|
di Panggung Sejarah |
|
SESEPUH MIRZA GHULAM AHMAD TERJUN KE GELANGGANG Beralih kembali pada pembahasan yang semula yakni perihal Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya, sejarah Islam bertanya, sampai sejauh mana Mirza Ghulam Ahmad terjun dalam medan perjuangan ummat Islam, baik pada tahun 1831 maupun pada tahun 1857 itu? Jika dilihat pada tahun kelahirannya (1835) maka ketika terjadi perang sabil pimpinan syed Ahmad Berelvi melawan kekuasaan Sikh, Mirza Ghulam Ahmad ternyata masih belum lahir ke dunia ini. Akan tetapi kakeknya, ayahnya dan pamannya sebagai orang-orang sesepuhnya, sudah dapat berbicara tentang perang sabil itu. Bahkan situasi dan pengalaman pahit yang dialami kaum Muslimin berada dalam kesaksian mereka. Satu hal yang jelas ialah bahwasanya sejarah Islam tidak pernah berbicara tentang kegiatan yang dilakukan sesepuh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun-tahun dominasi kaum Sikh atas kaum Muslimin di Punjab maupun tahun-tahun terjadinya perang sabil 1831 itu. Namun satu hal yang menggembirakan ialah justru Ahmadiyah sendiri yang banyak berbicara tentang pengalaman-pengalaman sesepuh Mirza Ghularn. Bahkan yang banyak mengungkap pengalaman-pengalaman mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad dan puteranya Bashiruddin Mahmud Ahmad, yang kebenarannya pasti dijamin oleh Ahmadiyah. Dari bahan-bahan Ahmadiyahlah maka pengalaman-pengalaman sesepuh Mirza Ghulam ini diungkap kembali, sebagai suatu jalan termudah untuk mengenal mereka. Sebagaimana telah disinggung dalam bab III, Mirza Ghulam Ahmad adalah keturunan Haji Barlas, raja daerah Kesh yang jadi paman Amir Tughlak Taimur. Tatkala Amir Taimur menyerang Kesh, lalu haji Barlas sekeluarga terpaksa melarikan diri ke Khurasan dan Samarkhand. Dan mulai tinggal di sana. Tetapi dalam abad ke sepuluh hijrah atau abad ke enam belas masehi, seorang dari keturunan haji Barlas bernama Hadi Beg beserta 200 pengikutnya hijrah dari Khurasan ke Hindustan karena beberapa-beberapa hal. Mereka tinggal di daerah sungai Bias dengan mendirikan sebuah kampung bernama Islampur, 9 km jauhnya dari sungai itu. Mirza Hadi Beg adalah seorang cerdik pandai, sebab itu oleh pemerintahan pusat Delhi diangkat sebagai Qadi (hakim atau jaksa) untuk daerah sekelilingnya...1 Demikianlah keluarga Barlas itu pindah dari Khurasan ke Qadian untuk selama-lamanya. Selama kerajaan Moghol, keluarga ini senantiasa memperoleh kedudukan yang mulia dan terpandang dalam pemerintahan negara. Setelah jatuhnya kerajaan Moghol keluarga ini tetap menguasai daerah 60 pal sekeliling Qadian, sebagai suatu kerajaan merdeka. Tetapi lambat laun bangsa Sikh mulai berkuasa dan kuat, dan dalam pemerintahan Sikh inilah keluarga Mirza Ghulam menderita kesusahan. Betapa tidak, bukan saja keluarga Mirza Ghulam Ahmad yang menderita kesusahan di bawah pemerintahan Sikh, bahkan semua ummat Islam mengalami penderitaan juga. Namun satu hal yang perlu diulang kembali dari pengalaman-pengalaman keluarga Mirza Ghulam Ahmad yaitu bahwa kerajaannya yang merdeka itu ditengah-tengah kekuasaan Sikh, mulai mendapat cobaan-cobaan yang beruntun. Diceriterakan oleh Ahmadiyah bahwa beberapa suku bangsa Sikh dari Ramgarh setelah mereka bersatu mulai berperang dengan keluarga ini, yakni keluarga Mirza Ghulam. Selama itu buyut dari Mirza Ghulam Ahmad tetap mempertahankan diri dari serangan musuh.2 Ahmadiyah juga mengutip dari bukunya Sir Lepel Griffin "Punjab-Chiefs" yang menceriterakan tentang keluarga Hazrat Ahmad itu sebagai berikut, "Gul Muhammad dan puteranya Ata