Kekuasaan Negara versus
Kekuasaan Perusahaan-perusahaan

oleh Ali Sugihardjanto*

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Sebenarnya, sudah terlalu banyak komentar di mass-media akan krisis aktual dewasa ini, terutama dari sudut pandang "ilmu ekonomi" sejak pertengahan tahun lalu. Sayangnya, komentar-komentar itu, tidak mampu memberikan penjelasan dan proposisi yang berarti. Kaum cerdik cendekia, elit kekuasaan dan pakar ekonomi kita, yang didominasi pemikiran visi jangka pendek dan dominasi pemikiran mahzab neo klasik, ternyata tidak mampu memberikan jalan keluar. Sungguh menyedihkan.

Mereka, terutama sebagian besar ahli ekonomi yang mewarisi pemikiran ilmu ekonomi mazhab neo klasik alias arus besar, ternyata telah mereduksi krisis aktual berkepanjangan kehidupan berbangsa, yang berdimensi sangat kompleks & lengkap terjalin dengan krisis kehidupan sosial-politik-budaya- ekonomi, menjadi hanya krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis moneter (krismon). Disamping itu, para ahli ekonomi Indonesia terbengong-bengong, namun tetap berbicara banyak melalui mass media, mencoba memberikan proposisi, usulan-usulan, deklarasi ataupun manifestasi yang makin membingungkan pembacanya karena pendapatnya terlalu teoritik, memberhalakan mekanisme pasar, berbeda dengan realita, ataupun mendekati absurditas. Meminjam ungkapan bahasa Perancis: c'etait beaucoup de bruit pour pas grand-chose!

Tentu saja, mereka mengajukan solusi-solusi terhadap krisis, sesuai dengan ilmu ekonomi arus besar yang dipelajarinya, dan pada dasarnya tidak akan jauh berbeda dengan pendapat lembaga-lembaga internasional seperti: IMF dan World Bank. Yaitu, mengembalikan mekanisme pasar dan atau menerapkan liberalisme ekonomi sebagai satu-satunya mekanisme dalam membawa ekonomi bangsa pada liberalisme kehidupan ekonomi tanpa batas. Guna memuluskan jalan itu, semboyan-semboyan yang menuntut penghapusan sejauh mungkin peran politik pemerintah terhadap mekanisme pasar, yang di sebut sebagai deregulasi dan atau usaha-usaha privatisasi disuarakan tanpa henti. Hal ini, bertepatan/sejajar dengan pengalaman individual dan kolektif bangsa yang buruk atas realita regulasi, yang dilakukan rezim-rezim yang pernah memerintah di republik Indonesia, melalui praktek-praktek KKN.

Namun jalan neo klasik ini, sebenarnya secara epistimologis tidak kuat, karena tabiat sejarah panjangnya akan sampai: diujung akumulasi dan ekspansi kapital, pemiskinan kelas pekerja dan krisis-krisis. Memamng mazhab ini sangat dominan dalam ilmu ekonomi, karena sebagai mazhab mereka didukung oleh kekuatan riel yang sangat dominan, seperti: Multinational Corporation, G-7, OECD, IMF, World Bank, dan tentu saja mekanisme internasional akumulasi kekuasaan dan kapital selama 500 tahun. Secara teoritis mazhab ini memiliki ciri-ciri khusus semisal: analisa jangka pendek, hiper-spesialisasi, sangat dogmatis kepada market mechanism, efisiensi tak berujung dan liberalisasi kehidupan ekonomi dunia, yang sangat menguntungkan pihak-pihak yang kuat.

Konsekwensi epistimologis mazhab ini, tidak mengenal diagnosa: analisa jangka panjang, analisa sejarah, analisa sosiologis, analisa budaya dan analisa politik. Seolah-olah dalam kehidupan modern ini yang terpenting adalah jalan ekonomi investasi alias efisiensi, dan waktu jangka pendek alias hari ini, kalau tidak hendak mengatakan disiplin-disiplin lain dianggap tak berguna dan hanya pantas ditaruh dalam keranjang sampah berlabel ceteris paribus.

Sistem kapitalis, atau liberalisasi ekonomi sebagai salah satu penyebab krisis, tentu saja tak pernah disinggung karena akan merugikan kepentingan pendukung-pendukung mazhab neo-klasik. Sebagai gantinya, sangat logis untuk menimpakan penyebab krisis pada intervensi negara, yang memang dengan mudah dapat ditemukan contohnya pada kehidupan sehari-hari. Padahal, hukum-hukum sejarah dan penelitian jangka panjang atas peradaban materiel atau sistem ekonomi kapitalis, menegaskan bahwa: sejarah peradaban materiel ini memiliki tiga unsur yang tak terpisahkan: kelas dominan, konsentrasi kekayaan dan krisis itu sendiri, sebagai mekanisme yang built-up dalam sistem kapitalis.

