Tentang Syariat, Islam Fundamentalis dan Liberal

oleh Jalaluddin Rakhmat

 

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

 

ACEH, bila tak ada aral melintang, akan mengesahkan penerapan syariat Islam mulai 19 Desember ini. Adakah itu merupakan solusi yang tepat, atau bagaimana?

Jalaluddin Rakhmat, pemimpin Yayasan Mutahhari, Bandung, dalam wawancaranya dengan Jajang Jamaludin dan Mustafa Ismail, antara lain, menyinggung soal syariat Islam.

Berikut petikan wawancara yang juga mengkaji soal-soal Islam yang lain, misalnya tentang Islam fundamentalis dan liberal

TANYA: Ketika agama masuk wilayah politik, ia lebih sering menjadi sumber konflik ketimbang sumber etik. Mengapa?

JAWAB: Sebetulnya, perbedaan meletakkan agama dalam politik itu bisa dilacak sejak awal, ketika orang merumuskan konsep sistem politik Islam. Kemudian, perbedaan lebih tajam terjadi ketika orang menerapkan strategi perjuangan untuk menegakkan sistem politik Islam. Lebih lanjut, kalau Islam sudah jadi partai, dalam memperlakukan partai itu bisa, terjadi perbedaan. Bahkan, perbedaan bisa saja terjadi dalam satu partai politik itu.

Dulu, Ruth Mac Vey (ahli politik dari Australia) mengatakan, tidak ada yang paling bisa mempersatukan orang Indonesia selain Islam. Tapi, kita lihat pula, tidak ada yang bisa memporak-porandakan kita secara politik selain Islam. Kahin juga pernah mengatakan, Indonesia dipersatukan karena mayoritas penduduknya beragama Islam. Kita terdiri dari ribuan kebudayaan, ribuan suku bangsa, ribuan bahasa. Tapi kita merasa terikat sebagai satu bangsa karena sama-sama Islam. Hal yang sama juga terjadi Malaysia; yang disebut Melayu itu pasti Islam. Kalau bukan Islam tidak disebut Melayu. Jadi yang mempersatukan kemelayuan itu adalah keislaman.

Tapi kita juga melihat, kita tercabik-cabik karena keislaman kita. Contohnya, kita bikin sekian banyak partai Islam. Dulu partai Islam itu dipersatukan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi, saya pernah mengatakan PPP itu bukan partai, tidak bersatu, dan tidak membangun.

Demikian pula kalau orang berkumpul di Majelis Ulama. Kita lihat, mereka itu sepakat untuk tidak sepakat. Kalau orang Islam berkumpul, biasanya berkumpul untuk bertengkar. Jadi kita ini sudah mulai pecah tentang apa yang dimaksud dengan sistem politik Islam itu.

TANYA: Dalam politik, sebetulnya ada berapa aliran Islam yang masih eksis?

JAWAB: Dulu, orang seperti Binder dari Amerika membagi Islam dari segi politik menjadi dua: kelompok tradisionalis dan kelompok modernis. Beberapa penulis Indonesia juga terilhami oleh pandangan itu. Deliar Noer, misalnya, menulis buku tentang "the modernis moslem movement in Indonesia" sebagai lawan dari "traditional moslem movement in Indonesia." Tapi, saya kira, pembagian tradisionalis modernis itu kini sudah tidak jalan lagi.

Sebagai alternatif, secara sederhana, dari segi politik Islam bisa dibagi dua: kelompok fundamentalis dan kelompok liberal. Pembagian ini lebih fungsional ketimbang pembagian tradisionalis-modernis.

Sekarang, seorang tradisionalis bisa saja masuk kelompok liberal, misalnya Abdurrahman Wahid. Sebaliknya, tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang dalam paham kegamaan termasuk kelompok modernis, dalam pandangan politik, mereka sangat fundamentalis.

TANYA: Maksudnya?

JAWAB: Kelompok fundamentalis bisa disebut sebagai kelompok yang mendefinisikan sistem politik Islam sebagai sebuah sistem politik yang ditegakkan atas pelaksanaan syariat Islam -sebut saja mereka syariah-minded.

Ketika memahami yang dimaksud syariat, di kalangan fundamentalis sendiri terjadi perbedaan. Ada yang berpendapat, syariat itu hukum potong tangan bagi pencuri; hukum cambuk bagi pezinah, dan hukum qishas bagi orang yang membunuh. Jadi, syariat Islam dipahami dalam pengertian hukum Islam yang disebut hukum jinayat, yang dikaitkan dengan kejahatan.

