Komentar Untuk Syamsi Ali Atas Komentarnya Untuk Ulil

oleh: ASF Alkaf

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Sangat menarik membaca tulisan Saudaraku Syamsi Ali tentang komentarnya untuk Ulil. Dan memang isi yang dipaparkannya adalah sesuatu yang patut kita teladani. namun demikian, kita pun perlu mencermati, bahwa isi paparannya itu tidaklah patut terap untuk semua keadaan.

Komentar Saudaraku tentang "redundant" hanyalah betul untuk suatu kaidah bahasa yang baku. Namun ini tidak selalu baku untuk tataran keilmuan Balaghoh. Dalam Ilmu Balaghoh, redundant itu terkadang suatu keperluan dalam berbahasa. Misalnya kita bicara: " terus..., terus..., dan terus" Ini suatu redundant, tetapi disuatu saat redundant itu suatu keperluan.

Dalam kasus Ulil mengatakan "penafsiran non-poliferal" yang dikatakan redundant oleh Syamsi; mungkin belum tentu begitu yang dipikirkan oleh Ulil. Aku punya dugaan seperti ini: Karena suatu kata penafsiran telah dimengerti ke banyak methoda, ada penafsiran ayat dengan ayat, ada penafsiran maudlui, ada penafsiran maknawy... dan sebagainya. maka kemungkinan Ulil ingin menekankan bahwa penafsiran yang lain dari methoda penafsiran yang "baku" diterima oleh sebagian kalangan, yang dipandang membuat sebuah kaji penafsiran menjadi berputar-putar dalam siklus tradisional. Untuk itulah, barangkali, Ulil mengeluarkan sebuah perkataan yang redundant.

Komentar Syamsi dan ajakannya "kembali kepada nurani" adalah sebuah kebenaran yang memang sejalan dengan semangat sabda Kanjeng Nabi Mulia, "mintalah fatwa kepada dirimu". Tetapi ini bukanlah sebuah kebenaran mutlak pada implementasi di lapangan. Ini sangat bergantung kepada siapa sebuah fatwa diarahkan: Kepada dirinya, ataukah kepada orang lain di luar dirinya?

Sebagai contoh Imam Malik (semoga Allah mengasihinya) tatkala dikomentari perihal anjing, mengapa fatwanya bertolak-belakang dengan kesukaan pribadinya. Beliau berkomentar bahwa ini untuk umum, bukan untuk dirinya.

Begitupun keteladanan Kanjeng Mulia, bahwa banyak hal-hal yang pribadi untuk beliau, beliau tidak publikasikan untuk umum.

Ya, suatu hal yang perlu kita secara arif mengkaji kembali, sejauh manakah "ukuran nurani pribadi" dengan "ukuran kapasitas orang lain".

Namun demikian, suatu saran aku untuk Ulil adalah, bahwa fatwa untuk orang lain pun tidak selalu baik untuk dibicarakan di publik. karena ada sebagian kasus yang sifatnya perseorangan, bukan keperluan publik. Paling tidak: belum saatnya untuk dipublikkan, nanti ada saat yang tepat untuk dipublikkan; untuk ke sana tentu kita memerlukan sebuah proses-proses yang menjembatani yang perlu dilakukan secara arif.

Aku berfikiran, bahwa Ulil memikirkan sesuatu yang "ideal"... hati kecilku mengakui bahwa banyak pendapat Ulil yang sudah aku gelisahkan.. tetapi inilah kelebihan Ulil, dia sudah maju lebih depan untuk mengemukakannya.

Alasanku, mengapa aku masih terhalangi untuk berbicara terbuka seperti Ulil, karena fakta dunia masih tidak adil dalam bersikap. Bila aku kemukakan misalnya masalah kebolehan perkawinan campur, maka di dunia masih ada kecurangan-kecurangan yang akan memanfaatkan isu ini sebagai kesempatan untuk menghantam/menjajah suatu golongan atas golongan yang lain. Maka sebelum Aku melakukan hal ini, aku berfikir bukankah sebaiknya kita menetralisir pikiran-pikiran yang kotor dulu, yang sedang diidap oleh seluruh umat beragama dalam cara memandang antar satu kepada yang lain.

Di sinilah aku mendahulukan untuk menetralisir pikiran-pikiran yang kotor yang disemangati, misalnya, oleh perang salib. Bila kita sudah membabat usungan dendam kesumat perang bangsat ini, maka kita akan memasuki fase selanjutnya, untuk menyajikan fleksibelnya ajaran islam. untuk hal ini aku dahulukan dulu persoalan mu'amalah, seperti riba, pidana, kenegaraan, dan kedudukan non-muslim dengan muslim dalam bernegara. Selanjutnya yang lebih mendekati pribadi: masalah kesejajaran antar agama, dan bahwa Tuhan tidak pernah berambisi memiliki "jumlah Pemuja" yang ditargetkan. Selanjutnya baru memasuki relung-relung hubungan antar pribadi. Mungkin Ulil, disarankan, untuk mendefinisikan kembali langkah-langkah pemunculan ide-idenya dalam kancah pemikiran publik ini.

Wallahu a'lam


From: "Muhammad.Faqih" <muhammad.faqih@newcastle.ac.uk Date: Fri, 27 Dec 2002 14:42:57 +0000 Subject: [kibar] FWD: [kmnu2000] Komentar Untuk Syamsi Ali Reply-To: kibar@yahoogroups.com

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team