Sesungguhnya, di saat ini, terlalu dini untuk meramal dan menuliskan kematian peran negara dalam membela kepentingan umum. Sebaliknya pula, adalah terlalu riskan untuk menyatakan kemenangan ada pada mazhab neo klasik atau sistem ekonomi kapitalis, mengingat kenyataan empiris pada tanda-tanda zaman: berbagai krisis, kemiskinan massal, ketimpangan, langkanya kesempatan kerja dan lain-lain malapetaka akibat sistem kapitalis. Satu-satunya yang dapat dikatakan secara pasti tentang sistem kapitalis dan pembela-pembelanya kaum neo liberal dan nyaris mendekati kebenaran adalah bahwa, "mereka tak akan mengantarkan kita pada Kesejahteraan Umum dan Keadilan Sosial". Dengan kata lain, meskipun sampai saat ini peran Negara yang mampu membela kepentingan umum hanya merupakan impian, tetapi paling kurang peran Negara adalah bentuk pemikiran terbaik untuk menjaga kepentingan bersama.

Maksud artikel ini, lebih banyak ditujukan sebagai usaha menyebarkan pandangan kritis terhadap baik utopi ataupun realita peran negara dalam membela kepentingan umum di dalam sistem ekonomi kapitalis global. Atau artikel ini, tidak di fokuskan sebagai pembahasan jalan keluar dari krisis, tetapi lebih ditujukan sebagai pengantar untuk berbagai perdebatan dengan topik: Kekuasaan Negara versus Kekuasaan Perusahaan-Perusahaan.

Globalisasi Kapital

Sejak tahun-tahun 1980-1990, penyatuan dan unifikasi dunia akan model tunggal pembangunan, melalui kemajuan komunikasi, transportasi dan lomba-lomba memasukkan investasi dan hutang ke dunia ketiga, telah mengakibatkan makin eratnya nasib warga dunia terjerat dalam rantai sistem ekonomi kapitalis global. Sebagai konsekwensinya: tingginya rentabilitas untuk investor asing dan partner domestiknya, rendahnya gaji kaum buruh dan rendahnya harga bahan-bahan mentah. Agar lebih jelas, pada kesempatan ini, saya mencoba menggambarkan secara ringkas bagaimana "sistem ekonomi dunia" yang sebenarnya merupakan organisasi hubungan eksplotasi negara-negara selatan oleh negara-negara utara. Sistem tersebut, adalah hasil dari pengorganisasian ekonomi yang di bentuk di Eropa barat, beberapa waktu setelah revolusi industri dan disebarkan sedikit demi sedikit hingga ke seluruh dunia. Maka, bila dikotomi Utara-Selatan dipakai dalam demitosisasi Sistem Perekonomian Dunia maka hendaknya dicamkan betul, bahwa sistem ini adalah hasil/cetak biru dari sistem yang dibangun oleh kombinasi: kekuatan negara-negara & kekuatan-kekuatan akumulasi kapital belahan bumi Utara, demi kepentingannya.

Sebelum melakukan identifikasi ciri-ciri dari "sistem perekonomian dunia", yang menerangkan hubungan eksplotasi antara negara-negara utara atas negara-negara selatan yang kita kenal masa kini, saya ingin mengingatkan bahwa ciri-ciri sistem tadi adalah original dan belum pernah ada pada sistem-sistem yang eksis sebelumnya. Dengan demikian, kita hendaknya memahami sistem tersebut sebagai benar-benar khusus untuk masa sekarang, dengan keterbatasan historis.

Karena itu, kendati pun sistem ini bukan berarti sebagai sesuatu yang mutlak perlu, namun kehadirannya sebagai satu-satunya organisasi rasional yang dapat dipahami, menyebabkan (nyaris) semua lapisan masyarakat dunia menobatkannya sebagai kenyataan modern yang terpenting. Sepintas pada awalnya, kita beroleh kesan umum yang baik tentang ciri-ciri sistem tersebut, misalnya, pada keseluruhan hubungan yang meliputi hubungan tukar-menukar antara berbagai negara di benua-benua di muka bumi, antara lain: hubungan perdagangan, arus modal, migrasi atau perpindahan tenaga kerja, transfer atau pertukaran teknologi, pertukaran/kerjasama ilmu pengetahuan dan kebudayaan, perkumpulan, organisasi bersama dan penyertaan dalam aturan main. Tetapi kemudian, muncul beberapa ciri sangat baru dan sungguh berbeda dari ciri sebelumnya yaitu, bukan lagi menata bagaimana saling berhubungan, melainkan bagaimana intensifikasi dan perluasannya pada bidang-bidang yang makin beragam, beserta kemajuan generalisasinya (dalam artian, proses makin berkurangnya aktivitas ekonomi yang berada di luar jaringan perdagangan). Secara garis besar, "sistem ekonomi dunia" mungkin dapat dipahami sebagai satu jaringan yang makin penuh sesak bukan hanya oleh perdagangan, tetapi juga oleh institusi, dan tentu saja oleh hubungan kekuasaan antara berbagai aktor-aktor yang aktif dalam semua arena pergumulan/adu kekuatan di dalam ekonomi dunia.