Muhammad (buyut-buyut Mirza Ghulam Ahmad) terus menerus berperang dengan suku-suku Sikh dari Ramgarh dan Kanhis yang menguasai daerah-daerah sekitar Qadian." Akhirnya suku-suku Sikh itu dapat juga menguasai Qadian dengan jalan mengadakan perhubungan rahasia dengan beberapa penduduk Qadian. Dan semua anggota keluarga ini ditawan oleh Sikh."3 Maka tammatlah riwayat kerajaan merdeka keluarga Mirza Ghulam Ahmad. Bersama kaum Muslimin yang lain, keluarga ini tentu akan mengalami penderitaan-penderitaan yang hebat. Sejarah Islam sudah mencatat bagaimana kaum sikh memperlakukan kaum Muslimin dengan kejamnya. Juga Ahmadiyah menceriterakan cara-cara mereka bertindak dan Mirza Ghulam Ahmad lah yang secara mendetail mengungkap kembali kebuasan-kebuasan mereka. Cucu dari buyut dan kakek yang dikalahkan kaum Sikh ini mulai menceriterakan tentang musuh besarnya kaum Sikh sebagai berikuti "Pemerintahan Sikh mencerminkan kegalakan serta kebuasan. Adat Istiadatnya ialah merampok dan merampas. Mereka sangat benci pada orang-orang Islam. Orang Islam tidak dibolehkan menyerukan adzan dengan suara keras. Mesjid-mesjid dikuasainya dan mereka gunakan untuk membacakan kitab suci mereka yaitu Granth ..." Rasa kebencian di kalangan orang-orang Sikh terhadap orang-orang Islam tak ada hingganya. Orang-orang Islam baik lelaki maupun perempuan bahkan anak-anak mereka bunuh dengan sangat kejamnya. Kampung-kampung orang Islam mereka musnahkan, perempuan-perempuannya diperkosa dan ribuan mesjid telah dimusnahkan." Dan akhirnya mengenai keadaan yang mengerikan itu, Mirza Ghulam Ahmad menulis: "Sampai saat ini kaum Muslimin tak dapat melupakan masa yang ngeri itu, ketika orang-orang Islam sangat menderita dalam tungku yang dinyalakan oleh tangan-tangan kaum Sikh. Oleh karena kebuasan mereka bukan saja keduniaan orang Islam yang rusak binasa, bahkan keadaan keagamaan mereka telah lebih jelek dari itu. Jangankan akan melakukan kewajiban-kewaJiban keagamaan, setengah orang telah dibunuh mati semata-mata karena menyerukan adzan." (surat siaran tgl. 10/7/1900)4 Lebih jauh Hadrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., demikian Ahmadiyah, menulis tentang kebuasan kaum Sikh sebagai berikut: "Barangsiapa yang telah berusia 60 atau 70 tahun tahu benar bahwa kita telah mengalami kekuasaan orang Sikh. Betapa hebatnya melapetaka yang menimpa kaum Muslimin ketika itu bukanlah satu hal yang tersembunyi lagi; dengan mengingatnya saja seramlah bulu roma kita dan gemetarlah jantung kita. Orang Islam dihalangi melakukan amal-ibadat dan kewajiban-kewajiban keagamaan, yaitu satu tugas yang mereka anggap lebih mulia dari jiwa mereka sendiri. Adzan yang menjadi pendahuluan bagi sembahyang itu, tidak mereka bolehkan melakukannya dengan suara keras. Kalau kedengaran seorang muadzdzin mengucapkan "Allahu Akbar" dengan keras walaupun tidak disengaja mereka membunuh muadzdzin itu. Begitu pula mereka berlaku sewenang-wenang dalam soal-soal yang dihalalkan oleh Islam. dalam suatu peristiwa penyembelihan seekor sapi telah dibunuh 5000 (lima ribu) orang Islam yang tak berdaya itu. Seorang sayid yang karena menggores sedikit kulit sapi dengan ujung pedangnya, akan dibunuh, tapi tak jadi, hanya tangan sayid itu dipotong. Mesjid-mesjid mereka jadikan tempat minum ganja, dan tempat kuda mereka." (perselah pertemuan untuk mendoa Desember th. 1900)5 Demikian kejahatan-kejahatan kaum Sikh yang diceriterakan kembali oleh Mirza Ghulam Ahmad dan Ahmadiyahnya. Sungguh suatu malapetaka yang tiada taranya, suatu musibah besar kaum Muslimin India abad 