"Konsep Jihad Bukanlah Perang"

 oleh Dr. Tariq Ramadan*

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

SEOLAH sedang mengajar di depan kelas, itulah gaya Doktor Tariq Ramadan ketika berbicara kepada wartawan Tempo. Dengan gaya bicara yang tenang tetapi tegas, ia bertutur tentang pandangan dan kritiknya terhadap Islam. Persis seperti sedang berbicara kepada mahasiswanya, ia sesekali "meledak" saat menyinggung ketertindasan muslim di berbagai belahan dunia. Gaya serupa menyertai dia saat berdiskusi di forum intelektual di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta sepanjang pekan lalu.

Lahir di Swiss, 42 tahun silam, Tariq memang sosok yang unik. Dialah cucu Hassan al-Banna, orang Mesir pendiri Ikhwanul Muslimin yang kerap disebut sebagai organisasi pelopor Islam fundamentalis. Pada 1928, sang kakek aktif menggalang kekuatan Islam untuk memerangi kolonial. Kini, cucunya yang melanjutkan perjuangan, namun dengan cara yang sama sekali berbeda.

Sarjana filsafat (dengan tesis tentang Nietzsche) dan Sastra Prancis ini meraih gelar Doktor dalam bidang Studi Islam di University of Geneva. Saat ini, Tariq mengajar di dua universitas bergengsi di Eropa, Genevan College dan University of Fribourg. Ia berperan aktif dalam diskusi tentang Islam di Eropa dan berbagai negara lain. Di saat hubungan Islam dan Barat sedang morat-marit, Tariq tampil sebagai jembatan. Melalui buku-bukunya, antara lain To Be European Muslim (2000), Islam, the West, and the Challenge of Modernity (2002) dan The Future of Islam in Europe (2003), ia berbicara kepada dunia.

Ia tidak setuju dengan orang Islam yang mengisolasi diri. Ia juga menolak orang Islam yang melebur dalam kehidupan bangsa Eropa sehingga meninggalkan identitas keislamannya. Karenanya, ia meluncurkan konsep Jalan Tengah: menjadi muslim sejati sekaligus orang Eropa. Karena pandangannya inilah ia terpilih sebagai salah satu inovator oleh majalah Time edisi khusus awal 2000.

Jumat pekan lalu, ayah tiga anak yang fasih berbahasa Prancis, Inggris, dan Arab ini menerima Andari Karina Anom dan Qaris Tajudin dari Tempo di sebuah rumah mungil bergaya Eropa di Bona Indah Garden, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Berikut petikannya.


Menurut Anda, apa sebenarnya problem utama hubungan Islam dengan Barat?

Problem utama umat Islam di Eropa karena mereka belum terintegrasi sepenuhnya dengan masyarakat. Bagi orang Barat, hanya ada dua kelompok Islam: moderat dan fundamentalis. Pemahaman yang buruk dan representasi buruk kalangan Islam tertentu mengakibatkan orang Barat menerapkan hukum secara bias dengan standar ganda. Karena itu, seorang muslim harus paham dengan baik tentang agamanya dan bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat kita tinggal. Dengan begitu, Islam menjadi kontekstual. Sebagai muslim, kita tak hanya dituntut memahami agama kita, tapi juga negara, hukum dan masyarakat di tempat kita tinggal.

Anda menyebut orang Islam kerap disudutkan, misalnya dalam hal apa?

Ada kesalahpahaman dalam memandang Islam sehingga orang-orang Islam banyak yang menjadi korban.

Orang-orang menyerang dan menyalahkan Islam. Karenanya harus ada gerakan dari kalangan muslim untuk menjelaskan kesalahpahaman ini. Kita ada dalam situasi ini karena ada orang-orang yang tak menyukai Islam dan menyalahkan Islam. Kita harus mencegah upaya penyudutan ini dengan menjadi bagian dari sistem, menjadi warga negara yang aktif dalam masyarakat.

Bagaimana menerapkan budaya suatu negara tanpa kehilangan nilai keislaman?