Ciri-ciri "sistem ekonomi dunia" tersebut dapat diringkas dalam 4 kata; pertama, prométhéen (dimaksudkan, menuju suatu penguasaan tanpa batas atas kekuatan-kekuatan materiel dari alam semesta untuk manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan manusia) yang juga merupakan simbol penaklukan teknologi, dan ambisi tak bertepi, menuju suatu progres materiel tanpa akhir. Kemudian, ide progres materiel tanpa akhir, bergabung dengan keyakinan akan adanya kemungkinan sebuah kemajuan sosial, dan mereka lalu bermétamorphose (berubah bentuk) menjadi satu ide baru yang kemudian benar-benar akan merubah dunia, dimulai sejak abad aufklârung/pencerahan dan revolusi industri.

Ciri kedua, "sistem ekonomi dunia" yang dinamakan productiviste, bukan hanya karena sistem ini memproduksikan barang dan jasa untuk kepentingan manusia saja, tetapi ia juga meletakkan progres teknologi tanpa batas, guna melayani pertambahan terus-menerus dari berbagai jumlah barang. Ciri tersebut mengandung arti, penggunaan jumlah yang selalu bertambah atas barang-barang dan jasa-jasa, ke arah bertambahnya keragaman yang diperuntukkan bagi jumlah konsumen yang terus menerus pula meningkat. Masyarakat seolah-olah dihukum untuk selalu memproduksi dan mengkonsumsikannya, melalui kenaikan jumlah produksi dan konsumsi yang tak habis-habisnya.

Bergabungnya prométhéen dengan productiviste akan melahirkan ciri ketiga, expansioniste, yang secara mutlak menuntut keuntungan pada resources, memobilisasi tanpa batas keuntungan-keuntungan faktor-faktor produksi. Konsekwensi dari expansioniste tadi, melahirkan rasa tidak puas kepada organisasi yang statis selama ini, padahal pemobilisasian faktor-faktor produksi mengharuskannya menembus dan merambah seluruh daerah geografi dan daerah aktivitas, terutama melalui kolonialisme dan imperialisme. Akibatnya, penaklukan kemudian dilihat sebagai hal yang lumrah dan absah, suatu penjajahan dengan menggunakan kekuatan-kekuatan industri, militer atau promosi/iklan untuk konsumen.

Marchand yang merupakan ciri keempat dari "sistem ekonomi dunia", mendasarkan aktivitasnya melalui dua cara, pertama (bagian terbesar), pada perdagangan internasional, dan kedua, pada pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam pelaksanaannya, ciri yang keempat ini memerlukan dua bentuk aturan main; pemilikan prive dan solvabilitas. Dengan begitu, apabila pemilikan bersama/publik dikebiri, dan mereka yang memiliki harta dan kemampuan lebih mantap diistimewakan dari mereka lainnya yang kurang solvable, maka akan terjadi mekanisme pengucilan. Mekanisme tersebut berjalan melalui proses perniagaan di dalam satu masyarakat yang diatur oleh market mechanism, di dalam masyarakat yang mempunyai sifat-sifat dasar rivalitas (rasa bersaing) di antara para anggotanya.

Keempat ciri "sistem ekonomi dunia" itu, pada hakekatnya merupakan dan sepadan (compatible) dengan proses akumulasi kapital dalam skala mondial, yaitu dasar utama dari eksploitasi model lama mau pun model mutakhir. Lebih tepatnya, ciri-ciri tadi berfungsi sebagai alat untuk mendorong sistem kolonialisme ke tingkat yang lebih canggih dan sempurna.

Dalam rangka mempertahankan dominasi yang telah berlangsung selama berabad-abad, negara-negara utara juga butuh penyebarluasan model indutrialisasi, berupa konsepsi tunggal development/pembangunan yang diperkenalkan sebagai model lebih unggul dibanding model-model yang ada (harap dibaca, sebagai satu-satunya model rasional yang mungkin). Hal mana telah diterima secara aklamasi oleh elit dan cendekiawan Negara untuk kepetingan pribadinya. Pada intinya, model industrialisasi ini tidak akan menjawab kebutuhan/tujuan yang beragam, apalagi kepentingan warga negara negara-negara selatan. Model tersebut justru adalah satu proses akumulasi, sekaligus upaya pengucilan yang berlangsung tanpa batas waktu. Meminjam kata lain, "sistem ekonomi dunia" dengan model tunggal pembangunannya, tentu saja telah membayangkan konsepsi kwantitatif dari kemajuan materiel yang lebih tinggi, atau dapat diterjemahkan melalui peningkatan keragaman jumlah barang niaga yang ditawarkan melalui pasar individu konsumen, tanpa peran Negara dalam merealisasikan Kesejahteraan Umum.

