|
Menurut zhahir QS Al-Ma'idah (6): 38 hukuman tindak
pidana pencurian berupa potong tangan (qath al-yad).
Mengenai hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi dua:
Pertama, hukuman tersebut bersifat ta'abbudi karena
itu tidak dapat diganti hukuman lain, dengan penjara atau
lainnya, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa Rasul.
Demikian menurut sebagian ulama.
Kedua, hukuman tersebut ma 'qulul ma'na, yakni
mempunyai maksud dan pengertian yang rasional. Karena itu ia
dapat berujud dengan hukuman lain, tidak harus dengan potong
tangan. Demikian menurut sebagian ulama (lihat Ibrahim
Dasuqi asy-Syahawi, As-Sariqah, Kairo, Maktabah Dar
al-Urubah, 1961, cet-1, h. 9-13).
Menurut para pendukung pendapat kedua ini, yang dimaksud
dengan "potong tangan" sebagaimana ditegaskan dalarn ayat
adalah "mencegah melakukan pencurian". Pencegahan tersebut
dapat diwujudkan dengan penahanan dalam penjara dan
sebagainya, tidak mesti harus dengan jalan potong tangan.
Dengan demikian, ayat tersebut dapat berarti: Pencuri
laki-laki dan pencuri perempuan, cegahlah kedua tangannya
dari mencuri dengan cara yang dapat mewujudkan
pencegahan.
Sebelum terburu-buru "mengkafirkan" ulama kelompok kedua
ini, (bukankah kita cenderung mengkafirkan orang yang tidak
kita mengerti jalan pikirannya?) ada baiknya kita ketahui
alasan mereka.
Golongan ini mengemukakan alasan bahwa kata memotong
(al-qath'u) arti aslinya adalah semata-mata pencegahan
(al-man'u), dengan alasan sebagai berikut.
- Menurut sebuah riwayat, Rasulullah memberi hadiah
kepada Aqra' bin Habis At-Tamimi dan 'Uyainah bin Hisn
Al-Fazari masing-masing seratus ekor unta, sedangkan
kepada 'Abbas bin Mardas Nabi memberikan hadiah kurang
dari seratus ekor unta. Kemudian 'Abbas rnendendangkan
syair di hadapan Nabi yang mengutarakan bahwa kedudukan
dan perjuangannya jika tidak lebih maka tidak dapat
dipandang kurang dari Aqra' dan 'Uyainah tersebut. Ketika
mendengar syair 'Abbas yang dibaca berulang-ulang itu,
Nabi berkata kepada para sahabat: iqtha'u anni lisanahu
(secara harfiah berarti: potonglah dari aku
lidahnya).
Para sahabat kemudian memberikan kepada 'Abbas tambahan
sampai seratus unta, sebagaimana Nabi telah memberikan
kepada Aqra' dan 'Uyainah. Kalaulah kata qatha'a berarti
pemotongan, tentu para sahabat memotong lidah 'Abbas.
Tetapi mereka menanggapi perkataan Nabi tersebut tidak
menurut arti lahirnya, yaitu pemotongan lidah. Melainkan
memahaminya agar mencegah lidah 'Abbas dari mengoceh dan
mengemukakan protesnya, dengan mencukupkan bilangan unta
seratus ekor. Dengan demikian, perkataan Nabi tersebut
tidak diartikan oleh para sahabat dengan "potonglah
lidahnya", tetapi diartikan "cegahlah lidahnya."
- Menurut riwayat, Laila Al-Akhiliah pernah membacakan
kasidahnya unttuk memuji Panglima Hajjaj. Hajjaj berkata
kepada ajudannya: 'iqtha 'anni lisanaha" Mendengar
perintah ini, ajudan tersebut membawa Laila ke tukang
besi untuk dipotong lidahnya. Ketika dilihatnya tukang
besi mengeluarkan pisau, Laila berkata: "Bukan itu yang
dimaksudkan Hajjaj, tetapi ia memerintahkan agar engkau
memotong lidahku dengan hadiah, bukan dengan pisau."
Setelah ajudan kembali bertanya kepada panglima, ia
membenarkan pendapat Laila, sehingga ajudan tersebut
mendapat celaan dari panglima karena kebodohannya.
Sekiranya kata qhatha'a diartikan memotong secara sempit,
tidaklah wajar Hajjaj memarahi ajudannya. Panglima Hajjaj
dan Laila terkenal sebagai pujangga dan sastrawan Arab
pada masa Daulah Bani Umayyah yang kata-katanya dapat
dijadikan hujjah dalam memahami bahasa Arab. Sedangkan
ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab pada masa
Umayyah dan permulaan Daulah 'Abbasiah sampai dengan masa
Abu Al-'Atahiyah (sastrawan Arab terkenal pada masa
Abbasiah yang wafat pada 211 H) dapat dijadikan
hujjah.
Di samping itu, menurut Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Ahmad,
dan Ishaq, hukuman atas tindak pidana pencurian itu bersifat
pilihan, potong tangan atau mengembalikan (mengganti) barang
yang dicuri kepada pemiliknya (lihat Tafsir Fakh al-Razi,
juz XI, h. 228), atau menurut ulama lain menafkahkannya di
jalan Allah (lihat Tafsir Ruh al-Ma'ani, Juz VI, h.
135).
Al-Haq min Allah!
|