Dikotomi Sunni-Syi'ah
Tidak Relevan Lagi (1/3)

oleh Jalaluddin Rakhmat

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

TANYA: Ada yang bilang bahwa Syi'ah di Indonesia itu sebenarnya bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya saja mungkin ia tidak tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang Jalal melihat perkembangan Syi'ah di negeri ini?

JAWAB: Ada beberapa teori tentang kedatangan Syi'ah di Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi'ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan --dibawah pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir-- sampai ke Yaman. Mereka menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini dimuat dalam beberapa kitab Syi'ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir, waktu itu mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, "Wahai saat ini kita ganti perjuangan kita dengan pena É"

Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi'i. Mereka bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab Syafi'i di daerah Yaman, Hadramaut. Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama, pada kata 'Hadramaut' ditulis: sukkanuha syi'iyyuna syafi'iyyuna; penduduknya orang-orang Syi'i yang bermazhab Syafi'i. Saya kira Munjid itu merekam mereka. Dari Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum 'Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam. Tetapi ketika mereka datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi'i, di dalam, mereka Syi'i.

Belakangan ada bukti-bukti lain yang memperkuat teori ini. Misalnya, pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU secara kultural adalah Syi'ah. Hal itu karena tradisi Syafi'i di Indonesia --berbeda dengan tradisi Syafi'i di negeri-negeri lain-- sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syi'ah. Ada beberapa shalawat khas Syi'ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi'ah. Tradisi itu lahir di sini dalam bentuk mazhab Syafi'i. Jadi di luarnya Syafi'i di dalamnya Syi'i.

Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syi'ah --bukan khas Syafi'i-- yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempatpuluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Itu tradisi Syi'ah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi'i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jum'at sering dibacakan shalawat diba'. Pada shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi'ah yang dua belas. Dan itu mereka lakukan setiap malam Jum'at, seperti pembaruan bai'at, kepatuhan pada dua belas Imam.

Untuk memperkuat itu, ada juga kebiasaan orang-orang Indonesia yang menganut mazhab Syafi'i untuk menghormati --kadang-kadang secara berlebihan-- keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai Ahlul Bait. Saya sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi'ah, Ahlul Bait itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma'shum. Jadi, tidak semua keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa. Kepercayaan itu merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam.

Kemudian di Surabaya ada seorang peneliti (kalau tidak salah namanya Agus Sunyoto) dari sebuah lembaga penyiaran Islam (nama lembaganya saya lupa; dipimpin oleh Dr. Saleh Jufri), yang pernah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur. Ia menemukan bahwa kuburan-kuburan itu adalah kuburan-kuburan orang Syi'ah. Ia punya dugaan keras bahwa Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia itu Islam Syi'ah. Kemudian, Ali Hsymi juga pernah menulis buku tentang Syi'ah di Indonesia dan ia punya teori bahwa Isalm yang pertama datang ke Indonesia ini adalah Islam Syi'ah. Menurut Agus Sunyoto, sebagian besar dari wali yang sembilan itu adalah Syi'ah, kecuali satu (kalau tidak salah Sunan Kalijaga atau entah siapa, saya tidak ingat betul; itulah yang suni). Itu dari segi bukti-bukti sejarah.

Teori kedua, Islam yang datang ke Indonesia itu Islam Sunni. Tetapi kemudian Syi'ah masuk terutama melalui aliran-aliran tarekat. Soalnya, dalam tarekat, Syi'ah dan Sunni bertemu sudah sejak lama. Ambillah contoh tarekat Qadriyyah-Naqsabandiyyah. Silsilahnya bersambung kepada imam-imam Syi'ah. Sisilahnya begini: dari Allah, Malaikat Jibril, Rasulullah, Ali, Husain, Ali bin Husain, terus kepada Imam Syi'ah sampai Imam Ali Ridha. Dari situ barulah keluar kepada silsilah yang lain. Tetapi tujuh atau delapan yang awal itu adalah para imam Syi'ah.

Tampaknya, menurut teori kedua ini, Islam yang datang ke Indonesia ialah Islam Sunni. Tetapi, karena Islam yang pertama datang itu Islam yang bersifat mistikal, maka pengaruh-pengaruh Syi'ah masuk lewat Islam yang mistikal itu. Ritus-ritus yang disebutkan tadi tidak menunjukkan bahwa Syi'ahlah yang pertama datang ke Indonesia. Itu hanya sekedar menunjukkan adanya pengaruh Syi'ah yang masuk ke dalam pemikiran Ahlussunnah lewat Syafi'i. Ada juga yang punya teori Islam itu dulu pernah disebarkan ke Indonesia lewat orang-orang Persia. Ada yang menyebutkan mereka juga pernah tinggal di Gujarat, di India Barat yang kebanyakan adalah Syi'ah.