Keadaan ini, lantas mengakibatkan transformasi cara berproduksi, dengan tujuan agar pertumbuhan tanpa batas dapat dimungkinkan melalui cara mobilisasi intensif berbagai bahan mentah, pembagian kerja/spesialisasi, kemajuan teknologi dan akumulasi kapital yang semuanya kemudian tersohor sebagai industrialisasi atau modernisasi. Metode ini, seiring dengan pelbagai peristiwa di dunia selama lebih dari 200 tahun, telah menyebar ke seluruh dunia dan secara bertahap warga masyarakat dunia tiba pada sikap penerimaan total, pada suatu kondisi sine qua non. Sebagai hasilnya, nasib negara-negara selatan seakan telah digariskan, untuk mengikuti arah tunggal menuju satu "sistem ekonomi dunia", terutama dengan diterimanya mekanisme modernisasi yang bercirikan prométhéen, productiviste, expansion dan marchand. Ibarat dua sisi sebuah mata uang, maka "sistem ekonomi dunia" pada satu sisinya, telah tampil beserta civilisation matérielle, yang secara luas diakui telah sukses mengantarkan masyarakat negara-negara utara ke tingkat hidup yang tinggi, namun di sisi lain, sistem ini justru menambah parah kemiskinan di negara-negara selatan sambil mengantarkan tugas Negara hanya mendukung kepentingan modal raksasa, melalui pemberhalaan investasi. Dalam bahasa lain, Negara ikut berkomplot sebagai produsen pembangunan (développement), sekaligus produsen keterbelakangan masyarakat (sous développement) mayoritas dunia.

Pertanyaan penting yang mengganggu, benarkah sejarah perjuangan anti eksplotasi telah tiba kepada akhirnya? Lalu, mana hasil-hasil peninggalan perjuangan emansipatoris dan jalan panjang kesadaran pada nilai-nilai kemanusiaan? Nampaknya, aksioma bahwasanya infrastruktur ekonomi menentukan aturan-aturan pada super struktur politik dan sosial, mempunyai alasan. Banyak bukti telah menggambarkan dominasi ekonomi atas kehidupan politik, sosial dan budaya masa kini. Misalnya ciri-ciri kehidupan sosial sehari-hari pada hubungan penggajian, spesialisasi, kelas dominan dan konsentrasi kekayaan, pada kehidupan politik dengan peran super power dan institusi-institusi internasional dalam menyelesaikan sengketa politik, dan pada kehidupan kulturil di mana kekayaan sebagai simbol prestise, konsumerisme.

Dominasi ekonomi melalui sistem perekonomian dunia versi Bank Dunia, IMF dan segelintir institusi ekonomi tersohor dunia lainnya, ternyata telah memperlebar jurang antara kelompok negara-negara miskin dengan kelompok kecil negara-negara kaya. Jurang itu, bagaimana pun, menyebabkan penderitaan kepada kedua kelompok bangsa-bangsa di dunia tadi, dan terutama menghantui hidup sesehari kelompok negara-negara miskin sebagai pengalaman buruk mereka yang tak kunjung habis. Pemisah yang menganga lebar dan dalam itu, juga dapat dilihat secara lebih gamblang pada ketimpangan perdagangan dunia. Misalnya, di tahun 1993 saja, sepertiga dari arus perdagangan mondial (senilai 1.100 milyar dolar) merupakan transaksi intern di antara institusi-institusi ekonomi dunia tersebut bersama dengan 35.000 perusahaan internasional dan 170.000 perusahaan filialnya masing-masing. Mereka itu semua, meraup chiffre d'affaires (turn over) lebih dari 25% dari GDP mondial, hal yang jarang dibahas dalam arus komunikasi sekarang dan nampaknya dianggap sebagai satu hal yang sudah selayaknya.

Kalaulah kita cukup cermat meneliti sistem kapitalis, yang telah dibangun selama 500 tahun dan berhasil eksist diseluruh penjuru dunia, maka akan ditemukan berbagai paradigma baru akibat hegomoni sistem, termasuk dalam peran Negara dalam membela kepentingan umum.