Di kalangan fundamentalis sendiri tidak ada kesepakatan bagaimana melaksanakan syariat Islam itu. Mereka hanya sepakat pada prinsip: pokoknya terapkan hukum jinayat Islam. Ini karakter pertama kaum fundamentalis. Mereka sering tidak peduli bahwa ekonominya diatur dengan sistem Barat, hukumnya berasal dari Barat, Seperti di Arab Saudi, hukum internasionalnya, hukum dagang dan perbankannya tidak ada yang merujuk pada Islam. Tapi, Saudi mengaku sebagai negara Islam. Di sana, yang mencuri dipotong tangannya.

Sekarang, ada perkembangan lain lagi. Seperti terjadi di Malaysia, syariat juga dianggap meliputi fatwa para ulama, karena yang mengetahui syariat Islam adalah para ulama. Sehingga, yang disebut syariat Islam itu sama dengan yang difatwakan para ulama. Selain ulama, tidak ada orang yang bisa menentukan apakah itu syariat Islam atau bukan, kecuali hukum-hukum Islam yang sudah pasti.

Jadi, sekiranya sekarang saya berada di Malaysia, lalu Ustad Hadi Awang mengatakan bahwa Syiah itu murtad dari Islam, dan orang murtad itu harus dihukum mati, saya harus dihukum mati. Makanya, ketika Piagam Jakarta itu mau digolkan oleh MPR, saya takut. Karena saya dinilai sebagai kelompok Syiah yang sudah meninggalkan syariat Islam.

Tampaknya, hal itu bukan hanya terjadi di Malaysia. Di seluruh negara Islam yang dipimpin kaum fundamnentalis, hukum Islam itu pada akhirnya adalah peraturan seperti yang difatwakan para ulama, tanpa persetujuan rakyat.

Karena itu, ciri kedua kaum fundamentalis adalah antidemokrasi. Karena keputusan-keputusan ditentukan hanya oleh sekelompok elite yang namanya ulama. Di Iran, konsep itu dikenal sebagai wilayat al-faqih (kekuasan para ahli hukum). Walaupun di Iran Islam sudah mengalami modifikasi yang jauh lebih demokratis, saya masih memasukkan Iran ke kelompok fundamentalis, tapi mendekati liberal dalam menetapkan yang disebut syariat.

TANYA: Tadi dua itu ciri Islam fundamentalis?

JAWAB: Ada ciri ketiga, kaum fundamentalis cenderung formalistis ritualistic. Artinya, keislaman mereka itu ditandai sesuatu yang kasat mata. Laki-lakinya memelihara janggut, perempuannya memakai cadar.

Lalu, busana Muslim; apa yang disebut busana muslim? Orang Islam itu masih bingung. Ada yang menyebut busana muslim itu busananya orang Arab: pakai jubah yang bagian kaki agak terangkat ke atas, pakai sandal, dan serban.

Di Bandung, ada orang yang awalnya biasa-biasa saja, pengetahuan agamanya juga tidak istimewa. Ia memang mengurus pengajian. Sekarang, ia menjadi kiai, karena menyebarkan fotonya yang memakai serban, baju putih-putih, dan jubah seperti Pangeran Diponegoro.

Tapi ada juga yang berpendapat, busana muslim itu kayak pakaian orang Pakistan. Baju koko yang merumbai ke bawah, celana di atas mata kaki. Ada pula yang berpendapat, untuk orang Indonesia, pakaian muslim itu sarung dan peci hitam. Itu kata kaum Nahdliyin. Kalau saya mengajarkan Islam dan saya memakai celana panjang serta tak berpeci, saya akan dicurigai, arena saya tidak kelihatan sebagai seorang Muslim.

TANYA: Konkretnya, kaum fundamentalis itu diwakili kelompok agama mana?

JAWAB: Kelompok fundamentalis ini ada sampai tingkat paling bawah, dengan bentuk yang macam-macam. Misalnya, mereka bisa ditemukan di sebuah pasar, ada yang membuat gerakan Islam di kalangan rakyat kecil. Mereka menjanjikan keselamatan bagi bangsa ini. Mereka berkampanye mengembalikan harapan bahwa hanya dengan sistem Islam kita ini bisa diselamatkan. Tapi kayak apa sistem Islam itu, jangan bertanya lebih lanjut.

TANYA: Bagimana dengan karakter kelompok liberal?

JAWAB: Mereka tidak ingin melihat Islam dari segi syariat, tapi dari segi nilai-nilai universal. Mungkin kita bisa merujuk pada pandangan Kuntowijoyo (budayawan, tinggal di Yogya). Kata Kunto, ketika Islam berada di tengah-tengah perjuangan politik, nilai-nilai Islam itu harus diambil yang disepakati oleh semua kelompok, termasuk kelompok nonmuslim.

Jadi, nilai-nilai itu bukan hanya yang disetujui orang Islam, tapi juga yang disetujui non-muslim. Misalnya, nilai-nilai Islam yang membela orang tertindas, mustadl'afiin (kaum papa), dan rakyat kecil. Itu nilai Islam. Dalam Al-Quran, kita temukan banyak ayat tentang pemihakan seperti itu. Kata Kunto, itu namanya obyektivitas. Jadi, nilai Islam yang subyektif diobyektifkan, sehingga orang lain pun tidak menolaknya.