19 masehi. Akan tetapi di dalam bencana, malapetaka, dan musibah besar yang menghantam kaum Muslimin itu, terdapatlah suatu kejadian vang ajaib, unik dan menarik. Dimanakah letaknya keajaiban itu? Jika kita menyusuri kembali jalan kehidupan keluarga Mirza Ghulam Ahmad baik pada masa berperang dengan kaum Sikh maupun sesudahnya, maka disitulah letak dari keajaiban itu terjadi. Sebagaimana diketahui para sesepuh Mirza Ghulam adalah orang Islam yang taat pada agamanya. Kedua, mereka memiliki satu kerajaan merdeka yang cukup lumayan daerah kekuasaannya. Dan ketiga, keluarga Mirza Ghulam ini bertempur melawan kaum Sikh dengan gigih. Dengan sendirinya, baik keluarga Mirza Ghulam Ahmad maupun kaum Sikh, kedua-duanya memandang masing-masing sebagai musuh-besarnya. Maka ketika peperangan antara keduanya itu berakhir dan kemenangan berada di pihak Sikh dengan menguasai Qadian dan menawan seluruh keluarga Mirza Ghulam Ahmad maka apakah gerangan kiranya yang akan dilakukan bangsa Sikh yang biadab itu terhadap keluarga Mirza Ghulam Ahmad? Pasti dan tidak ayal lagi tungku yang dinyalakan oleh bangsa Sikh untuk menggoreng keluarga Mirza ini akan lebih hebat nyala apinya. Bayangkanlah, jika hanya karena adzan keras seorang Muslim dibunuh. Karena menyembelih sapi, limaribu Muslimin dibunuh, maka apakah yang terjadi jika Muslimin keluarga Mirza Ghulam Ahmad ini bermusuhan dan berperang dengan kaum Sikh? Jelas sekali dan tidak ada rasa ragu-ragu lagi untuk menyatakan, bahwa tidak seorangpun dari keluarga Mirza Ghulam Ahmad akan luput dari kematian yang mengerikan. Akan tetapi apa yang terjadi, sungguh diluar logika manusia, diluar dugaan dan diluar kepastian yang mesti terjadi. Itulah sebabnya ada keajaiban telah terjadi pada keluarga Mirza yang tertawan itu. Dan inilah keajaiban itu. Bashiruddin Mahmud Ahmad putera Mirza Ghulam menceritakan sejarah keluarganya sesaat sesudah mereka jatuh ke tangan bangsa Sikh, sebagai berikut: "Setelah semua keluarga ditawan oleh Sikh, maka selang beberapa hari kemudian, keluarga ini diizinkan untuk meninggakan daerah Qadian, dan mereka lalu pergi ke kesultanan Kapurtalah dan tinggal 16 tahun lamanya disana."6 Bayangkanlah sekali lagi, bagaimana bisa terjadi itu? Keluarga Mirza Ghulam Ahmad musuh besarnya kaum Sikh yang kalah perang dan tertawan diizinkan untuk pergi begitu saja. Bagaimana itu bisa terjadi, apa karena kaum Sikh sudah berhasil memiliki kerajaan keluarga Mirza, yang 60 pal sekeliling Qadian itu? Ataukah suatu mu'jizat telah terjadi pada keluarga Mirza karena dari keluarga ini akan lahir sang Brahman avatar atau sang Kreshna Mirza Ghulam Ahmad? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu dicarikan jawaban-jawabannya, sebab jika masih akan dijawab jua, maka jawab dari soal-soal itu adalah: "nonsense" belaka. Namun jika hendak dicari jawaban atas soal-soal itu, maka Ahmadiyahlah yang akan menjawabnya. Dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad yang menjawab: Apa yang telah disampaikan oleh Bashiruddin bukan soal keajaiban, bukan karena kaum Sikh memiliki 60 pal kerajaanya bukan karena ada mu'jizat, dan juga bukan karena akan lahir Sang Kreshna Mirza Ghulam Ahmad, melainkan suatu jawaban yang wajar saja. Sebelum sampai pada jawabannya, sejarah bisa menarik kesimpulan yang konkrit dari pengalaman-pengalaman keluarga Mirza Ghulam Ahmad ini. Jika kaum Sikh telah membunuh anak-anak, kaum wanita dan muslimin begitu kejamnya, sedangkan keluarga Mirza Ghulam Ahmad yang berperang diizinkan pergi begitu saja, maka sejarah tidak akan ragu-ragu untuk