Nampaknya sejarah panjang, tradisi eksplotasi sang Utara terhadap si Selatan melalui sistem kapitalis: stabilitas, adjustment structuril dan budaya materiel, ternyata makin mengurangi peran negara. Atau dengan kata lain, negara tidak lagi mampu berperan sebagai lapisan ozon melindungi masyarakat dari sinar infra merah (harap dibaca sistem kapitalis), dan atau masih belum mampu membawa masyarakat ke ujung/tikungan jalan baru yang menuju masyarakat dunia yang lebih berkesejahteraan umum dan berkeadilan sosial.

Sejarah Panjang Hubungan Negara dan Pasar

Menurut sejarahnya, Kapitalisme lahir di Eropa, para ahli sejarah menyamakan tanggal lahirnya dengan revolusi industri, bertepatan pula dengan penghapusan perbudakan dunia di abad XV dan XVI, dan atau, Revolusi Perdagangan di Abad Pertengahan. Memang sebelum pusat-pusat perdagangan seperti Venisia, Genoa, Lubeck, Hamburg, Roma dan Athena belum mengenal tehnik perdagangan luar negeri dan keuangan internasional, bangsa-bangsa Punisia dan Samaria telah mewariskan ilmu-ilmu tersebut kepada pedagang-pedagang Eropa. Pada waktu itu, menurut Immanuel Wallerstein dalam bukunya: Le Systeme du monde du XVe siecle a nos jours, tentu saja perdagangan dunia dan keuangan international, belum masuk dalam bangunan sebuah sistem ekonomi struktural dan beorientasi menuju akumulasi modal tak bertepi. Pada masa itu pula, keadaan pusat-pusat pemerintahan/negara dalam keadaan lemah, akibatnya pengembangan kekuatan ekonomi dibangun di negara-negara kota, dengan kebebasan penuh dari perdagangan dari pengaruh dan aturan-aturan pusat kekuasaan. Ekspansi berbagai jaringan perdagangan yang kemudian menyebabkan arus besar penghapusan perbudakan pada abad XV dan XVI, sejajar dengan akumulasi kekayaan akan tetapi tidak sejajar cara-cara kepentingan kehidupan publik. Kondisi ini, pada pertama kalinya menempatkan market mechanism sebagai ganti hukum-hukum Negara imperial, yang mengatur perdagangan pada masa itu. Kehancuran kekuasaan politik dan kekuasaan agama oleh kekuatan ekonomi adalah perubahan terpenting dan mendasar, yang memungkinkan berkembangnya sistem kapitalis.

Karl Polanyi, dalam karyanya: La Grande Transformation: Aux origines politiques et economiques de notre temps, mengemukakan: perubahan di atas bukanlah hasil dari pembongkaran politik dalam negeri, melainkan evolusi penetrasi Market Mechanism pada sebuah perubahan menuju ke luar negeri melalui masyarakat dalam negeri. Dengan kata lain, sangatlah penting ruang terbuka oleh perdagangan-perdagangan dengan dunia luar dan bukan oleh regulasi-regulasi pemerintah yang mengganggu kepentingan kapitalisme.

Kemudian, tiba masanya persekutuan antara kaum pedagang dan kaum pengusaha dengan Negara-negara (dalam artian sebagai fasilisator), yang menghasilkan akselerasi perkembangan akumulasi keuntungan dan modal sampai ribuan kali turn over perdagangan. Ini terjadi pada masa industrialisasi dan internasionalisasi kolonial, namun disini peran Negara tidak akan menguntungkan masyarakat banyak, kalaulah tidak dipaksa atau dipertentangkan dengan kekuatan masyarakat itu sendiri (buruh, tani dan lain-lain).

Pada paruh pertama abad XX, timbul reaksi mazhab Keynesian, yang membuka kesempatan Negara berperan, tentu dengan kondisi ada kekuatan-kekuatan masyarakat yang berjuang, seeperti perjuangan buruh untuk menetapkan upah minimum, cuti hamil dibayar dan lain-lain. Pada periode ini, kekuatan Negara hampir sejajar dengan kekuatan ekonomi, tentu saja dengan syarat ada perjuangan masyarakat atau kondisi Negara yang bukan: diktatur, feodal alias adanya de-akumulasi kekuasaan (yang biasa disebut demokrasi). Namun dengan sampainya kita pada era setelah 1980-an, kembali terjadi tendensi yang amat sangat memberatkan kepentingan umum, terutama dengan globalisasi kapital, melalui keterbukaan ekonomi dan kebutuhan investasi sebagai satu-satunya jalan pembangunan. Negara kembali bersekutu dengan kekuatan ekonomi, dalam artian pembantu dan garantor kepentingan kekkuatan-kekuatan ekonomi, yang tentu saja berlawanan dengan kepentingan umum.

Dengan kata lain sesudah tahun 80-an, kehidupan riel masyarakat dunia ditandai, dengan hancurnya peran negara dalam melakukan regulasi-regulasi untuk kepentingan umum, baik oleh perkembangan berbagai institusi adi kuasa (MNC), umpamanya melalui G-7, ataupun oleh sebab kondisi politik Negara yang masih bersifat diktatur, feodal dan lain sebagainya.

