|
|
1. Arah baru memandang Al Masih (peran dan tabiatnya) dalam agama Kristen menyebabkan krisis keimanan di Barat. Muhammad Asad (yang sebelum Islam bernama Leopold Weiss) juga mempunyai pandangan yang mendalam terhadap masalah ini. Dia menulis pada 1934, "Barangkali, faktor-faktor pemikiran terpenting yang menghalangi kebangitan agama di Eropa adalah pemahaman bahwa Al Masih adalah anak Tuhan ...para pemikir Eropa secara reflek terkejut dari pemahaman ke-Esa-an yang biasa mereka anut. Maka mereka mulai menolak pemikiran tentang Tuhan dan pemikiran tentang agama." Alangkah tepatnya Asad dalam hal ini, sebagaimana kita akan lihat. 2. Marilah kita pahami masalah ini dengan saksama. Kita akan melihat usaha keras untuk melakukan perubahan pada saat ini. Untuk itu, kita perlu menengok kembali Konsili Nicea tahun 325, dan hasil-hasil ideologisnya yang mematikan bagi masa 1600 tahun kemudian. Raja Romawi, Constantine I (Constantine Yang Agung), memerintahkan pada tahun 325 (saat ia masih memeluk kepercayaan Paganisme) untuk mengadakan konferensi Masconi di Nicea (Ezneik, saat ini), 195 kilometer dari Byzantine (sekarang ini, Istambul). Raja paganis tersebut memerintahkan (bukan Paus Silvester I), untuk mengadakan konferensi, yang dibuka oleh raja pada tanggal 20 Mei dan dihadiri oleh 225 pendeta (mayoritas mereka dari Timur) untuk merumuskan apa yang mereka namakan dengan "Undang-undang Keimanan" atau "Ideologi Nicea," yang menentukan dan menetapkan pemisah antara ideologi Kristen dari satu segi, dan ideologi Yahudi serta Islam dari segi lain. Tanpa persiapan atau pertemuan sebelumnya, atau diskusi serius, para pendeta tersebut menyetujui redaksi yang ditetapkan oleh raja paganis itu, yang menetapkan, "Isa Al Masih adalah anak Tuhan, dia adalah tuhan itu sendiri, bukan makhluk, namun terjadi dengan perantaraan tuhan bapak, dan berasal dari substansi tuhan sendiri." Dengan demikian, ditetapkan pokok kepercayaan embodiment, yang selanjutnya berkembang menjadi ajaran trinitas. Keputusan ini amat dramatis. Karena mayoritas umat Kristen pada masa itu (pengikut pendeta Arios di Alexandria dan umat Kristen dari bangsa Yahudi) meyakini bahwa Yesus tidak tersusun dari substansi Tuhan, namun ia hanyalah seorang manusia yang dipilih oleh Allah, atau ia adalah seorang rasul. Mereka, kemudian, dalam pandangan gereja diberi cap sebagai kelompok klenik. Oleh karena itu, mereka dimusuhi. [disebabkan hal itu dan kasus sejenisnya, Karl Disner mengkritik sejarah gereja, lihat: "Sejarah Kriminal Gereja", Rainback, 1986/1988]. 3. Teolog dan filosof Katholik serta Protestan berusaha keras dan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk dapat memahami dan menjelaskan proses embodiment dan trinitas secara rasional. Namun mereka selalu gagal. Apakah mungkin bisa digunakan cara lain? Oleh karena itu, mereka berdalih --dengan argumen yang sulit ditentang-- bahwa proses embodiment dan trinitas itu adalah masalah rahasia agama. Mereka juga menutup mata bahwa tidak ada sesuatu ajaran pun dalam ajaran Isa yang sahih yang mendukung hal itu. Bahkan sebaliknya, Isa --sebagaimana Nabi Muhammad Saw-- telah menegaskan bahwa dia adalah manusia seperti manusia yang lain. 4. Umat Islam tidak terpengaruh dengan apa yang mereka (umat Kristen) katakan tentang nabi Isa. Mereka tetap berpegang teguh pada apa yang diterangkan Al Qur'an al Karim. "Sesungguhnya misal (penciptaan) 'Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia." (Ali Imran: 59) Hingga mereka yang dinamakan Muslim modern atau ter-Barat-kan, hingga Islam KTP, semuanya mengamini ajaran Al Qur'an tentang ini. 5. Semenjak dua ratus tahun yang lalu, di dunia Kristen berkembang penolakan terhadap keyakinan bahwa Tuhan mempunyai anak. Hilangnya justifikasi akidah gereja tentang Isa, lebih jelas diteriakkan oleh realitas berkembangnya atheisme, skeptisisme, pengucilan gereja, dan berbondong-bondongnya manusia menganut aliran-aliran baru seperti antroposofi, Budha, Syamani India Merah, emansipasi wanita, dan sebagainya. Oleh karena itu, tentunya diusahakan dengan sungguh-sungguh --semenjak enam puluh tahun yang lalu-- untuk mengembalikan penafsiran anggitan Isa dalam ajaran Kristen. Pakar usaha ini adalah Karl Paret (1968), Rudolf Boltman (1976), dan Profesor Jesuit Karl Raner. Paret menganggap Isa sebagai manusia yang dipilih Tuhan. Penilaiannya amat mengejutkan, bukan? Sedangkan Boltman, dengan metode kritik historisnya, menggugurkan mitos-mitos dalam Perjanjian Baru, sehingga mayoritas teolog sepakat mengatakan bahwa adalah mustahil menentukan dengan pasti pribadi Isa secara historis dengan berpedoman pada Perjanjian Baru. Raner melakukan akrobat logika untuk memecahkan teka-teki Konsili Nicea. Dari satu segi, Raner bisa menjadi jembatan untuk mengembalikan teori embodiment, dengan mengatakan bahwa Isa adalah manusia yang melakukan penyerahan total kepada Tuhan (dalam bukunya, Problematika Al Masih Kontemporer). Embodiment dalam masalah ilham bisa terjadi secara teori kepada siapa pun, dan Isa adalah contoh konkret teori ini. Akan tetapi, dari segi lain, logika Raner yang nyleneh mengatakan bahwa bisa juga Tuhan menciptakan tuhan lain jika mau...! Keterangan tadi cukup untuk menjelaskan krisis mendalam tentang hakikat Al Masih dan perannya dalam agama Kristen. "Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian antara mereka. Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya (untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka Al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang menggoncangkan tentang kitab itu." (Asy Syuura: 14) |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Please direct any suggestion to Media Team |