Kafir, berasal dari kata dasar yang terdiri dari huruf
kaf, fa' dan ra'. Arti dasarnya adalah "tertutup" atau
"terhalang". Secara istilah, kafir berarti "terhalang dari
petunjuk Allah". Orang kafir adalah orang yang tidak
mengikuti pentunjuk Allah SWT karena petunjuk tsb terhalang
darinya. Kafir adalah lawan dari iman. Dalam Quran terutama
surah an-Nuur, Allah SWT menganalogikan kekafiran dengan
kegelapan, dan keimanan dengan terang benderang, serta
petunjuk (huda) sebagai cahaya.
Kategorisasi manusia dalam hal mensikapi petunjuk dari
Allah SWT memang hanya dua: Bertaqwa dan Kafir (lihat surah
Al-Baqarah ayat 2 sd 6). Dan kelompok kafir sendiri ada
beberapa macam lagi, misalnya menurut sikap terhadap
kitab-kitab yang pernah diturunkan: ada "Ahli Kitab" dan ada
"Musyrikin" (lihat surah Al-Bayyinah). Sementara dalam hal
kesadaran mereka terhadap kebenaran adapula kategori
"fasik", yaitu mereka yang sudah faham mana yang benar dan
mana yang salah tapi tetap saja melakukan kerusakan
(Al-Baqarah ayat 26 dan 27).
Diantara orang yang mengaku beriman
sendiripun ada orang-orang yang ingin menipu Allah dan ingin
menipu orang-orang beriman lainnya, yaitu mereka pura-pura
iman padahal mereka ingkar ... mereka disebut kaum "munafik"
(Al-Baqarah ayat 8 sd 20).
Bagaimana menyikapi orang-orang kafir tsb? Mari ikuti
lagi tuntunan Quran:
1. Berusaha menghilangkan "penutup" yang menyebabkan
mereka kafir, dengan cara mendakwahi mereka.
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik..." (QS.16:125)
"Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan
tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka..." (QS.42:15)
2. Tetap berbuat baik terhadap mereka, terutama yang
memiliki hubungan kekerabatan.
"Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik,
..." (QS.31:15)
keterangan: ayat ini berbicara tentang orangtua yang
kafir, dan kita tetap diperintah untuk memperlakukan mereka
dengan baik.
"Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang
ditawan." (QS.76:8)
keterangan: adapun "orang yang ditawan" dalam ayat ini
juga tiada lain adalah orang-orang kafir.
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
(QS.60:8)
3. Tidak memaksa mereka untuk menjadi muslim.
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat..." (QS.2:256)
"Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir..."
(QS.18:29)
"Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk
(memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya..." (QS.2:272)
4. Berbuat adil dan tidak mendzalimi mereka, selama
mereka tidak memerangi muslimin.
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
(QS.60:8)
"...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa..." (QS.5:8)
"Doa seorang yang teraniaya (diperlakukan tidak adil),
meskipun ia orang kafir, tidak ada tirai yang menutupinya
(untuk dikabulkan)." (HR. Ahmad dalam "musnad"nya).
5. Memerangi mereka, tatkala mereka memerangi muslimin.
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui
batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan
fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan
janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali
jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka
memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi
dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim."
(QS.2:190-193)
"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka
itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung
halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena
mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah..." (QS.22:39-40)
6. Tidak menjadikan mereka sebagai kawan, pemimpin atau
penolong, kalau mereka memerangi muslimin.
"Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim." (QS.60:9) "Janganlah orang-orang mu'min mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu'min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah..." (QS.3:28)
keterangan: "wali" bentuk jamaknya adalah "auliyaa" yang
artinya teman yang akrab, pemimpin, penolong atau pelindung.
"Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi
sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara
mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada
jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah
mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu
ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan
jangan (pula) menjadi penolong," (QS.4:89)
7. Menyambut tawaran damai dari mereka setelah terlibat
peperangan.
"tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan
tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu
(menyerah) maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk
menawan dan membunuh) mereka." (QS.4:90)
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka
condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (QS.8:61)
Mengenai hubungan dengan non-muslim, Quran telah secara
jelas membedakannya, dan membagi kaum kafir itu menjadi dua
golongan:
A. Golongan "Muharribin" (yang memerangi)
Yaitu kafirin yang memerangi umat Islam karena agama
mereka, yang mengusir muslimin dari kampung-kampung halaman
mereka, dan yang membantu pihak-pihak yang mengusir atau
mendlzalimi ummat Islam. Termasuk disini juga mereka yang
menghalangi muslimin dari melaksanakan kewajiban syari'at.
Terhadap golongan ini, ummat Islam wajib memberlakukan
point no.5, 6 dan 7.
B. Golongan "Musalim" (yang berdamai) atau Golongan
"Mu'ahidin" (yang membuat perjanjian).
Adalah kaum kafirin yang tidak terlbat pada setiap usaha
yang ada di penjelasan point.B, dan sama sekali tidak turut
andil dalam konspirasi apapun untuk memusuhi muslimin.
(Lihat lagi Surah Al-Mumtanah ayat 8-9).
Terhadap golongan ini, ummat Islam harus melaksaknakan
point.1 sd 4.
Golongan ini,juga dibagi dua klasifikasi lagi, yaitu:
- Mereka yang mempunyai perjanjian damai sementara.
maka terhadap mereka diwajibkan untuk menjaga perdamaian
itu dan melindungi mereka sampai batas waktu
perjanjiannya habis.
- Mereka yang mempunyai perjanjian tetap
selama-lamanya. Merekalah yang disebut sebagai "Ahlu
Dzimmah", yaitu orang-orang yang mendapat jaminan Allah
SWT, jaminan Rasul SAW, dan jaminan dari komunitas
muslimin.
Dalam level negara/pemerintahan, Ahlu Dzimmah memiliki
hak sebagaimana hak kaum muslimin (termasuk politik), dan
memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban muslimin (kecuali
dalam hal yang menyangkut konsekuensi syari'at masing2).
Ahlu Dzimmah wajib dibela dan dilindungi sebagaimana
muslimin membela dan melindungi saudaranya sesama muslim.
Amirul Mukminin 'Umar ibnul Khattab pernah menghapus
istilah "Jizyah" bagi Ahlu Dzimmah dari nasrani arab Bani
Taghlib, ketika mereka keberatan pungutannya disebut
demikian. Dan pungutan tsb oleh 'Umar disebut sebagai
"zakat" sesuai permohonan mereka agar tidak dibedakan dari
kaum muslimin. Khalifah 'Umar menyetujui permohonan ini
sambil mengatakan "Mereka itu orang yang dungu, mereka rela
muatan artinya, dan menolak namanya." (Fiqhuz Zakat II/708).
Imam Al-Auza'i mendukung dan bersama Ahlu Dzimmah di
Libanon yang bersikap menentang seorang gubernur dari
kerabat dinasti Abasiyah yang berlaku tidak adil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menghadap Kaisar
Mongol Timur Leng dan meminta pembebasan tawanan. Ketika
Timur Leng menawarkan hanya membebaskan tawanan yang muslim,
Ibnu Taimiyah menolak hal itu, kecuali Timur Leng mau
membebaskan juga Ahlu Dzimmah yang ditawan bersama kaum
muslimin.
Melihat aturan Islam terhadap kaum kafir, dan bukti-bukti
sejarah pelaksanaan hal ini, maka toleransi mana lagi yang
lebih tinggi kecuali toleransi yang diajarkan oleh Quran dan
Sunnah??
Wassalaam 'alaikum,
-uncle Wong-
Date: Thu, 29 Jun 2000 20:37:46 +0700
From: Master Wong Fei Hung <masterwong@rad.net.id>
To: musholla@egroups.com
|