|
|
TUHAN dibungkam dan diteriakkan di Ayodhya. Masjid Babri telab berdiri sejak abad ke-16 dan ia tak mengganggu. Tapi pekan lalu ia dihancurkan oleh mereka yang yakin telah terpanggil oleh iman: sejumlah besar penganut "kebangunan kembali" agama Hindu. Sejak hari itu sekitar 700 orang tewas. Orang Islam menyerang orang Hindu, orang Hindu menggempur orang Muslim, tak peduli mereka bersangkut paut dengan peristiwa Ayodhya atau tidak. Siapa yang salah dan siapa yang tidak sudah rancu. Tuhan diseru, dengan nama yang berbeda-beda, dalam karnaval kebencian itu, yang mereka anggap sebagai parade kebenaran. Adakah Ia didengar? Tidak --jika kita memandang Tuhan sebagaimana Tagore memandang-Nya, jika kita memuja Tuhan sebagaimana Tagore memuja-Nya. "Kasih antara Tuan dan aku ini sederhana seperti nyanyi." begitulah Tagore mengutarakan hubungannya dengan Tuhan, sebagaimana diterjemahkan oleh Amir Hamzah. Kasih yang seperti nyanyi adalah kasih yang terpancar keluar tulus, bebas, dan bersahaja, tanpa ritual yang ruwet, upacara besar, dan tempat pemujaan yang megah. Tanpa pretensi. Ia yang mencinta dan menyanyi tak akan menganggap caranya sebagai ekspresi yang bisa berlaku buat orang di mana saja, kapan saja. Cinta, seperti nyanyian, bukanlah hukum. Cinta, seperti nyanyian, berbeda dan pribadi ke pribadi. Cinta, seperti nyanyian, tak menyemburkan amarah. Tapi tentu saja di Ayodhya hari itu dan sesudahnya, tak ada cinta dan tak ada nyanyian. Yang ada pekik peperangan. Tak ada pribadi-pribadi. Yang ada hanya massa, kelompok. Tagore tak disebut-sebut; ia memang hanya terasa sebagai seorang penyair yang lembek hati dan penyendiri (bukan "bersama massa") jika kita berada dalam suara gemuruh dengan mulut berbusa-busa. Tuhan yang disebutnya dalam Gitanjali, "yang membuat yang jauh jadi dekat dan seorang asing jadi saudaraku", sudah jadi Tuhan yang aneh. Memang menakjubkan bahwa Tuhan bisa dipuja dengan cara yang berbeda dari cara Tagore -- atau cara seorang Muslim sehari-hari mengingat-Nya, yakni sebagai Yang Rahman dan Rahim. Tuhan kadang-kadang bahkan dibayangkan sebagai Sang Pemberi Legitimasi bagi kebencian dan destruksi. Tapi adakah cara yang terbenar sesungguhnya untuk menafsirkan Dia? Entahlah. "Betapa susah sungguh," tulis Chairil Anwar dalam sajaknya Doa, "mengingat Kau penuh seluruh." Betapa sulit memang untuk memproyeksikan citraNya yang utuh, yang tak dipengaruhi kebiasaan kita, perangai kita, kepentingan kita --dengan kata lain, keterbatasan kita. Di sini kita memasuki soal yang pelik: penafsiran. Agaknya bukan kebetulan bila para pemikir kembali mengusut bagaimana sebenarnya terjadinya proses "tahu" atau "mengetahul", "paham" atau "memahami" - dengan kata lain, proses epistemologis. Nabi yang menerima wahyu baru sudah tak ada lagi. Sementara itu hidup semakin banyak memergoki hal ihwal yang tak selamanya dapat diterangi dengan konsep, model, atau contoh yang pernah ada. Paradigma lama cepat jadi bangkai. Teori tahun lalu dengan mudah goyah. Orang membutuhkan interpretasi ulang, terutama ketika menyangkut pengetahuan tentang manusia, awal dan akhirnya. Bahkan orang mulai ragu, bisakah ada konsensus tentang itu, dan bisakah kita mengklaim adanya satu pusat yang bisa menggerakkan konsensus itu. Menyadari itu, orang menjadi secara serius menelaah, tidakkah semuanya ini berpangkal pada cara kita memberi arti kepada dunia, sebagaimana seorang pembaca memberi arti kepada suatu teks. Para pemikir yang kini sering disebut sebagal kaum "pascastrukturalis" bahkan memberi perhatian yang besar kepada soal interpretasi atas teks itu. Bagi mereka, bahasa manusia mustahil untuk menawarkan satu makna yang sudah selesai, tak selalu menggelincir ke dalam makna lain. Khaos? Kesimpang-siuran yang telah membuat banyak korban? Memang menakutkan, jika soalnya sampai kepada soal bagaimana Tuhan tergambar dalam kesadaran kita: sebagal Sang Pembalas seperti yang di Ayodhya itu, atau sebagai yang bisa kita cintai dengan sederhana dan rendah hati? Ah, saya akhirnya toh kembali ke Tagore, yang kadang memang teramat manis itu: "Kau sembunyikan diri-Mu dalam keagungan-Mu, Gustiku," tulisnya dalam sajak panjang Penyeberangan, "Butir pasir dan tetes embun lebih angkuh tampil ketimbang Engkau." 19 Desember 1992 (Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4, Grafiti, Jakarta, 1995, h. 409-410) |
|
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2002. |