|
|
Masih banyak orang mengira sumber keragaman penentuan awal Ramadan dan hari raya hanya perbedaan antara hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan bulan). Saat ini tidak sesederhana itu lagi. Perdebatannya pun tidak lagi terbatas antara penganut hisab dan rukyat. Bisa antara penganut hisab dengan hisab atau rukyat dengan rukyat. Oleh karenannya, tinjauan fikih dalam referensi lama perlu diperkaya lagi dengan memasukkan faktor-faktor mutakhir, termasuk analisis astronomis yang tak terpisahkan. Masalah ijtihadiyah yang terus berkembang menambah faktor keragaman tersebut. Penentuan hari raya 1418 tahun lalu yang diakui pemerintah adanya dua tanggal untuk idul fitri menunjukkan keragaman itu makin tidak sederhana disatukan. Memang sumber keragaman tersebut bukan sekedar landasan dalil naqli-nya, tetapi juga menyangkut landasan astronomisnya yang belum disepakati. Keragaman penentuan idul fitri 1418 tersebut menunjukkan dua sisi perbedaan yang sebenarnya berdiri sendiri-sendiri, tidak bisa saling mengkonfirmasikan. Pertama, antara hisab berdasarkan wujudul hilal dan hisab berdasarkan imkan ru'yat. Kedua, antara rukyat terpandu hisab dan rukyat bebas hisab. Selain itu, ada sisi perbedaan lainnya yang muncul dari semangat unifikasi kalender Islam, yaitu antara rukyat lokal dan rukyat global. Di tengah suasana reformasi yang membuka pemikiran semua orang tentang wajarnya keberagaman, kita coba meninjau secara kritis sumber keberagaman itu. Hanya dengan memahami sumber keberagaman kita bisa menghargai orang lain yang berbeda pendapat dan bisa mengambil sikap yang mantap tanpa menganggap dirinya yang paling benar. Sifat ijtihadiyah hisab dan rukyat memungkinkan terjadinya keragaman. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur gerakannya pun satu, sunnatullah. Tetapi, interpretasi orang atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi pengamatan dan keterbatasan pengamatan juga tidak mungkin disamakan. Hisab vs HisabSemula para ulama mempertentangkan hisab dengan rukyat saja. Kini hisab pun dipertentangkan dengan hisab. Kriteria hisab mana yang akan dijadikan pegangan. Di Indonesia setidaknya ada dua kriteria hisab yang dianut. Ada yang berdasarkan kriteria wujudul hilal, asalkan bulan telah wujud di atas ufuk pada saat maghrib sudah dianggap masuk bulan baru. Kriteria ini dipakai oleh Muhammadiyah. Kriteria lainnya adalah imkan ru'yat, berdasarkan perkiraan mungkin tidaknya hilal dirukyat. Kriteria ini digunakan antara lain oleh Persis. Kedua ormas Islam itu sama-sama menggunakan hisab, tanpa perlu menanti rukyat. Dalil naqli yang mereka gunakan tidak jauh berbeda, yang intinya menganggap hisab bisa menggantikan rukyat. Tetapi penafsiran hasil hisabnya bisa berbeda. Basit Wahid dari Majelis Tarjih Muhammadiyah (PR, Februari 1998) menjelaskan alasan Muhammadiyah mengambil kriteria wujudul hilal sejak 1969, yaitu karena di Indonesia belum ada kriteria yang sahih secara ilmiah bagi imkan rukyat. Memang, selama ini berdasarkan data kesaksian rukyatul hilal yang dikumpulkan Departemen Agama ketinggian hilal minimum yang berhasil dirukyat adalah dua derajat. Belakangan hal itu digugat sebagai tidak akurat dan tampaknya bukan hasil pengukuran ketinggian melainkan dihitung dengan rumus sederhana: tinggi "hilal" = (beda waktu antara mulai teramati sampai menghilang)/24 jam x 360 derajat. Padahal tidak ada konfirmasi benar tidaknya "hilal" itu, mungkin juga objek terang lain. Berdasarkan statistik kesaksian hilal di berbagai negara, M. Ilyas dari International Islamic Calendar Program (IICP) telah mempubliksikan temuannya di jurnal astronomi bahwa ketinggian minimal hilal dapat dirukyat adalah 4 derajat. Itu pun bila jarak bulan-matahari cukup jauh. Bila jaraknya dekat, perlu ketinggian 10,5 derajat. Ada juga penelitian teoritik yang menjelaskan batas minimal visibilitas hilal. Kemampuan mata manusia untuk melihat benda langit terbatas hanya sampai keredupan 8 magnitudo dalam skala astronomi. Kalau pun melihatnya dari antariksa, batas kemampuan mata manusia itu tidak berubah. Dengan kemampuan deteksi mata manusia seperti itu, pada jarak matahari-bulan kurang dari 7 derajat, cahaya hilal tidak akan tampak sama sekali. Bila memperhitungkan faktor-faktor pengganggu di atmosfer bumi, syarat itu bertambah besar. Perintah operasional puasa dan beridul fitri dalam hadits didasarkan pada rukyatul hilal. Di dalam Alquran walaupun bulan dan matahari disebut sebagai alat untuk perhitungan waktu (Q. S. 6:96), tetapi dalam prakteknya, hilal (bulan sabit pertama) yang dijadikan acuan (Q. S. 2:189), bukan posisi bulan. Karena orang awam sekali pun bisa menentukan ada tidaknya hilal walaupun tidak mengerti seluk beluk peredaran bulan. Wujudnya bulan di atas ufuk belum menjamin adanya hilal menurut pandangan manusia. Hilal bisa diperkirakan keberadaannya dengan memperhitungkan kriteria penampakan hilal. Jadi, bila ditimbang dari segi dasar pengambilan hukum, saya berpendapat hisab dengan kriteria imkan rukyat (walau pun masih terus disempurnakan, seperti lazimnya riset ilmiah) lebih dekat kepada dalil syar'i daripada kriteria wujudul hilal. Rukyat vs RukyatDalam beberapa kali kesaksian rukyatul hilal (bebas hisab) yang kontroversial, satu-satunya penyelesaiannya adalah dengan sumpah. Secara syar'i itu sah. Apalagi para pengamat itu umumnya orang yang ditokohkan yang tidak diragukan lagi keimanannya dan kejujurannya. Tetapi dari segi kebenaran objek yang dilihatnya apakah benar-benar hilal atau objek terang lainnya, kita masih boleh meragukannya sebelum ada bukti ilmiah yang meyakinkannya. Bukti ilmiah yang bisa menguatkan kesaksian akan rukyatul hilal antara lain posisi hilal, bentuknya, serta waktu mulai teramati dan terbenamnya. Bukti ilmiah itu bisa diuji kebenarannya dengan rukyat hari-hari berikutnya. Bagi kalangan yang mempercayai rukyat terpandu hisab, bukti ilmiah itu bisa ditambah dengan hasil hisabnya. Hasil rukyat bisa segera dicocokkan dengan hasil hisabnya. Dengan kriteria hisabnya, kalangan ini bisa menolak kesaksian hilal bila dianggap meragukan. Misalnya, bulan semestinya (menurut hisab yang akurat) telah terbenam tidak mungkin bisa dirukyat. Perlukah bukti ilmiah itu? Saya berpendapat sangat perlu. Untuk saat ini, sumpah saja belum cukup. Pengamat hilal ternyata banyak juga yang belum memahami hilal dan belum bisa membedakannya dengan objek terang lainnya. Gangguan polusi di ufuk barat bisa menyulitkan pengamatan. Objek terang pada arah pandang saat ini juga bisa beragam. Tidak heran bila sering terjadi kasus kesaksian hilal yang kontroversial. Lokal vs GlobalMasalah rukyat lokal dan rukyat global muncul akibat berkembangnya media komunikasi yang semakin cepat. Berita tentang penetapan awal Ramadan dan hari raya di Arab Saudi atau negara-negara lainnya dengan cepat tersebar dan sering menjadi acuan. Masalahnya, kemudian masyarakat menjadi bingung mana yang akan diturut. Oleh karenanya argumentasi ijtihadiyah keduanya perlu ditinjau untuk menimbang mana yang paling meyakinkan. Dasar hukum rukyat lokal adalah hadits Nabi yang memerintahkan berpuasa bila melihat hilal dan berbuka atau beridul fitri bila melihat hilal. Sedangkan penampakan hilal bersifat lokal, tidak bisa secara seragam terlihat di seluruh dunia. Demi keseragaman hukum di suatu wilayah, pemimpin umat bisa menyatakan kesaksian di mana pun di wilayah itu berlaku untuk seluruh wilayah. Tidak perlunya mengikuti kesaksian hilal di wilayah lainnya bisa didasarkan pada tidak adanya dalil yang memerintahkan untuk bertanya pada daerah lain bila hilal tak terlihat. Dalil lainnya adalah ijtihad Ibnu Abbas tentang perbedaan awal Ramadan di Syam dan Madinah. Tampaknya, Ibnu Abbas berpendapat hadits Nabi itu berlaku di masing-masing wilayah. Tetapi, sebagian ulama lainnya berpendapat tidak ada batasan tempat kesaksian hilal. Di mana pun hilal teramati, itu berlaku bagi seluruh dunia. Dasarnya, karena hadits Nabi sendiri tidak memberi batasan keberlakukan rukyatul hilal itu, jadi mestinya berlaku untuk