Teks Ketuhanan dan Pluralisme pada Masyarakat Muslim

oleh: Mohamad Shahrour
penterjemah: Mohamad Zaki Hussein

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

Pluralitas dapat diartikan sebagai agama, kebangsaan, pandangan politik, yurisdiksi politik, dan pendapat perseorangan, yang kesemuanya berkumpul bersama--di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, berbicara mengenai pluralisme di dalam masyarakat Muslim adalah berbicara mengenai kemerdekaan dan demokrasi.

Di dalam konteks seorang Muslim, kemerdekaan dan demokrasi harus dipahami dalam kaitannya dengan tradisi dan warisan Arab, khususnya Islam, dan dalam cara di mana hal itu berhubungan dengan kejadian-kejadian yang ada di sekitar pembentukan sebuah negara pada abad ketujuh di Madinah. Negara ini didasarkan atas kebangkitan dari sebuah pesan Ketuhanan yang baru, yang melengkapi dan mengakhiri semua pesan Ketuhanan yang sebelumnya. Dari sudut pandang ini, masyarakat Arab bersifat kohesif, dengan konvensi, nilai-nilai moral, dan peradabannya sendiri.

Secara khusus, kita harus mengetahui bagaimana orang-orang pada saat itu bereaksi terhadap negara baru ini, dengan didasarkan atas kepentingan politik dan sosial mereka. Selama masa pemerintahan Nabi Muhammad, konflik kepentingan tidak terjadi secara terbuka. Dengan kematiannya, konflik secara cepat tumbuh pada suku-suku, keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok lainnya, setiap dari mereka mengklaim sebagai pengikut yang paling benar dari Nabi, dan juga mengklaim kebenaran absolut. Konflik-konflik ini terus berlangsung sampai sekarang di dunia Muslim-Arab, dan termanifestasi di dalam keberadaan dari sekte-sekte Muslim yang berbeda-beda.

Dari akhir abad kesembilanbelas sampai dengan sekarang, sebuah slogan populer telah didengarkan: "Islam adalah solusinya." Ini berarti bahwa Islam adalah satu-satunya petunjuk ke arah keselamatan, dan menawarkan satu-satunya jalan keluar dari krisis yang berbeda-beda. Islam itu sendiri adalah satu-satunya jalan untuk membangun sebuah masyarakat yang adil dan merdeka--dengan kata lain, sebuah masyarakat Islam. Tetapi saya sering bertanya-tanya, Islam yang manakah yang dimaksud? Apakah Islam-nya Al-Qur'an dan Nabi Muhammad, atau Islam yang tumbuh melalui banyak kejadian dan keadaan historis yang berbeda-beda? Solusi seperti apakah yang ditawarkan oleh Islam? Permasalahan-permasalahan apakah yang diandaikan dapat diselesaikan oleh Islam?

Di bawah keadaan yang seperti itu, masyarakat Muslim Arab telah terbagi ke dalam dua aliran. Kelompok yang pertama berpegang secara ketat kepada arti literal dari warisan, dalam rangka mempertahankan keutuhan karakter dan identitas nasional mereka. Dengan pertimbangan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran absolut, mereka yakin bahwa apa yang cocok untuk komunitas pertama dari orang-orang yang beriman di zaman Nabi, juga cocok untuk semua orang-orang yang beriman di zaman apapun. Kepercayaan ini telah menjadi absolut dan final.

Di dalam keadaan sekarang ini, kepercayaan seperti itu sering didorong oleh kondisi politik dan ekonomi, di mana ketidakpuasan orang-orang terhadap status quo di banyak negara menggiring mereka untuk menerima slogan bahwa "Islam adalah solusinya." Kebanyakan dari kelompok ini menganggap parlemen dan pemilihan umum sebagai bagian dari bid'ah barat, dan bukanlah cara yang benar untuk memerintah sebuah negara Islam. Sebaliknya, mereka percaya bahwa hanya Allah yang menyediakan legitimasi untuk sebuah negara, yang mana berarti bahwa negara harus dikontrol, baik oleh kependetaan profesional (seperti pada kasus di Iran) atau oleh ulama (otoritas religius).

