Islam dan Pembebasan

oleh: Asghar Ali Engineer

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Kata Pengantar
Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita

Oleh: Djohan Effendi

Sejak lebih dari dua dekade yang lalu di kalangan umat Islam Indonesia dihadapkan pada gagasan tentang betapa perlu menghidupkan kembali "teologi rasional". Usaha menghidupkan kembali "teologi rasional" itu dianggap perlu untuk mengejar keterbelakangan umat Islam yang diakibatkan, menurut penganjur gagasan tersebut, antara lain karena mereka terbelenggu oleh "teologi tradisional" yang mereka anut. Teologi ini terutama dikaitkan dengan paham jabariah atau fatalisme, yang dianggap melahirkan sikap pasif, pasrah dan menyerah pada suratan takdir. Prof. Dr. Harun Nasution adalah salah seorang penganjur utama "teologi rasional" itu. Karena itu beliau dianggap sebagai pelopor kebangkitan apa yang disebut sebagai "Neo-Mu'tazilah". Tentu saja kita bisa mempertanyakan validitas konstatasi tersebut dilihat dari segi faktual. Bersamaan dengan itu menyembul pula gagasan tentang keperluan usaha pembaharuan dalam pemikiran umat Islam. Salah seorang penganjur utamanya adalah Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) yang mencanangkan ide "liberalisasi" dan "sekularisasi".

Gagasan pembaharuan itu makin menggema dengan lontaran-lontaran ide Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Ia menganggap gerakan "kultural" yang sibuk dalam tataran ide saja belum cukup, akan tetapi ia juga menentang gerakan "politik" yang cenderung memanipulasi agama untuk memperoleh kekuasaan. Gus Dur lebih menekankan perhatian dan pemikirannya pada gerakan "sosio-kultural yang bermuara pada transformasi sosial umat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam perspektif ini terasa "teologi rasional" saja tidak memadai dan tidak menjawab tantangan nyata yang dihadapi umat Islam. Kontroversi antara "teologi rasional" versus "teologi tradisional" bagi kalangan aktivis yang concern pada berbagai fenomena ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat tidaklah relevan. Dirasakan keperluan untuk merumuskan sejenis teologi yang lain, "teologi transformatif". Beberapa pemikir muslim mencoba menggali dan merumuskan "teologi transformatif" itu.

Kesadaran tentang keperluan "teologi transformatif" itu rupanya tidak hanya muncul di Indonesia, akan tetapi juga di negeri-negeri muslim lainnya. Kita bisa menyebut Dr. Hassan Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasari 'l-Islami (Kiri Islam) dan menulis karya monumental "Mina 'l-Aqidah ila 'l-Thawrah" (Dari Teologi ke Revolusi) sebanyak 5 jilid. Juga Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, "Revelation and Revolution in Islam" (Wahyu dan Revolusi dalam Islam). Selain itu harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India), yang terjemahan bukunya "Islam and Its Relevance to Our Age" ada di tangan pembaca sekarang ini.

Berbeda dengan kedua nama yang disebutkan di atas, Asghar Ali Engineer bukan hanya seorang pemikir, tetapi juga seorang aktifis. Kebetulan, ia merupakan pemimpin salah satu kelompok Syi'ah Isma'iliyah, Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay India. Melalui wewenang keagamaan yang ia miliki, Asghar Ali berusaha menerapkan gagasan-gagasannya. Untuk itu ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung bersikap konservatif, mempertahankan kemapanan.

Untuk memahami latar belakang keagamaan Asghar Ali, ada baiknya diketahui sepintas lalu kelompok Daudi Bohras ini. Para pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki Amiru 'l Mukminin. Mereka mengenal 21 orang Imam. Imam mereka yang terakhir Mawlana Abu 'l-Qasim al-Thayyib yang menghilang pada tahun 526 H. Akan tetapi mereka masih percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya dilanjutkan oleh para Da'i (dari perkataan itu berasal ungkapan Daudi) yang selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu. Untuk diakui sebagai seorang Da'i tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4 kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4) kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa di antara kualifikasi itu seorang Da'i harus tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali adalah seorang Da'i.

Dengan memahami posisi Asghar di atas kita tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer sangat vokal dalam menyoroti kezaliman dan penindasan. Ia menganjurkan bukan sekedar merumuskan "teologi transformatif" akan tetapi lebih dari itu. Asghar Ali menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi "teologi radikal transformatif". Ketika gagasan Teologi Pembebasan muncul di kalangan gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui Vatikan, ia menulis artikel "Teologi Pembebasan dalam Islam". Tulisan-tulisan dalam buku ini sarat dengan analisa filosofikal dan historikal untuk merumuskan "Teologi Pembebasan dalam konteks modern" seperti diinginkan oleh Asghar Ali.

Berdasarkan telaah kesejarahan terhadap dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW di masa-masa permulaan, misalnya, Asghar Ali sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang revolusioner, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan, dan beliau berjuang untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat di zamannya. Bertolak dari situ, agaknya, lalu Asghar Ali merevisi konsep dan pengertian mukmin dan kafir, yang berbeda dengan apa yang umum dipahami oleh umat Islam sekarang. Ia menulis:

"...orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan...".

Dengan demikian bagi Asghar Ali, seorang mukmin sejati bukanlah sekedar orang yang percaya kepada Allah akan tetapi juga ia harus seorang mujahid yang berjuang menegakkan keadilan, melawan kezaliman dan penindasan. Jadi, kalau ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan melawan kezaliman serta penindasan, apalagi kalau ia justru mendukung sistem dan struktur masyarakat yang tidak adil, walaupun ia percaya kepada Tuhan, orang itu, dalam pandangan Asghar, masih dianggap tergolong kafir.

Pemahaman dan penafsiran konsep mukmin dan kafir ini, saya rasa, adalah kunci untuk memahami pemikiran Asghar Ali. Yang pasti, untuk banyak orang akan mengagetkan. Dari situ ia menyodorkan reinterpretasi dan rekonseptualisasi tentang berbagai terma-terma keagamaan, dan menawarkan

reevaluasi terhadap berbagai gerakan-gerakan umat Islam di masa lalu dalam perspektif Teologi Pembebasan yang menuntut perubahan struktur sosial yang tidak adil dan menindas. Asghar Ali bahkan memaksa kita untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi kepercayaan, pemikiran dan sikap keberagamaan kita secara radikal. Tulisan-tulisan Asghar Ali dalam buku ini membantu kita untuk melakukan pemikiran kembali itu. Semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Oktober 1993


Date: Tue, 30 May 2000 12:39:42 +0700 From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id> To: is-lam@isnet.org  

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team