seluruh dunia. Namun mereka tidak merinci teknis pemberlakuan di seluruh dunia yang sebenarnya tidak sederhana. Belakangan di antara pengikut pendapat ini ada yang merumuskan, bila ada kesaksian hilal di mana pun, maka wilayah yang belum terbit fajar wajib menjadikannya sebagai dasar untuk berpuasa atau beridul fitri. Kedua pendapat itu hasil ijtihad dengan argumentasi masing-masing yang dianggapnya kuat. Hadits yang digunakannya sama. Penganut rukyat lokal bisa berargumentasi Nabi tidak memerintahkan bertanya tentang kesaksian hilal di wilayah lain. Penganut rukyat global bisa berargumentasi Nabi tidak membatasi keberlakukan kesaksian hilal. Manakah yang sebaiknya diikuti? Di dalam Q. S. 2:185 yang berkaitan dengan puasa Allah memberikan pedoman umum, "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu". Bila mengikuti rukyat global, setiap orang harus sabar berjaga sepanjang malam dalam ketidakpastian. Karena rukyat tidak bisa dipastikan di mana dan kapan bisa terlihat. Tentunya, hal ini lebih menyulitkan umat daripada rukyat lokal. Keputusan rukyat lokal cukup dinantikan sekitar 1-2 jam setelah maghrib. Untuk mendukung argumentasinya, ada yang berpendapat rukyat global lebih menjamin keseragaman daripada rukyat lokal. Tetapi analisis astronomi membantah pendapat itu. Baik rukyat global maupun rukyat lokal tidak mungkin menghapuskan perbedaan. Kemungkinan 1419Rukyat lokal didukung hisab global (jangan keliru dengan rukyat global) akan memberikan kemantapan dalam mengantisipasi segala kemungkinan perbedaan dengan negara-negara lain. Hisab global direpresentasikan dengan garis tanggal qamariyah berdasarkan kriteria wujudul hilal. Kriteria itu digunakan karena paling mudah menghitungnya dan bisa dipakai sebagai pemandu awal oleh pengguna rukyat terpandu hisab sebelum menghitung data rukyat lokal. Garis tanggal itu membagi bumi dalam dua bagian yang pada saat maghribnya bulan masih di atas ufuk atau telah tenggelam. Garis tanggal awal Ramadan 1419 melintasi Amerika Tengah, Afrika bagian utara, Eropa bagian Selatan, dan Rusia. Maka pada saat maghrib 19 Desember di wilayah Amerika Selatan, Afrika, sebagian besar Asia, dan Australia bulan telah berada di atas ufuk. Berdasarkan hal ini dapat difahami Muhammadiyah memutuskan awal Ramadan jatuh pada 20 Desember. Hisab lokal untuk wilayah Indonesia menunjukkan bahwa pada kahir Sya'ban ketinggian bulan sekitar 5 derajat atau kurang. Bulan berada sekitar 4 derajat dari titik terbenamnya matahari. Jarak matahari-bulan sekitar 7 derajat yang berarti memenuhi syarat minimal untuk munculnya hilal. Berdasarkan hal ini hisab imkan rukyat (seperti dilakukan Persis) masih dapat dibenarkan untuk memutuskan awal Ramadan jatuh pada 20 Desember. Tetapi ketinggian 5 derajat sebenarnya sangat sulit dirukyat untuk beda azimut sekitar 4 derajat tersebut. Apalagi umur bulan pada saat matahari terbenam kurang dari 16 jam. Hambatan lain adalah cuaca mendung pada musim hujan ini. Sehingga bagi kalangan yang berpegang pada rukyat mesti bersiap dengan kemungkinan dilakukan istikmal, yaitu awal Ramadan jatuh pada 21 Desember 1998. Bila itu terjadi, tidak tertutup kemungkinan Pemerintah mengambil sikap seperti penetapan idul fitri tahun lalu, mengakui adanya dua tanggal. Berbeda dengan penetapan awal Ramadan, kemungkinan idul fitri akan ditetapkan tanpa masalah. Ketinggian bulan pada akhir Ramadan cukup tinggi, hampir 9 derajat dengan jarak matahari-bulan sekitar 10 derajat. Posisi itu relatif mudah untuk dirukyat. Jadi diharapkan semua pengikut hisab dan rukyat akan bersepakat beridul fitri pada 19 Januari 1999. Tetapi itu dengan catatan bila awal Ramadan sepakat dimulai 20 Desember 1998. Bila awal Ramadan ditetapkan dengan cara istikmal, ada kemungkinan terjadi keputusan istikmal pula untuk idul fitri. Hal ini mengingat cuaca mendung pada musim hujan ini. Bila itu terjadi, tidak tertutup kemungkinan ada juga yang akan merayakan idul fitri pada 20 Januari 1999. |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2002. |