Fenomena Hilal Awal Dzulhijjah
1420
Pada saat maghrib 6 Maret 2000 di Indonesia dan Timur
Tengah posisi bulan pada ketinggian 2-5 derajat. Secara
astronomis sebenarnya ketinggian itu tidak mungkin teramati,
namun kriteria hisab di Indonesia menyatakan ketinggian
seperti itu memenuhi syarat untuk penetapan awal bulan. Tiga
garis tebal adalah garis tanggal untuk ketinggian bulan
(dari kiri ke kanan) 5, 2, dan 0 derajat. Dua garis di
tengah Lautan Pasifik (dari kiri ke kanan) adalah garis
tanggal internasional dan garis lintasan daerah yang
maghribnya bertepatan dengan saat ijtimak (6 Maret pukul
12:19 WIB)
Harapan kesamaan hari Idul Adha 1420 sirna. Semula dengan
adanya pengumuman pemerintah Arab Saudi bahwa hari wukuf
jatuh pada Rabu 15 Maret 2000 dan Idul Adha pada Kamis 16
Maret, tidak akan terjadi lagi perbedaan hari Idul Adha di
Indonesia. Biasanya sumber perbedaan Idul Adha di Indonesia
adalah perbedaan dengan Id di Arab Saudi.
Selama ini perbedaan yang bersumber dari dalam negeri
soal Idul Adha hampir tidak ada. Dalam hal Idul Adha,
keputusan pemerintah tampaknya tidak serumit penentuan Idul
Fitri. Apa yang telah diputuskan dan tercantum dalam
kalender itulah yang terjadi. Hari libur resmi Idul Adha
telah ditetapkan 16 Maret 2000. Ternyata PBNU mengumumkan
lain, mereka menetapkan Idul Adha pada 17 Maret. Sedangkan
PP Muhammadiyah tetap menyatakan Idul Adha 16 Maret.
Masyarakat awam tentu bingung dengan kenyataan itu. Mana
yang mesti diturut? Kapan berpuasa hari Arafah? Namun hal
penting yang harus segera disadari adalah bagaimana tetap
menjaga ukhuwah (persaudaraan) dalam keberagaman seperti
ini.
Keduanya beralasan
Perbedaan penentuan Idul Adha kali ini semata-mata
bersumber pada perbedaan kriteria penetapan awal Dzulhijjah.
Secara astronomis, kedua pendapat itu punya alasan yang
masih dapat dibenarkan.
Pemerintah tampaknya menggunakan kriteria hisab
ketinggian bulan lebih dari 2 derajat ketika menetapkan hari
libur Idul Adha. Kriteria ini juga digunakan oleh PP Persis
yang sepenuhnya menggunakan hisab. PP Muhammadiyah yang juga
menggunakan hisab memakai kriteria bulan di atas ufuk
(wujudul hilal) pada saat maghrib akhir Dzulqaidah. PBNU
menetapkan awal Dzulhijjah berdasarkan ru'yatul hilal yang
ternyata negatif (tidak ada laporan terlihatnya hilal),
sehingga bulan Dzulqaidah diistikmalkan (digenapkan) menjadi
30 hari.
Analisis astronomis menunjukkan bahwa garis tanggal
wujudul hilal melintasi Rusia, Asia Timur, dan Pasifik.
Sehingga dengan kriteria wujudul hilal yang biasa digunakan
Muhammadiyah, sebagian besar wilayah di dunia telah memasuki
awal Dzulhijjah pada 7 Maret. Sedangkan garis tanggal
ketinggian bulan 2 derajat melintasi Eropa, Asia Tengah,
Asia Timur, dan Pasifik Selatan. Dengan kriteria ini pun
Indonesia dan Arab Saudi memasuki awal Dzulhijjah pada 7
Maret. Jadi, dengan kriteria hisab tersebut Idul Adha jatuh
pada hari Kamis 16 Maret.
Arab Saudi yang mengaku sepenuhnya berdasarkan rukyatul
hilal menetapkan 7 Maret sebagai awal Dzulhijjah dan hari
wukuf jatuh pada 15 Maret. Sehingga Idul Adha (10
Dzulhijjah) jatuh pada 16 Maret. Di Arab Saudi pada saat
maghrib 6 Maret ketinggian bulan sekitar 4 derajat dengan
jarak azimut bulan-matahari sekitar 4 derajat juga.
Sebenarnya, menurut kriteria astronomi pada jarak seperti
itu tidak mungkin terjadi rukyatul hilal. Tetapi, mereka
meyakini adanya kesaksian hilal, tanpa perlu konfirmasi
astronomis. Masalahnya adalah masalah keyakinan, bukan benar
salahnya kesaksian.
Sebaliknya, terjadi di Indonesia. Para pengamat hilal
dari NU melaporkan tidak berhasil melihat hilal pada saat
maghrib 6 Maret sehingga PBNU memutuskan awal Dzulhijjah
jatuh pada 8 Maret dan Idul Adha pada hari Jumat 17 Maret.
Keputusan itu berdasarkan istikmal, menggenapkan bulan
Dzulqaidah menjadi 30 hari. Ketinggian bulan pada saat
maghrib di Indonesia berkisar antara 2-3,5 derajat. Kalaupun
tidak ada awan, secara astronomis pada ketinggian tersebut
hilal memang tidak mungkin teramati.
Ikut Mana?
Setidaknya ada dua hal penting ang harus dipertimbangkan
untuk menentukan ikut pendapat mana: beridul adha Kamis 16
Maret atau Jumat 17 Maret. Pertama, keyakinan diri sendiri
terhadap dasar masing-masing keputusan tersebut. Kedua,
upaya menjaga ukhuwah.
Dalam hal menentukan pendapat mana yang harus diikuti,
keyakinan pribadi adalah yang utama, bukan sekadar
ikut-ikutan atau mencari mana yang mudah dan menyenangkan.
Sama halnya memilih beragam pendapat dalam masalah fikih
lainnya. Dengan keyakinan itu, kita pun merasakan ibadah
yang kita lakukan benar-benar sah. Soal kebenaran yang
hakiki, hanya Allah penentunya. Manusia hanya dapat
menentukan kebenaran relatif berdasarkan dalil, fakta, dan
pemikiran rasional yang dianggapnya paling meyakinkan.
Bila kita meyakini kriteria hisab wujudul hilal atau
ketinggian bulan 2 derajat sudah sah menjadi tanda masuknya
awal bulan, maka beridul adha-lah pada 16 Maret. Atau bila
kita meyakini Idul Adha harus sama harinya dengan Arab
Saudi, terlepas benar tidaknya rukyatul hilal di sana,
beridul adha pada Kamis 16 Maret. Tetapi bila kita meyakini
bahwa rukyatul hilal di Indonesia yang seharusnya berlaku,
maka beridul adha pada Jumat 17 Maret.
Masalah yang mungkin agak prinsip adalah puasa hari
Arafah. Puasanya sendiri sunnah hukumnya. Tetapi mungkin ada
yang bingung akan kemungkinan jatuh pada hukum haram bila
berpuasa pada saat Idul Adha. Hal ini semestinya terkait
erat dengan keyakinan kita tentang jatuhnya Idul Adha. Puasa
hari Arafah disunnahkan pada 9 Dzulhijjah, satu hari sebelum
Idul Adha. Bila kita meyakini Idul Adha jatuh pada 17 Maret,
maka puasa hari Arafah pada 16 Maret. Berpuasa pada hari
Kamis 16 Maret menjadi haram bagi orang yang meyakini hari
itu Idul Adha. Bagi mereka yang beridul adha 16 Maret, puasa
hari Arafah mestinya pada 15 Maret.
Bila telah memutuskan mana yang diyakini, eksklusivisme
harus dibuang demi menjaga ukhuwah. Kita menentukan pilihan
bukan atas dasar perkawanan atau asal beda, tetapi atas
dasar keyakinan. Orang lain pun punya hak untuk meyakini
pendapatnya sendiri. Masalah ini termasuk masalah
ijtihadiyah, yang tidak bisa diklaim bahwa pendapat kita
yang paling benar dan yang lain salah. Bila demikian kita
tinggal menentukan kapan berpuasa hari Arafah dan di mana
akan melaksanakan shalat id, tanpa mempermasalahkan lagi
saudara-saudara kita yang berbeda pendapat.
Lain soal bila kita meyakini dua pendapat itu sama
bobotnya. Bila alasan masing-masing pendapat tersebut dapat
diterima kebenarannya, faktor penentu adalah menjaga
ukhuwah. Demikian juga bagi orang yang tidak bisa memutuskan
mana yang paling meyakinkan antara kedua pendapat itu. Dalam
kondisi seperti itu, kita melihat lingkungan, mengikut pada
pendapat kebanyakan orang agar persaudaraan semakin erat
bila ada persamaan. Cara yang yang paling mudah adalah
mengikuti ulil amri, keputusan pemerintah yang telah
mengakomodasikan berbagai pendapat yang ada di masyarakat.
Sampai saat ini pemerintah belum mengubah keputusan untuk
beridul adha Kamis 16 Maret.
|