Saya sedang membuat ormas Islam, namanya IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia). Organisasi ini memiliki dua misi yang obyektif. Pertama, memberdayakan rakyat kecil yang kita sebut mustadl'afiin. Yang kedua, melakukan pencerahan intelektual melalui diskusi dan sebagainya. Jadi kami menyelesaikan masalah tidak dengan kekerasan. Kalapun akhirnya organisasi ini membangun oposisi terhadap pemerintah, oposisinya bukan gerakan massa dengan kekerasan. Jadi, menurut Anda, pandangan politik Islam liberal itu seperti apa?

Menurut kaum Islam liberal, dalam politik kita tidak usah memperjuangkan syariat Islam. Mereka jelas tidak skriptural, dan umumnya lebih demokratis. Mereka juga membicarakan hak asasi manusia dan hak-hak perempuan. Dalam politik, mereka umumnya berpendapat, tidak perlu negara berdasarkan syariat Islam. Yang penting bagi mereka, nilai-nilai Islam mendasari kehidupan bernegara.

Mereka gandrung dengan nilai-nilai universal yang diperjuangkan Islam. Misalnya, soal keadilan. Mereka bertanya, mengapa kita tidak bicara dalam tataran keadilan? Bahkan kalau syariat Islam yang diterapkan itu ternyata tidak adil, kata mereka, itu harus ditolak. Misalnya, pencuri dipotong tangannya, sementara itu raja-raja yang mencuri kekayaan negara dan dipakai untuk foya-foya tidak dihukum.

Kaum liberal berpendapat, Al-Quran dan Sunnah masih terbuka untuk interpretasi-interpretasi baru. Kalau kaum fundamentalis menganggap Al-Qauran sebagai teks yang tertutup.

TANYA: Jadi kaum liberal menganggap agama hanya mengatur hubungan pribadi manusia dengan Tuhan?

JAWAB: Semua orang Islam merasakan bahwa Islam itu bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Telah disepakati oleh semua kelompok, baik fundamentalis maupun liberal, dalam agama kita ini harus mempunyai hubungan pribadi dengan Tuhan, tapi tidak bisa melepaskan diri bahwa kita berada di tengah masyarakat. Yang kemudian jadi persoalan, merumuskan posisi kita di tengah-tengah masyarakat itu.

TANYA: Lantas, apa kelemahan kaum liberal?

JAWAB: Waktu saya bicara di Leiden, saya pernah mengritik kaum liberal. Saking terbukanya mereka, kita sering tidak lagi melihat identitas keislaman pada kaum liberal. Ditambah lagi, banyak pemikir liberal yang tidak begitu hirau dengan syariat Islam yang disepakati bersama, seperti salat dan puasa. Mereka itu agak sinis terhadap syariat, akibatnya semakin jauhlah mereka dari massa Islam. Tidak jarang pula, beberapa tindakan kaum liberal melanggar syariat yang disepakati. Akibatnya, di mana-mana kaum liberal tidak memperoleh kredibilitas di mata umat Islam.

Karena itu, di berbagai tempat, kecuali di Indonesia, kelompok liberal dikalahkan oleh kelompok fundamentalis. Masyarakat sering mencurigai kelompok liberal, misalnya mereka dianggap agen Barat. Di Indonesia, ada sebutan agen zionis yang menyesatkan. Tapi, di Indonesia, kaum liberal menang secara politik. Ini suatu keajaiban.

TANYA: Menang secara politik? Diwakili siapa?

JAWAB: Antara lain diwakili oleh Gus Dur, seorang yang sangat liberal. Begitu liberalnya sampai-sampai ada isu bahwa Gus Dur itu pernah tidak salat. Untunglah Gus Dur itu dibesarkan pada kominitas ulama tradisional. Jadi, apa pun yang Gus Dur lakukan, orang masih percaya padanya.

TANYA: Tapi, bukankah kelompok fundamanetalis di Indonesia juga menguat?

JAWAB: Bukan hanya di Indonesia, di berbagai negara, kelompok fundamentalis itu menguat. Biasanya, kaum fundamentalis menguat apabila terjadi suasana frustrasi massa. Karena itu, kalau Gus Dur itu tidak segera bertindak konkret untuk mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa, kekecewaan akan menyebar. Jika itu telah menjadi kekecewaan publik, kelompok fundamentalis segera masuk dengan gampang, karena mereka menjanjikan mimpi yang indah di masa depan: surga di akhir kehidupan. Jadi, kelompok liberal pun bisa menjadi sumbu konflik, bila mereka tidak menyadari posisinya.

