Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman

 

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

UAA:
Sent: Monday, December 16, 2002 9:02 AM
Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan awal

Wahai Bapak Nur,

Anda bisa lanjutkan "batu-batu bata argumen" ini hingga berjenjang naik, ke level manapun anda kehendaki, ke langit-langit setinggi apapun yang anda maui. Tetapi begitu sampai kepada kesimpulan anda yang pernah anda sampaikan dulu, bahwa manakalah wahyu dipengaruhi oleh kultur, bahwa Qur'an sebetulnya dikondisikian oleh situasi, maka itu adalah penghinaan atas Allah; di titik itu, dengan argumen apapun, saya akan tolak. Apalagi, sekali lagi dan sekali lagi (mohon maaf lo ya), kalau terlalu jauh mengatakan, "itu menghina Allah, mendustakan Nabi, melebihi Ghulam Ahmad, so and so." Came on, Sir!

Saya akan ikuti dengan sabar jenjang-jenjang argumen yang anda pakai, dan saya tak punya keberatan prinsipil atas jenjang-jenjang yang anda tempuh itu. Meskipun ratusan definisi atas budaya itu berseliweran dalam tradisi kesarjanaan Barat dan Timur, okelah secara 'hipotetis' saya terima saja definisi anda (sebetulnya definisi yang anda pakai itu definisi berdasarkan "common sense" saja; siapapun bisa mengemukakan hal seperti itu; di Jerman bahkan istilah "kultuur" itu pernah mempunyai konotasi buruk, karena itu adalah "ulah manusia" untuk mengubah alam, dan bahkan menghancurkannya; pada zaman romantik, orang sebel pada "kultuur" dan lebih menggandrungi "natuur" [Ini sih katanya Norbert Elias dalam "The Civilizing Process"]).

Keberatan prinsipil saya adalah pada satu hal: bahwa wahyu adalah sepenuhnya 'non-historis'. (Betul begitu?)

Batu bata terakhir yang telah anda taruh itu mau mengatakan: budaya itu kesepakatan komunitas, dan karena itu relatif. Saya sudah menduga, nantinya anda akan mengatakan, wahyu itu bukan hasil pemikiran dan kesepakatan manusia, ia datang dari "luar" sejarah, dan karena itu absolut. Budaya relatif, wahyu absolut. (Nantinya: saya akan katakan bahwa wahyu itu tidak seluruhnya absolut, karena ada faktor-faktor historis, kontekstual, partikular, dalam dirinya, seperti jilbab dan qishash itu [anda nanti akan mengatakan lagi, "jangan bermain-main dengan segi-segi semantik"]).

Oke. Terusssss...........

Looking forward to going through your next steps, and many apologies for any unproper words.

salam,
ulil

p.s. Mohon diperkenankan untuk bertanya mengenai hal yang sampingan (boleh, ya?): Bapak anggota KPPSI? Atau (pasti) pendukungnya?


HMNA:

Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil olah akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.

Output olah akal anak tammatan SD lebih rendah kualitasnya ketimbang buah oleh akal anak tammatan SMA, oleh karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan olah akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal berolah pikir maupun berolah rasa. Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Alhasil akal harus ditempatkan di bawah wahyu.

Apakah anda sepakat? Kalau ya, kita berlanjut.

Wassalam,
Makassar, 16 Desember 2002

Saya adalah Wakil Ketua Majelis Syura KPPSI => KPPSI memperjuangkan "rumah politik", yaitu terbentuknya undang-undang otonomi khusus memberlakukan Syari'at Islam di Provinsi Sulawesi Selatan, melalui koridor konstitusi dalam bingkai NKRI.


UAA: Sent: Tuesday, December 17, 2002 12:14 AM Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan awal

Bapak Nur,

Kenapa anda menyimpang? Kita sedang diskusi soal kultur sebagai sesuatu yang relatif, dan wahyu sebagai yang absolut. Kok anda tiba-tiba bicara soal akal.

Oke, kalau anda mau menyimpang, tak apa-apa. Saya akan menuruti "kemauan" anda.