Teori ketiga, Syi'ah itu baru datang setelah peristiwa Revolusi Islam Iran (RII), dimulai antara lain dengan tulisan-tulisan Ali Syariati dan disusul dengan tulisan-tulisan pemikir Islam Iran lain. Sebetulnya, banyak orang yang terpengaruh Syi'ah hanya kerena peristiwa RII. Belakangan, kadang-kadang orang mendefinisikan Syi'ah sebagai siapa saja yang bersimpati terhadap RII. Misalnya, Mas Amien Rais, pernah menerima gelar Syi'ah juga. Bahkan sebuah buku kecil pernah ditulis tentang ciri ke-Syi'ah-an Amien Rais. Saya kira sebabnya sederhana saja: karena mas Amien Rais memang sering memuji RII. Boleh jadi ada juga orang yang menyebut mas Dawam Rahardjo itu Syi'ah, karena ia sangat apresiatif terhadap Iran, sampai seringkali memuji-muji ulama Iran.

TANYA: Sementara ini ada dugaan bahwa di antara empat mazhab fikih (Sunni), tampaknya yang paling dekat dengan Syi'ah adalah mazhab Syafi'i. Misalnya, Imam Syafi'i sendiri pernah mendapat tuduhan dari ulama-ulama lain bahwa dirinya itu Syi'ah. Bagaimana pendapat Kang Jalal?

JAWAB: Salah satu dugaan yang mungkin bisa kita pahami sebagai argumentasi untuk menolak Syi'ah yang berbaju Syafi'i ialah kenyataan bahwa Imam Syafi'i itu sangat simpatik terhadap Syi'ah. Banyak syairnya tentang mazhab Ahlul Bait. Dalam syair-syair itu tampak jelas simpati Imam Syafi'i kepada Sayyidina Ali. Misalnya, "Keluarga Rasulullah wasilahku", atau "Aku mengendarai perahu Ahlul Bait", atau ada dikatakan "Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi'ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi'ah." Dan masih banyak lagi

Jadi argumentasinya bukan bahwa Islam yang datang ke Indonesia itu Syi'ah yang berbaju Syafi'i, tetapi memang mazhab Syafi'i. Sebab Imam Syafi'i memang sangat simpatik terhadap Syi'ah. Menurut riwayat, Imam Syafi'i itu pernah diseret dari Hijaz ke Syria dalam belenggu besi dan dihadapkan kepada Harun al Rasyid. Satu demi satu kawannya 'dipotong' dan hanya Imam Syafi'i yang selamat. Konon, Imam Syafi'i itu diseret karena simpatinya terhadap Syi'ah.

Sebagian malah menduga bahwa Imam Syafi'i sebetulnya bukan hanya simpati, tetapi juga termasuk orang yang berpaham Syi'ah. Jalaluddin al Suyuti, yang menulis tafsir Al Dur al Mantsur fi al Tafsir bi al Ma'tsur, juga dicurigai sebagai Syi'ah hanya karena banyak meriwayatkan tentang keutamaan keluarga Nabi. Hal seperti itu tidak baru pada Syafi'i. Banyak ahli hadits yang juga dituduh sebagi Syi'ah hanya karena banyak meriwayatkan tentang keutamaan keluarga Nabi. Al Turmudi, misalnya, dikeroyok orang, malah tubuhnya diinjak-injak sampai meninggal dalam perjalanan, hanya karena meriwayatkan keutamaan sayyidina Ali. Al Turmudzi itu perawi hadis di kalangan Ahlu Sunnah. Ada seorang perawi hadis, ulama besar, namanya Sulaiman al-A'mas. Ia termasuk salah seorang rijal dalam Shahih Bukhari. Al A'mas juga dituduh sebagai Syi'ah karena meriwayatkan tentang sayyidina Ali. Ketika dipanggil Al Mansur, ia hampir dihukum mati.

Imam Syafi'i boleh jadi bukan Syi'ah. Ia seorang yang dengan pemikiran ilmiahnya harus meriwayatkan hadis-hadis tentang Ali. Dari Imam Syafi'i lah misalnya keluar ucapan, "Ajaib benar hadis-hadis tentang Ali. Musuh-musuhnya tidak ingin meriwayatkannya, karena kebenciannya. Para pengikutnya juga tidak ingin melaporkannya, karena ketakutan mereka. Walaupun begitu, hadis-hadis tentang keutamaan Ali memenuhi di antara dua jilid (maksudnya hadis-hadis itu bisa dikumpulkan menjadi satu buku yang tebal)."

TANYA: Dari penjelasan Kang Jalal tadi, tampaknya definisi atau identifikasi tentang Syi'ah di Indonesia itu masih kabur. Menurut Kang Jalal sendiri bagaimana?

