Diskusi Seputar Khilafah 2
(Tanggapan atas Tanggapan)

 KH Muhyidin Abdusshomad
Penulis buku "Fikih Tradisionalis", Ketua PCNU Jember

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

03/12/2007

Alhamdulillah, saya senang sekali banyak yang memberikan respon pada artikel saya berjudul “Mengkonversi Sistem Pemerintahan (Pengantar Diskusi Seputar Khilafah)”. Saya tentu lebih senang lagi apabila para pemberi komentar menulis nama dan alamatnya dengan lengkap agar di antara kita bisa terus bersilaturrahmi. Tidak perlu menggunakan nama samaran agar tidak terkesan takut menyampaikan kebenaran. Jika kita benar kenapa harus takut? Sebagai seorang muslim yang beriman, yang harus kita takuti hanyalah Allah SWT semata.

Beragam pemikiran yang telah disampaikan dalam komentar, walaupun sebahagian berbentuk pertanyaan namun pada hakikatnya adalah pemikiran yang sangat cerdas dan cemerlang baik yang pro maupun yang kontra. Bagi yang sejalan dengan pemikiran saya tentu tidak perlu saya respon dan saya mengucapkan terima kasih atas aplusnya, sedangkan yang masih belum sepaham, mari kita lanjutkan berdiskusi.

Saya salut dengan ghirah islamiyahnya beberapa saudara kita sehingga seolah-olah apa yang sudah diterapkan pada permulaan zaman khilafah bersumber dari sistem atau hukum Islam 100%, tidak pernah mengadopsi secuilpun hukum asing yang kufur. Tidak ada hukum atau teori lain yang terinfiltrasi ke dalam sistem pemerintahan khilafah.

Kalau saja kita mau jujur dan bersabar membaca referensi klasik seperti Adab Al-Kabir dan Adab Ash-Shaghir karya Ibn Al-Muqaffa’ (adab disini berarti tata pemerintahan) atau kitab Khudainamah /Siyar Muluk terjemahan Ibnul-Muqaffa’ tentang cerita raja-raja persia, Al-Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir , Al-Kaamil fit-Tarikh karya Ibnu Al-Atsir, dan kitab-kitab sejarah yang lain bahwa sejak zaman para sahabat r.a. banyak sekali sistem dari luar lingkungan Islam yang kemudian diadopsi oleh sistem khlilafah seperti sistem diwan yang digunakan oleh Sayyidina Umar r.a. untuk administrasi negara, itu berasal dari persia, sistem wizarah (kementrian), hijabah (protokoler), dan sistem-sistem lain umumnya itu berasal dari Persia, Romawi, Arab kuno, dan lain-lain.

Jika memang benar-benar semua bagian sistem yang digunakan oleh para khalifah itu berasal dari Islam sendiri, tentu kita pasti bisa menemukan di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, bahwa sistem pemerintahan yang diridahi Allah SWT itu bagaimana, serta tata cara pemilihan khalifah seperti apa. Ternyata keterangan itu, tidak kita temukan, yang ada hanya hasil ijtihad para ulama atau interpretasi dari teks Al-Qur’an ataupun as-Sunnah bukan teks itu sendiri yang bisa saja masih interpretible. Jika memang ada tek Al-Qur’an dan al-Hadist yang menerangkan model khilafah mendunia tolong ditunjukkan!

Selanjutnya untuk beberapa saudara saya, barangkali lebih tepat tidak menggunakan istilah kufur, sebutlah saja dengan istilah kovensional, sistem madani, atau sistem umum. Jika semua yang dari luar Islam dianggap kufur, bagaimana dengan apa yang sedang kita lakukan saat ini, yaitu berkomunikasi melalui internet. Setujukah anda? Anda menyatakan bahwa kita sedang berkomunikasi dengan cara yang kufur? Karena yang menciptakan komputer, internet, dan lain sebagainya itu adalah orang-orang Non Muslim bahkan Yahudi.

Ikhwan dan akhwat HTI yang saya hormati. Kalau kita membuka lembaran sejarah di dalam piagam Madinah sebagai Dustur Negara Madinah di situ tidak tertera ungkapan bahwa negara berasaskan Al-Qur’an dan al-Hadits (syariat Islam). Yang ada hanya penjelaskan bahwa baik orang Islam atau Yahudi dan Non Muslim yang lain semua adalah umat yang harus menjalankan kewajiban dan menerima persamaan hak kewarganegaraan sama-sama membela negara dari serangan musuh dan sama-sama mendapatkan sanksi jika melanggar sesuai dengan kesepakatan. Subhanallah, Nabi Muhammad SAW itu memang negarawan ulung. Bahwa menurut beliau ada urusan duniawi dan ukhrawi, urusan duniawi ini diserahkan kepada ahlinya antum a’lamu bi umuri dunyakum, tapi negara tetap dinahkodai oleh nilai agama yang esensial dan prinsipil.