Setelah wafatnya Rasul, saya menempatkan akal dan wahyu dalam kedudukan sejajar. Bahkan aspek-aspek yang partikular dan historis dalam wahyu bisa "diamandemen" oleh pertimbangan akal. Sebab, setelah meninggalnya beliau, kita tidak bisa bertanya langsung kepada Nabi setiap ada peristiwa baru yang butuh solusi, seperti pada zaman sahabat. Yang ada pada kita adalah teks Qur'an dan sunna. "Taraktu fikum amrain ma in tamassaktum bihima lan tadhillu abadan." Tetap teks itu sifatnya adalah "polyfonik", mempunyai tafsiran dan "suara" yang banyak, sesuai dengan penafsirnya.

Kata Sayyidina 'Ali tentang Qur'an, "Innama yunthiquhur rijal." Qur'an itu adalah teks mati; yang membuatnya "hidup" dan berbunyi adalah manusia. Sementara manusia itu berbeda-beda pendapatnya.

Ini kata Imam Ali, lo. Jangan dibilang menghina Allah dan Islam.

Jadi, pada poin kali ini, mohon maaf, saya tak sepakat. Wahyu dan akal bekerja bersama-sama, dan saling melengkapi. Bahkan saya berpendapat: yang terbatas bukan saja akal; bahkan wahyu yang telah menjadi "verbal" dalam bentuk susunan kata-kata yang turun pada Nabi pun adalah terbatas.

Tapi, sekali lagi, jangan dibilang menghina Islam ya.

salam,
ulil


HMNA:

Saya heran, mengapa anda katakan saya menyimpang, pada hal anda sudah mengatakan mengerti diagram dan sepakat dengan diagram tersebut. Saya ulang kembali sajikan diagram tersebut:

input -----> wahyu [proses dalam diri Nabi Muhammad SAW] -----> output Al Quran

Bedanya dengan kultur

input-----> alam sekitar [proses adaptasi dan pembelajaran 
                          dalam kumpulan masyarakat Arab] ----> output kultur Arab

Proses adaptasi dan pembelajaran itu adalah olah akal, baik itu olah pikir maupun olah rasa. Jadi olah akal dalam kumpulan masyarakat Arab membuahkan output kultur Arab. Jadi akal tak terpisahkan dari lahirnya suatu kultur. Kita teruskan. Kalau terjadi pertentangan antara akal dengan ayat Al Quran, alternatif mana yang anda ambil:

  1. menolak pengertian literal terhadap ayat
  2. mentakwilkan ayat
  3. menolak akal, memilih ayat dengan memahamkannya secara literal
  4. memilih akal dan juga sekaligus memilih ayat dengan pengertian literal

Contoh: Alladziy ja'ala lakum mina sysyajari l.akhdhari naaran faidzaa antum minhu tuwqiduwn (36:80). Akal mengatakan yang dibakar itu menurut pengalaman adalah kayu yang kering yang coklat warnanya, bukan kayu yang masih basah yang hijau warnanya. Tentu saja di sini tidak kena mengena dengan kebakaran hutan, karena ayat itu menyatakan antum minhu tuwqiduwn. Silakan memilih alternatif terbut.

Wassalam,
Makassar, 17 Desember 2002
HMNA


UAA: Sent: Tuesday, December 17, 2002 8:30 AM Subject: Re: Jenjang2 argumen yang toh tak akan mendukung kesimpulan awal

Pak Nur,

Bagaimana mungkin anda memakai contoh ayat dalam surah Yasin itu sebagai ilustrasi pertentangan akal dengan wahyu. Dari segi mana pertentangannya? Kalau kita baca tafsir-tafsir klasik, ayat itu adalah petunjuk mengenai kekuasaan Tuhan: ada pohon (disebut sebagai "marakh" dan "'ifar" yang jika dahannya dipotong mejadi dua dan digesekkan satu dengan yang lainnya maka akan melentikkan api). Tapi, pertanyaan saya adalah: apakah kekuasaan Tuhan harus ditunjukkan dengan cara yang melawan akal. Dalam kasus "pohon hijau" itu (tentu in bukan pohon milik PPP, lo, apalagi PKB), apanya yang berlawanan dengan akal. Kalau betul (saya tak pernah melihat pohon "marakh" dan "'ifar") pohon itu bisa melentikkan api, tentu akal bisa meneliti susunan kimiawi apa yang terdapat dalam pohon itu sehingga bisa mengeluarkan api. Artinya: akal pun bisa menjelaskan fenomena "fisik" ini dengan masuk akal.

Maaf, anda salah kutip ayat. Mestinya, kalau anda mau menunjukkan ayat di mana ada pertentangan antara akal dengan wahyu, maka kutiplah beberapa ayat sebelum ayat yang anda kutip itu: "wa dlaraba lana matsalan wa nasiya khalqahu, qa la man yuhyil 'idlama wa hiya ramim, qul yuhyihal Ladzi an sya'aha awwala marrah wahuwa bikulli khalqin 'adzim". Terhadap masalah kebangkitan fisik di hari kiamat ini pun (Catatan: sebetulnya ayat ini tidak secara eksplisit berbicara tentang kebangkitan fisik di hari kiamat, tetapi tentang kekuasaan Tuhan memberi "hidup" pada tulang-tulang yang telah hancur), terdapat perbedaan antara pandangan "jumhur" (mayoritas kaum ortodoks) dan kaum falasifah (itulah sebabnya kaum falasifah sering dikafirkan di zaman klasik dulu; persis lah kayak sekarang; fenomena de ja vu?). Sebagian kaum falasifah tidak mempercaya kebangkitan fisik karena pertimbangan akal, dan lebih mempercayai kebangkitan spirit atau jiwa. Seorang penyair Arab klasik, Abul 'Ala Al Ma'arri, adalah salah seorang yang dengan terus terang mengingkari kebangitan fisik.

Tapi saya tak tertarik dengan perdebatan soal metafisik. Saya lebih suka dengan dunia fisik yang kongkrit ini. Dalam hal metafisik, saya mengikut saja hadis Nabi, "Tafakkaru fi khalqil Lah, wa la tafakkaru fil Lah." Meskipun kadang-kadang soal metafisik juga menarik minat saya. Saya kira hadis Nabi itu bisa disebut sebagai pertanda bahwa debat dalam soal yang tak bisa diverifikasi secara empiris, akan menyeret kepada "debat kusir" yang tak ada ujungnya. (Apakah ini sebentuk "positivisme religius"? [Ini bukan permainan semantik, lo]).

Jadi sebelum saya menjawab pertanyaan anda soal pendekatan apa yang saya pakai manakala terjadi konflik antara akal dan wahyu, jawab pertanyaan saya dulu: ayat yang anda kutip itu di mana letak konfliknya? Kalau sudah anda jawab, boleh kita teruskan diskusi.

Ok?

salam,
ulil.


HMNA:

Sayid Qutb dalam fiy Zhilali lQuran menafsirkannya, bahwa memang dalam kayu ada api, sebab kalau digosok-gosok akan keluar api. Tetapi tafsir Sayid Kutub itu tidak memuaskan akal, karena itu baru mungkin terjadi apabila kayu itu sudah kering betul, sudah berwarna kecoklat-coklatan, tidak hijau lagi. Dalam pengalaman empiris dari kayu hijau tidak dapat diperoleh api dengan cara menggosoknya. Mahmud Yunus menafsirkan bahwa ada sejenis kayu di Aceh yang walaupun masih hijau sudah dapat dibakar dijadikan suluh. Tetapi itu tidak memuaskan akal, karena dalam ayat (36:80) asysyaru l'akhdhar itu adalah mudzakkar yang mengandung arti seluruh spesi pohon. Kalau hanya sejenis yang seperti di Aceh itu harus memakai bentuk muannats. Jadi ke manapun ditafsirkan tidak memuaskan akal. Sayid Qutb tidak menjinggung soal hijau, sedang Mahmud Yunus hanya pohon secara parsial. Di situ pertentangannya, yaitu bendanya mudzakkar dan warnanya akhdhar.

Wassalam,
Makassar 17 Desember 2002
HMNA

tw saya juga boleh bertanya? Mengapa nama anda Abdalla, bukan 'Abdullah?

(sebelum, sesudah)

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team