|
Dasar Pemikiran
- Perbedaan penentuan hari-hari besar Islam, khususnya
Idul Fitri dan Idul Adha, selalu menimbulkan kebingungan
di masyarakat. Alhamdulillah, sikap saling menghargai
antarsesama ummat Islam dapat terwujud sampai saat ini.
Namun, perbedaan tersebut tidak semestinya terus
berlangsung, kalau ada upaya untuk mendapatkan titik temu
di antara metode yang berbeda-beda.
- Pada Seminar Nasional Hisab Rukyat yang
diselenggarakan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, Departemen Agama RI, di Jakarta pada 20 - 22
Mei 2003 dan dihadiri oleh perwakilan Ormas-ormas Islam
dan para pakar astronomi telah dicapai konvergensi
pemikiran untuk mendapatkan titik temu. Kegiatan tersebut
berlanjut dengan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat yang
diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama, Departemen Agama RI, di Bogor pada 26 - 28 Mei
2003 yang dihadiri oleh para ahli hisab rukyat dan pakar
astronomi yang membahas aspek teknis hisab rukyat.
Kemudian sosialisasi akan dilakukan secara berkelanjutan
di berbagai daerah dan berbagai Ormas Islam.
- PBNU telah membuat "Pedoman Rukyat dan Hisab" (1994)
yang merujuk pada berbagai hadits dan pendapat ulama yang
intinya tetap akan menggunakan hasil rukyatul hilal atau
istikmal dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Namun, hasil rukyat
dapat ditolak bila tidak didukung oleh ilmu pengetahuan
atau hisab yang akurat. Sampai saat ini batasan yang
digunakan adalah ketinggian hilal minimum 2 derajat, bila
kurang dari itu hasil rukyat dapat ditolak. Prinsip yang
digunakan adalah wilayatul hukmi, yaitu ulil amri
(pemerintah) dapat menetapkan rukyatul hilal di suatu
tempat di Indonesia berlaku untuk seluruh wilayah. Itsbat
(penetapan) awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah yang
dilakukan oleh Pemerintah (Depag RI) dapat diikuti selama
didasari oleh hasil rukyat.
- PP Muhammadiyah menetapkan awal bulan qamariyah
dengan hisab wujudul hilal melalui metode hisab yang
akurat. Hilal dianggap wujud bila matahari terbenam lebih
dahulu dari bulan. Walaupun hisab dan rukyat diakui
memiliki kedudukan yang sama, metode hisab dipilih karena
dianggap lebih mendekati kebenaran dan lebih praktis.
Muhammadiyah sebenarnya pernah menggunakan metode hisab
ijtima' qablal ghurub (ijtima' sebelum maghrib) dan hisab
imkanurrukyat (hilal yang mungkin dilihat, tidak sekadar
wujud) dalam memaknai "hilal". Tetapi karena kriteria
imkanurrukyat yang memberikan kepastian belum ditentukan
dan kesepakatan yang ada sering tidak diikuti, maka
Muhammadiyah kembali ke hisab Wujudul Hilal. Prinsip
wilayatul hukmi juga digunakan, yaitu bila hilal di
sebagian Indonesia telah wujud maka, seluruh Indonesia
dianggap telah masuk bulan baru.
- PP Persis berpandangan bahwa rukyatul hilal bisa
bermakna rukyat dengan mata, dengan akal, atau dengan
hati. Hisab pada hakikatnya adalah rukyat dengan akal
atau dengan hati, karenanya hisab digunakan sebagai
penentuan masuknya awal bulan dengan memperhatikan
kaidah-kaidah ilmiah yang disepakati oleh ahlinya.
Tetapi, batasan hisabnya dalam memahami "hilal"
berubah-ubah. Mula-mula menggunakan kriteria ijtima'
qablal ghurub, kemudian kriteria imkanurrukyat (tinggi
minimum 2 derajat), dan saat ini menggunakan kriteria
wujudul hilal di atas ufuk mar'i di seluruh Indonesia
(tanpa prinsip wilayatul hukmi).
- Pola pemikiran hisab dan rukyat telah sedemikian
kokoh dengan dukungan dalil-dalil fikih yang
memperkuatnya. Penganut metode rukyat sulit untuk
menerima hisab sebagai penggantinya. Sebaliknya, penganut
metode hisab juga sulit menerima rukyat sebagai penentu
karena hisab dianggap telah mencukupi dan lebih praktis.
Namun, kenyataan bahwa Muhammadiyah dan Persis
berganti-ganti kriteria menunjukkan bahwa ijtihad terus
berjalan untuk memaknai "hilal". Sementara itu NU pun
telah berijtihad dalam memaknai "hilal" yang sesungguhnya
dengan mengizinkan hisab mengontrol hasil rukyat yang
mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Ini
peluang titik temu antara metode hisab dan metode rukyat,
yaitu mencari kriteria baru yang berlaku bagi hisab
maupun rukyat dalam memaknai "hilal" yang sesuai dengan
syariat dan prinsip-prinsip ilmiah astronomis. Tidak ada
satu pun dalil dalam dalam Al Quran maupun Al Hadits yang
secara tegas bisa diambil sebagai kriteria kuantitatif
(tidak ada isyarat langsung seperti waktu-waktu shalat
yang relatif mudah diinterpretasikan secara kuantitatif
astronomis). Satu-satunya cara adalah menggunakan ijtihad
ilmiah astronomis.
- Secara astronomis pengertian rukyatulhilal bil
fi'ili, bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja,
yaitu merujuk pada kriteria visibilitas hilal. Kriteria
bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan
dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan
data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui
syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria
hisab-rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai
pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara
fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin
terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Kriteria itu juga
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang
melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau
dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan.
- Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk
hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada
data rukyatul hilal internasional. Namun, data rukyatul
hilal Indonesia perlu juga dikaji secara astronomis dalam
membuat "Kriteria Hisab Rukyat Indonesia". Sebagai titik
awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria
tersebut. Para ahli hisab-rukyat dari semua Ormas Islam
bersama para pakar astronomi dari Observatorium
Bosscha/Departemen Astronomi ITB,
Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal,
dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria
tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di
Indonesia.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia
Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN
terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962 - 1997) yang
didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua
kriteria yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan
praktek hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai
dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka
dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat
Indonesia adalah sebagai berikut:
- Umur hilal minimum 8 jam
- Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut bulan -
matahari.
Beda Azimut
|
Tinggi minimum (o)
|
0,0
|
8,3
|
0,5
|
7,4
|
1,0
|
6,6
|
1,5
|
5,8
|
2,0
|
5,2
|
2,5
|
4,6
|
3,0
|
4,0
|
3,5
|
3,6
|
4,0
|
3,2
|
4,5
|
2,9
|
5,0
|
2,6
|
5,5
|
2,4
|
6,0
|
2,3
|
Implementasi
- Sebagai produk kesepakatan Ormas-ormas Islam bersama
para pakar astronomi yang difasilitasi oleh Departemen
Agama RI, Kriteria Hisab Rukyat Indonesia menjadi
kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah
ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini akan
menggantikan kriteria yang berlaku saat ini, setelah
disosialisasikan untuk difahami bersama. Untuk tingkat
regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria
MABIMS yang baru.
- Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari
kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi
pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang
(planet atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal,
maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan sebagai
data baru untuk penyempurnaan kriteria.
- Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia merupakan kriteria
dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar data-data
baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan
kepastian, kriteria ini berlaku dan bersifat mengikat
untuk masa tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5
tahun).
- Dalam hal masih terjadi perbedaan karena masalah
penafsiran fikih dalam beberapa kasus (misalnya, kasus
penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi hilal
telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Idul Adha
yang berbeda hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya
rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria, prinsip
Ukhuwah Islamiyah hendaknya dikedepankan dalam mengatasi
masalah ijtihadiyah ini.
|