Dalam Islam, kita harus memajukan pendidikan yang setara untuk laki-laki dan perempuan. Jika kita melihat di suatu negara, ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, maka itu bukan Islam, tapi budaya negara tertentu, misalnya Maroko dan Turki. Sebagai muslim, kita harus membedakan antara budaya dan agama.

Selain itu, juga harus tahu lebih banyak dan terlibat aktif di masyarakatnya. Bukan sekadar menerima segala sesuatu, tapi juga aktif menuntut hak. Ini yang disebut Revolusi Diam (Silence Revolution). Muslim di Barat sekarang lebih sadar apa yang harus dilakukan untuk mengubah situasi ini.

Itu sebabnya Anda menawarkan konsep Jalan Tengah, yaitu tetap menjadi muslim dan menjadi warga negara yang baik?

Yang saya maksud sebagai Jalan Ketiga adalah in between, tetap menjadi muslim yang baik, sekaligus warga negara Eropa yang baik. Saya menolak muslim mengisolasi diri, tapi saya juga menolak muslim melebur dalam kehidupan negaranya sehingga menghilangkan identitas kemusliman. Ini adalah tradisi reformis, bukan modernis, karena sebenarnya konsep ini sudah cukup tua, setua agama Islam sendiri. Banyak kalangan di Barat yang sejak lama mengatakan muslim tak mungkin bisa dipersatukan. Namun, sekarang kita membuktikan bahwa muslim bisa bersatu padu.

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak sangat terpengaruh pemikiran Barat yang menyudutkan Islam. Bagaimana menurut Anda?

Umat Islam di Indonesia memiliki masalah besar.

Ditinjau dari jumlah, Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak. Namun, saya tidak yakin kalau muslim di Indonesia adalah muslim by heart.

Mungkin hanya sebatas simbol dan identitas formal.

Kalangan Islam di Indonesia bahkan berani baku hantam hanya untuk menunjukkan Anda muslim, tapi cuma di permukaan, tidak dalam pengertian yang mendalam.

Dalam hal ini, Jalan Tengah apa?

Yang harus dilakukan di level akar rumput adalah pendidikan populer. Islam membutuhkan orang-orang untuk menjelaskan apa sebenarnya Islam, apa esensinya, sehingga bisa menerangi hati kaum muslim di tempatnya berada. Hal-hal seperti ini ada di masyarakat bukan di universitas. Saya kira, banyak kalangan Islam di Indonesia yang mempraktekkan agama secara formal dan hanya di permukaan. Orang-orang Islam di Indonesia terlalu terpengaruh budaya Barat sehingga kadang-kadang tak tahu siapa kita dan ke mana kita berpihak. Kedua, Indonesia seharusnya memperkuat organisasi Islam yang bekerja di level akar rumput, membantu orang-orang di masyarakat dan memberi pemahaman yang dalam tentang Islam.

Gerakan Islam yang populer itu misalnya apa?

Di Indonesia, tiap Jumat banyak orang datang ke masjid untuk salat Jumat. Mereka menyadari pentingnya ibadah itu, namun kadang-kadang mereka tak memahami Islam secara mendalam. Karena itu, harus ada pendidikan Islam bagi masyarakat supaya kalangan muslim sendiri memahami agamanya, mengerti arti muamalat dan aktif menjalankan prinsip-prinsip itu. Sebab, meski Anda tinggal di negara berpenduduk muslim terbesar, Anda hidup di masyarakat yang multiagama. Kita harus membantu orang memahami Islam secara betul. Banyak kalangan di Indonesia yang menggunakan Islam sebagai senjata politik.

Majalah Time bulan lalu menurunkan laporan utama tentang misionaris yang berusaha mengkristenkan orang Islam. Menurut Anda, bagaimana problem ini di Indonesia?

Ini bukan hanya problem di Indonesia, tapi juga di Afrika. Orang-orang Kristen menyiarkan agama mereka dan sebagian kalangan muslim bereaksi dengan berlebihan, padahal mereka sendiri tak memahami Islam secara mendalam. Jika Anda tak mau muslim berpindah ke Kristen, solusinya adalah kita harus menjelaskan pada sesama muslim apa sebetulnya agama Islam. Anda tak bisa memaksa mereka menjadi Islam, tapi Anda harus menjelaskan kepada mereka apa sebetulnya Islam. Jika pendidikan Islam terhadap kalangan muslim sendiri buruk, maka orang Kristen memiliki lahan terbuka untuk beraksi. Dan ini bukan kesalahan mereka.

