| |
|
|
|
Bagaimana posisi perempuan menurut Islam?Cukup bagus, bahkan kata perempuan dipakai nama surat dalam Al-Quran yaitu surat An-Nisa' yang biasa disebut Nisa' Kubro, dan surat At-Talaq atau biasa disebut Nisa' Shughra. Lebih dari itu, Al-Quran juga sudah menginformasikan bahwa tinggi rendahnya martabat seseorang dihadapan Allah tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan nilai pengabdian serta ketakwaannya. Pesan sejenis banyak sekali ditemukan dalam Al-Quran. Artinya, pria dan wanita mempunyai derajat yang sama, terutama derajat spiritual. Tapi, kenapa perempuan belum menjadi topik bahasan yang mendalam dalam wacana keislaman?Sebetulnya nggak juga. Ketika sebagian kajian mengakui hak perempuan dalam kehidupan dan menjadikannya sebagai manusia seutuhnya sebagaimana kaum laki-laki, pada sisi lain muncul kajian serupa yang justru cenderung menjatuhkan harkat perempuan. Tapi yang jelas, dalam suatu perjalanan yang panjang, perempuan berupaya untuk mencapai hak-haknya di hadapan masyarakat laki-laki. Kadangkala perempuan memperoleh kemajuan yang pesat dalam perjuangan itu, tapi seringkali harus menghadapi perlawanan dan tantangan yang sangat keras serta kegetiran yang sangat menyakitkan. Meski Al-Quran merupakan kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak bisa terhindar dari sesuatu yang bersifat relatif. Perkembangan historis berbagai mazhab kalam, fikih, dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Pada kurun pertama kebangkitan peradaban Islam sepeninggal Khulafa Al-Rasyidin, sejarah mencatat terjadinya perubahan fundamental dalam struktur kekuasaan kekhalifahan Islam. Dari sistem pemilihan yang demokratis menjadi monarki yang absolut. Bersamaan dengan degradasi politik rakyat ini, terjadi pula degradasi sosial kedudukan perempuan. Begitu sistem monarki, raja-raja daulah Islamiyah mengambil alih sistem pergundikan yang non-Islami itu. Dalam hukum fikih, perempuan juga terkesan hanya subordinat laki-laki, kenapa bisa begitu?Memang itu sebuah realitas yang masih patut dikaji ulang. Bahkan hampir semua kitab fikih terkesan sepakat menempatkan perempuan secara instrumental, bukan substansial. Ketidakhadiran perempuan dalam budaya di mana fikih dirumuskan, hanya diartikan dengan ketiadaan substansi perempuan dalam Islam. Lebih dari itu, perempuan juga sering dipandang lebih rendah dibanding laki-laki. Bahkan menurut Al-Allamah Al-Nasafi, kelebihan lelaki dibanding perempuan adalah pada akalnya, keteguhan hati, pola pikir, kekuatan fisik, kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan shalat, adzan, khutbah, jamaah, jum'ah, takbir pada hari tasyrik. Pandangan negatif mengenai perempuan ini menjadi pembenar bagi struktur dominasi laki-laki dalam keluarga. Nasib perempuan amat bergantung pada struktur kepribadian suami, seperti halnya nasib rakyat tergantung pada raja. Kenyataan ini terjadi sampai menjelang runtuhnya peradaban Islam kurun kedua di akhir Perang Dunia I dengan jatuhnya Daulat Usmaniyah di Turki. Setelah Perang Dunia II yang diikuti oleh kemerdekaan beberapa negara Islam, kaum wanita mulai berlomba untuk mengejar ketertinggalannya, misalnya melalui gerakan emansipasi. Dengan kata lain, wilayah perempuan bukan hanya dalam keluarga, tapi juga bidang publik yang lain. Bagaimana dengan tafsir Al-Quran yang dinilai masih terlalu bias gender?Jelas ada perbedaan kontekstual. Penafsiran Al-Quran yang dihasilkan para ulama terdahulu, secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap penafsiran era berikutnya, termasuk di Indonesia. Sementara itu, disadari atau tidak, konteks dahulu pada saat penafsiran berbeda dengan konteks Indonesia saat ini. Penafsiran para mufassir besar terdahulu mungkin relevan untuk saat itu, tapi