Kafir

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Berhati-hati Dengan Pengkafiran

Deringan suara pedang demikian deras. Tiba-tiba seorang sahabat menjatuhkan lawannya dari kubu kafir ke atas tanah Tanpa sangka-sangka, tiba-tiba saja sang kafir berucap "Laa ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah". Sang sahabat berfikir, apa yang diucapkannya itu adalah kebohongan semata. Maka pedangnya pun melebat menebas leher musuhnya tadi. Ia pun meninggal dengan ucapan terakhir "Kalimah Laa ilaaha illallah-Muhammadan Rasulullah".

Mendengar kejadian tersebut, Rasulullah SAW memanggil sahabat yang mulia itu. Seorang sahabat yang dikenal kekentalan iman dan loyalitasnya terhadap kebenaran dan pembawanya (Rasulullah SAW). Begitu mendekat, beliau menanyakan: "Apa gerangan yang menjadikan kamu membunuhnya?" Dengan hati yang mantap dijawabnya: "Ia mengucapkan itu karena ketakutan ya Raulullah". Namun Rasulullah kembali menanyakan dengan suatu ungkapan yang tak perlu dijawab karena sekaligus merupakan jawaban (Suaal istifhami): "Hal syaqaqta min qalbih?" (Apakah anda telah membuka hatinya?). Mendengar itu, sang sahabat agung terdiam seribu bahasa. Serentak ia berkata kepada rekan-rekannya: "Rasanya saya baru saja masuk Islam".

Kata kafir dalam bahasa Arab berasala dari "kafara-yakfuru-kufran" yang berarti "menutupi". Peribadatan yang dilakukan karena suatu pelanggaran dalam peribadatan itu sendiri disebut kaffarat. Misalnya "Puasa kaffarah" dll. Sementara itu, dalam bahasa Arab para petani, selain kata "fallah" juga disebut dengan istilah "kuffar" sebagaimana dalam S. Muhammad (Yu'jibuzzurra' al kuffar), karena mereka dikenal menutupi benih tanaman yang diharapkan tumbuh dan memberikan buah-buah segar bagi kelangsungan manusia. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain.

Dengan demikian, pengingkar kebenaran dinamakan kafir, karena secara prinsip mereka menutupi kebenaran yang seharusnya tumbuh subur dan memberikan buah-buah segar dalam kehiduapn manusia. Benih kebenaran ini dikebal dengan istilah "Syajarah Thayyibah" dalam S. Ibrahim. "Wa matsalu kalimatin thayyibatin ka syajaratin thayyibatin ashluha tsaabitun wa far'uha fissama tu'ti ukulaha kulla hiinin biidzni Rabbiha". (Perumpamaan kalimah thayyibah seperti pohon yang bagus. Akarnya menghunjam ke dalam tanah dan cabang-cabangnya mencakar langit. Memberikan buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya".

Dengan demikian, keimanan atau fitrah manusia seharusnya tumbuh subur, yang setiap saat buahnya dirasakan oleh manusia. Buah keimanan ini akan dirasakan oleh semua pihak, tidak mengenal batas dan lintas golongan maupun teritorial dalam hubungan internasional "Laa syarqiyah wa laa gharbiyyah" (tidak hanya timur, dan hanya pula barat). Semua kalangan, tan discriminasi kulit, suku, bangsa, dan bahkan agama sekalipun. Konsep ini tentunya membawa pula kita kepada konsep-konsep manusia yang lain, apakah sosialisme, kapitalisme, dst.

Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya banyak manusia yang menutupi keberadaan benih-benih kebenaran tersebut. Mereka ingkar, mereka mendustai, mereka mengaburkan, serta melakukan berbagai upaya sehingga kebenaran tersebut tidak nampak ke permukaan bumi ini. Manusia yang melakukan inilah disebut sebagai manusia yang kafir atau penimbung kebenaran. Dengan kata lain, kaum kafir sesungguhnya bukan tidak memiliki kebenaran dalam dirinya, karena kebenaran atau fitrah dalam diri setiap insan itu abadi sifatnya "Fitratallah al ladzi fatarannasa 'alaeha, laa tabdiila likhalqillah" (Itulah fitrah, yang di aatasnya diciptakan setiap insan. Fitrah itu tidak mungkin terubah) (Rum:30). Yang terjadi kemudian adalah "kufrun" atau upaya-upaya untuk menutupi kebenaran Ilahi agar tidak tampil ke atas permukaan bumi.

Macam-macam Kekafiran

Merujuk ke berbagai ayat maupun hadits, disimpulkan bahwa kekafiran terbagi kepada dua bagian, yaitu kufrun I'tiqaadi dan kufrun 'amali.

Pertama, "kurfrun I'tikaadi" adalah penyembunyian atau pengingkaran dalam hal keimanan (akidah) terhadapa kebenaran yang datang dari Allah. Inilah yang diungkapkan misalnya oleh Allah di S. Albaqarah: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir adalah sama bagi mereka, apakah kamu memberikan petunjuk kepada mereka atau tidak, mereka tidak akan beriman" (Al Baqarah:6). Mereka memang secara imani atau I'tikadi menyembunyikan apa yang sesungguhnya sesuai dengan fitrah atau nurani (mungkin diistilahkan hati kecil)nya itu sendiri.

Pengingkaran tersebut dapat dirasakan oleh mereka sendiri, atau memang tidak dirasakan sebagai suatu pengingkaran. Para pembesar qurays ketika itu sadar dan bahkan dalam hati kecilnya insaf (mengakui kebenaran) yang dibawa Muhammad SAW. Namun karena "gengsi" yang disebabkan oleh "kesombongan" mereka terpaksan mengatakan "tidak". Sebaliknya, Fir'aun betul-betul tidak menyadari lagi "nurani"nya saat itu. Ini disebabkan karena "fitrah" yang bersemayam dalam hatinya itu telah terkungkung oleh jiwa keangkuhan yang berlebihan. Sehingga ketika Musa dan harun datang kepadanya, mengajaknya kepada penyembahan Ilahi, ia berkata: "Wa maa rabbukuma ya muusa wa haaruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa dan harun?"

Namun ketidak sadaran Fir'aun itu menjadi alam kesadaran pada saat jiwa kesombongannya mencair oleh situasi alam sekitarnya. Pada saat ia tenggelam di laut merah, tak seorang pun yang mampu menolongnya, termasuk dirinya sendiri walau mengaku tuhan, ia pun menjerit dan berucap: "Al aana amantu birabbil 'alamiin, Rabbi Musa wa harun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhannya Musa dan harun". Ia mengakui Allah, walaupun masih dengan ungkapan kesombongan, seolah Allah hanya Tuhannya Musa dan Harun saja.

Kelompok lain dari kategori kufur pertama ini adalah mereka yang hipokrit (munafik). Mereka, kendati memperlihatkan amalan-amalan imani dan islami, namun secara imani atau I'tikadi menolak kebenaran tersebut. Kelompok manusia seperti ini, jika ditinjau dari sudut pandang strategi perjuangan justeru lebih berbahaya. Oleh sebab itu, wajar saja jika S. Albaqarah yang turun dalam konteks perjuangan Rasulullah SAW menegakkan "Islamic Society" secara panjang lebar menceritakan kriteri mereka ini.

Kedua, "kufrun 'amali" adalah menyembunyikan kebenaran dalam perbuatan, tapi secara imani menerimanya sebagai kebenaran. Oleh para ulama, disimpulkan bahwa siapa saja yang pernah mengucapkan "kalimah Thayyibah" (Laa ilaaha Illallah-Muhammadan rasulullah) dengan ikhlas, sungguh-sungguh dalam pengucapannya, lalu kemudian terjerumus dalam perilaku yang bertentangan dengan ucapannya itu, maka ia masuk dalam kategori "Kufrun 'amali". Namun dengan satu catatan bahwa keterjerumusannya dalam suatu tindakan yang bertentangan dengan islam tidaklah menyentuh daerah keyakinannya.

