|
|
BERIMAN adalah menderita," kata kesatria bertubuh kurus itu sambil memejamkan matanya. "Kita seperti mencintai seseorang yang berada dalam gelap, diam, dan tidak pernah menjawab." Kesatria itu, Antonius Blok, tokoh utama dalam film ciptaan Ingmar Bergman yang termasyhur itu, Tera yang Ketujuh (dalam versi Inggris, The Seventh Seal), pulang dari Jerusalem, dari Perang Salib. Ia terdampar di pantai negerinya yang kering, keras, tak dihuni. Kisahnya adalah kisah keresahan untuk mendapatkan kesimpulan terakhir: bahwa iman yang selama ini ditanggungnya bukan hanya sebuah takhayul kepada ruang kosong. Tapi yang ditemuinya hanya pedalaman yang dicakar sampar. Orang-orang ketakutan dan sebab itu menjadi bengis. Pada suatu malam Antonius Blok bertemu dengan serombongan prajurit dan pendeta yang membawa seorang anak gadis yang dipasung di dalam pedati. Si gadis, dengan susu yang masih ranum, dengan tubuh yang masih lembut, harus dibakar hidup-hidup. Ia dituduh berhubungan dengan Setan yang membangkitkan wabah dan kebinasaan. Esoknya tiang pun dipasang dan api dinyalakan. Di mata gadis itu tampak berkilas teror, ketakutan. Apa gerangan yang dilihatnya menjelang ajal? Tuhan? Atau hampa? Tak ada jawab. Hanya ada gelap malam, para padri, dan KItab Suci. Bahkan ketika Blok bertanya kepada Maut, yang mengikuti perjalanan pulangnya ke kastil Elsinore untuk mencabut nyawanya --pernahkah Tuan melihat apa dan siapa yang ada nun di atas sana, di surga -- Maut itu, dengan wajahnya yang bagaikan topeng karet yang putih, mengerikan, cuma diam, seakan-akan menggeleng. Memang menakjubkan: dalam kemuraman itu Antonius Blok tetap saja beriman dan pada saat yang sama tetap saja bertanya. Tera yang Ketujuh dalam hal ini agaknya sebuah alegori tentang nasib nestapa tapi juga kedahsyatan manusia yang tak putus-putusnya percaya dan tak henti-hentinya dirundung bimbang. Mungkin ini kisah zaman ini, ketika wahyu berhenti diturunkan. Dan nabi tak dibenum lagi, ketika manusia seperti para penziarah yang berjalan panjang: perjalanan untuk menemui simbol-simbol, terutama yang ditinggalkan masa lampau. Simbol: sesuatu yang meminta interpretasi, bahkan sesuatu yang menjadi berarti karena interpretasi. Manusia akhirnya memang sebuah ikhtiar untuk memberikan tafsir, karena dari dalam gelap, tak ada lagi jawab. Ikhtiar itu amat panjang. Manusia toh akhirnya menghadapi dan berada dalam kancah dunia, yang oleb orang Inggris disebut being (dan kata "to be", "mengada"), dan oleh orang Jawa disebut dumadi (dan kata dadi atau menjadi) -- sesuatu yang tak mandek, tak stabil, tak pasti, yang masuk sebagai rangsangan indera yang melintas tak putus-putus, bagaikan alir kali yang mengalir terus. Bahasa manusia tak pernah mencerminkan sepenuhnya kali yang mengalir itu. Kata-kata manusia hanya usaha menandai satu hal dalam hubungannya dengan hal lain, tanpa didasarkan pada ide yang sudah dimasak. Maka arti kata, dan akhirnya bahasa manusia, selalu berada dalam keadaan transit dan nisbi. Konsep dan definisi yang pasti akan buntu. Pada mulanya dan pada akhirnya adalah kiasan. Maka bahasa yang mencoba menangkap hidup akan harus memandang hidup sebagai sebuah naskah, yang maknanya tergantung kepada interpretasi si pembaca. Soalnya kemudian: tak akan adakah kekacauan, jika begitu banyak orang dan begitu banyak tafsir? Di manakah kebenaran? Dan haruskah ada konsensus untuk "Kebenaran"? Antonius Blok tak bertanya sejauh itu. Statemennya tentang Tuhan yang dicintai tetapi tak memberi jawab sudah cukup. Kini orang membicarakan tentang perlu atau tidaknya konsensus dalam tafsir, dan bagaimana itu mungkin terjadi, di zaman ini, ketika pengetahuan manusia semakin terpecah-pecah. Itulah sebenarnya tema dasar "modernisme" dan "post-modernisme". Ada yang memang berpendapat, seperti Jurgen Habermas, (orang yang meragukan segala keriuhan "postmodernisme") bahwa konsensus adalah keinginan yang sah. Tiap kali kita berkomunikasi, kita mau tak mau mengasumsikan bahwa kita berbicara benar -- meskipun sebagai suatu ilusi sekalipun. Tapi soalnya: ilusi itu kemudian memperoleh legitimasinya.Melalui apa legitimasi itu terjadi? Jawabnya: lewat kekuatan dan kekuasaan, baik dalam bentuk modal, tahta, ataupun senjata.Konsensus pun pada akhirnya -- seperti dibuktikan dalam sejarah abad ke-20 -- merupakan proyek kekuasaan. Komunikasi pun dibetot dari rohnya, pelan-pelan, demi konsensus itu. Terkadang untuk itu orang membawa bendera "ilmu" dan "iman" -- seakan-akan semuanya bisa seperti rumus ilmu pasti. Atau seakan-akan semuanya hanya perlu diterima, dengan taklid. Antonius Blok akan mengatakan bahwa beriman seperti itu berarti mencintai Tuhan dengan cara seperti menyukai sebuah komputer hebat di kamar pusat. Beriman, dalam sikap itu, memang tak menderita, tetapi betapa dangkalnya. 10 Oktober 1992 (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4, Grafiti, Jakarta, 1995, h. 403-405) |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2002. |