Batas-batas Konsep Kekuasaan Negara

Bait keempat dari preambule/mukadimah undang-undang dasar negara republik Indonesia 1945, yang dibacakan pertama kali di dalam sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai sehari setelah proklamasi kemerdekaan, menggambarkan secara jelas tugas-tugas negara muda ini, yaitu:

"... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ... "

Perihal bentuk negara yang diinginkan oleh para bapak pendiri republik, dengan jelas tertera pula pada bab I (bentuk dan kedaulatan) persisnya pada pasal 1 & 2 sebagai berikut:

"Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat."

Jean-Jacques Rouseau sendiri (1717-1778), sudah mebayangkan pada masa itu, bahwasanya Negara atau l'Etat adalah: "kesatuan emosi dan kejiwaan yang merupakan ekspresi terbaik dari kehidupan bersama/bermasyarakat". Pandangan tersebut, bukan merupakan satu-satunya pencerminan optimis atas Negara ideal, karena para pembela lainnya tentang pemikiran peran Negara menuju ke masyarakat adil dan makmur, merupakan bagian terbesar pemikir mengenai peran Negara, sedikitnya hingga abad ke XX. Pendek kata, para cerdik pandai dan masyarakat umumnya, masih cenderung percaya bahwa Negara memiliki kapasitas untuk mengantarkan masyarakat pada agatosopia (a good place to live in), melalui pengaturan-pengaturan. Perdebatan-perdebatan di masa itu, lebih banyak diwarnai oleh bentuk Negara yang bagaimana yang lebih mampu melakukan regulasi-regulasi menuju kepada kehidupan bermasyarakat yang terbaik.

Di satu pihak, Montesquieu yang terkenal dengan publikasinya De l'Esprit des lois, mengkritik keras bentuk-bentuk negara yaitu despotisme oriental dan monarki absolut (ala Louis XIV), dan membela perlunya pembagian kekuasan, disebut kemudian sebagai trias politica (eksekutif, legislatif dan judikatif). Yang jelas, Montesquieu mewakili pemikiran mazhab kontinental dalam memecahkan krisis besar tahun 1929 dengan cara politik atau persisnya melalui de-akumulasi kekuasaan alias demokrasi-sejati, dibanding mazhab anglo-saxon yang mementingkan effisiensi melalui industrialisasi.

Sementara perdebatan teori mengenai peran Negara antara mazhab besar kontinental dan anglo-saxon, berlangsung terus sampai sekarang, di mana masing-masing memiliki kelompok pembela dan hanya terkadang terdapat perubahan-perubahan yang kemudian menjadi sintesa (baru); padahal di dalam kehidupan nyata ekonomi dunia khususnya sejak revolusi industri, lahir hal yang berbeda. Kehidupan ekonomi global tersebut justru tumbuh menyerupai perkembangan manusia, di mana antara periode anak-anak dan dewasa, terdapat perubahan yang sangat berbeda melalui pertumbuhan anak yang cepat dan nyaris bukan sintesa dari perubahan-perubahan sang anak ketika ia masih bayi. Perubahan ekonomi dunia yang amat sulit dikenali dari akarnya itu, terutama terjadi dalam hal peran keuangan, perbankan dan perdagangan global.

Pada kasus Eropa misalnya, para bankir adalah kelompok profesi yang dinilai punya fungsi kunci di dalam revolusi industri. Mereka mengawali usaha-usahanya sebagai lembaga financial di benua tersebut, dan tumbuh perlahan bersamaan dengan beragam penemuan teknik, mesin dan pabrik, untuk kemudian mulai ikut membiayai ekspedisi-ekspedisi ekspansionis dan atau penaklukan-penaklukan (khususnya keluar Eropa), melakukan perdagangan luar negeri, bahkan eksplotasi ekonomi di hampir seluruh kawasan dunia. Kemajuan teknologi angkutan publik dan telekomunikasi satelit, ditambah suksesnya produksi massal, telah menggiring ekonomi dunia kepada satu sistem ekonomi dengan akumulasi kapital yang mirip gurita raksasa, dan pada akhirnya kini, sistem tersebut berhasil memperoleh kedaulatan yang lebih besar dari kedaulatan Negara, apalagi terhadap negara-negara selatan.