Bagaimana dengan konsep jihad?

Jihad adalah konsep dengan banyak aspek. Untuk memahami jihad, kita harus kembali ke diri sendiri.

Dalam diri kita ada godaan untuk melakukan kekerasan, kemarahan, atau pertengkaran. Itu adalah nafsu-nafsu alami manusia. Kita bisa melakukan kekerasan, tapi dengan kesadaran penuh kita dapat mengontrol dorongan-dorongan jahat itu.... Konsep jihad bukanlah perang, melainkan perdamaian. Kalau kita bawa ke tingkat kolektif, sama saja. Jihad bukanlah perang suci. Terminologi perang suci datang dari Perang Salib Kristen. Bagi kita sekarang, jihad berarti usaha untuk melawan. Ketika ada penindasan terhadap umat Islam secara tidak adil, kita punya hak untuk melawan.

Itulah jihad. Bukan perang melawan Yahudi, Amerika, atau Barat.

Berarti jihad mengandung konsep perlawanan?

Ya, namun konsep perlawanan yang ada sekarang sama sekali salah. Banyak intelektual muslim yang menggunakan istilah perang suci untuk menjelaskan jihad. Banyak muslim yang menggunakan konsep jihad secara salah. Jihad adalah konsep perlawanan dengan cara damai. Namun, mesti diingat, tak akan ada perlawanan tanpa keadilan. Tak ada perdamaian tanpa keadilan. Misalnya, saya mencuri sepeda Anda. Dua hari kemudian saya mengaku mengambil sepeda Anda dan saya ingin berdamai. Tentu saja Anda akan bilang, kembalikan dulu sepeda saya baru kita bicara soal perdamaian. Hal inilah yang dialami Palestina.

Pandangan negatif terhadap Islam kian menggila pasca-11 September dan bom Bali di Indonesia.

Bagaimana Anda memandang soal ini?

Perang melawan teroris adalah perang yang sulit dijelaskan. Soalnya, tidak ada definisi resmi soal teroris di lembaga internasional seperti PBB, NATO, dan lain-lain. Itu sebabnya teroris sulit dijelaskan, apalagi ditumpas. Dan yang jadi korban adalah orang Islam. Padahal, jika definisi teroris adalah membunuh orang tak bersalah, maka kita harus memerangi segala jenis teroris, termasuk terorisme negara. Memang, kita tahu banyak kelompok muslim yang menyatakan jihad berarti sah untuk memerangi Yahudi atau Amerika. Itu tidak benar. Kita harus melawan pemikiran yang tak ada hubungannya dengan ajaran Islam.

Artinya, orang Islam harus melakukan reformasi besar-besaran untuk mengubah pandangan negatif itu?

Betul. Namun pertanyaannya, reformasi seperti apa?

Banyak saudara-saudara kita yang mempromosikan Islam tanpa mengetahui Islam sebenarnya. Mereka mengajarkan bahwa kita tak perlu salat, cukup berhubungan dengan Allah 24 jam sehari. Ini bukan reformasi, tapi penghancuran. Jika ada yang melakukan itu, mereka bukan reformis, tapi penghancur Islam.

Bagaimana dengan konsep negara Islam. Apakah memang itu suatu tujuan bagi gerakan-gerakan Islam di dunia, termasuk Indonesia?

Yang sebetulnya dibutuhkan bukan negara Islam sebagai sebuah negara yang melaksanakan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan dan alternation (pergantian kepemimpinan yang baik). Kita tidak punya model negara Islam karena kita tinggal dalam masyarakat yang kompleks secara sosial, politik, dan budaya. Namanya boleh apa saja, yang penting negara itu menjalankan prinsip-prinsip universal seperti yang saya kemukakan tadi. Kita jangan terobsesi oleh nama, tapi praktek-prakteknya.

Source: http://www.tempo.co.id/harian/wawancara/waw-TariqRamadan01.html

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team