NU mentauladani sunnah politik Nabi Muhammad SAW berdasarkan contoh dari Nabi SAW, para sahabat, dan Ulama yang diikuti oleh kaum ahlussunnah tidak terlalu memusingkan sistem pemerintahan dan negara, terserah mau pakai kerajaan terpusat, multi nation, multi dinasti dan lain-lain, tetapi syariat tetap harus diterapkan secara damai, bertahap, tanpa harus dipaksakan dan sesuai dengan kesepakatan anak bangsa.

Maka dari itu, setiap negara yang mayoritas penduduknya muslim menganut sistem fiqih yang berbeda-beda yang disepakati anak bangsa atau keputusan negara, ada yang Hanafi, Syafii, Hanbali dan Maliki. Ulama Indonesiapun termasuk NU memperjuangkan eksistensi peradilan agama dan kementrian agama untuk mengurusi masalah keislaman, bahkan tak sedikit kader NU yang menjabat kepala Kantor Urasan Agama, Kakandepag, Kepala Pengadilan Agama, Kanwil Depag bahkan ada yang menjadi menteri agama.

Tentang pernyataan bahwa “negara akan aman, terentaskan dari kemiskinan, menghilangkan kejahatan dan lain-lain, jika menganut sistem khilafah (Syariah Islam), dengan penuh kerendahan hati,” terpaksa saya ajukan pertanyaan begini: Benarkan sistem khilafah itu menjamin keamanan negara? Sementara dalam catatan sejarah pada masa sayyidina Abu Bakar RA, Sayyidina Usman RA dan Sayyidina Ali RA terjadi kekacauan politik yang luar biasa (chaos).

Bisakah dikatakan aman suatu negara apabila kholifah atau presidennya mati terbunuh ditangan lawan politiknya, lihat saja sayyidina Umar RA wafat tertusuk pedang oleh Abu Lu’luk al-Majusi, sayyidina Usman RA wafat terbunuh sebagai syahid ditangan ribuan demonstran yang menuduh beliau melakukan nepotisme, sayyidina Ali RA wafat sebab tikaman belati oleh Abdurrahman Ibnu al-Muljam yang sebelumnya terjadi dua kali perang saudara yaitu Perang Jamal dan Perang Siffin yang telah menelan ribuan korban sahabat nabi wafat sebagai syuhada karena membela ijtihadnya masing-masing?

Di masa sayyidina Umar terjadi fase kemiskinan dan kelaparan yang dahsyat sampai dihentikan hukum potong tangan, belum lagi cucu Rasulullah SAW Sayyidina Hasan RA, yang sangat kita cintai diduga wafat karena diracun oleh lawan politiknya, begitu juga Sayyidina Husain RA meninggal sebagai syahid dengan sangat mengenaskan karena didzalimi oleh lawan politiknya yang sampai saat ini masih terasa traumatik kesejarahannya. Pembunuhan sayyidana Husaen RA tersebut juga dilakukan oleh Khalifah yang mengatasnamakan syariat Islam dan berdasarkan hadits. Idza buyi’a likhalifataini faqtul al-akhar minhuma (apabila telah dibai’at dua orang khalifah bunuhlah salah seorang di antara keduanya) (HR Muslim No 3444).

Riwayat di atas semakin meneguhkan hati saya bahwa dari catatan sejarah sistem apapun tidak akan menhilangkan kejahatan secara total. Yang wajib bagi kita ialah amar ma’ruf nahi munkar dan implementasinya sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing, begitu juga mengentaskan kemiskinan dan lain sebagainya yang penting itu bukan sistem tapi supremasi hukum atau penegakkan hukum.