Namun, setelah tahun 80-an apa pun hasil-hasil pembahasan teori dan perdebatan akademis di laboratorium para cendekia dan bijak bestari dunia saat ini, satu hal terpenting sudah terjadi dan secara sepakat mereka bersama mengakui, bahwasanya peran Negara modern telah merosot. Alasan pertama, peran itu menciut karena Negara modern sangat membutuhkan para pemilik modal yang ternama sebagai multinational corporation (MNC) untuk pembangunan di dalam negeri. Padahal, Negara hanya mungkin mengundang para rangkayo MNC melalui bermacam konsesi, di samping keuntungan-keuntungan komparatif. Yang kedua, Negara yang kendati pun mewakili seluruh kuasa rakyatnya, terbukti (lebih sering) tidak mampu mencegah (apalagi melarang) para para pemilik modal raksasa tadi untuk memindahkan aktivitas ekonomi mereka ke lokasi lain yang lebih murah dan yang menguntungkannya. Kalau dibalik jadi begini: peran dan kekuasaan Negara hanya mungkin dipahami, sejauh ia tidak dipertentangkan dengan para pemilik modal (MNC).

Penyebab lain dari merosotnya peran Negara, boleh dikatakan berakar dari organisasi negara itu sendiri, antara lain: birokrasi yang tidak efisien, fungsi birokrasi sebagai service public lantas sangat berkurang ketika ia berubah menjadi kasta white collar, pemerintah yang lebih mementingkan untuk mempertahankan kekuasaannya ketimbang melindungi & memajukan rakyat, kurangnya pemerataan pendapatan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Semua jenis disfonctions tersebut, menyebabkan Negara berjalan makin menjauh dari tugas utamanya yang telah tercantum di dalam konsep Negara ideal, dalam membela kepentingan umum.

Dalam keadaan disfonction, Negara akan mengalami banyak kesulitan untuk mengintegrasikan bangsanya kepada "sistem ekonomi dunia" yang dimotori oleh akumulasi kapital global, dengan ciri terpenting: produksi massal, konsumsi massal dan promosi. Sementara itu menurut Karl Marx tentang Teori Kapitalisme, yang dapat dibaca pada Das Kapital, "sistem produksi dan perdagangan mereproduksi sendiri secara spontan, sebagai mekanisme automatis, dan Negara mungkin ikut memproduksi sistem kapitalis pada periode akumulasi primitif. Namun kapitalisme mereproduksi sendiri kondisi untuk eksistensinya".

Entah karena Negara tidak mampu berfungsi sebagai "lapisan ozon" yang memayungi warganya dari bahaya sinar infra merah (harap dibaca: eksplotasi ekonomi), ataukah ada alasan lainnya (sifat diktatur, feodal, bathil dan zalim), tapi yang lebih sering terjadi, Negara justru berada pada posisi yang (ikut) membantu eksplotasi ekonomi.

Keadaan di atas tadi, menyebabkan pula beberapa pemikir ekonomi modern bertanya: apakah mungkin lebih baik mengikuti pengembangan dari pemikiran Neo Liberalisme. Robert Nozick contohnya, menghendaki adanya minimal state, di mana Negara hanya berfungsi secara minimal yaitu "sebagai polisi" saja, persis sesuai dengan keinginan "pakar ekonomi" mazhab Neo Klasik, sehingga memungkinkan maksimisasi kegunaan (max µ) atas proses produksi dan perdagangan dengan aturan main Hukum Rimba. Atau, kalau ingin memilih maximal state, timbul pertanyaan: syarat-syarat apa saja yang diperlukan oleh maximal state (sebagai lawan minimal state) agar ia dapat berfungsi dengan benar? Dalam hal ini Norberto Bobbio mencoba menjawab: "Negara adalah, di mana kekuasaan publik diatur oleh norma-norma umum (yang fundamental maupun konstitusional) dan ia harus dijalankan di dalam pengaturan undang-undang, yang mana warga negara mempunyai hak perlindungan dari jalan lain untuk menuju kepada satu pengadilan yang mandiri dalam upaya menegakkan aturan main dan berjaga dari penyalahgunaan atau tindakan berlebihan dari kekuasaan".

Melalui sedikit pemaparan secara ringkas sejarah kekuatan Negara dan kekuatan ekonomi pada jaman globalisasi kapital dan/atau "sistem sosial liberal modern", keprihatinan timbul, karena ketika kelompok negara-negara selatan termasuk Indonesia mengenal dan "dipaksa" menerima Kapitalisme Global, serta sejenisnya sebagai model tunggal pembangunan dunia, sistem produksi tadi justru sedang menuju pada posisi anti-klimaks kejayaannya. Sehingga, bila di awal pertumbuhannya, sistem Kapitalis memberi kesejahteraan berlimpah kepada kelompok negara-negara utara, maka di usia senjanya, "sistem ekonomi tunggal dunia" tadi telah menimbulkan ketimpangan sosial, dominasi sistem teknik, menghapuskan kesempatan kerja dan bahkan pengucilan, yang semuanya bermuara pada eksplotasi ekonomi.

