Dialog Ulil Abshar-Abdalla dan H.M. Nur Abdurrahman

 

Indeks Islam | Indeks Artikel


ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

UAA:
Sent: Thursday, December 19, 2002 9:51 AM
Subject: Re: Curhat anak muda!

Pak Nur yang baik,

Semalam, setelah sehari rapat membicarakan kasus saya yang dilaporkan oleh Kiai Athian dan kawan-kawan ke Mabes Polri, saya "kongkow" dengan teman-teman di markas Jaringan Islam Liberal di Utan Kayu (kalau Bapak ke Jakarta, anda saya undang untuk mampir; saya jamin pasti anda senang; kami punya perpustakaan yang baik, studio radio, teater untuk memutar film-film yang bermutu, galeri seni untuk memamerkan karya-karya lukis yang jarang dilihat di galeri-galeri umum, toko buku alternatif, dst.).

Ada Hamid Basyaib yang mantan wartawan Republika dan Ummat (sekarang mengelola Yayasan Aksara), Ihsan Ali Fauzi (mahasiswa S2 di Ohio University), Farid Gaban (watawan senior Majalah Mingguan Tempo) dan lain-lain. Kami berbicara soal penerapan syariat Islam, politik identitas yang marak dewasa ini, partai-partai Islam yang hanya memakai Islam untuk "komoditas politik", soal bom Bali, tragedi WTC, soal kaum "elang" yang keras kepala di sekitar President Bush, tentang apakah perubahan institusi politik yang sebaiknya lebih lamban dari perubahan ekonomi (seperti kasus Cina dan Singapura), dan segepok masalah-masalah lain. Kami kongkow hingga tengah malam.

Tentu kami berdebat seru, karena masing-masing di antara kami mempunyai perspektif yang berbeda. Salah satu masalah yang diperdebatkan adalah soal "politik identitas". Sekarang ini, ada kehendak yang begitu menggebu di kalangan semua umat beragama untuk menonjolkan identitas dengan cara yang demonstratif. Teman kami, Farid Gaban, bercerita, bahwa dalam sebuah pertemuan, dia mendengar seseorang mengajukan usul agar didirikan Hotel Islami: hotel yang tak menjual miras, setiap pelanggan pasangan yang mau 'cek-in' ditanyai surat nikahnya, dan segala macam.

Saya mengatakan: kehendak untuk menonjolkan identitas "komunal" secara berlebihan dari semua kelompok dalam masyarakat akan cenderung menyebabkan polarisasi sosial yang berbahaya. Farid menjawab: kenapa dalam masyarakat yang demokratis orang tak boleh menonjolkan identitasnya? Itu kan hak hidup seseorang? Teman saya yang lain, Hamid, menjawab: apakah yang hilang dari identitas keislaman kalau kita membangun sistem sosial yang sehat, demokratis, berkeadilan, dan tanpa diembel-embeli identitas "Islam"? Sebab begitu ditempeli embel-embel itu, akan timbul polarisasi sosial yang berbahaya. Kami berdebat lama.

Kesekapakatan sementara yang kami capai: oke, kita hormati hak masing-masing kelompok untuk menunjukkan identitasnya, tetapi tidak boleh menggunakan institusi negara untuk memaksakan idenitasnya itu sebagai satu-satunya identitas yang sah. Misalnya kasus jilbab: kami menghargai wanita yang memakai jilbab; kami juga menghargai wanita lain yang tak memakai; kami mengecam keras setiap orang yang melarang wanita memakai jilbab; tetapi kami juga mengkritik keras orang yang memaksakan jilbab melalui Perda; karena agama itu adalah soal "keinsafan personal".

Bagaimana soal hukum positif? Saya menghargai pendapat Bapak yang memilih untuk menegakkan Syariat Islam (SI) dengan prosedur yang demokratis. Itulah jalan yang ditempuh oleh Partai Keadilan sekarang, tetapi dikritik oleh kawan-kawan lain dari kaum Salafi (Lasykar Jihad) dan Hizbut Tahrir (dalam pandangan mereka yang terakhir itu: kalau anda memperjuangkan SI melalui jalur demokratis, anda berarti mengakui keabsahan negara "kafir" dan "thaghut" yang ada sekarang ini; Mas Hidayat Nurwahid sendiri, Presiden PK, yang bercerita mengenai hal ini kepada saya). Dalam hukum positif, sikap saya adalah: umat Islam bisa mengajukan beberapa diktum dalam hukum Islam sebagai masukan bagi pembentukan hukum positif di Indonesia. Tetapi ketika diktum itu sudah "diinkorporasikan" kedalam hukum nasional, maka ia sudah menjadi hukum positif yang berlaku umum. Misalnya: hukum potong tangan bisa saja diajukan sebagai alternaif; kalau parlemen setuju, oke kita jalani. Tetapi hukum itu tidak bisa dipaksakan karena semata-mata dianggap sebagai hukum Tuhan.

Membaca bagian akhir posting Bapak, sebetulnya ada kecocokan "semangat" antara saya dan Bapak. Saya berpandangan: dalam hal-hal yang ritual sifatnya, saya "sami'na wa atha'na". Saya mengikuti kaidah dasar, Al ashlu fil 'ibadat al hurmah illa ma dalla dalilun 'ala hillihi. Tetapi dalam soal mu'amalat, dalam hal interaksi sosial, saya menganut kaidah lain: al ashlu fil mu'amalat al hillu. Cuma saya tidak sepakat dengan ujung dari dalil itu, yaitu "illa ma dalla dalilun 'ala hurmatihi".

Dalam hal interaksi sosial, kaidah pokoknya adalah kesepakatan sosial. Dalam hal hukum pencurian, misalnya, saya sebagai orang Islam hanya diharuskan untuk berpegang pokok pada prinsip pokok dalam "maqashdusy syari'ah", yaitu wajibnya melindungi hak milik (hifdzul mal). Bagaimana prinsip "hifdzul mal" itu harus dilaksanakan dalam kerangka hukum positif sebuah negara, itu diserahkan kepada kesepakatan sosial, deliberasi, konsensus, dan seterusnya. Itulah sebabnya, dalam artikel di Kompas itu, saya katakan tidak ada hukum Tuhan. Maksudnya: dalam lapangan interaksi sosial. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang disebut dengan "maqashidusy syari'ah". Jadi, sepajang SI itu dipahami sebagai pelaksanaan dari "maqashidusy syari'ah", jelas saya setuju dengan pelaksanaan SI. Kemaren, teman-teman wartawan di Jakarta dan daerah disibkkan oleh kontrovers soal RUU Penyiaran. Bagi saya, membangun sistem penyiaran yang adil dan mendrong diversitas informasi adalah bagian dari pelaksanaan SI, meskipun tidak jelas-jelas ada nama "Islam" di situ. Pertanyaan saya: kenapa orang-orang yang selama ini menuntut pelaksanaan SI, "say nothing" dalam hal RUU ini. Bukankah membangun sistem penyiaran yang sehat dan menghgai keragaman informasi adalah bagian dari prinsip "maqashidusy syari'ah", yaitu hifdzul 'aql, melindungi kesehatan akal. (Ketika saya belajar "Tarikh Tasyri'" di kampus dulu, selalu contoh yang dipakai untuk prinsip "hifdzul 'aql" adalah minuman keras; karena miras itu bisa bikin orang teler, dan itu merusak akal; tetapi "keseragaman dan homogenisasi informasi", bukankah itu juga merusak akal sehat?). Jadi, Pak Nur yang saya hormati, syari'at saya pandang sebagai nilai yang menyerapi seluruh aspek kehidupan.

Perjuangan untuk memantapkan sistem demokrasi sekarang ini, membangun pola hubungan sipil-militer yang demokratis, membangun sistem peradilan yang independen, memberantas korupsi, membangun sistem perbankan yang sehat, dan seterusnya, itu semua adalah --dalam pandangan saya-- bagian dari syariat Islam. Tulisan di Kompas itu saya maksudkan sebagai "dering pengingat" bagi umat Islam: he, kita jangan terperosok kedalam pandangan yang sempit soal Islam; Islam itu ya bagaimana kita membangun sistem hidup yang sehat dan bisa menghargai martabat manusia; bukan sekedar soal-soal "furu'iyyah" seperti jilbab dan segala macam itu.

Dengan alur pokok semacam ini (inilah inti tulisan saya di Kompas), bagaimana mungkin saya dianggap menghina Allah, Nabi dan umat Islam?

Anyway, senang bisa berdiskusi dengan Bapak. Pasti ada perbedaan pandangan. Tapi setelah perbincangan sesaat ini, semoga Bapak tidak lagi menganggap saya sebagai telah menghina Allah, mendustakan Nabi dan seterusnya.

Ma ziltum fi 'aunil Lah wa nasykurukum 'ala hadzan nuqasy al banna'.

Ma'assalaaaaaaaama,
ulil abshar-abdalla


HMNA: Sent: Tuesday, December 24, 2002 12:28 AM Subject: Re: Curhat anak muda!

Assalamu 'alaykum wr.wb.

Anakda Ulil, postingan ini bukan diskusi, melainkan semacam "percikan lembali" curahan "air" dari tekoh ke dalam piring sehingga airnya tepercik.

Adapun curahan yang memercik kembali itu adalah: Tetapi dalam soal mu'amalat, dalam hal interaksi sosial, saya menganut kaidah lain: al ashlu fil mu'amalat al hillu. Cuma saya tidak sepakat dengan ujung dari dalil itu, yaitu "illa ma dalla dalilun 'ala hurmatihi". Dalam hal interaksi sosial, kaidah pokoknya adalah kesepakatan sosial. Dalam hal hukum pencurian, misalnya, saya sebagai orang Islam hanya diharuskan untuk berpegang pokok pada prinsip pokok dalam "maqashdusy syari'ah", yaitu wajibnya melindungi hak milik (hifdzul mal). Bagaimana prinsip "hifdzul mal" itu harus dilaksanakan dalam kerangka hukum positif sebuah negara, itu diserahkan kepada kesepakatan sosial, deliberasi, konsensus, dan seterusnya. Itulah sebabnya, dalam artikel di Kompas itu, saya katakan tidak ada hukum Tuhan.Maksudnya: dalam lapangan interaksi sosial. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang disebut dengan "maqashidusy syari'ah".

Ada dua hal percikan kembali itu. Sebuah mengenai substansi dan kedua mengenai "gaya redaksional" yang tidak moderat, melaunkan terasa "radikal", satu penampilan yang anakda sendiri tidak setujui. Mengenai substansi dahulu, yaitu illa ma dalla dalilun 'ala hurmatihi, anakda mengganti "rambu-rambu" pembatas itu dengan kesepakatan sosial. Anakda dalam illustrasi mengambil contoh yang spesifik yaitu pencurian dengan menaikkannya ketataran umum hifdzul mal. Illustrasi anakda itu tidaklah mencakup yang general yang diliputi oleh kawasan kesepakatan sosial.

Coba, kalau saya mengemukakan contoh yang lain, yaitu hubungan seksual. Kalau diterapkan rambu-rambu illa ma dalla dalilun 'ala hurmatihi, maka hubungan seksual itu dibatasi oleh Nash larangan berzina. Namun apabila rambu-rambu illa ma dalla dalilun 'ala hurmatihi itu diganti dengan kesepakatan sosial, maka itu dapat pula dinaikkan ke tataran hubungan kemanusiaan. Dan itulah yang telah terjadi di kebudayaan barat, yaitu kesepakatan sosial itu berupa filosofi "kekuasaan hakim hanya sampai sebatas pintu kamar tidur" yang sudah dituangkan dalam hukum positif yang dibawa Pemerintah Belanda ke Hindia Belanda dalam wujud Wet Boek van Strafrecht, yang oleh Peraturan Peralihan UUD-1945 diadopsi menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yaitu filosofi termaktub di atas tertuang dalam Pasal 284. KUHP.Jadi kalau ujung dari al ashlu fil mu'amalat al hillu adalah kesepakatn sosial, maka ikatan suami isteri sudah hilang sifat "sakral"nya, dan menjadilah ia hanya sekadar hubungan perdata belaka. Bahkan sekarang sudah menjadi kesepakatan sosial di beberapa negeri barat sudah berkembang melebar ke hubungan homo seksual dan lesbian, yang sudah "diterima" oleh gereja, karena ikatan hubungan seksual pasangan itu diresmikan/disahkan oleh gereja. Jadi anakda perlu mempertimbangkan kembali, dan tentulah lebih elok jika anda surut langkah menerima kembali rambu-rambu illa ma dalla dalilun 'ala hurmatihi. Kemudian tentang gaya redaksional anakda yang "radikal" yaitu tidak ada hukum Tuhan. Walaupun anakda telah memberikan penjelasan, namun itu dapat "dibenturkan" pada ayat: Faman lam yahkum bimaa anzalaLlahu faula-ika, .... faula-ika ..... faula-ika........ Prof Quirasy Syihab mempergunakan ungkapan yang moderat dan simpatik, yaitu "membumikan". Sedangkan saya sendiri dalam Khuthbah 'IydilFithr di TVRI Makassar, memakai ungkapan peraturan perundang-undangan "ditimba" dari Syari'at Islam. Anakda dapat pula surut selangkah dengan mengganti ungkapan yang "radikal" itu dengan ungkapan yang sejuk, yang tidak membikin orang marah.

Wassalam,
HMNA

(sebelum, sesudah)

Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Please direct any suggestion to Media Team