JAWAB: Memang sulit kita mengidentifikasikan Syi'ah di Indonesia ini. Dr. Farid Alatas (keponakan Prof. Dr. Naquib Alatas) pernah melakukan penelitian tentang Syi'ah di Indonesia. Ia mengalami kesulitan untuk mendefinisikan Syi'ah itu. Jadi kalau saya 'misalnya' ingin meneliti Syi'ah di Indonesia, saya harus mengenal populasinya. Siapa yang akan saya wawancarai itu. Tentu haruslah orang-orang Syi'ah di Indonesia. Nah, itu sulit definisinya. Karena itu, juga sulit untuk menghitung berapa jumlahnya di Indonesia.

Di sini saya ingin sebutkan beberapa definisi tentang Syi'ah di Indonesia. Pertama, Syi'ah itu adalah orang-orang yang meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Syi'ah seperti ini banyak. Boleh jadi masuk ke dalamnya Syi'ah Zaidiyyah yang memang punya akar di Indonesia. Ada juga beberapa orang di antara 'Alawiy yang merupakan pengikut Syi'ah Zaidiyyah. Markasnya di Yaman. Mereka tidak menjalankan ritus-ritus Syi'ah, tetapi akidahnya Syi'ah.

Kedua, orang Syi'ah adalah orang yang memegang akidah dan juga menjalankan ritus-ritus Syi'ah. Fiqihnya juga fikih Syi'ah. Saya tidak enak untuk menyebutkan contohnya di sini.

Ada orang yang menyebut Ustad Muhammad Bagir, sebagai Syi'ah karena telah menerjemahkan rujukan-rujukan yang membela Syi'ah. Ia juga membela Syi'ah apabila Syi'ah diserang. Tetapi, orang yang datang ke rumahnya akan tahu bahwa ia seorang Sunni, betul-betul Sunni. Karena ritus-ritusnya, ibadah-ibadahnya, semua serba Sunni. Pernah seorang ulama Syi'ah kecewa melihat Ustad Bagir karena tidak se-Syi'ah seperti yang ia duga. Itu, lagi-lagi, karena masalah definisi.

Jadi, buat orang seperti ulama itu, Pak Bagir bukan Syi'ah. Tetapi buat yang lain, yang menggunakan definisi yang lain, Pak Bagir itu Syi'ah. Mungkin juga kalau ada orang yang mengikuti saya dalam kegiatan ibadah saya, misalnya, bermalam satu hari bersama saya, dan menyaksikan saya salat di masjid Sunni, saya beribadah secara Sunni, maka mereka akan mengambil kesimpulan bahwa saya bukan Syi'ah.

Akan tetapi, lewat definisi yang lain, yakni definisi ketiga, Syi'ah itu adalah orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran Syi'ah, baik dalam bidang akidah, filsafat, atau tasawuf dan menggunakan buku-buku Syi'ah sebagai rujukan. Atau juga, mereka yang dikenal membela ajaran-ajaran Syi'ah disebut Syi'ah. Dengan definisi itu, mungkin saya termasuk.

Kalau definisi-definisi itu kita persempit saja pada orang-orang yang, misalnya, akidahnya sudah Syi'ah dan ritus-ritusnya sudah mereka jalankan, kitapun mengalami kesulitan. Sebab, masalahnya bukan terletak pada apakah ia menjalankan ritus-ritus Syi'ah? Atau, apakah ia menjalankan fikih Syi'ah atau tidak? Sebetulnya bukan masalah "Ya" atau "Tidak", tetapi masalah jumlah, masalah proporsi. Ada orang yang sudah menjalankan fikih Syi'ah itu 10% saja. Misalnya, ia hanya ikut ritus-ritus Syi'ah pada acara-acara muharraman saja. Kemudian pada doa-doa saja. Ada beberapa ulama di Indonesia sekarang ini yang rajin membacakan doa-doa Syi'ah. Bahkan, ada beberapa pengajian ibu-ibu di Jakarta yang Sunni betul --atau barangkali mereka tidak tahu apakah mereka Sunni atau Syi'ah-- yang sering melazimkan doa-doa Syi'ah.

Jadi, ketika kita berbicara bahwa yang disebut Syi'ah ialah mereka yang ritus-ritusnya adalah ritus Syi'ah, maka kita akan mengalami kesulitan karena proporsi menjalankan ritus Syi'ah itu bermacam-macam. Ada yang 50%, ada juga yang sudah 70%, dan sebagainya. Kesulitan kita mengidentifikasikan Syi'ah bukan saja karena orang-orang Syi'ah 'katanya' selalu taqiyyah, dan tidak mau menyatakan dirinya Syi'ah, tetapi juga karena proses sosialisasi nilai-nilai Syi'ah itu yang bertahap-tahap, tidak sama, sehingga kita sulit mendefinisikan secara tepat siapa orang-orang Syi'ah itu.

(bersambung)


Catatan Kang Jalal
Visi Media, Politik, Dan Pendidikan (Hal: 433-460)
Editor: Miftah F. Rakhmat
Penerbit: PT Remaja Rosdakarya Bandung
Cetakan Kedua April 1998
(dari posting milis is-lam@isnet.org oleh Muhammad Syafei)
 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team