Negara didasarkan atas sebuah legitimasi yang diambil dari warisan asli manusia, dan tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu di bidang pemikiran politik. Teori politik mereka didasarkan atas Khalifah dan Imamah (yaitu, otoritas Islam yang unggul) serta ketaatan kepada para pembuat-kebijakan, dan tidak memiliki teori yang orisinil tentang kemerdekaan dan hak asasi manusia.

Kelompok yang kedua telah cenderung untuk menyerukan sekularisme dan modernitas, menolak kesemua warisan Islam, termasuk Al-Qur'an sebagai bagian dari tradisi yang diwarisi, yang hanya akan menjadi narkotik pada pendapat umum. Bagi mereka, ritual adalah sebuah gambaran mengenai ketidakjelasan. Memimpin di dalam kelompok ini adalah kaum Marxis, Komunis, dan beberapa kaum nasionalis Arab. Tetapi semua kelompok ini telah gagal di dalam memenuhi janji mereka untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Mereka telah berusaha untuk membangun sebuah negara sekular yang memonopoli kebenaran, menghalangi ekspresi publik apapun mengenai pluralisme. Hal ini, bagaimanapun juga, adalah sebuah pemutarbalikan dari sekularisme, yang tidak membawa monopoli negara dalam bentuk apapun terhadap kebenaran.

Kembali Kepada Teks

Di antara kedua kelompok ini, sebuah aliran yang ketiga telah bangkit. Sedikit suara, termasuk suara saya, telah menyerukan untuk kembali kepada al-tanzil, teks asli dari wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Nabi. Di dalam apa yang secara umum dikenal sebagai Al-Qur'an, terdapat dua aspek yang berbeda. Yang pertama adalah peramalan, yang menggambarkan perbedaan antara realitas dan ilusi. Yang kedua adalah mengenai perilaku moral dan hukum. Di dalam hal ini, aspek yang pertama bersifat obyektif dan dengan demikian terlepas dari penerimaan manusia. Aspek yang kedua bersifat subyektif, tergantung dari pengetahuan manusia, seperti misalnya, mengenai kemampuan manusia untuk mengetahui yang benar dari yang salah.

Di dalam keyakinan saya, al-tanzil adalah suatu keseluruhan yang bersifat Ketuhanan, mencakup, baik ramalan yang bersifat obyektif maupun pesan yang bersifat subyektif. Ia adalah sebuah teks Ketuhanan, sedangkan yang lainnya adalah bagian dari peninggalan yang diwariskan. Semua interpretasi, termasuk tafsir (exegesis) atau ijtihad (pemikiran sendiri) adalah; tidak lain daripada usaha manusia untuk mengetahui dan bertindak terhadap teks Ketuhanan ini.

Sikap fatalisme yang menimpa banyak orang Muslim Arab berasal dari kekacauan antara ramalan Tuhan dengan pesan mengenai bagaimana hidup secara moral. Ramalan terbatas hanya untuk hal-hal tertentu yang terpenting, bahwa semua manusia akan mati dan dibangkitkan. Tetapi manusia memiliki sebuah kehendak bebas untuk menentukan sendiri perbuatannya dalam kaitannya dengan pesan Tuhan, dan dalam hubungannya dengan kehidupan mereka sendiri. Di akhirat, mereka akan diadili oleh Tuhan untuk cara penggunaan kehendak bebas mereka. Tetapi, sayangnya, banyak orang Muslim Arab telah mengacaukan antara ramalan yang tidak bisa dihindari dengan ketiadaan kehendak bebas. Tuhan akan tahu semua pilihan yang akan saya hadapi besok di dalam membuat keputusan, tetapi adalah saya yang akan memilih satu dari pilihan-pilihan tersebut. Inilah kehendak bebas saya.

