi kemenangan itu pada masa Al-Masih Al-Mau'ud Mirza Ghulam Ahmad. Kata-kata "belum menghendaki" yang ditekankan oleh Ahmadiyah itu pasti akan menyakiti hati Nabi Muhammad serta sahabat beliau. Makna dan pengorbanan beliau s.a.w. telah diabaikan dan disepelekan oleh Ahmadiyah. Suatu penghinaan yang mengandung tujuan dan target yang keji untuk membuyarkan iman ummat Islam serta perasaan ghairah pada Nabinya. Akan tetapi Ahmadiyah tetap Ahmadiyah, ia telah mengatakan sesuatu, namun di tempat yang lain ia terperosok sendiri oleh kata-katanya itu. Kalau kita melihat betapa kedatangan Mirza Ghulam Ahmad telah dinyatakan sebagai tokoh Al Masih anak Maryam/Al-Mahdi yang akan memenangkan Islam atas semua agama, demikian yang dikatakan Ahmadiyah, anehnya pada tempat yang lain Ahmadiyah mengganti peranan success gemilang yang dicapai nabi India itu dengan seorang tokoh yang lain yang datang sesudahnya. Orang Ahmadiyah terakhir inilah sebenarnya yang akan memenangkan Islam atas semua agama? Ahmadiyah berkata: "Kesempurnaan ayat liyuzhhirahu aladdini kullihi yaitu Islam akan menaklukkan semua agama, yang khusus akan dilaksanakan oleh Imam Mahdi atau Al-Masih, insya Allah akan tercapai di tangan khalifah Masih ke-II hazrat Basiruddin Mahmud Ahmad, almuslihil mau'ud putra yang dijanjikan."8 Kata-kata "insya Allah akan tercapai" menunjukkan betapa peranan Mirza Ghulam Ahmad pada pertengahan dan akhir-akhir dari hidupnya sangat menyedihkan dan mengalami depressi yang memalukan. Sudah seyogyanya, kalau Ahmadiyah cepat-cepat mengangkat paulus Ahmadiyah untuk bertahan dari keruntuhannya. Hanya dengan organisasi dan finansiil yang padat serta lindungan maupun naungan yang rindang, maka Bashiruddin Mahmud Ahmad benar-benar seorang "paulus" Ahmadiyah. Itulah sebabnya Ahmadiyah memberikan titel yang luar biasa pada sang khalifah itu. Justru dialah yang paling ketat menutupi seluruh aspek kehidupan ayahnya yang berantakan. Namun anehnya tidak satu segipun dari kehidupan Mirza Ghulam Ahmad yang hancur itu dapat tertutup rapat. Tidak juga sang putra maupun organisasinya berhasil menyembunyikan nabi penyebar kuman kematian itu. Tadi telah dikatakan bahwa dikarenakan tugasnya yang berat, yakni tugas menjadi nabi palsu di India, maka Mirza Ghulam Ahmad mengalami depressi hidup yang memalukan serta memilukan hati. Namun demikian juga tidak bisa diabaikan, sebagaimana dikatakan sebelum ini, bahwa karena effek-effek kejiwaan dan badaniahlah, maka Mirza Ghulam Ahmad gagal total dalam hidupnya. Entah karena jabatannya sebagai musailamah modern itu ia telah menderita, baik jiwa maupun badannya. Ataukah ia memang sudah mengalami masa menderita yang begitu lama dan parah sehingga timbul gagasannya untuk menjadi pemimpin kerohanian, yang tidak pernah diharapkan bangsanya. Kenyataannya, kedua-duanya memang ada dan benar. Perkenalan atas perjalanan hidupnya sudah banyak kita ketahui, akan tetapi Ahmadiyah sendiri maupun sang khalifah Bashiruddin masih dengan senang hati menambah lagi sajian-sajian tentang Mirza Ghulam Ahmad. Tentu saja sajian-sajian yang sekaligus menikam langsung dada sang nabi palsu itu. Maka inilah dia sajian-sajian yang berakhir dengan klimax yang menggelikan akan tetapi sangat menyayat-nyayat hati. Catatan kaki: 1 Sinar Islam, no. 13, Th. XV/l965, hal. 32. 2 idem, hal. 32. 3 Saleh Nahdi, Masalah Imam Mahdi, l966, Raja Pena Surabaya, hal. 15. 4 Saleh Nahdi, Masalah Imam Mahdi, hal. 16. 5 Sinar Islam, no. 13/th. XV/1965, hal. 31. 6 idem, hal. 31. 7 Sinar Islam, no. 13/th. XV/1965, hal.32 8 Sinar Islam, no. 10/1965. hal. 13/14 --------------------------------------------- Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah Abdullah Hasan Alhadar PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980 Jln. Tamblong No.48-50, Bandung Telp. 50708, 57177, 58332 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |