Cemeti: Pengampunan di Musim Panas

oleh Pungkas Bahjuri Ali

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Bagian 1. Memasuki Gerbang Kota

Suatu siang di musim panas, 2 Oktober 1187 M, Kota Jerusalem telah dikepung dari segenap penjuru kota. Segala sisi kota telah dipenuhi oleh 10.000 tentara. Tidak ada satupun celah yang bisa dipakai meloloskan diri dari kepungan ini. Tembok benteng kota yang tinggi menjulang merupakan halangan tak tertembus oleh penduduk untuk lolos dari kepungan. Sementara di luar pintu-pintu gerbang pun telah terkepung rapat. Beberapa Mangonel(pelontar batu-batu besar dan tombak yang ditujukan untuk menghancurkan barikade dan tembok benteng) telah berjajar menghadap tembok kota. Dinding benteng sebelah utara perlahan berderak roboh oleh panasnya api yang disulut pasukan khusus. Dengan sekali teriakan tentara padang pasir itu pasti akan menyerbu dengan gegap gempita.

Apa yang dirasakan 60.000 penduduk dalam kota Jerusalem? Mereka dalam ketakutan yang luar biasa. Mereka tidak mempunyai tentara. Yang ada hanya wanita dan anak-anak yang jumlahnya 50 kali lipat kaum pria, itupun hanya beberapa yang pernah memegang senjata. Perlawanan hanya dipimpin oleh seorang bernama Balian of Ibelin, yang dengan 500 ksatria lainnya pun tak bisa mengalahkan musuh di lembah Hattin. Dapatkah kota ini dipertahankan?

Saat ini adalah abad pertengahan. Abad kegelapan Eropa. Peperangan dan perebutan kekuasaan ada di mana-mana. Setiap perbuatan, dari perang sampai perkawinan adalah manuver bagi kekuasaan. Sesuatu yang diwariskan kepada kita hingga sekarang. Yang menang merampas, membunuh dan menghancurkan dengan terang-terangan atau berkedok. Yang kalah dijual, dibunuh atau dihancurkan.

"Mari kesini anak-anakku," Ditengah ketakutan itu, para wanita di Jerusalem segera memanggil anak-anak gadis mereka.

Lalu diambillah oleh mereka gunting dan dicukurnya rambut gadis-gadis itu, pendek atau gundul. Baju laki-laki dikenakan dan badan dibalut dengan lumpur dan kotoran. Mudah-mudahan mereka tidak menarik perhatian para tentara.

Bayangan kengerian hadir dipelupuk mata. Balas dendam apa yang akan mereka terima? Terbayang bagaimana seabad lalu mereka datang dari Eropa dan menaklukan kota setelah membantai puluhan ribu tentara, penduduk dan anak-anak. Memperkosa gadis-gadis dan merampas semua harta. Mengusir siapa yang berbeda asal atau berbeda agama.

"Kill one, you are a murderer, kill a million, conquerer," demikian sebuah pepatah modern mengatakan.

Namun tidak demikian perasaan 5.000 tawanan muslim dan ribuan Yahudi dalam kota. Demikian pula halnya dengan ribuan Kristen Ortodok Timur. Mereka justru menyambut kepungan dengan suka cita karena selama ini mereka selalu menderita dan disingkirkan dari gereja-gereja oleh oleh penguasa Kristen Latin yang disebut kaum Frank. Mereka tahu ini para pengepung adalah tentara akan membuka gerbang kebebasan. Mereka tahu itu, karena yang mengepung tak lain dari pasukan Syria di bawah komando Salahuddin bin Jusuf, pahlawan Perang Hattin, pemersatu tentara Islam di kawasan Syria dan Mesir.

Seorang pemimpin welas asih yang jujur dan bisa dipegang keadilan dan kata-katanya. Atas kemurahan hatinyalah pula Balian of Ibelin diijinkan menembus barikade dan masuk ke Jerusalem untuk mengungsikan keluarganya.

"Engkau hanya akan berada di Jerusalem selama satu malam dan Engkau tidak akan mengangkat senjata melawan kami", demikian syarat yang diajukan Salahuddin.

Akan tetapi ketika di Jerusalem, dia justru didaulat untuk memimpin pasukan, karena hanya dialah pemimpin sisa perang Hatin yang ada. Balian menjadi bimbang. Bagaimana sumpahnya kepada Salahuddin? Namun ia tahu, pimpinan macam apa Salahuddin itu. Dikemukananlah dilemanya kepada Salahudin, musuhnya. Bagi Salahuddin ini adalah peperangan yang berdasar keyakinan. Masing-masing pihak berperang dengan semangat roh agamanya masing-masing. Maka dengan kemurahannya sekali lagi, ia bebaskan Balian dari sumpahnya. Malah ia ungsikan Quen Maria, istri Balian, dan Thomas anaknya dari Jerusalem dengan terlebih dahulu mengundang mereka makan di tenda lalu diberi berbagai hadiah dan diantarkan hingga kota Tripoli.

Bagian 2. Pembebasan

Peristiwa berikutnya adalah salah satu tonggak dalam sejarah yang tidak gampang mencari bandingannya. Setelah dikepung selama 2 minggu, tembok kota runtuh. Balian tahu, mereka tak mungkin lagi melawan. Jerusalem pun menyerah. Tentara Islam memasuki Jerusalem tanpa perlawanan, melalui sebelah utara kota, dimana sebuah salib besar dipancangkan oleh agresor seabad yang lalu, ketika mereka memasuki Jerusalem.

Dengan kebiasaan hukum perang waktu itu, sebenarnya Salahuddin berhak memasuki kota dengan status menaklukkan, bukan penyerahan. Tak terkirakan besarnya keuntungan politik yang akan diraih Salahuddin apabila ia memasuki kota dengan kekuatan dan penghancuran. Karena dengan demikian ia dan tentaranya berhak atas seluruh penduduk kota dan harta kekayaannya.

Tapi menaklukan tidak berarti membunuh dan menjarah. Perang ini dilakukan atas nama agama, karenya iapun harus membawa nilai kedamaian yang diajarkan. Ia menerima kekalahan musuhnya dengan status menyerah. Apa ini artinya? Ia tak punya hak menguasai harta, selain dengan apa yang telah tertuang dalam perjanjian. Kekayaan kota yang ratusan ribu dinar pun harus melayang.

Musuh diberi kesempatan 40 hari untuk meninggalkan kota dengan segala harta bendanya setelah membayar uang tebusan, laki-laki 10 dinar, wanita 5 dinar dan anak-anak 1 dinar. Gadis-gadis yang telah bercukur pun bebas meninggalkan kota tanpa diganggu, bahkan dikawal sampai tempat tujuan. Orang-orang kaya dipersilakan membawa hartanya masing-masing. Mereka yang miskin dibebaskan tanpa bayaran. Yang ingin tinggal tidak ada halangan, walaupun beda kepercayaan. Tak heranlah jika Kristen Ortodok dan golongan Jahudi menyambut penaklukan Jerusalem kali ini dengan suka cita.

Patut kita kenang sebuah fenomena unik di jaman kegelapan ini. Unik karena di tengah kultur abad pertengahan, yang seperti ini tidaklah wajar. Unik karena dicatat dengan manis dalam sejarah tidak saja oleh sejarawan Islam, tapi sejarah Eropa dan Kristiani. Betapa besar pengampunan dan kedermawanan Salahudin kepada kawan sendiri maupun lawan, kepada rakyat maupun penguasanya. Ketika setelah 40 hari lewat, ternyata masih banyak yang belum bisa membayar tebusan, maka dibebaskanlah puluhan ribu mereka yang mampu. Siapa lagi yang akan membebaskan mereka yang tak berdaya selain dari penguasa?

Sungguh berlawanan sekali dengan sifat para agressor dan penguasa lama yang hanya mengurusi hartanya sendiri bahkan menindas bangsanya sendiri. Ketika tiba saat yang genting, yang terpikir adalah harta sendiri. Wajar, tapi tak benar. Heraclius, misalnya, sebagai pemimpin gereja Jerusalem, mengungsi setelah membayar tebusan 15 dinar untuk diri dan istrinya. Ia penuhi keretanya dengan emas, perak dan segala harta bendanya, termasuk apa yang diambilnya dari gereja Al-Qiyama. Semantara itu kaum papa yang tak mampu membayar, ditinggal di belakangnya dalam kebingungan.

Melihat tingkah Heraclius ini para panglimanya meminta Salahuddin untuk bertindak. Namun Salahuddin hanya berkomentar: "Aku lebih senang melihat mereka mematuhi perjanjian, sehingga mereka tidak menuduh Muslim melanggar janjinya, tetapi akan memberitahukan kepada yang lain akan kehormatan kita."

Penaklukan seringkali yang diiringi dengan tragedi. Tetapi penaklukan Jerusalem 2 Oktober 1187 (bertepatan dengan tanggal 27 Rajab) oleh Salahudin adalah pembebasan dan pengampunan kepada musuh-musuhnya. Sebuah barang langka baik di masa abad kegelapan maupun jaman sekarang. Siapa yang begitu bermurah hati mengampuni musuh yang telah menghancurkan, mengusir dan membunuhi puluhan ribu rakyat tak berdosa. Siapa yang akan membiarkan musuh mengungsi membawa ratusan ribu dinar di depan hidung kita? Siapa yang mempunyai rasa ma'af melebihi nafsu amarahnya?

Salahudin hanya ingin masuk ke Jerusalem mengikuti ajaran pembawa Islam SAW yang juga memasuki kota suci ini dalam Isra' Mi'raj-nya ratusan tahun sebelumnya. Mereka yang memasuki Jerusalem dengan pengampunan akan dicatat dengan tinta emas dan mereka yang welas asih akan dido'akan.

Sebenarnya masih banyak lagi catatan indah Salahuddin. Namun rasanya cukuplah dulu kali ini, karena seandainya sikap seperti itu hidup di jaman kini, cukuplah bumi ini damai dibuatnya.

Troy NY, May 13, 2000
pungkas ali


Date: Sun, 14 May 2000 21:55:12 -0400 From: Pungkas Bahjuri Ali <alip@rpi.edu> To: mus-lim@isnet.org

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team