Kesedihan yang lain, sampai sekarang belum ada kritik yang benar-benar mendasar terhadap Sistem Kapitalis, yang telah menjadi kenyataan riel sistem ekonomi dunia yang expansioniste dan productiviste bersama motor-motornya: ekonomi pasar, masyarakat konsumsi, beserta hubungan kekuasaan dengan pengeksplotasian. Dengan demikian, kita lantas membayangkan betapa berat tugas-tugas yang harus dihadapi oleh para pembela mazhab kontinental untuk menemukan alternatif atas Konsep Negara sebagai lapisan ozon, yang melindungi masyarakat banyak terhadap kekejaman sinar infra merah (baca: kekejaman sistem kapitalis).

Mencari Kemungkinan-kemungkinan Terjauh Konsep Negara Ideal

Oleh karena sempitnya halaman pada artikel ini, saya hanya bisa menganjurkan untuk mempelajari konsep-konsep Negara, menurut Marx, Offe, Habermas dan Poulantzas, agar dalam menyusun konsep negara tetap sebelah kiri jalan, tidak telarut dalam kedigdayaan sistem Kapitalis seperti penganut mazhab Neo Klasik. Saya sendiri hanya mampu memajukan proposisi-proposisi untuk bahan diskusi: mencari konsep Negara Ideal yang mampu membela kepentingan umum, seperti dibawah ini:

Pertama, atas krisis struktural fungsi Negara, mengharuskan akal dan budi kita bertanya akankah ada jalan keluar ekonomi untuk globalisasi sistem kapitalis? jawaban atas pertanyaan tadi tentu saja menghasilkan banyak kesangsian: pertama-tama tergantung bagaimana maximisasi peran Negara dapat eksist dan atau berfungsi, dengan seluruh institusi kepentingan yang mungkin menuju transisi demokrasi riel (de-akumulasi kekuasaan).

Kedua, arus besar mazab ekonomi tidak memiliki jalan keluar alternatif, selain menyerahkan terutama pada usaha menyusun sistem sosial yang sosialistis dan mengharamkan liberalisasi ekonomi, mekanisme pasar dan krisis-krisis yang lain.

Ketiga, oleh karena kompleksitas masyarakat sekarang, sudah seharusnya ilmu ekonomi meningkatkan diri menjadi meta ekonomi, dalam artian sebagai ilmu ia harus berdiri pada keempat elemen yaitu ;empirisme, rationalisme, imaginasi dan verifikasi, bukan hanya salah satu elemen saja.

Keempat, perubahan dalam masyarakat ternyata merupakan hasil interaksi institusi-institusi disertai kepentingan masing-masing, sedangkan hasil interaksi itu sangat berbau kekebetulan sosial. Agar dapat menghadapi fenomena masyarakat ini, maka sudah saatnya penyusunan Konsep Negara Ideal, meningkatkan methode analisanya yang merupakan implikasi dari konfrontasi dan tukar menukar metode, dalam sudut pandang diantara berbagai disiplin ilmu (metoda interdisipliner).

Kelima, kompleksitas hubungan-hubungan fenomena Negara yang berkait dengan Norma semisal: keadilan sosial, dalam artian luas mengharuskan Negara memasuki dimensi-dimensi: kemanusiaan, sosial budaya dan ekologi.

Keenam, Konsep Negara Ideal paling tidak harus mengandung kemampuan untuk melakukan relasi-regulasi terhadap Pasar Modal. dengan alasan ketika sistem Kapitalis menjadi Megakapitalis (sistem Kapitalis Global), maka sudah sepantasnya Negara membangun politik regulasi dalam tingkat yang sangat tinggi, untuk mengimbanginya.

Akhirnya pencarian paradigma baru tentang Negara Ideal harus berkait dengan usaha-usaha yang arif dan serius, seperti: memberikan dimensi sosiologis, politik dan budaya dalam kerangka interdisipliner, meta ekonomi dan menghindari dogmatisme akan keampuhan mekanisme pasar. Maka sebagai jalan keluar krisis aktual Negara, proposisinya sebaiknya berakar jua dari keharusan menemukan sebuah cara memerintah baru beserta realita kondisi kehidupan kesadaran warga untuk memperjuangkan kepentingannya.

Rawamangun, 20 Mei 2000

*) Direktur Pusat Studi Ekonomi Internasional, Lahir di Wonosobo, 2 Mei 1947, Sarjana Ekonomi Universitas Gajah Mada, 1973, Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara, Jakarta, 1974-1978, Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales Paris, Perancis, 1990-1998

Artikel ini diambil dari Jurnal Kritik, Jurnal Pembaruan Sosialisme
Volume 1/Tahun I, Juni-Juli 2000


Date: Sun, 31 Dec 2000 17:30:19 +0700 From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id> To: is-lam@isnet.org

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team