menyatakan bahwa sebenarnya keluarga Mirza Ghulam Ahmad tidak pernah mengangkat senjata dan berperang melawan Sikh. Jika mereka pernah mengangkat senjata, maka mereka hanya mengangkat senjata di dalam bentengnya saja, seolah-olah menunggu kaum Sikh. Dan jika kaum sikh telah sampai di Qadian, maka keluarga Mirza ini langsung menyarungkan pedangnya kemudian menyambut kedatangan Sikh dan menyilahkan masuk dan memiliki kerajaannya. Hanya dengan sikap inilah mungkin kaum Sikh bisa lunak pada keluarga Mirza Ghulam Ahmad. Andaikata sikap itu belum memastikan lunaknya kaum Sikh, maka sejarah akan menyatakan bahwa sebenarnya keluarga Mirza Ghulam Ahmad adalah sekongkol kaum Sikh yang membantu dan bahu membahu ketika berhadapan dengan pasukan sabillillah pimpinan syed Ahmad Berelvi. Apakah tidak mungkin dari golongan-golongan Muslim yang membalik membantu Sikh dalam peristiwa pertempuran Balakot itu, terdapat golongan keluarga Mirza Ghulam? Akan tetapi demi kepentingan argumentasi Ahmadiyah, maka pernyataan-pernyataan sejarah itu lebih baik ditinggalkan, sebagai sangkaan-sangkaan belaka. Dengan demikian sejarah belum mempunyai suatu kepastian tentang apa sebab-sebabnya kaum Sikh tidak mengganggu sama-sekali keluarga Mirza Ghulam Ahmad. Masih merupakan satu soal dalam sejarah, dimana Ahmadiyah juga tidak mau menjawabnya. Namun demikian hal-hal yang tersembunyi, pada suatu saat akan dibuka dengan jelas oleh waktu dan keadaan. Pengalaman-pengalaman keluarga Mirza Ghulam Ahmad setelah diizinkan pergi ke Kapurtalah selama 16 tahun disana, merupakan kunci pembuka dari tertutupnya soal yang hampir-hampir tidak bisa diketemukan oleh sejarah Islam itu. Diceritakan oleh Bashiruddin Mahmud Ahmad, bahwa setelah datang zaman kekuasaan dari maharaja RANJIT SINGH yang dapat menguasai semua raja-raja kecil, maka maharaja Ranjit Singh mengembalikan sebahagian dari harta-benda pada ayah Mirza Ghulam Ahmad, yakni Ghulam Murtaza yang berjasa bersama saudara-saudaranya bekerja dalam tentara maharaja tersebut.7 Pada halaman berikutnya, Bashir mengatakan bahwa sesudah Ranjit Singh berkuasa, maka ia lalu memanggil kembali Ghulam Murtaza ke Qadian, dan mengembalikan sebahagian dari warisan kekayaan kepadanya. Oleh karena itu Ghulam Murtaza dengan saudara-saudaranya masuklah dalam tentara kerajaan Ranjit Singh, dan menjalankan kewajiban-kewajiban yang berharga di tapal batas kasmir dan tempat-tempat lain.8 Dari dua cerita yang agak berbeda itu, yang lebih tampak kebenarannya adalah cerita yang pertama. Yaitu karena keluarga Mirza Ghulam Ahmad telah berjasa dalam tentara maharaja Ranjit Singh, maka mereka peroleh kembali sebagai hadiah mengabdi, sebagian dari kekayaannya. Ranjit Singh adalah orang Sikh yang jelas-jelas memusuhi Islam dan ummatnya. Suatu pengabdian keluarga Muslimin pada kaum Sikh adalah perbuatan-perbuatan yang hina. Ahmadiyah telah memberi predikat baik pada raja Ranjit Singh ini. Dikatakan oleh Ahmadiyah bahwa pemerintah Ranjit Singh di zaman kejayaannya dianggap satu kerajaan yang agak baik; akan tetapi pemerintahan Sikh yang sebelum dan sesudah itu boleh dikatakan betul-betul pemerintahan yang mencerminkan kegalakan dan kebuasan bangsa Sikh.9 Ulasan Ahmadiyah itu hanya suatu tipuan kata-kata saja. Agak baiknya raja Ranjit Singh oleh karena keluarga Mirza Ghulam Ahmad termasuk dari tentara sewaannya. Dan agak baiknya lagi, oleh karena kekayaan keluarganya dikembalikan. Diluar keluarga Ahmadiyah sesepuh Mirza Ghulam itu, pasukan Ranjit Singh akan selalu berhadapan dengan kaum Muslimin yang tak berdaya