Orang-orang yang memegang kekayaan dan memonopoli harta,
akan terseret (sepanjang catatan sejarah) kepada tindakan
aniaya dan kesombongan diri. Sehingga membuat mereka selalu
menjadi kelompok yang memusuhi rasul-rasul dan risalah
langit:
"Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya
mereka telah mendurhakai-ku, dan telah mengikuti orang-orang
yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya
melainkan kerugian belaka." [Nuuh: 21].
Para penganjur kemusyrikan di tengah kaum Nabi Syu'aib
a.s. adalah orang-orang yang banyak memiliki kekayaan, dan
orang-orang yang membebaskan dirinya dari segala ikatan
untuk memilih dan memonopoli apa mereka kehendaki:
"Mereka berkata: "Hai Syu'aib, apakah agamamu
yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah
oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang
kami kehendaki tentang harta kami." [Huud: 87].
Sebagaimana halnya tindakan memonopoli harta telah
menjerumuskan Qarun menjadi orang yang sombong dan angkuh,
sehingga ia membebaskan dirinya (dalam hubungannya dengan
harta) dari ikatan-ikatan dan aturan kekhalifahan, dan
membuat ia tidak puas dengan "bagiannya" dari dunia ini. Ia
malah tenggelam dalam kenikmatan dunia, dan menjadi orang
yang berlebihan. Al Quran juga mengajarkan kepada kita,
bahwa tindakan berlebihan ini, yang biasanya disebabkan oleh
sikap memonopoli harta dan kekayaan, juga menjadi faktor
yang membawa kepada kemunduran dan kehancuran masyarakat,
dan peradaban-peradaban. Ini adalah sunah dan undang-undang
Allah SWT dalam tatanan sosial dan peradaban manusia. Bahwa
keruntuhan dan kehancuran suatu kampung, negeri, masyarakat
atau peradaban, dan lenyapnya mereka, selalu disertai dengan
tindakan monopoli dan oligopoli sebagian anggota masyarakat
itu:
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu
negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya menta'ati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami),
kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." [Al
Israa: 16]
Di antara ulama qiraat Al Qur'an ada yang membaca
"ammarnaa" (dengan tasydid mim) artinya Kami jadikan
orang-orang yang berlebihan itu, yang memonopoli kekuasaan
harta, sebagai pejabat dan pemerintah. Artinya, mereka
akhirnya juga menjadi monopolis kekuasaan!!...
Oleh karena itu, orang-orang yang berlebihan, selalu
menjadi musuh para Rasul, risalah-risalah langit, mereka
yang membawa misi pembaruan, pembangunan, serta keamanan
bagi masyarakat berperadaban, dalam seluruh umat dan bangsa.
Bahkan sikap permusuhan mereka ini --seperti disinyalir Al
Qur'an-- telah menjadi undang-undang tersendiri!...
"Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri
seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami
mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya". Dan
mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan
anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan
diazab." [Saba: 34-35]
"Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara
kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat
(kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan
di dunia: "(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti
kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari
apa yang kamu minum. Dan sesungguhnya jika kamu sekalian
mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian,
kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi." [Al
Mu'minuun: 33-34].
Orang-orang yang berlebihan biasanya, adalah musuh
pembaruan peradaban, pembela kebekuan sesuatu yang telah
jelas rusaknya, dan taklid yang mengagungkan realitas yang
zhalim:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri,
melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu
berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka." [Az Zukhruf: 23]
Ketika kemewahan penduduk suatu negeri menjadi penghalang
untuk menciptakan pembaruan peradaban dan reformasi
pembangunan, hal itu menjadi "kejahatan" bagi masyarakat
manusia. Apalagi jika perilaku sehari-hari penduduk penuh
dengan bermacam pelanggaran atas norma-norma. Kemewahan itu
menguasai penduduk itu, sehingga ia menjadi suatu kekuatan
yang mendorong orang-orang yang menzhalimi dirinya sendiri
untuk melakukan kejahatan dan mengikuti perilaku orang-orang
jahat:
"dan orang-orang yang zalim hanya
mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan
mereka adalah orang-orang yang berdosa." [Huud: 116]
Bahkan di antara mereka ada yang merasa dirinya memang
berhak untuk melakukan monopoli. Sehingga setelah mereka
memonopoli kekayaan, mereka ingin pula memonopoli kenabian
dan risalah:
"Dan mereka berkata: "Mengapa Al Qur'an ini
tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua
negeri (Mekah dan Thaif) ini [Yaitu Walid bin Mughirah
--pembesar Mekkah-- dan Isa bin Mas'ud ats Tsaqafi
--pembesar Thaif.]? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? " [Az Zukhruf: 31-32].
Sebagaimana halnya mereka merasa diri mereka berhak
(setelah memopoli harta kekayaan) untuk memonopoli kekuasaan
(untuk melengkapi monopoli kekayaan dengan monopoli
kekuasaan):
"Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu".
Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal
kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya,
sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" [Al
Baqarah: 247].
Itu semua adalah perilaku orang-orang yang berlebihan,
yang memonopoli harta kekayaan, sehingga mereka keluar dari
koridor manhaj Islami dalam mengemban amanah harta kekayaan.
Dan mereka membawa masyarakat mereka menuju kebinasaan, saat
mereka menempatkan ketakutan sebagai ganti keamanan atas
penghidupan manusia. Ayat-ayat Al Qur'an telah menceritakan
tentang mereka itu, dan akibat yang dihasilkan oleh sikap
bermewahan mereka. Yang pengaruhnya tidak hanya menimpa
orang-orang yang berperilaku mewah itu, namun juga menimpa
orang-orang yang menjilat sistem yang bermewah-mewahan, atau
orang-orang yang membiarkannya tanpa berusaha merubahnya:
"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara
kamu" [Al Anfaal: 25].
"Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang
telah Kami binasakan, dan Kami adakan sesudah mereka itu
kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka
merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari
negerinya. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu
kepada ni'mat yang telah kamu rasakan dan kepada
tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya.
Mereka berkata: "Aduhai, celaka kami, sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang zalim". Maka tetaplah demikian
keluhan mereka, sehingga Kami jadikan mereka sebagai tanaman
yang telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi." [Al
Anbiyaa: 11-15]
"Hingga apabila Kami timpakan azab, kepada orang-orang
yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka
memekik minta tolong. Janganlah kamu memekik minta tolong
pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat
pertolongan dari Kami. Sesungguhnya ayat-ayat-Ku (Al Qur'an)
selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu
berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al
Qur'an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji
terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari." [Al
Mu'minuun: 64-67]
"Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam
(siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas yang
mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan
tidak menyenangkan. Sesungguhnya mereka sebelum itu hidup
bermewah-mewah." [Al Waaqi'ah: 41-45]
"Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya
cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak
Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan
hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa."
[Al Lail: 8-11]
Orang-orang yang bermewah-mewahan itu pada akhirnya akan
mengalami kehancuran dan kebinasaan. Dan kekayaannya menipu
dirinya, sehingga ia menzhalimi dirinya sendiri dan berkata
kepada temannya:
"Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan
pengikut-pengikutku lebih kuat". Dan dia memasuki kebunnya
sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: "Aku
kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku
tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika
sekiranya aku di kembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan
mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun
itu." [Al Kahfi: 34-36]
Padahal, kekayaan mereka itu tidak akan memberikan
manfaat apa-apa pada hari kiamat. Tidak pula kekuasaan yang
mereka raih dengan kekayaan itu. "Adapun orang yang
diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia
berkata: "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan
kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku, Wahai kiranya kematian itulah yang
menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak
memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku."
[Al Haaqqah: 25-29].
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia
akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak." [Al Masad: 1-3].
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira
bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak!
Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam
Huthamah." [Al Humazah: 1-4].
Dalam sunnah, Fir'aun (yang telah memonopoli kekayaan dan
kekuasaan) dilukiskan sebagai seorang "jabbaar mutrif"
'diktator yang bermewah-mewahan' [Hadits diriwayatkan oleh
imam Ahmad]. Dan melukiskan orang-orang yang mengikuti
sunnah serta moderasi Islam sebagai:
"Orang-orang yang tidak mengikuti orang-orang
yang bermewah-mewahan dalam kemewahan mereka, serta tidak
pula mengikuti para pembuat bid'ah dalam kebid'ahan mereka."
[Hadits diriwayatkan oleh Ad Darimi].
Tentang hal itu juga terdapat keterangan Al Qur'an, yang
menceritakan tentang orang-orang yang memonopoli kekayaan.
Yang menimbun harta melebihi dari kebutuhan-kebutuhan
pribadi, sehingga tindakan mereka itu menghalangi manusia
untuk mendapatkan manfaat dari amanah kekayaan yang
diberikan oleh Allah kepada mereka.
Abu Dzarr al Ghifari berkata: " Aku datang
kepada Nabi Saw. Saat itu beliau sedang duduk di bawah
bayangan Ka'bah. Ketika beliau melihatku, beliau bersabda:
"Demi Rabb yang menguasai Ka'bah, mereka adalah orang-orang
yang merugi!. Aku bertanya: Siapakah mereka, wahai
Rasulullah? Beliau bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang
memperbanyak (dan menimbun) harta mereka, kecuali orang yang
berkata seperti ini, seperti ini dan seperti ini (di
depannya, dari belakangnya, dari sisi kanannya dan dari sisi
kirinya)-- namun orang yang seperti itu amat sedikit"!
[Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan An Nasai]
Maksudnya, kecuali orang-orang yang memberikan nafkah
kepada orang yang berada di kanannya, di kirinya, di
depannya dan orang yang berada di belakangnya. Ia
membagi-bagikan harta yang lebih dari kebutuhannya kepada
manusia.
|