Pada tahun 1970, ketika saya masih menjadi mahasiswa National University of Ireland di Dublin, banyak pertanyaan mulai terbentuk di dalam pikiran saya. Saya berkesimpulan bahwa sekolah modernitas, di dunia Muslim Arab, telah membuat beberapa kesalahan.

  1. Mereka memahami agama dengan sangat bersandar kepada pandangan para agamawan dan institusi agama; Mereka menolak seluruh peninggalan Islam yang diwariskan, yang mana melepaskan mereka dari akar sejarah dan afiliasi nasional mereka sendiri;
  2. Mereka menolak semua pesan Ketuhanan, yang dengan demikian mengenyampingkan moralitas itu sendiri sebagai sebuah prinsip untuk masyarakat; dan Mereka percaya hanya pada materialisme sebagai dasar dari eksistensi, sehingga menghasilkan sebuah pandangan mengenai manusia hanya sebagai unit-unit statistik.

Lebih jauh lagi, saya menemukan bahwa kaum klasik, fundamentalis tradisionalis, dan fundamentalis ekstrem juga telah membuat beberapa kesalahan:

1. Mereka telah merubah pesan universal Islam menjadi sebuah pesan yang sempit, bersifat lokal, hanya dimaksudkan untuk kaum Muslim yang ada di sekitar mereka;

Mereka mengatributkan aspek kesakralan pada peninggalan tradisional yang diwarisi, walaupun hal itu hanyalah hasil dari interpretasi manusia. Dengan demikian, peninggalan tersebut menjadi sebuah dogma yang harus diterima dan diterapkan secara literal oleh orang-orang. Dari waktu ke waktu, pendekatan ini memperkuat dirinya sendiri, sehingga pesan yang orisinal menjadi tertutup oleh warisan manusia. Sebagai hasilnya, kebudayaan Islam menjadi membatu;

Mereka memperlakukan aspek-aspek yang berbeda dari wahyu Tuhan seolah-olah sebagai hal yang sama; dan Mereka tidak membedakan bagian-bagian al-tanzil yang bersifat khusus. Mereka terfokus pada keindahan bahasanya, tetapi mengabaikan logika Ketuhanan yang cemerlang. Secara singkat, saya menemukan Islam, kaum Muslim, dan pemikir Islam tenggelam di bawah beban tradisi leluhur yang menarik mereka ke belakang.

Di bawah kondisi ini, institusi agama yang formal berusaha untuk mempertahankan semuanya seperti apa adanya, sehingga seperti mempertahankan hak-hak istimewanya. Tambahan pula, ekstremis fundamentalis berusaha untuk memperoleh kembali otoritas keagamaan bagi diri mereka sendiri dan merampasnya dari negara. Kaum Muslim juga menghadapi beban kesalahpahaman dari kaum non-muslim yang mengidentifikasi Islam sama dengan fenomena-fenomena yang ditimbulkan oleh institusi keagamaan atau kaum fundamentalis ekstrem.

Saya harus melewati sepuluh tahun lagi sebelum saya dapat membebaskan pikiran saya dari beban warisan buatan manusia ini. Semenjak itu, saya mencoba untuk mengklarifikasi definisi dari banyak istilah dan ide yang dikacaukan atau dikaburkan oleh pendekatan-pendekatan dan tulisan-tulisan kaum tradisionalis:

  1. Al-tanzil adalah teks Ketuhanan yang telah diberikan kepada Muhammad. Dan, seperti semua Muslim, saya secara pribadi berkewajiban untuk memahami warisan ini dan melaksanakan perintahnya, seolah-olah Muhammad telah meninggal kemarin. Hal ini disebutkan secara jelas di dalam teks dengan ratusan referensi, seperti "Wahai, manusia," "Wahai, keturunan Adam," "Wahai, para penyembahku," "Wahai, orang-orang yang beriman."
  2. Al-tanzil ditujukan untuk seluruh umat manusia, dan bukan hanya untuk bangsa Arab, dan memiliki kemampuan untuk cocok dengan kebudayaan manusia yang manapun, pada tingkat perkembangan apapun.
  3. Dengan pengecualian al-tanzil, maka semua teks dan literatur agama adalah tidak lain daripada sebuah warisan, yang mewakili pemahaman manusia mengenai wahyu Tuhan di dalam kondisi waktu dan tempat dari lahirnya pemahaman manusia tersebut. Kondisi waktu dan tempat ini juga bergantung kepada posisi dan cara dari pengetahuan ilmiah.
  4. Al-tanzil tidak perlu dipahami melalui aturan-aturan penerjemahan yang kaku, yang dibangun sepuluh abad yang lalu. Tak pelak lagi, terdapat aturan-aturan yang berlaku menurut akal sehat, seperti pengetahuan bahasa Arab, di dalam rangka membaca teks berbahasa Arab.
  5. Menolak warisan tradisional, yang saya tidak percaya dapat memberikan sebuah pemahaman yang tepat mengenai pesan Ketuhanan, setidak-tidaknya sekarang ini, tidak berarti bahwa kaum Muslim harus merasa malu karena sejarah dan identitas mereka sendiri. Warisan kita adalah akar kita, sejarah kita adalah identitas kita; dan para pendahulu kita adalah nenek moyang kita. Saya hanya membantah bahwa kita tidak perlu meminjam 'kacamata yang lain untuk melihat realitas kita sendiri', atau untuk memecahkan permasalahan kita yang sekarang.

Menurut pendapat saya, kaum Muslim tidak memerlukan sebuah interpretasi yang baru, atau sebuah tafsir baru; kita tidak memerlukan sebuah Islam yang baru, seperti yang diimajinasikan oleh beberapa orang, atau, Tuhan melarang bid'ah. Di dalam karya saya sendiri, saya percaya bahwa saya membuat sebuah usaha rasional yang serius untuk membaca kembali al-tanzil, terbebas dari semua tambahan sejarah, yang ditambah secara sewenang-wenang oleh pejabat pemerintah atau kesultanan. Saya berusaha untuk melihat pesan tersebut dengan mata zaman sekarang, lagi-lagi, seolah-olah Nabi Muhammad telah meninggal kemarin.

Mengingat bahwa al-tanzil memiliki ciri-ciri yang telah disembunyikan oleh ketaatan literal kepada interpretasi manusia, daripada ketaatan kepada pesan Ketuhanan. Saya melihat perbedaan-perbedaan yang khusus antara beberapa istilah yang telah digunakan sebagai sinonim. Sebagai contoh, ada perbedaan antara istilah "Muslim," yang pada dasarnya merujuk kepada semua yang memiliki keyakinan terhadap Tuhan, hari kemudian dan perbuatan baik, dengan istilah mu'minin, yang merujuk secara spesifik kepada para pengikut Nabi Muhammad. Bagi saya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan adalah Islam.

Dengan demikian, dalam pandangan saya, semua yang meyakini Tuhan dan hari kemudian adalah Muslim. Mereka yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad adalah Muslim-mu'minin. Mereka yang mengikuti ajaran Isa adalah Muslim-Kristen, sedangkan mereka yang mengikuti ajaran Musa adalah Muslim-Yahudi.

Apa yang membedakan Nabi Muhammad dari nabi-nabi sebelumnya adalah bahwa wahyu Tuhan yang disampaikan kepadanya adalah mu'jizat itu sendiri, sedangkan di Kristen dan Yahudi terdapat mu'jizat sejarah yang berada di luar teks. Di dalam pesan Nabi Muhammad, teks itu sendiri adalah mu'jizat, yang mengajarkan kepada kita bahwa manusia harus bergantung hanya kepada akal dan bahwa tidak diperlukan lagi wahyu atau mu'jizat lebih lanjut. Kita harus membuat mu'jizat kita sendiri, seperti mengarungi angkasa luar.

Sifat Dasar dari Pesan Kenabian

Ada tiga aspek yang penting untuk dicatat mengenai pesan dari Nabi Muhammad: moralitas, hukum, dan ritual. Moralitas, di dalam pandangan saya, adalah warisan yang umum dari semua agama, dan telah dibangun dari waktu ke waktu semenjak Nuh sampai Muhammad, melewati Musa dan Isa. Pesan kenabian ini menyusun pilar-pilar moral dari Islam.

Aspek hukum merujuk kepada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Tuhan di dalam berurusan dengan tingkah laku manusia di dareah interaksi yang berbeda-beda, seperti pada perkawinan, bisnis, pewarisan, poligami, dan kriminalitas. Ketika kaum Muslim Arab menuntut hukuman mati bagi pembunuh, mereka mengacaukan antara hukuman maksimum dengan hukuman yang disyaratkan. Walaupun pembunuh memang harus dihukum, tetapi mereka dapat diberikan hukuman seumur hidup, daripada hukuman mati. Keduanya masih berada di dalam batas-batas yang ditentukan oleh Tuhan di dalam Al-Qur'an, tetapi penyiksaan terhadap pembunuh adalah melewati batas-batas ini.

Ide bahwa pembunuh harus dihukum mati di bawah keadaan apapun dapat dilacak kembali kepada penafsiran manusia yang mengatakan bahwa hanya ada satu hukuman untuk pembunuh, walaupun Al-Qur'an hanya berbicara mengenai "batas" dari hukuman (huduud). Denga demikian, warisan kita membatasi kemampuan kita untuk membuat hukum yang tepat.

Namun pada saat yang sama, teori mengenai batasan-batasan Tuhan di dalam hukum memberikan solusi yang berbeda kepada permasalahan--oleh karena itu, sudut pandang yang berbeda dan, di dalam waktu, pluralisme dalam masyarakat dan parlemen. Ini berarti, bahwa di dalam sebuah perdebatan, apabila semua kelompok menghormati batasan-batasan Tuhan, maka tuduhan bid'ah adalah tidak pada tempatnya. Tuduhan bid'ah menjadi cara di mana institusi keagamaan berusaha untuk mengendalikan atau membatasi pluralisme. Di dalam konteks ini, parlemen harus mengganti institusi keagamaan dan kependetaan di dalam pembuatan hukum.

Perkembangan daripada pluralisme juga bergantung kepada pemahaman kita mengenai perbedaan antara doktrin-doktrin Tuhan yang disampaikan melalui Nabi Muhammad, dengan perbuatan aktual Nabi sebagai seorang manusia yang tinggal di dalam masyarakat dan zaman tertentu. Kaum fundamentalis mengatakan kepada kita bahwa kita harus hidup mengikuti kehidupan Nabi, dan kita harus mengikuti perkataan dan teladan dari zamannya. Di dalam pandangan saya, Nabi hidup dengan keteladanan di dalam batas-batas yang ditentukan oleh Tuhan. Tetapi tingkah lakunya hanyalah satu dari banyak pilihan yang dapat dilakukannya, semuanya di dalam batasan-batasan Tuhan.

Dengan demikian, Nabi adalah sebuah model bagi kita, karena ia memperhatikan batasan-batasan Tuhan, dan bukan karena kita harus membuat pilihan yang sama seperti dia. Kehidupan Nabi adalah varian sejarah yang pertama mengenai bagaimana aturan-aturan Islam dapat diaplikasikan di dalam sebuah masyarakat tribal pada waktu itu. Tetapi itu hanyalah varian yang pertama, dan bukan satu-satunya atau yang terakhir.

Fundamentalis sekarang mengacaukan pilihan Nabi dengan ritual Muslim sebagai Islam secara keseluruhan. Dengan cara ini, mereka akan menghalangi orang untuk membuat pilihan yang sah, dan mereka akan menghalangi pluralisme dengan mengatasnamakan pilihan Nabi. Segala sesuatunya dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Nabi, dan bukan dengan cara Nabi membuat pilihan. Penafsiranku meletakkan sunnah, atau tradisi dan perkataan Nabi, di bawah cahaya baru.

Mengenai ritual, hal ini bersifat spesifik tertuju kepada ajaran Muhammad untuk memuja Tuhan, dan kaum Muslim memahaminya sebagai pilar yang lima: menjadi saksi bahwa Muhammad adalah utusan Tuhan, shalat lima waktu sehari, membayar zakat, pergi haji, dan puasa. Tetapi ini hanyalah segi ritualistik dari pesan universal Tuhan. Ritual dapat berbeda-beda antara satu cabang dari Islam dengan yang lainnya, yaitu, antara mu'mini??, Kristen dan Yahudi.

Prinsip-Prinsip Pluralisme

Melalui pembacaanku terhadap teks, saya sampai kepada kesimpulan yang relevan dengan aplikasi daripada Al-Qur'an di dalam masyarakat kontemporer, khususnya dalam hubungannya dengan demokrasi dan pluralisme. Pertama, salah satu prinsip inti dari kaum Muslim adalah shura, yang berarti konsultasi. Ini adalah bagaimana cara Nabi berkonsultasi dengan para sahabatnya di dalam membuat kebijakan untuk masyarakatnya. Di dalam Al-Qur'an, shura disebutkan dua kali, sebagai keyakinan yang fundamental, sama seperti shalat, dan sebagai praktek, sesuai dengan zaman di mana seseorang hidup. Pada zaman kita, shura yang asli berarti sudut pandang pluralisme dan demokrasi yang asli.

Kedua, pandangan shura ini merubah konsep jihad, yang sering kita dengar dari kaum fundamentalis. Bagi pikiran saya, jihad hanya sah di dalam dua kasus: untuk mempertahankan tanah air, atau untuk berjuang meraih kemerdekaan dan keadilan. Tetapi apabila masyarakat diatur di dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh Tuhan, maka tidak perlu lagi untuk melawannya dengan jihad. Fundamentalis, lagi-lagi, mengacaukan antara batasan-batasan dengan persyaratan, dan oleh sebab itu, menyerukan jihad melawan masyarakat yang walaupun menghormati batasan-batasan Tuhan, tidak menganut pandangan mereka tentang persyaratan Tuhan.

Menyerang yang lain, dalam rangka untuk menyebarkan Islam adalah sebuah konsep jihad yang bersifat historis dan telah rusak, seperti yang telah saya katakan, Islam ada di antara semua manusia, selama mereka percaya kepada Tuhan, hari akhir, dan perbuatan baik. Al-Qur'an mengatakan dengan jelas bahwa tidak diperbolehkan mengobarkan perang melawan siapa saja untuk memaksa mereka percaya kepada Muhammad, atau untuk menjadi Muslim. Al-Qur'an mengetahui bahwa sebagian besar orang di bumi tidak akan menjadi pengikut Nabi Muhammad; sekarang mereka berjumlah 20 persen dari keseluruhan penduduk dunia.

Sebuah Misi Pribadi

Semenjak 1990, saya telah menjadi sebuah target dari tuduhan yang berbeda-beda. Buku pertama saya, Al-Kitab wa Al-Qur'an: Qiraah Mu'asharah (Al-Kitab dan Al-Qur'an: Sebuah Pembacaan Kontemporer) di mana saya menjelaskan tesis saya, telah disensor di lebih dari satu negara Arab atau Islam. Sehingga saya harus memilih dalam menginvestasikan waktu pribadi saya, apakah untuk membela diri saya atau untuk menulis dan mengembangkan lebih jauh lagi ide-ide saya. Saya memilih pilihan yang kedua. Saya menerbitkan buku saya yang kedua al-Islamiyya al-Mu'as Ira fi'l-Dawla wa'l-Mujtama'a (Studi Islam Kontemporer Mengenai Negara dan Masyarakat), dan buku ketiga, Al-Islam wa'l-Iman (Islam dan Keyakinan), yang berisi nasehat-nasehat praktis untuk negara dan individual berdasarkan atas pandangan konseptual saya.

