|
|
SEORANG pernah bertanya kepada Gandhi, "Bila hanya ada satu Tuhan, tidakkah seharusnya hanya ada satu agama saja?" Gandhi, menurut kisah Louis Fischer menjawab, "Sebatang pohon punya sejuta daun. Ada banyak agama sebagaimana ada banyak pria dan wanita, tapi semua berakar kepada Tuhan." Kiasan yang dipergunakan Gandhi barangkali tidak tepat, tetapi siapa yang hidup di India, yang tumbuh dengan pengalaman India, akan memahami mengapa tanya jawab seperti itu terjadi. India, kata Jawaharlal Nehru (pejuang kemerdekaan dan pembangun tanah air yang sulit ini), "berisi semua hal yang memuakkan dan semua hal yang luhur". Beratus-ratus tahun negeri mi memang tak putus-putusnya menyaksikan apa yang indah dari perjalanan spiritual manusia. Tapi pada saat yang sama ia juga menyaksikan bagaimana jutaan orang ganas mengganasi orang lain atas nama agama yang berbeda. Apa desain Tuhan dengan semua ini? Apa gerangan iradah-Nya? Banyak mungkin jawab bisa diberikan, tapi satu hal jelas: kita tak bisa mengatakan bahwa Tuhan mengutuk manusia dengan memberinya pelbagai iman dan kepercayaan, tetapi kita juga tak bisa menyimpulkan bahwa dunia menjadi tempat yang berbahagia karena itu. Bangsa-bangsa Asia Selatan dan Tirnur pada umumnya adalah India dalam skala lain. Barangkali karena itulah banyak pernikir agama yang lahir dari dilema dan kompleksitas hidup dalam keanekaragaman iman itu --dan sebab itu tahu apa artinya berendah hati. Beberapa tahun yang lalu, ada seorang pendeta Metodis muda yang mengajar agama di Kandy, sebuah kota yang indah di pebukitan Sri Lanka tengah. Pada suatu hari kelasnya mendiskusikan sebuah perayaan Hindu yang akan diselenggarakan di kampus. "Kami biasanya tak pergi ke perayaan itu," ujar seorang mahasiswa, "karena kami tak menyembah Dewa Hindu itu." Sang pengajar pun bertanya, "Jadi, maksudmu ada Tuhan Hindu, yang berbeda dengan Tuhan Kristen?" Sang siswa menjawab, setelah agak bingung, bahwa ia tak tahu. Sang pendeta, Wesley Arirajah, yang kemudian, di tahun 1985, menerbitkan bukunya The Bible and People of Other Faiths, mengambil anekdot itu dan mempersoalkan: ada berapa banyak tuhan sebenarnya di alam semesta ini? Adakah tempat untuk satu Tuhan Kristen, satu Tuhan Hindu, dan satu Tuhan Islam? Bagi Arirajah, jawabnya adalah jawaban monoteis sejati: hanya ada satu Tuhan. Injil, kata Arirajah, dimulai dengan kisah genesis, penciptaan kosmos - bukan penciptaan gereja, bukan penciptaan orang Kristen, bukan penciptaan tanah Israel. Sayangnya, demikian kritik Arirajab kepada sebagian pemikiran Kristen, Tuhan telab dijadikan "Tuhan suku", bukan Tuhan segala bangsa, segala umat. "Teologi Kristen," tulis Arirajah, "harus membiarkan Tuhan menjadi Tuhan." Teologi itu tak seharusnya "memiliki" Tuhan, seperti kita memiliki sepotong milik pribadi. "Kita tak bisa memagari Tuhan dan mengatakan, 'Nah, jika kau ingin mengenal Tuhan, datanglah melalui pintu ini'. Kita tak merniliki Tuhan, Tuhanlab yang memiliki kita, dan Tuhan memiliki seluruh ciptaan." Saya bertemu Arirajah di sebuah diskusi di Divinity School di Harvard, ketika ia berkunjung dari Jenewa untuk berbicara tentang dialog antariman. Ia orang yang tepat untuk itu karena ia adalah direktur sub-unit Dialog dalam Dewan Gereja Dunia dan ia nampaknya tokoh yang dikenal dekat dengan kalangan teologi Harvard yang umumnya liberal itu. Di akhir diskusi ia memberi saya satu eksemplar The Bible and People of Other Faiths dan mengatakan, "Di Indonesia, Eka Darma Putra ingin menerjemahkan buku ini, tapi nampaknya mengalarni kesulitan dengan kalangan gereja Kristen di Jakarta." Saya tak sempat mengecek kepada Eka Darma Putra, sampai hari ini, apakah memang demikian halnya. Tapi saya bisa membayangkan betapa tidak mudahnya pemikiran keagamaan yang "liberal" untuk berkembang di Indonesia dari kelompok agama yang mana pun. Banyak umat Islam tak senang dengan catatan harian almarhum Ahmad Wahib yang pernah diterbitkan dan kini tak ada dijual itu, banyak yang curiga kepada pemikiran Nurcholish Madjid dan tak tenteram dengan pendapat-pendapat Abdurrahman Wahid. Banyak orang Katolik yang merengut membaca "kenakalan" M.A.W. Brouwer dan analisa Y.B Mangunwijaya. Gandhi (bukan kemarahan dan wasangka) memang tak selamanya didengar. Reaksi terhadap keanekaragaman agama tak selamanya reaksi yang meluaskan wilayah rohani. Padahal, di inti spiritual yang paling dalam, iman adalah iman yang rindu dan berani, bukan karena cemas kehilangan kebenaran yang absolut. Tapi di zaman ini kita hidup dengan terlalu banyak rasa waswas. Di India sendiri Gandhi ditembak mati seorang fanatikus Hindu, yang khawatir sang Mahatma terlalu memberi hati kepada orang Islam. Di saat terakhir, sementara darah mengucur di dadanya, sang Mahatma hanya berbisik, "0, Ram", "Ya, Tuhan." Tuhan yang Esa, Tuhan semua kita yang merasa kehilangan ketika persaudaraan digugurkan oleh kebencian. 10 November 1990 (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4, Grafiti, Jakarta, h.385-387) |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2002. |