TANYA: Kalau begitu, menurut Anda, dalam transformasi sosial-politik saat ini, kelompok mana yang harus lebih berperan?

JAWAB: Saya kira, seharusnya kelompok liberal. Tapi, dalam perannya itu mereka harus bisa menegakkan kredibilitas mereka di mata umat. Jadi, si liberal itu sudah harus bisa memikirkan bagaimana reaksi umat terhadap mereka. Ia juga harus menegakkan identitas bahwa mereka itu benar-benar Islam. Sayang, ada kecenderungan kelompok liberal itu dalam wacananya tidak begitu merujuk pada tradisi Islam.

Sekarang ini yang diperlukan adalah kelompok liberal yang punya dasar yang kuat dalam tradisi Islam, yang tidak lagi merujuk pada ide-ide Barat, melainkan menggali dari khasanah kaum muslimin sendiri.

TANYA: Adakah jalan tengah antara kelompok liberal dan fundamentalis?

JAWAB: Sebetulnya jalan tengah dari dua kelompok ini adalah tasawuf. Tasawuf itu dari dulu tidak syariah oriented. Tasawuf juga tidak formalistis. Tasawuf juga berorientasi dalam pengkhidamatan pada sesama manusia, dan bahwa kita hanya bisa menyembah Tuhan dengan baik, jika kita juga berbuat baik pada sesama manusia.

Tasawuf juga bisa memberi landasan moral pada kehidupan politik di Indonesia sekarang. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian kaum fundamentalis, mereka lebih sering menjadikan Islam sebagai barang jualan, sebagai simbol, sebagai label. Tapi, umat Islam sekarang memang tengah mencari-cari mana yang memiliki identitas Islam.

TANYA: Tapi kaum sufi, penganut tasawuf, itu kan apolitik?

JAWAB: Itu juga anggapan yang menurut saya salah kaprah. Karena, banyak gerakan politik dunia yang dipelopori kaum sufi. Di Indonesia ada buku The Rural Movement of Java karya Sartono Kartodirdjo. Kata Sartono, banyak sekali gerakan pemberontakan petani yang dipimpin guru tarekat. Kemudian, pemberontakan Surapati yang agak lama itu juga dipimpin guru tarekat. Dalam Perang Diponegoro, di sekitar Pangeran Diponegoro ada guru-guru tarekat. Bukan hanya di Indonesia, di Rusia, sekarang ini kelompok Chechen yang melawan komunis adalah para pengikut tarekat Naqsabandiyah. Di Sudan, dulu, ada perlawanan terhadap Inggris, terhadap Jenderal Gordon, yang juga dipimpin guru tarekat. Dan, Libya dulunya adalah negara yang didirikan para pemeluk tarekat Sanusiyyah. Qadafi itu baru muncul kemudian.

TANYA: Kalau begitu apa yang harus dilakukan kaum sufi Indonesia supaya bisa menempati posisi politik yang strategis?

JAWAB: Mungkin orang sufi tidak akan mau menempati posisi pimpinan politik. Mereka ingin memberikan landasan moral, pencerahan pemikiran, supaya rakyat tidak gampang ditipu oleh orang yang menggunakan Islam sebagai barang jualan.

Mereka juga ingin menyadarkan bahwa janganlah merasa sudah menjadi Islam karena memakai jubah, karena sering bicara tentang menegakkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

TANYA: Jadi kaum sufi tak perlu menegaskan keterlibatan dirinya dalam politik?

JAWAB: Saya kira tidak perlu. Karena akhirnya mereka akan terseret oleh berbagai kepentigan politik.

TANYA: Lalu, bagaimana mungkin kaum sufi bisa melakukan kontrol sosial?

JAWAB: Justru dengan posisi itulah kita bisa dilakukan kontrol sosial yang seimbang terhadap semua golongan. Misalnya, dalam posisi saya seperti sekarang, saya bisa mengritik Gus Dur, bisa mengritik Amien Rais. Saya bisa mengritik semua orang. Tapi kalau saya masuk suatu partai, saya harus menempatkan diri dalam kepentingan kelompok itu.

TANYA: Anda optimistis kaum sufi bisa jadi kelompok penekan?

JAWAB: Bisa saja, jika mereka memiliki kekuatan basis massa yang kuat seperti terjadi di negara-negara lain. Di Turki, kaum sufi banyak yang menjadi pressure group. Padahal, di Turki itu, isunya adalah kaum sufi itulah yang harus dihantam pemerintah. Tapi, akhirnya militer yang turun tangan.


Subject: [is-lam] Jalaluddin Rakhmat: Tentang Syariat, Islam Fundamentalis dan Liberal
Date: Tue, 12 Dec 2000 13:44:18 +0700
From: "Jun" <junarto.imam@ai.astra.co.id>
Reply-To: is-lam@isnet.org

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team