itu, dan seenaknya melakukan pembunuhan-pembunuhan yang kejam. Lebih lanjut peranan apakah yang dilakukan keluarga Mirza Ghulam Ahmad sesudah pemerintahan Ranjit Singh Berakhir (1839)? Menurut Ahmadiyah pemerintahan Sikh sesudah Ranjit Singh merupakan pemerintahan yang galak dan buas terhadap kaum Muslimin.10 Maka sudah sewajarnya bila keluarga Mirza akan menarik diri dari ketentaraan Sikh. Namun pada kenyataannya keluarga Mirza tetap berdinas dalam pasukan Sikh itu. Satu keluarga yang sudah terlanjur berbuat hina dengan jalan mengabdi pada bangsa musyrik yang anti pada Islam, seperti yang dilakukan oleh keluarga Mirza Ghulam Ahmad ini, maka darah yang mengalir dalam tubuh mereka akan meninggalkan noda-noda yang kekal. Dari darah yang bernoda itu akan menonjolkan watak-watak: menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring bahkan memamah daging-daging saudaranya. Keluarga Mirza Ghulam Ahmad adalah contoh yang jelas dari watak-watak itu. Pada waktu pemerintahan Sikh sesudah Ranjit Singh, yakni pada zaman Nao Nihal Singh, waktu pusat kerajaan berada di Lahore, Ghulam Murtaza, ayah Mirza Ghulam Ahmad, selamanya memegang jabatan dalam tentara raja Nihal Singh tersebut.11 Dalam tahun 1841, ia dikirim ke daerah Mandi dan Kulu beserta jendral Ventura. Pada tahun 1842 ia memimpin tentara yang dikirim ke Peshwar, dan dalam kerusuhan di Hezarah ia berjasa besar. Dalam pemberontakan tahun 1848; ia tetap setia pada pemerintah dan beserta saudaranya Ghulam Muhyiddin ikut membantu pemerintah.12 Perlu diketahui bahwa jenderal Ventura adalah jenderal berkebangsaan Perancis yang bersama pasukannya disewa oleh Ranjit Singh maupun raja Sikh sesudahnya, untuk menghantam kaum Muslimin. Mereka, pasukan gabungan Sikh dengan pasukan-pasukan sewaannya yang dipimpin jenderal Ventura itu memukul hebat pasukan Mujahidin Muslimin pada pertempuran di Panjtar.13 Dalam pasukan Ventura itulah Ghulam Murtaza ayah Mirza dan saudaranya mengabdi. Pengabdian pada musyrikin yang anti Islam dengan jalan membunuh sesama saudaranya yang dilakukan keluarga Mirza itu adalah merupakan pengkhianatan pada Islam, pengkhianatan pada ALLAH dan RASUL-NYA. Jika demikian keadaan keluarga Mirza Ghulam Ahmad, mungkinkah dari keluarga yang berkhianat pada Allah dan Rasul-Nya, lahir seorang Mujaddid Islam, seorang Reformer, seorang Imam zaman? Catatan kaki: 1 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Hz. Ahmad a.s., hal. 3. 2 Bashiruddin Mahmud Ahmad, riwayat Hazrat Ahmad a.s., hal. 3/4. 3 idem 4 Abu Bakar Ayub, Bantahan Lengkap Terhadap Tuduhan majallah Gema Islam, I Juli 1962 atas Jemaat Ahmadiyah dan pendirinya, Jakarta, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1962, hal 28/29. 5 idem 6 Bashiruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hazrat Ahmad a.s., hal. 5. 7 Bashiruddin, Riwayat Hazrat Ahmad, hal. 5. 8 idem, hal. 7. 9 M. Abdul Hayee H.P., Ahmadiyah dan Inggris, 1969, Djemaat Ahmadiyah Indonesia, Bandung, hal. 8. 10 idem 11 Bashiruddin Mahmud Ahmad, riwayat Hazrat Ahmad, hal. 7/8. 12 idem 13 Jamiluddin Ahmad, Early Phase of Muslim Political Movement, 1967, Publishers United Ltd, Lahore, hal. 22: (The Sikh led by the French General Ventura, who was in the service of Ranjit Singh; launched an offencive against the Mujahidin at Panjtar). --------------------------------------------- Ahmadiyah Telanjang Bulat di Panggung Sejarah Abdullah Hasan Alhadar PT. Alma'arif, Cetakan Pertama 1980 Jln. Tamblong No.48-50, Bandung Telp. 50708, 57177, 58332 |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |