(PR, 20 & 21 Feb 2004)
ALHAMDULILLAH, awal Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha 1424
ini dapat dilaksanakan seragam. Bahkan dalam beberapa tahun
mendatang suasana yang jauh dari hiruk-pikuk perbedaan
seperti tahun-tahun lalu dapat terwujud.
Faktor utama keseragaman itu sebenarnya adalah posisi
bulan dan matahari, bukan karena telah selesainya masalah
perbedaan di Indonesia. Namun ada berita gembira bahwa upaya
menuju penyelesaian perbedaan telah ditegaskan pada fatwa
MUI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
yang dikeluarkan pada 16 Desember 2003 lalu. Isinya
mewajibkan umat Islam Indonesia menaati ketetapan pemerintah
tentang penetapan awal-awal bulan tersebut dan
merekomendasikan upaya mencari kriteria titik temu yang
dapat dijadikan pedoman bersama. Suasana kondusif ini sangat
baik kita gunakan untuk mengkaji sumber perbedaan dan
mencari titik temunya.
Perbedaan pendapat tentang hisab rukyat dan mathla' serta
implikasinya telah menyita banyak energi umat Islam.
Persoalan ijtihadiyah ini sangat berpotensi merusakkan
ukhuwah islamiyah. Padahal kita akui bersama, tidak ada
kebenaran mutlak atas pendapat ijtihadiyah. Sifatnya kadang
sangat temporal dan situasional. Namun seringkali kita
terpaku pada pendapat ulama yang zaman dan situasinya jauh
berbeda dengan saat ini. Keterpakuan pada pendapat lama dan
kesempitan wawasan akan perkembangan baru terbukti telah
mengotak-kotakkan umat Islam pada mazhab-mazhab yang
representasinya berasosiasi dengan ormas-ormas Islam. Di
Indonesia, sekian puluh tahun pandangan hisab-rukyat
didominasi oleh perbedaan dua ormas besar: Nahdlatul Ulama
(NU) dan Muhammadiyah, dengan beberapa varian pada ormas
Islam lainnya.
Menyambut tahun baru Hijriah 1425 dan terkait dengan
rekomendasi dalam fatwa MUI tersebut, di sini akan
diidentifikasi substansi masalah sesungguhnya.
Masalah ini kadang luput dari perhatian dalam mencari
solusi umat secara integral, bukan parsial dalam komunitas
ormas tertentu saja. Kita semua diajak untuk mengubah
paradigma kita dari "perdebatan dalil hukum tentang metode
yang paling sahih dan paling baik" menjadi "pencarian
kriteria bersama untuk metode yang berbeda". Upaya maksimal
yang kita lakukan dengan paradigma lama adalah "kita saling
menghargai", kita tingkatkan dalam paradigma baru dengan
"kita saling mengisi". Kita reorientasikan upaya ijtihadiyah
kita dari "mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi
"menuju titik temu bersama". Sudahlah cukup energi umat
dicurahkan untuk mengkaji sepenggal dalil yang kadang hanya
berujung pada kompilasi pendapat lama.
Beberapa pendapat yang berkembang di Indonesia dalam
masalah hisab rukyat akan diulas, termasuk kritik
terhadapnya. Ada potensi untuk menuju titik temu antara
pendapat-pendapat yang berkembang tersebut. Konsepsi titik
temu astronomis diusulkan untuk jadi pemikiran bersama.
Substansi masalah
Dalil Alquran dan hadis tentang hisab rukyat sebenarnya
tidak banyak. Tanpa menyebut satu persatu dalil Alquran dan
hadis yang biasa dikemukakan oleh para ahli fikih, secara
umum dalil-dalil tersebut menyatakan hal-hal berikut.
Hilal digunakan untuk menentukan waktu (kalender) dan
ibadah (Q.S. 2: 189).
Penentuan waktu bisa dilakukan karena bulan mempunyai
fase-fase dari sabit sampai kembali menjadi sabit yang tipis
seperti pelepah kering dengan periode yang tertentu (Q.S.
36: 39). Dengan keteraturan peredarannya, matahari dan bulan
dapat digunakan untuk perhitungan waktu dan penentuan
bilangan tahun (Q.S. 10: 5, 55: 5).