Saya beruntung tinggal di Damaskus, Syria. Apabila tidak, saya mungkin mengalami apa yang dialami oleh para pemikir di negara Muslim lainnya, seperti Nasr Abu Zayd, yang tinggal di pengasingan dari Mesir. Bisa jadi nasib saya malah lebih buruk. Jalan yang saya pilih sangat sulit. Dari segi pendidikan, saya adalah seorang insinyur sipil dan saya mengetahui bahwa lebih mudah untuk membangun sebuah gedung pencakar langit atau sebuah terowongan di bawah laut, daripada mengajarkan orang untuk membaca buku Tuhan dengan mata mereka sendiri. Mereka telah terbiasa untuk membaca buku ini dengan mata pinjaman selama ratusan tahun.

Meskipun begitu, perhatian yang ditunjukkan terhadap karya saya oleh beberapa kelompok yang berbeda, adalah lebih dari apa yang saya harapkan. Apa yang menarik perhatian mereka adalah ketergantungan saya yang total hanya kepada Al-Qur'an itu sendiri, dan bukan kepada sunnah atau buku-buku yang lain, yang ditulis oleh orang-orang berdasarkan atas penafsiran pribadi mereka. Kritik saya juga terfokus ke pengabdian saya kepada Al-Qur'an, seolah-olah saya tidak menghargai Nabi. Tetapi seperti yang telah saya katakan, saya menghargai Nabi, di dalam tingkah laku manusianya, sebagai seorang Muslim pertama yang memilih pilihannya di dalam batasan-batasan Tuhan. Apa yang saya tidak hargai adalah sikap yang menjadikan warisan sebagai dogma di dalam pikiran kita.

Sejauh yang saya ketahui, tiga belas buku, yang didasarkan atas dogma, diterbitkan untuk menyerang buku pertama saya. Karena titik berangkat saya tidaklah sektarian, maka orang-orang dari semua sekte dan agama tertarik kepada karya saya. Secara resmi, buku pertama saya telah didistribusikan di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara. Buku saya yang kedua dan ketiga telah dilarang di banyak negara. Tetapi saya tahu bahwa ribuan salinan sedang diterbitkan, dijual, dan didistribusikan secara diam-diam di tempat yang sama. Buku tersebut juga didistribusikan dalam bentuk CD-ROM, walaupun saya tidak terlibat di dalam produksinya.

Saya percaya bahwa tradisionalisme dan fundamentalisme di dalam Islam tidak akan hilang sebagai sebuah fenomena. Begitu juga Kristianitas dan Yahudi tidak dapat menghapuskan mereka. Tetapi saya berharap bahwa pengaruh fundamentalisme dapat berkurang, sementara tetap mengambil tempatnya di dalam sebuah masyarakat yang plural dan damai. Saya tidak percaya pada kekerasan terhadap kaum fundamentalis karena kepercayaan mereka, setidaknya sebagian berakar di dalam kesadaran dari banyak orang. Permasalahan kultural tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan; usaha-usaha untuk melakukannya telah gagal. Sebuah negara yang mencoba untuk menerapkan kebudayaan tunggal merubah kebudayaan itu menjadi sebuah ideologi. Saya telah melihatnya sendiri di Uni Soviet. Modernitas adalah bukan sebuah dogma baru yang menggantikan yang lama. Sebaliknya, ia adalah penolakan terhadap fanatisme dan menawarkan pluralisme kepada semua anggota masyarakat.


Date: Mon, 05 Jun 2000 10:14:59 +0700 From: Mohamad Zaki Hussein <zaki@centrin.net.id> To: is-lam@isnet.org

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team