Menimbang Sikap Politik Poros Tengah

Nadirsyah Hosen
(Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada University of Wollongong, Australia)

Media Indonesia, Selasa, 26 Juni 2001

KEHADIRAN Poros Tengah pada Sidang Umum MPR 1999 dimaksudkan untuk memberikan solusi alternatif akan kebuntuan politik yang dialami bangsa ini. Masih segar ingatan kita ketika bangsa ini dihadapkan pada pilihan antara Habibie atau Megawati dan setiap pilihan mengandung konsekuensi ancaman pengikut setia kedua tokoh tersebut, Poros Tengah berhasil menyodorkan alternatif lain.

Sayang, dalam perjalanannya sekarang, Poros Tengah terlihat mandul dalam memproduksi alternatif-alternatif pilihan untuk bangsa ini. Alih-alih memberikan jalan keluar, sejumlah partai politik yang tergabung dalam Poros Tengah malah asyik menceburkan diri di tengah kontroversi menjatuhkan atau mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan sadar Poros Tengah menggeser bandul posisi politiknya yang semula ada di tengah untuk kemudian memihak salah satu pihak.

Celakanya, pemihakan ini dilakukan dengan cara berputar-putar dalam bungkus argumen kemaslahatan dan konstitusi. Kedua argumen tersebut layak dibahas untuk menyingkap motivasi Poros Tengah sebenarnya dalam posisi politik terakhirnya.

Argumen kemaslahatan

Pertama, kaidah maslahat-mudarat yang dirumuskan ulama sebenarnya lebih bersifat normatif dan cenderung abstrak. Kaidah tersebut belum diturunkan pada level praktis. Sebagai contoh, apa indikasi maslahat-mudaratnya kalau pada 1999 Amien Rais menganggap yang maslahat dan lebih kecil mudaratnya itu adalah bukan Habibie dan tidak pula Mega? Sekarang justru dianggap lebih sedikit mudaratnya kalau menurunkan Gus Dur dan menaikkan Mega. Walhasil, tanpa menjelaskan terlebih dahulu ukuran, indikator, ataupun kriteria yang jelas, Poros Tengah bisa dituduh menggeser persoalan maslahat-mudarat sesuai selera mereka.

Kedua, hal ini membawa kita pada kemusykilan berikutnya, siapa yang berhak menentukan mana yang mengandung maslahat dan mana yang mudarat. Kalau masalahnya haram-halal tentu mudah. Tetapi kalau sudah memasuki wilayah politik yang abu-abu, seperti kasus Gus Dur, tentu persoalannya menjadi tidak sederhana. Penelitian lapangan mungkin diperlukan untuk menghindari terjadinya saling klaim bahwa kalau Gus Dur dipertahankan atau diturunkan akan membawa bangsa ini lebih baik atau tidak. Sayang, hal semacam ini belum dilakukan oleh Poros Tengah.

Ketiga, yang jarang diperhatikan, kaidah maslahat-mudarat ini sebenarnya bertebaran di khazanah Islam. Sebagai contoh, menolak kejelekan lebih diutamakan ketimbang mengambil kebaikan; wajib memilih satu mudarat yang lebih ringan dari dua mudarat yang ada; membuang kemudaratan itu tidak bisa dengan cara menimbulkan kemudaratan berikutnya; tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan; keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang, dan masih banyak lagi.

Pertanyaannya, kapan kita pakai kaidah yang pertama ketimbang yang kedua. Atau apa syaratnya kita pakai kaidah yang ketiga dan melupakan kaidah keempat. Serta apa sih ukurannya darurat itu sehingga kita bisa pakai kaidah ini ketimbang yang lain? Para ulama sudah menyusun kriteria dan syarat-syarat penggunaan kaidah maslahat-mudarat. Kajian mendalam terhadap penggunaan kaidah ini sebaiknya dilakukan terlebih dahulu biar jangan terkesan asal comot kaidah.

Keempat, kembali ke pilihan antara Gus Dur dan Megawati, kalau kita mau mengatakan kedua-duanya jatuh pada kondisi mudarat (yang satu dianggap tidak becus, sementara yang satu lagi dianggap terhambat oleh alasan teologi) sehingga harus dicari yang lebih ringan mudaratnya, maka ada sejumlah catatan untuk itu.