Sebagai misal, di dalam ayat disebutkan bahwa: "Waman yaqtul Mu'minan muta'ammidan, fajazaauhu jahannam khaalidanÉdst" (An Nisa: 93) Artinya: "Barangsiapa yang membunuh mu'min dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal di dalamnya dstÉ".

Konteks ayat di atas adalah pembicaraan mengenai hukum-hukum hubungan antar Muslim. Dengan demikian, yang dimaksud pembunuh pada ayat itu adalah Muslim. Masalahnya adalah apakah makna dari kekal dalam jahannam? Bukankah dalam haditsnya, Rasulullah SAW pernah mensabdakan: "Man Qaala Laa ilaah illaLLah Mukhlisan min qalbih dakhalal Jannah" (Siapa yang mengucapkan Laa ilaah illallah ikhlas dari hatinya, akan masuk ke dalam Syurga). Lalu bagaimana seorang yang membunuh sesama Muslim tapi pernah mengucapkannya dengan ikhlas? Apakah arti mengucapkan Laa ilaah illallah dengan ikhlas menytransfer manusia menjadi malaikat sehingga tidak lagi berbuat salah?

Para Ulama menyimpulkan bahwa hadits tidak dimaksudkan bahwa jika seseorang mengucapkannya dengan ikhlas lalu tidak akan lagi terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan. Bukankah kesalahan itu sendiri adalah ciri khusus yang tidak terpisahkan dari hidup manusia? Bakan terkadang menjadi ciri ketakwaan, asal saja diikuti dengan "pengakuan dan permohonan ampun" (Dan orang-orang yang jika melakukan kekejian atau menzalimi diri mereka sendiri, mereka ingat Allah dan mereka beristghfar memohon ampunan untuk dosa-dosa mereka).

Pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman terhadap sesama Mu'min, selama tidak diyakini bahwa membunuh itu adalah "halal" dianggap sebagai "kabirah" atau dosa besar. Jika dalam kehidupannya tidak segera disusuli dengan "Taubat" maka jelas kata Allah, akibatnya adalah Jahannam kekal di dalamnya. Kekal di sini adalah kekal dalam arti waktu yang cukup lama. Sebagaimana Allah berfirman: "Khaalidiina fiiha ahqaaba" (mereka kekal di dalamnya dalam beberapa fase yang lama) (An Naba). Artinya kekalnya seorang pendosa Muslim pasti berbeda dengan kekalnya seorang yang memang secara "I'tiqaad" tidak beriman. Sebab jika sama, lalu di mana kita dudukkan sifat Allah yang Maha Adil?

Tentu banyak contoh yang dapat kita ajukan. Namun kesimpulan yang akan diambil adalah bahwa kekafiran itu ada dua macamnya. Justeru kita harus berhati-hati melabelkan kekafiran kepada sesama Muslim, terlepas dari perilaku yang dialkukannya. Karena sesungguhnya hati dan nuraninya hanya dia dan Allah yang tahu. Maka kalau kita kembali kepada cerita di awal tulisan ini, memang seharusnya kita berhati-hati. Jangan-jangan kita mengkafirkan seseorang, padahal dalam dirinya masih terbersit serpihan iman sekecil apapun. Jika ini terjadi, maka sesungguhnya kita sudah melakukan pelanggaran ketuhanan, sebab hak menilai iman dan kafirnya seseorang hanyalah hak Allah Yang Maha Tahu. Wallahu a'lam!

M. Syamsi Ali
New York.


Date: Wed, 19 Apr 2000 11:53:14 EDT From: MSali95949@aol.com To: imsa@imsa.nu, mus-lim@isnet.org

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team