Bagi saya Hulafa’ Al-Rurrasyidun itu tidak bersalah karena mereka semua mujtahid yang berusaha menegakkan hukum semampu mereka dalam pilihan ijtihat yang tegas, jelas dan memperhatikan kemaslahahatan. Sudah barang tentu hukum itu harus ditegakkan bukan diganti, maka NU terus berusaha menegakkan hukum ini sesuai dengan kemempuan ijtihadnya. NU pun mengkampanyekan jihad melawan korupsi, mencerdaskan umat Islam dengan mendirikan pesantren dan sekolah bahkan sampai perguruan tinggi yang berjumlah ribuan lembaga sepanjang untaian kepulauan nusantara. Di dalamnya dikaji Al-Quran dan al-Hadits beserta ilmu-ilmu yang melengkapinya, ikhtiar mengamalkannya secara optimal dimulai dari sholat berjmaah, meninggalkan maksiat dan berakhlaqul karimah.

Dalam amar ma’ruf nahi mungkar NU menggunakan cara pendekatan psikologis mendekati para napi, bromocorah, PSK untuk diajak bertobat kepada Allah SWT, mengkampanyekan anti mo-limo: madon, madat, maling dan lain sebagainya. Sistem apapun tidak mungkin menghilangkan kejahatan manusia, sebab fitrah manusia itu memang bisa berbuat salah dan sebagai buktinya ialah Allah SWT menyediakan neraka walaupun juga menyediakan surga.

Menurut saya ini adalah tantangan bagi kita untuk beramar makruf nahi munkar dan berdakwah sembari mencari strategi yang efektif demi tumbuh kembangnya Islam dan pemancangan akarnya yang kokoh di atas bumi sembari menyadari bahwa kita hanya berusaha dan Allah jua yang menentukan. Innaka la tahdy man ahbabta walakinnallaha yahdy man yasya’ (Al-Qashash: 56). Kejahatan itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan, tapi didekati dengan mauidhah hasanah dan mujadalah billaty hiya ahsan. Walau kunta Fadhdhan gholidhal qolbi lan fadhdhu min haulik (Ali Imran: 159). Kalau engkau keras, orang-orang yang kamu dekati akan lari, jadi harus lembut. Pelan tapi pasti. Basysyiru wa la tunaffiru (HR. Bukhari No 67). Berilah mereka kabar gembira, jangan buat mereka lari. Inilah prinsip ahlussunnah yang dipegang NU.

Tentang pernyataan bahwa pemilihan presiden yang dianggap hanya berdasarkan pada hukum manusia dan khilafah berdasarkan kepada hukum syara’, bukankah khalifah Abu Bakar RA dan Ali RA itu dipilih oleh rakyat sebagaimana wa amruhum syura bainahum (dan persolan mereka dimusyawarahkan di antara mereka pula), lantas apa perbedaannya kalau dalam realita sama-sama dipilih oleh rakyat?

Tentang pernyataan bahwa sistem DPR, DPD yang dianggap sistem kufur, saya kira ini keterlaluan, dan yang menyatakan itu sepertinya merasa menjadi hakim dalam menkafirkan orang. Padahal ketua MPR DPR DPD itu orang baik-baik, baik yang periode ini maupun periode sebelumnya, bahkan untuk ketua DPD, KH. Mahmud Ali Zain, Saya pernah berkumpul dengan beliau selama tujuh tahun. Dalam penilaian saya, beliau itu termasuk orang shalih, baik ibadahnya yang komplit mulai dari yang wajib sampai yang sunnah atau semangat juangnya yang terus berkobar hingga saat ini. Beliau memperjuangkan kemajuan Pondok Pesantren di Indonesia. Saya sebagai orang yang sama-sama tahu dari segi pengamalan keagamaannya. Dan setahu saya tugas-tugas lembaga tersebut adalah tugas mulia yang tidak bertentangan dengan Islam jika ada oknum yang tidak menjalankan tugas dengan baik tentu tidak bisa di generalisasi terhadap semua lembaga tersebut

Tentang harapan diadakannya dialog, alangkah bahagianya andaikata yang mulia Ustadz Ismail Yusanto (Jubir HTI) berkenan hadir dan berdiskusi dengan kami dan teman-teman kami di Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jember sambil duduk santai, minum teh hangat dan menikmati kurma ajwah (buah kurma yang konon pohonnya ditanam langsung oleh Rasulullah SAW), dan membuka kitab-kita tafsir dan hadits dengan pikiran jernih. Kami dengan senang hati dan tangan terbuka akan menyambut beliau dengan penuh kehangatan sebagai ikhwan sesama muslim. Mari kita lanjutkan. Saya selalu menungu respon dari semuanya.

KH Muhyiddin Abddusshomad
Penulis buku "Fiqih Tradisionalis" dan Ketua PCNU Jember

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team