Ta`arud (pertentangan) dalil atau maslahah bisa terjadi kalau levelnya sama. Apakah dalil yang melarang Gus Dur dan Mega sama-sama berasal dari Nash? Wanita diharamkan jadi Presiden (menurut mereka yang percaya soal ini), dikarenakan teks hadis menyebut langsung bahwa tidak akan berjaya suatu bangsa kalau dipimpin wanita. Nah, adakah teks hadis atau ayat Alquran yang secara langsung menyatakan haram menjadikan Gus Dur sebagai Presiden atau menyatakan tidak jayanya suatu bangsa kalau dipimpin Gus Dur? Jikalau ada, maka dalilnya satu level dan telah terjadi taarud. Tetapi kalau yang satu haramnya berdasarkan hadis dan yang lainnya berdasarkan interpretasi atau analogi maka kekuatan dalilnya tidak sama. Dalam bahasa usul al-fiqh, yang satu qat`i al-tsubut, dan yang satunya lagi zhanni al-tsubut.

Ta`arud sebenarnya bisa diselesaikan melalui langkah berjenjang: kompromi, memilih salah satu, atau mendiamkan saja sampai ketemu dalil/alternatif lain. Ketika Presiden mengutus tim lobinya dan menawarkan kompromi politik, ia sebenarnya baru berada pada tahap pertama penyelesaian konflik. Tawaran ini ditolak karena yang lain sudah masuk pada tahap berikutnya, yaitu memilih salah satu alternatif. Jangan-jangan malah sudah ada kelompok yang langsung lompat pada jalur ketiga.

Argumen konstitusi

Sebagian elemen dalam Poros Tengah tetap mengharamkan wanita menjadi presiden dan menerima Megawati hanya karena alasan konstitusi. Pada Sidang Istimewa MPR nanti mereka tidak memilih Megawati (karena fatwa haram belum dicabut), Tetapi sebagai anggota MPR, mereka hanya `menetapkan` naiknya wapres menggantikan presiden secara otomatis.

Pada titik ini timbul kemusykilan. Perbedaan antara `memilih` dan `menetapkan` adalah perbedaan istilah saja seperti menembakkan senapan dengan membunyikan senapan. Keduanya sama-sama mengeluarkan peluru; keduanya sama-sama merestui naiknya seorang wanita menjadi presiden. Mereka ikut aktif meminta Presiden mundur dan pada saat yang sama menganggap tidak bertanggung jawab secara teologi kalau MPR kemudian menetapkan wanita menjadi presiden. Mereka sadar sepenuhnya bahwa meminta Presiden mundur sebenarnya telah membuka peluang Wapres untuk naik dan, mengutip hadis yang mereka percayai tingkat validitasnya, `akan membawa bangsa ini tidak berjaya.`

Namun kenapa mereka menempuh jalan ini? Timbul kekhawatiran bahwa di balik argumen kemaslahatan dan konstitusi tersimpan kalimat, meminjam ungkapan yang sempat ngetrend di Amerika Serikat, "ini adalah politik, stupid!"

Jikalau ini ceritanya maka kaum feminis jangan dulu buru-buru bersorak bahwa partai Islam telah merestui wanita jadi presiden. Kubu Megawati jangan dulu telanjur terpikat oleh pinangan Poros Tengah. Para pengamat dalam dan luar negeri jangan dulu menganggap bahwa Poros Tengah adalah sebuah poros yang memang berada di tengah. Antara Oktober 1999 dan Agustus 2001 ternyata hanyalah manuver politik yang dibalut dengan argumen teologis dan konstitusi sekaligus.

Harga yang harus dibayar bangsa ini selama dua tahun terakhir akibat ulah Poros Tengah menjegal dan kemudian berbalik mendukung Megawati sungguh besar. Sebuah kerja politik dua kali dalam dua Sidang MPR yang memakan biaya ekonomi dan sosial.

Poros Tengah dapat melakukan tobat politik di SI MPR nanti jika berhasil menyodorkan alternatif-alternatif pilihan untuk penyelesaian kemelut bangsa ini. Jika tidak, mereka bukan lagi poros yang berada di tengah. Jangan-jangan mereka telah menjelma menjadi sekadar kumpulan partai kecil yang bergabung untuk menaikkan tawar-menawar posisi politik dengan bungkus teologi atau konstitusi.***


Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.