Komet SL-9

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)


Dan janganlah kamu mengikuti hal-hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (QS 17:36).

Peristiwa pecahnya komet Shoemaker-Levy 9 (SL-9) pada 1994 setelah masuk dalam wilayah orbit planet raksasa Jupiter, sangat menarik secara astronomis. Namun juga mengandung pelajaran penting bila merenungkannya. Peristiwa serupa mungkin juga terjadi dalam dimensi sosial. Dampaknya pun tak kalah hebat: kehancuran.

Ahli matematika Perancis Edouard Roche menyatakan ada suatu jarak minimum dari planet induk yang bila dilampaui akan menyebabkan benda yang mengorbitnya akan pecah. Batas minimum itu dikenal sebagai Limit Roche yang tergantung ukuran dan kekuatan benda langit menahan gaya gravitasi planet. Bulan yang kelihatan kokoh pun akan hancur berantakan bila (karena suatu sebab) melewati Limit Roche-nya, masuk dalam orbit yang jaraknya kurang dari 18.000 km dari bumi. Saat ini bulan masih berada pada jarak yang aman 384.000 km.

Seperti kebanyakan komet lainnya, mestinya komet SL-9 ini hanya mengitari matahari. Tetapi, sekitar tahun 1970-an komet ini masuk dalam pengaruh gravitasi Jupiter dan mulai mengitari Jupiter. Sekitar 1992, komet SL-9 mencapai titik terdekatnya dengan Jupiter dan melewati Limit Roche-nya. Pada saat itulah kekuatan materinya yang rapuh karena hanya terdiri dari debu, gas beku, dan es tak mampu menahan gravitasi Jupiter. Secara perlahan komet itu pecah, hancur berkeping-keping, dan jatuh masuk ke Jupiter.

Manusia berperilaku seperti komet SL-9 banyak. Manuver pribadinya bisa membawanya masuk ke dalam lingkaran orang yang punya pengaruh besar. Orang berpengaruh itu mungkin seorang presiden, gubernur, konglomerat, atasan, kyai, atau sekadar dukun. Ibarat gravitasi yang mengikatnya, pengaruh itu bisa demikian kuatnya, hingga ia tidak mampu melepaskan diri lagi. Ia mengabdi sepenuhnya, sadar atau tak sadar. Ia bertaklid buta. Langit biru disebut kuning pun mungkin ia ikuti. Kepribadiannya yang rapuh tidak bisa mengambil sikap lain, selain taat.

Padahal Allah mengingatkan dalam hal ketaatan untuk senantiasa menggunakan ilmu dan akal sehat (QS 17:36). Karena setiap perangkat pengolah informasi pada diri manusia, pendengaran, mata, dan hati, kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Tidak digunakannya mata, telinga, dan hati bisa membawa ke neraka (QS 7:179). Allah menjuluki, "Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS 7:179).

Ketaatan kepada pemimpin memang diwajibkan Allah (QS 4:59) dan rasul-Nya selama bukan untuk kemaksiyatan (HR Bukhari Muslim). Sekalipun pemimpin itu mengutamakan diri sendiri dan menyeleweng, Nabi berpesan "Tunaikan kewajibanmu dan hanya mengharap kepada Allah akan hak kamu" (HR Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas'ud). Jangan ikuti kesalahannya, apalagi meminta bagian yang bukan hak kita.

Ketaatan kepada pemimpin demi kemaslahatan. Tetapi ketaatan yang bukan taklid. Ibarat bulan yang tetap kokoh mengorbit bumi pada jarak aman. Ada batas syariah dan rasional yang harus dipertahankan, di samping harus adanya kepribadian yang kokoh.


 T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.