Kemudian, tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan
bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, karena
masing-masing beredar pada garis edarnya (Q.S. 36: 40).
Hukum Allah tentang peredaran matahari dan bulan di langit
yang menentukan satu tahun itu 12 bulan, karenanya mengubah
atau mengulurnya karena suatu alasan (misalnya strategi
perang atau penyesuaian dengan musim) tidak dibenarkan (Q.S.
9: 36-37). Saumlah bila melihatnya (hilal) dan berbukalah
bila melihatnya. Bila terhalang awan maka sempurnakan
bilangan bulan 30 hari atau perkirakan (dengan hisab atau
istikmal 30 hari) (hadis).
Dari sekian dalil Alquran dan hadis, pokok masalah yang
utama adalah tidak adanya petunjuk operasional yang jelas,
rinci, dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah
waris. Tentu ini ada hikmahnya, umat Islam dengan demikian
ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas,
merinci, dan menguantitaskan pedoman umum dalam nash Alquran
dan hadis. Sesuai dengan sifat riset ilmiah, tidak ada yang
bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat.
Semuanya bersifat dinamis.
Hal-hal pokok yang perlu diperjelas, dirinci, dan
dikuantitaskan adalah sebagai berikut. Pertama,
apakah hilal itu? Definisi hilal bisa beragam, tetapi bila
itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya
saling melengkapi. Bukan dipilih definisi parsial. Hilal
harus didefinisikan mulai dari metode sederhana rukyat tanpa
alat bantu sampai dengan alat canggih hasil teknologi
terbaru. Hilal juga harus terdefinisi dalam kriteria hisab
yang menjelaskan hasil observasi. Definisi lengkapnya
misalnya, dirumuskan, hilal adalah bulan sabit pertama yang
teramati di ufuk barat sesaat setelah matahari terbenam,
tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila
menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak
sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang
mengarah ke matahari.
Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan
hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian
derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda
waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi
iluminasi sekian persen.
Fenomena rukyat dan hisab seperti itu harus saling
mengisi, sehingga dapat saling menggantikan dalam kondisi
tertentu, baik kondisi alamiah maupun kondisi pemikiran
(misalnya pemilihan hisab saja atau rukyat saja seperti
terjadi sekarang).
Kedua, sejauh mana keberlakuan rukyatul hilal atau
mathla'? Kita semua mengetahui bahwa bumi itu bulat, bukan
seperti selembar kertas. Dapat dipastikan ada daerah yang
bisa melihat hilal lebih awal dari daerah lainnya. Tidak ada
batasan fisik kuantitatif yang dapat dibuat dalam menentukan
mathla' tanpa mempertimbangkan kondisi sebaran penduduk dan
geopolitik pada suatu masa. Gagasan untuk membuat rukyat
yang bersifat global akan berbenturan dengan sekian
kesulitan, termasuk memaksa orang untuk berjaga menunggu
kesaksian hilal yang belum pasti atau memaksa orang
meng-qadha puasa bila terlewat. Sementara membuat batasan
radius sekian derajat juga tidak ada alasan ilmiah yang
sahih. Gagasan ahli fikih dalam menentukan mathla' bersifat
wilayatul hukmi (berdasarkan wilayah hukum) dipandang sangat
beralasan karena berangkat dari konsep ulil amri sebagai
pemersatu umat. Kalaulah kelak ada ulil amri yang ditaati
oleh semua umat Islam sedunia, konsep wilayatul hukmi yang
global bisa terwujud.
Ada masalah muskil yang mengemuka dan berimplikasi
munculnya perbedaan pendapat yang berkepanjangan. Untuk
mendapat jawaban atas masalah pokok tersebut di atas, umat
Islam terus-menerus selama ratusan tahun mengkajinya dari
penafsiran makna tersirat dari nash Alquran dan pendapat
ulama terdahulu yang mungkin didasarkan pada perkembangan
pemikiran pada zamannya.
Ada juga kecenderungan simplifikasi masalah sehingga
solusinya bersifat parsial. Misalnya, sekian lama kita
berdebat soal makna "rukyat" sehingga kemudian muncul
ungkapan "rukyat bil qalbi", "rukyat bil ilmi", dan "rukyat
bil 'ain". Sekian lama kita terpaku pada pendapat wujudul
hilal atau tidak sahnya rukyat pakai alat yang bersifat
memantulkan cahaya. Pemisahan rukyat dan hisab, penggunaan
hisab wujudul hilal, atau kriteria tunggal tinggi bulan
minimal 2 derajat adalah representasi bentuk simplifikasi
permasalahan yang kemudian dianggap sebagai hasil pemikiran
yang final oleh sebagian masyarakat.
Jadi, substansi masalah pokok hanyalah redefinisi "hilal"
yang integral antara hisab dan rukyat dengan riset ilmiah
yang terbuka. Riset tidak berarti harus memulai dari nol
dengan merukyat sendiri, karena hal itu justru bukan
metodologi riset yang efisien untuk masalah hisab rukyat
yang memerlukan data jangka panjang dan cakupan wilayah yang
sangat luas. Perlu keberanian mengoreksi pendapat sendiri
dan sikap terbuka menerima pendapat lain yang mungkin sama
sekali baru.
Hisab rukyat di Indonesia kini mencermati perkembangan
praktik penentuan awal Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha di
Indonesia, kita bisa merujuk akar masalahnya pada kriteria
yang digunakan oleh dua ormas besar, NU (Nahdlatul Ulama)
dan Muhammadiyah. Ormas lain, seperti Persis (Persatuan
Islam), walau sedikit berbeda kriterianya secara garis besar
berada pada salah satu kriteria NU atau Muhammadiyah. Untuk
mencari titik temu, perlu kita pahami kesamaan dan
perbedaannya serta kemungkinannya untuk dipersatukan.
Keputusan Musyawarah Tarjih Muhammadiyah 1932 menegaskan
bahwa datangnya awal bulan bukan hanya dengan rukyat, tetapi
juga dengan hisab. Hisab bisa berdiri sendiri sebagai sumber
pengetahuan datangnya Ramadan dan bulan-bulan qamariyah
lainnya. Ini berbeda dengan NU yang menyatakan hisab hanya
sebagai pembantu rukyat.
Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan
astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin
membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal.
Tidak ada satu pun dalil dalam hadis atau Alquran yang
menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa
diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab.
Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan
pendekatan astronomis bahwa hilal adalah penampakan bulan
yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah
ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisabnya
bahwa awal bulan baru ditandai dengan berujudnya hilal.
Tandanya adalah bila matahari terbenam lebih dahulu daripada
bulan.
Dalam perkembangan pemikiran ijtihadiyah, penggunaan
kriteria wujudul hilal patut dihargai. Itu merupakan syarat
perlu untuk munculnya hilal. Tetapi syarat itu belum cukup.
Hilal telah terwujud bisa juga terjadi sebelum ijtimak. Hal
itu terjadi di Indonesia pada Zulhijah 1423 lalu. Di
Kalimantan bagian selatan, Sulawesi bagian selatan, Nusa
Tenggara, dan Papua bagian selatan bulan telah berujud pada
saat magrib 1 Februari, tetapi belum terjadi ijtimak. Kasus
yang ekstrem terjadi pada bulan Syakban 1423 (Oktober 2002).
Saat itu di sebagian besar Indonesia bulan telah berujud,
tetapi belum terjadi ijtimak.
Dalam beberapa kasus (misalnya, saat penentuan Iduladha
1423), masalah ini teratasi dengan konsep mathla' wilayatul
hukmi. Tetapi bila kasus ekstrem seperti Syakban 1423 dengan
garis ujtima' saat magrib bergeser ke arah barat, ke luar
Indonesia, konsep wilayatul hukmi tidak dapat mengatasi
wujudul hilal sebelum terjadi ijtima'. Kriteria wujudul
hilal kemudian perlu ditambahkan dengan kriteria ijtimak
sebelum magrib (ijtimak qablal ghurub).
Dalam perkembangan saat ini berbagai argumentasi
dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk
dari penafsiran Q.S. 36: 39-40. Bahkan ada juga yang mencari
pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan
kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria
wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis bisa menyesatkan
bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang
harus mempertimbangkan syariat. Bulan baru astronomi atau
ijtimak tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas
awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas
ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya
arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati.
Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Apalagi kalau wujudul
hilal tidak mempertimbangkan ijtima' qablal ghurub, "hilal"
teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi
ijtimak.
Sementara itu konsep mathla' wilayatul hukmi kontradiksi
kalau diterapkan pada hisab murni, tanpa mengadopsi kriteria
rukyat. Konsepsi mathla' berangkat dari ketidakpastian
rukyat. Di satu daerah hilal tampak, sedangkan di daerah
lain tidak tampak. Pada zaman Ibnu Abbas, mathla' dapat
diterapkan tanpa masalah karena komunikasi antardaerah masih
sangat buruk. Tetapi dengan makin baiknya komunikasi,
kesaksian rukyatul hilal di suatu daerah segera tersebar.
Dalam hal ini konsep mathla' diperlukan untuk memberikan
kepastian keberlakuan rukyatul hilal itu. Dengan hisab
murni, mathla' tidak diperlukan lagi. Garis tanggal dapat
digunakan sebagai pembatas daerah yang mana yang masuk
tanggal lebih dahulu dari daerah lainnya. Tentu dengan
konsekuensi kemungkinan satu wilayah hukum terpecah dua.
Muhammadiyah telah berijtihad mengambil hisab secara
mandiri tanpa bergantung rukyat secara fisik (bil fi'li)
karena rukyat telah direpresentasikan dalam bentuk kriteria
wujudul hilal. Dalam perkembangannya, kriteria wujudul hilal
saja tidak cukup, perlu kriteria ijtimak qablal ghurub. Kini
Muhammadiyah perlu juga terbuka untuk mengkaji ulang
ijtihadnya, dengan memasukkan faktor transparansi atmosfer
dan kepekaan mata manusia yang lazim dalam telaah astronomis
tentang visibilitas hilal (imkanur rukyat). Sehingga
definisi hilal bukan lagi hilal teoretis yang tidak punya
landasan qath'i dari syariat dan tidak punya dukungan
astronomis, melainkan hilal yang benar-benar terbukti dapat
dirukyat.
NAHDLATUL Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan
ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh Rasulullah dan
para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama mazhab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Dalam hal penentuan
awal bulan, NU menetapkan harus dengan rukyatul hilal bil
fi'li, dengan melihat hilal secara langsung. Bila berawan
atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, mereka tetap
merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan
menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari.
Demikianlah ketentuan syariat yang diyakininya. Hisab
hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya
awal bulan qamariyah.
Kesaksian dapat diyakini karena saksi perlu disumpah.
Seringkali, sumpah dianggap lebih kuat dari argumentasi
ilmiah berupa hasil hisab. Dalam beberapa kasus, bulan yang
masih di bawah ufuk menurut perhitungan astronomi dilaporkan
terlihat dan diambil sebagai dasar penetapan awal bulan,
misalnya pada penetapan Idulfitri 1413/1993. Namun sejak
1994, PBNU telah membuat pedoman bahwa kesaksian hilal bisa
ditolak bila semua ahli hisab sepakat menyatakan hilal tidak
mungkin dirukyat. Secara lebih tegas dinyatakan, kesaksian
rukyatul hilal dapat ditolak bila tidak didukung ilmu
pengetahuan atau hisab yang akurat.
Prinsip penolakan itu telah dilakukan dalam sidang itsbat
penentuan Idulfitri 1418/1998 yang menolak kesaksian di
Cakung dan Bawean. Saat itu hilal masih di bawah kriteria
imkanur rukyat 2 derajat. Namun prinsip itu belum secara
konsisten dilaksanakan, karena PWNU Jawa Timur justru
menerima kesaksian tersebut. Termasuk komentar negatif dari
beberapa tokoh NU atas pernyataan Lajnah Falakiyah PBNU yang
mengisyaratkan Idulfitri jatuh pada 6 Desember 2002 sebelum
ada rukyatul hilal, hanya mendasarkan pada kriteria yang
sebenarnya telah menjadi pedoman PBNU. Tampaknya kriteria
imkanur rukyat 2 derajat belum diterima di seluruh jajaran
NU atau belum dimasyarakatkan. Padahal kriteria itu didasari
oleh hasil rukyat sebelumnya tentang batas minimal
ketinggian hilal yang teramati secara meyakinkan.
Hal ini bisa dirujuk dari pengamatan hilal awal Ramadan
1394/16 September 1974 yang dilaporkan oleh 10 saksi dari 3
lokasi yang berbeda. Tidak ada indikasi gangguan planet
Venus. Perhitungan astronomis menyatakan, tinggi hilal
sekitar 2 derajat dengan beda azimut 6 derajat dan umur
bulan sejak ijtimak 8 jam. Jarak sudut Bulan-Matahari 6,8
derajat, dekat dengan limit Danjon yang menyatakan jarak
minimal 7 derajat untuk mata manusia rata-rata.
Kriteria tinggi 2 derajat dan umur bulan 8 jam ini yang
kemudian diadopsi sebagai kriteria imkanur rukyat MABIMS
(negara-negara Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura) pada 1996.
NU telah berijtihad menerima batasan imkanur rukyat 2
derajat, walaupun sosialisasi ke semua jajaran belum
berjalan baik. Lagi-lagi, sebagai bagian proses ijtihad,
penetapan imkanur rukyat 2 derajat patut dihargai. Ini lebih
baik daripada tanpa kriteria seperti kasus Idulfitri
1413/1993 yang menerima kesaksian rukyatul hilal padahal
bulan sudah di bawah ufuk menurut hisab astronomi yang
akurat. Namun pedoman "didukung ilmu pengetahuan atau hisab
yang akurat" masih membuka peluang yang lebih luas. Kriteria
imkanur rukyat 2 derajat yang telah diterima, masih harus
dikaji lagi secara ilmiah. NU juga harus terbuka mengkaji
ulang ijtihadnya agar sesuai dengan ilmu pengetahuan atau
hisab yang akurat sesuai pedoman yang ditetapkan. Sehingga
definisi hilalnya bukan semata-mata hilal "syariat" yang
diyakini benarnya dari sumpah pengamatnya, melainkan hilal
sesungguhnya yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
Konsepsi titik temu
Tanpa banyak diketahui oleh masyarakat umum, upaya-upaya
menuju titik temu itu sudah mulai dilakukan oleh
masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat
mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan
memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi
kriteria hisab imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) untuk
menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah. Muhammadiyah
yang dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal,
mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang berbagai
praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan Persis. Momentum
yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi
tentang hilal. Sayang, Munas Tarjih Muhammadiyah awal
Oktober 2003 lalu belum menghasilkan perubahan yang
signifikan, walau ada titik terang untuk terus mengkaji.
Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya
berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam
mendefinisikan "hilal" sebenarnya telah diterima oleh hampir
semua ormas Islam, kecuali Muhammadiyah. Kriteria itu telah
digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas Islam.
Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya,
keberatan karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan
ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut berdasarkan
analisis sederhana, belum memperhitungkan beda azimut
Bulan-Matahari seperti yang dilakukan pada kriteria
astronomis. Kalau mau jujur, kriteria wujudul hilal yang
saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan
ilmiahnya.
Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan
ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik
Muhammadiyah maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan
ilmu pengetahuannya. Kriteria wujudul hilal yang dipegang
Muhammadiyah (dan Persis pasca-4 November 2002) dan kriteria
imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU (dan Persis pra-4
November 2002) sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap
Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormas-ormas Islam lainnya
terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom bersedia
menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi
fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar
astronomi.
Metode masing-masing ormas boleh berbeda. Namun, bila
kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal, insya Allah
keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang
menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal
bila ketinggian bulan dan syarat-syarat lainnya telah
terpenuhi untuk terjadinya rukyatul hilal. Demikian juga
saudara-saudara kita yang menggunakan rukyat hanya akan
menerima kesaksian rukyatul hilal yang meyakinkan secara
ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan
lainnya.
Secara astronomis pengertian rukyatul hilal bil fi'ili,
bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk
pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal.
Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat
ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan
dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui
syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat.
Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para
perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara fisik dengan mata) untuk
menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang
bukan hilal.
Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi
para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi
(dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya
awal bulan.
Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk
hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data
rukyatul hilal internasional.
Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji
secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat
Indonesia". Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan
sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisab-rukyat
dari semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari
Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB,
Planetarium/Observatorium Jakarta, LAPAN, Bakosurtanal, dan
lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria
tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di
Indonesia.
Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN
(Djamaluddin, 2000, "Visibilitas Hilal di Indonesia", Warta
LAPAN, Vol. 2, No. 4, Oktober 2000, Hlm. 137-136) terhadap
data rukyatul hilal di Indonesia (1962-1997) yang
didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua
kriteria "hilal" yang rumusannya disederhanakan sesuai
dengan praktik hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan
ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah
satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria
Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut.
Pertama, umur hilal minimum 8 jam. Kedua, tinggi bulan
minimum tergantung beda azimut Bulan-Matahari. Bila bulan
berada lebih dari 6 derajat tinggi minimumnya 2,3 derajat.
Tetapi bila tepat berada di atas matahari, tinggi minimumnya
8,3 derajat.
Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab-Rukyat
Indonesia menjadi kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS
yang telah ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini
diharapkan akan menggantikan kriteria yang berlaku saat ini,
setelah dimasyarakatkan untuk difahami bersama. Untuk
tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai
kriteria MABIMS yang baru.
Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari
kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi
pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang (planet
atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal, maka
rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai
data baru untuk penyempurnaan kriteria.
Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan
"hilal" semestinya merupakan kriteria dinamis yang masih
perlu disempurnakan berdasar data-data baru rukyat di
Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian, kriteria ini
diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa
tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun). Dalam
hal masih terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fikih
dalam beberapa kasus (misalnya, kasus penerapan istikmal
pada saat mendung padahal posisi hilal telah memenuhi
kriteria dan kasus penentuan Iduladha yang berbeda hari
dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang
lebih rendah dari kriteria, prinsip ukhuwah islamiyah
hendaknya dikedepankan dalam mengatasi masalah ijtihadiyah
ini.
Harapan
Energi umat Islam yang telah tersita untuk memperdebatkan
masalah hisab rukyat selama ratusan tahun kita cukupkan
sampai sekian saja. Masih banyak masalah yang lebih mendesak
untuk diselesaikan dalam era globalisasi saat ini, termasuk
masalah korupsi yang kini mulai dijadikan musuh bersama.
Kita fokuskan pemikiran kita dalam masalah hisab rukyat
untuk mencari titik temu.
Perlu reorientasi upaya ijtihadiyah kita dari "mencari
kebenaran relatif ijtihadiyah menjadi "menuju titik temu
bersama". Memang, ada rasa tenteram ketika kita mengamalkan
hasil ijtihad yang dianggap paling meyakinkan. Namun
meninggalkan "kebenaran relatif ijtihadiyah" sendiri untuk
mengambil hasil ijtihad lain demi menjaga ukhuwah bukanlah
tindakan berdosa. Sebab Islam mengajarkan tidak ada dosa
bagi kesalahan ijtihadiyah.
Tawaran definisi "hilal" berdasarkan kajian LAPAN sebagai
lembaga penelitian antariksa adalah usulan murni ilmiah
dengan mempertimbangkan batasan syariat. Ini adalah tawaran
bagi semua ormas Islam di Indonesia untuk sama-sama maju
menujuk titik temu. Setidaknya sebagai titik awal untuk
melakukan redefinisi tentang hilal yang mempertemukan semua
metode hisab dan rukyat yang seringkali berbeda-beda
keputusannya. Dengan kesamaan kriteria yang menjadi pedoman
bagi pemerintah dan semua ormas Islam, fatwa MUI yang
mewajibkan umat Islam mengikuti keputusan pemerintah dalam
penentuan awal Ramadan dan hari raya akan dengan mudah
terlaksana. Bila itu terwujud, posisi kritis Bulan-Matahari
yang sering menimbulkan masalah tidak lagi menyebabkan
perbedaan penentuan tanggal qamariyah.
|