Membumikan Ajaran Langit

 

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Republika, 05 Nov 1999

Peringatan Isra' Mi'raj kali ini, kiranya menemukan momentumnya yang paling signifikan. Mengapa? Sebagaimana kita ketahui, puncak dari perjalanan Nabi saw -- seperti yang tersebut dalam Alquran -- tak lain dan tak bukan adalah diperintahnya seluruh umat Islam untuk menjalankan ibadah shalat. Dalam simbolisme ibadah ini, terdapat ajaran yang erat kaitannya dengan persoalan kepemimpinan. Suatu kepemimpinan yang diridhoi Tuhan, dan berimplikasi bagi selamatnya kemanusiaan.

Elan reformasi yang terdapat pada ajaran/peristiwa Isra' Mi'raj, dapat kita refleksikan pada ayat Alquran yang mengungkap peristiwa tersebut. ''Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat'' (QS Al-Israa' 17:1).

Ayat tersebut, dibuka dengan ''tasbih'' (Subhaana/Maha Suci Allah), yakni suatu etos reformatif -- yang menurut kitab Durratun Nasihin karya Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khaubawi -- menyimpan hikmah; Pertama, bahwa kebiasaan bangsa Arab bertasbih di saat menjumpai hal-hal yang menakjubkan, maka lewat firman-Nya itu seolah-olah Allah kagum dengan rasul-Nya yang sempurna kemanusiaannya (al-insan al-kamil) sehingga di perjalankan-Nya secara menakjubkan. Kedua, dengan bertasbih, Allah bermaksud menepis sinisme masyarakat Arab yang menganggap rasul-Nya telah berdusta, sehingga redaksi ayat tersebut berbunyi, ''Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya....''

Pada banyak ayat di dalam Kitab Suci Alquran, dibuka atau diawali dengan ''tasbih'', baru kemudian ''tahmid'' (pujian bagi Allah). Ini dapat kita lihat misalnya; pada surat Thoha: 130, Qaf: 39, Ath-Thur:48, Al-Furqan: 58. Juga perhatikan bacaan berikut, sebuah bacaan yang disebut sebagian ulama sebagai ''kalbunya Asmaul Husna'' (al-qalbu li al-asmaa al-husnaa), yaitu: Subhaanallaahi wal-hamdu lillaahi wa-laailaahaillallaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada Tuhan melainkan Allah, dan Allah lah Yang Maha Agung).

Dalam bacaan tersebut, ''tasbih'' mendahului ''tahmid''; tasbih merupakan pembersihan, sedang tahmid adalah pemujian/penghiasan. Maka elan dan etos pembersihan mesti harus didahulukan ketimbang penghiasan. Ajaran ini sinkron dengan prinsip/kaidah fiqh yang mengatakan, bahwa: ''Mendahulukan upaya menghindar dari bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kemaslahatan'' (Dar al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-mashalih).

Apa yang perlu dihindari dan dibersihkan itu? Bahwa salah satu nilai-nilai reformasi yang hingga kini terus diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, adalah membersihkan (moral) aparatur pemerintahan dari hal-hal yang merugikan rakyat, termasuk diantaranya adalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Integritas moral saja tidak cukup, dalam upaya mempersatukan, membangun dan memajukan bangsa, tetapi juga harus dihindari hal-hal yang dapat menyebabkan perpecahan, kerusuhan serta kondisi chaos dan mandeg dalam perjalanan bangsa.

Tidak bermaksud kembali mengetengahkan ''Poros Langit'' (yakni, Kiai-kiai khos yang dipimpin oleh Kiai Abdullah Faqih dari Pesantren Langitan) yang sempat melangit pada detik-detik pemilihan Presiden RI, tetapi ajaran langit yang hendak disampaikan di sini memang rada mirip dengan apa yang pernah dilakukan Presiden KH Abdurrahman Wahid yakni, sowan kepada (arwah) para leluhur.

Seperti yang diungkapkan oleh Syaikh Usman al-Khaubawi dalam Durratun Nasihin -- bahwa menjelang peristiwa Isra' Mi'raj, tatkala berada di Masjid Haram, dalam keadaan antara tidur dan jaga, Rasulullah saw didatangi oleh Malaikat Jibril dan Mikail. Kedua Malaikat ini kemudian membelah dan membersihkan dada Nabi dengan air zamzam, setelah selesai, Nabi diminta agar berwudlu. Selanjuttnya, dengan berkendaraan Buraq, bersama Malaikat Jibril, Nabi melaksanakan perjalanan (Isra'). Di suatu tempat, Buraq itu berhenti, dan Nabi diperintahkan oleh Malaikat agar melaksanakan shalat sunnah. Kepada Nabi, Malaikat Jibril menjelaskan bahwa, ''Ke tempat inilah, kelak Anda akan berhijrah.'' Tempat itu adalah Madinah.

Perjalanan diteruskan, dan di suatu tempat, Buraq itu berhenti lagi. Dan di situ, Nabi juga melaksanakan shalat. ''Di tempat inilah, Nabi Musa berdialog dengan Tuhan.'' Itulah bukit Thursina. Perjalanan dilanjutkan, dan di suatu tempat, Buraq itu berhenti. Nabi melaksanakan shalat. ''Di tempat inilah, Nabi Isa dilahirkan,'' kata Jibril. Dan itulah Bait Lehem. Hingga sampailah di Masjid Aqsha. Para malaikat dan para Nabi (terdahulu) rupanya telah menunggu kedatangan Nabi bersama Malaikat Jibril. Selanjutnya Nabi memimpin shalat, di Masjid Aqsha.

Dari Masjid Aqsha, Nabi bersama Malaikat Jibril melanjutkan perjalanan (Mi'raj). Di tengah perjalanan, Nabi mendengar suara dari sisi kanan memanggil-manggil beliau, ''Ya Muhammad, turunkanlah kecepatanmu.'' Tetapi suara itu tidak dihiraukan oleh Nabi. Kendaraan terus melaju, tapi dari sebelah kiri, terdengar suara panggilan serupa, dan tidak dihiraukan oleh Nabi. Terakhir, terdengar panggilan suara dari seorang perempuan. Nabi pun tidak menanggapi. Dan dalam perjalanan itu, Jibril menawari Nabi dua jenis minuman, yakni susu dan arak, tetapi Nabi memilih susu.

Setelah Nabi selesai minum, Malaikat Jibril menjawab pertanyaan Nabi perihal suara-suara tadi, juga tentang makna minuman itu. Suara yang memanggil-manggil dari sisi kanan, menurut Jibril, adalah provokasi dari Yahudi, sedang dari sisi kiri adalah provokasi dari Nasrani. Tapi untunglah Nabi tidak menanggapi, sehingga -- menurut Jibril umatnya kelak tidak mudah terprovokasi untuk memasuki kedua agama tersebut.

Adapun tentang minuman, pilihan Nabi terhadap susu dibenarkan oleh Jibril, dengan begitu umatnya kelak akan berupaya sungguh-sungguh melaksanakan ajaran fitrah itu, dan tidak tersesat kemabukan dunia; sebagaimana tidak dihiraukannya suara memanggil-manggil yang datangnya dari seorang wanita (yakni, simbol perhiasan dunia).

Perjalanan Mi'raj dilanjutkan, melewati langit demi langit, di mana Nabi dapat bertemu (sowan) dengan para Nabi terdahulu di tiap shaf langit itu. Di antaranya Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Di Sidratul Muntaha (langit tertinggi), Nabi bertemu secara langsung dengan Allah, dan di situ pula Nabi mendapat perintah menegakkan shalat (termasuk umatnya). Para Nabi itu pula, terutama Musa, yang meminta agar kewajiban shalat diperingan, hingga menjadi lima waktu seperti sekarang (dengan perkenan Tuhan). Setelah itu, Nabi kembali ke bumi.

Dari ajaran langit tersebut, nilai-nilai apa kiranya yang signifikan bagi sebuah kepemimpinan? Pertama, sebagaimana tercermin dari ayat yang mengemukakan peristiwa Isra' Mi'raj, yang dimulai dengan ''tasbih'', juga peristiwa pembersihan dada Nabi dengan air zamzam ditambah dengan wudlu, maka dalam sebuah kepemimpinan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga integritas moral. Dalam konteks keindonesiaan, hal ini dapat diwujudkan dengan reformasi moral yang dimulai dari tingkat aparaturnya.

Kedua, selain integritas moral (akhlaqul karimah), yang tidak kalah pentingnya adalah belajar kepada sejarah. Ia bisa berupa nilai-nilai yang berkenaan dengan masa lampau, dapat pula berupa pengalaman dari orang per-orang yang pernah menjalankan sebuah kepemimpinan. Dengan ini kontiunitas kesejarahan dapat terus dipertahankan dan dikembangkan. Dalam ungkapan kaidah fiqh, ''Memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik'' (Al-muhafazah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah).

Ketiga, dengan integritas moral serta nilai-nilai kesejahteraan itu, diharapkan sebuah kepemimpinan dapat berjalan dengan benar dan tidak mudah terpincut godaan, sebagaimana teladan Nabi ketika melakukan Mi'raj-nya. Kepemimpinan yang demikian hanya dimungkinkan, manakala seluruh aparaturnya tegak lurus dalam melaksanakan keadilan (al-'adallah), dengan didasari oleh nilai-nilai persamaan di muka hukum (al- musawwah). Hal ini pun akan dapat berjalan baik, manakala aparatur tersebut bersikap konsisten dan disiplin (istiqamah), dapat dipercaya (amanah) serta mau merundingkan segala persoalan -- yang menyangkut kepemimpinan -- secara bersama (musyawarah). Dan satu hal yang tidak boleh dilupakan, yakni jangan sampai ia berlagak atau bersikap sok pintar atau merasa paling tahu terhadap semua urusan (tanatthu'). Terhadap yang dipimpin jangan sampai mempersulit (tasydid), dan kebijakannya tidak melewati batas kemampuan yang ada (ghuluw), baik bagi yang dipimpin atau pun sang pemimpin itu sendiri.

Keempat, hendaknya kebijakan seorang pemimpin membumi kepada hati dan kebutuhan (rakyat) yang dipimpinnya. Dalam peristiwa Isra' Mi'raj, hal itu telah diteladankan Nabi saw, ketika beliau sudi kembali (turun) ke bumi setelah bertemu Allah. Padahal pertemuan dengan Allah-lah cita-cita dan tujuan umat manusia, terlebih kaum sufi (para ''pencari Tuhan''). Kembalinya Rasulullah ini dimaksudkan untuk menyelamatkan nasib umat manusia (rahmatan lil'alamin). Maka dalam konteks ini, kebijakan yang membumi, mutlak diperlukan. Sebagaimana kaidah fiqh yang mengatakan, ''Kebijaksanaan rakyat'' (Tasharrufu al-imam 'ala ar-raiyyah manutun bi al-mashlahah).

Dan kelima, amanat Rasulullah saw untuk menegakkan shalat, pada dasarnya merupakan suatu simbolisme yang mengajarkan prinsip kepemimpinan, yakni pola hubungan antara hamba (manusia) kepada Tuhannya dan antara manusia dengan sesamanya. Dalam ajaran shalat, seseorang yang hendak melaksanakannya, diwajibkan terlebih dahulu berwudlu atau dalam keadaan suci. Pelaksanaan shalat itu sendiri, dimulai dengan mengagungkan Asma Allah (takbiratul ihram) dan diakhiri dengan doa keselamatan bagi segenap umat manusia (salam).

Kepemimpinan dalam shalat, tercermin dengan adanya seorang imam, ketika shalat tersebut tidak dilaksanakan sendirian. Makmum (pengikut/rakyat) diharuskan menegur (dengan cara tertentu) apabila imam melakukan kekeliruan dalam kepemimpinannya. Bahkan, apabila makmum membiarkan imam melakukan kekeliruan (dengan tanpa kesengajaan) maka makmum-lah yang menanggung dosa kesalahan.

Bahwa shalat itu dimulai dengan mengagungkan Asma Allah, hal ini menunjukkan bahwa suatu kepemimpinan (bangsa) haruslah semata-mata didasari rasa amanah (kepercayaan yang diberikan Allah melalui suara rakyat). Karena itu, selain ia harus tulus ikhlas (lillaahi ta'ala) dan mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah SWT, yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga kepercayaan. Ia berupaya mewujudkan cita-cita, serta memberikan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah mempercayainya.

Diterbitkan oleh Republika Online
Hak Cipta © PT Abdi Bangsa 1998


Date: Sat, 06 Nov 1999 17:56:40 +0000 From: Ngatimin Tjokro Prawiro <yd6cxj@technologist.com> To: Forum Umum Diskusi Islam <is-lam@isnet.org>

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team