untuk saat ini memerlukan kajian lebih lanjut. Salah satu perbedaan konteks tersebut, misalnya, peluang bagi wanita untuk memperoleh pendidikan memadai, diberikan kesempatan untuk bersikap kritis dan tidak begitu saja menerima sistem, budaya serta nilai yang dianggap merugikan mereka. Karena perbedaan konteks itulah, dibutuhkan penafsiran ulang terhadap ayat-ayat Al-Quran agar relevan dengan konteks saat ini, namun senantiasa mengacu pada ajaran Islam yang fundamental. Seperti apakah metodologi penafsiran yang dapat mengakomodasi nilai-nilai kontekstual?Ya, semisal metodologi feminisme. Melalui cara ini, pendekatan dilakukan dengan memberikan penekanan pada kaum wanita dan posisi mereka dalam masyarakat serta membandingkannya dengan penekanan kaum pria pada metodologi lainnya. Yang jelas, ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya metodologi feminisme ini. Di antaranya karena andocentricity, maksudnya bahwa dunia ini senantiasa dipandang dan dipahami dari sudut pandang kaum pria. Dalam pandangan ini, wanita hanya digambarkan sebagai obyek yang pasif dibanding sebagai manusia yang dapat bertindak sebagai subyek. Hal ini dapat mengakibatkan dua hal, pertama suatu keadaan di mana kaum wanita terabaikan dan keadaan di mana merebaknya kebencian terhadap wanita. Pada metodologi ini, diharapkan wanita menjadi peneliti utamanya, karena hanya wanitalah yang dianggap benar-benar mengerti kaum wanita dan situasi mereka. Bagaimana peluang wanita menjadi pemimpin yang sekaligus menjadi salah satu simbol emansipasi itu?Ada tiga alasan yang memunculkan larangan keterlibatan wanita dalam bidang kepemimpinan. Pertama, surat An-Nisa' ayat 34. Kedua, Hadis Nabi yang menyatakan bahwa perempuan kurang cerdas dibandingkan laki-laki, begitu juga dalam sikap keberagamaan mereka. Ketiga, Hadis yang menyatakan, tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan. Ketiga dalil in saling kait mengkait dalam memperkuat argumentasi ketidakbolehan wanita memegang tampuk pimpinan. Namun, dalil-dalil tersebut oleh para mufassir kontemporer tidak diterjemahkan secara kaku begitu. Hal itu mengingat bahwa kata Ar-rijal itu bukan berarti laki-laki secara umum, tapi suami karena ayat itu konteksnya kehidupan rumah tangga. Artinya, penafsiran Al-Quran dan Hadis itu juga harus kontekstual, bukan semata-mata tekstual belaka. Menurut Anda, apakah kajian tentang kedudukan perempuan itu masih kurang dalam literatur Islam?Masih, oleh karena itu perlu ditingkatkan lagi. Saya kira perlu dilakukan penelitian lebih jauh terhadap penafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berbias pria yang selama ini diterima begitu saja. Penelitian ini sangat penting karena akan mengundang para pembacanya untuk bersikap lebih kritis terhadap apa yang dianggap "ajaran Islam" yang ada, yang mungkin sebenarnya berasal dari budaya sebelum Islam dan bertentangan dengan ruh Islam. Selain itu, banyak juga penafsiran yang cenderung membatasi peran wanita pada lingkup domestik saja, dan menganggap posisi wanita lebih rendah dibandingkan pria. Akibatnya, potensi wanita sebagai manusia tidak dapat diaktualisasikan dengan semestinya. Kajian tentang perempuan ini menjadi penting untuk memberdayakan kaum wanita, untuk membiarkan mereka mengetahui bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan pria dalam agama, juga dalam hal memutuskan apa yang mereka inginkan. Pemberdayaan ini akan berguna untuk kepentingan yang lebih luas. Contoh kesadaran untuk ber-KB itu menunjukkan bahwa mereka merasa punya hak atas badan mereka sendiri, serta berhak ikut menentukan pengaturan memiliki anak. (mms) *Wawancara di atas diambil dari Republika, Jum'at, 25 Agustus 2000.
|
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |