AJARAN RASULULLAH SAW BUKAN FAHAM, MELAINKAN DIEN

M. Syamsi Ali


(Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel Sosialisme dalam Islam oleh AlamTulus)

 

Pertama-tama harus disadari bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah suatu faham atau isme sebagaimana difahami oleh sebagian manusia. Muhammad tak lebih dari seorang "Pesuruh Allah" dalam menyampaikan ajaran Allah yang disebut "Dien" al Islam. Dien adalah petunjuk agama sekaligus petunjuk hidup yang baku dan mutlak kebenarannya, karena ia datang dari Yang Mutlak kebenarannya (ALHAQ) pula. Sedangkan isme atau faham adalah hasil jangkauan daya fikir manusia yang terbatas dan sangat-sangat relatif. Dengan demikian, segala upaya yang ditampilkan untuk menjustify bahwa ajaran Islam adalah buatan Muhammad, Muhammadanisme misalnya, tak akan pernah diterima oleh seorang Muslim yang sejati.

Dengan demikian, adalah sangat keliru jika ada yang berpendapat bahwa Muhammad SAW mengajarkan sosialisme, dalam artian suatu faham manusia seperti yang diajarkan oleh Karl Marx. Nilai sosial yang ada dalam ajaran Islam hanyalah merupakan bagian dari inti ajaran Islam, namun nilai ini tidak terlepas dari ajaran Islam yang menyeluruh serta adil dalam menyikapi kebutuhan hidup manusia, dan yang terpenting bahwa konsep sosial dalam Islam berbeda dari berbagai konsep-konsep sosial ciptaan manusia. Dengan kata lain, Islam, selain menekankan pentingnya hak-hak sosial (huquuq ijtima'iayh) namun juga tidak berarti menyia-nyiakan hak-hak individual (huquuq infiradiyah). Ajaran Islam menyeimbangkan antara kepemilikan jama'I (milkiyat jama'iayah) dan kepemilikan individual (milkiyah fardiyah).

KONSEP KEADILAN KOLEKTIF

Benar adanya bahwa sebelum datangnya Nabi Muhammad, kota Mekah menjadi salah satu pusat niaga dunia, yang sekaligus menjadikannya sebagai salah pusat kapitaslime, selain Roma di barat dan Persia di Timur. Kesenjangan sosial memang hebat, sehingga tingkat perbudakan demikian tinggi. Dan Islam datang, dengan salah satu tujuan untuk memberantas penyimpangan tersebut.

Namun alangkah kelirunya, jika disimpulkan bahwa Rasulullah SAW datang hanya sekedar untuk memberantas ketidak adilan perekonomian tersebut. Sehingga terlahir kesimpulan lain bahwa permusuhan kaum Kafir Qurays tidaklah terlahir karena gugatan keyakinan (agama) melainkan karena dorongan untuk mempertahankan status quo perekonomian mereka.

Asumsi di atas barangkali ada benarnya, tapi berkesimpulan demikian adalah keliru dan sangat timpang serta sempit. Sebab bagaimana pun juga, dalam pandangan Islam ketidak adilan sosial-ekonomi hanyalah konsekwensi dari ketidak adilan dalam kehidupan secara menyeluruh. Sedangkan akar dari segala ketidak adilan dalam kehidupan manusia ada pada ketidak adilan keyakinan atau keimanan yang lazimnya disebut "kesyirikan". Sehingga dalam Islam dikenal "syirik" adalah merupakan kezaliman tertinggi (dzulmun adziim), karena kesyirikan akidak inilah yang melahirkan berbagai bentuk ketidak-adilan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk sosio-ekonominya.

Di dalam Al Qur'an sendiri ditegaskan, betapa yang menjadi pukulan berat bagi kaum Kafir ketika itu adalah karena ajaran Islam menjadikan segala sembahan/ketaatan bermuara kepada Yang Maha Tunggal (Ilaah). Sehingga mereka berkata: "Ayaj'alu aalihatana Ilaahan waahidan? Inna hadzaa lasyaeun 'ajiib" (Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan kita menjadi tuhan yang satu? Sungguh ini adalah suatu yang aneh).

Memang benar, semua nabi datang untuk membebaskan manusia dari berbagai perbudakan; seperti Musa, Isa, Muhammad SAW, dll. Namun semua itu tidak dapat dipilah-pilah dari pembebasan yang menyeluruh. Pembebasan dari perbudakan perekonomian, politik, sosial budaya, dll, hanya dapat terjadi jika dimulai dengan pembebasan akidah dari keyakinan yang bathil kepada keyakinan yang haq. "Faman yakfur bittaghuut wa yu'min billah faqadistamsaka bil'urwatil wutsqaa" (maka barangsiapa yang kafir dengan thagut (segala bentuk penyembahan dan ketaatan selain kepada Allah) dan beriman kepada Allah maka sungguh telah berpegang teguh kepada tali yang kuat).

Manusia yang memiliki keyakinan atau akidah yang benar akan terkelompok dengan sendirinya ke dalam tataran masyarakat tauhidi, yaitu suatu masyarakat yang kokoh dalam keimanan serta mampu merefleksikan keimanannya dalam kehidupan yang nyata. Masyarakat inilah yang pernah melahirkan "Masyarakat Tunggal" (Ummah wahidah atau ummat tauhidi) yang terdiri dari berbagai komponen; Abu Bakar, Umar, Ali, Utsman, Bilal al Habsyi, Ammar bin Yasir, Suhaib ar Rumi, Salman Al Farisi, dll. Mereka adalah sahabat-sahabat agung yang berlatar belakang yang berbeda-beda, namun mampu mewujudkan masyarakat tauhidi sehingga perbedaan latar belakang tidak menjadi alasan untuk membeda-bedakan diri.

PENAFSIRAN HAWA NAFSU

Ajaran Islam sebagaimana telah disinggung adalah ajaran universal, dalam arti tidak dibatasi oleh masa dan tempat. Ketika Allah menyampaikan suatu permasalahan dalam ajarannya lewat Al Qur'an, penentangan kepada para penumpuk harta misalnya, maka tidaklah sama sekali ditujukan untuk penentangan kepada kaum kapitalis semata, apalagi kalau diasumsikan bahwa Al Qur'an ini bertujuan untuk mendukung teori sosialisme. Al Qur'an datang untuk menentang segala upaya penumpukan harta secara batil. Dengan kata lain, Islam menghendaki agar keinginan seseorang untuk kaya tidak harus bertubrukan dengan nilai-nilai sosial manusia, serta tidak menjadikannya lupa akan misi sesungguhnya dari kehidupan ini (beribadah).

Dalam agama Islam, mencari dunia adalah kewajiban yang sama dengan kewajiban agama lainnya. "Jika anda telah menunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di atas bumi ini untuk mencari keutamaan (rezki) Allah", firmanNya. Pada ayat dijelaskan: "Dan carilah kehidupan akhirat yang telah dipersiapkan bagimu tapi jangan lupa pula kehidupan duniamu". Diriwayatkan bahwa seseorang menceritakan kepada Rasulullah SAW tentang sahabat yang rajin beribadah. Seluruh waktunya dihabiskan untuk berdzikir dan shalat. Rasulullah bertanya: "lalu siapa yang memberinya makan? " Jawabannya: "Saudaranya". Jawab baginda Rasulullah SAW: "kalau begitu saudaranya itu lebih baik darinya".

Dari ayat-ayat dan hadits serta berbagai ayat yang ada di Al Qur'an jelas bahwa mencari dunia bagi manusia adalah kewajiban. Hanya saja, Islam mengajarkan keseimbangan hidup. Sehingga perintah untuk mencari dunia jangan sampai menjadikan seseorang lupa akan kehidupan di akhirat kelak. Demikian pula, al Qur'an memperingatkan jangan sampai kesibukan dalam mencari dunia menjadikan kita lupa terhadap nilai sosial kehidupan kita.

Demikian pula ayat-ayat yang lain, Al An'aam 145, al Abaqarah: 188, semua itu mengingatkan kiranya keinginan untuk mencari dunia hendaknya tidak terlepas kendali sehingga segala cara menjadi halal. Namun sekali lagi, kecenderungan untuk memahami ayat-ayat ini sebagai pembelaan kepada konsep sosialisme adalah kecenderungan yang sempit dan batil.

WARISAN KEPEMIMPINAN

Surah Al Qasash 5-6 menjelaskan bahwa Allah akan mewariskan kepemimpinan kepada kaum yang tertindas (mustadh'afiin). Namun perlu digaris bawahi bahwa semua ini tidak akan terjadi begitu saja. Perhatikan ayat 3, dimana dijelaskan bahwa penyampaian ini ditujukan kepada kaum yang beriman. Dengan demikian, tanpa keimanan dan akidah yang benar, mereka yang tertindas sekalipun tak jaminan untuk diberikan kepemimpinan di atas bumi ini. Bagi seorang Mu'min sejati, hal ini sangat jelas jika kembali kepada friman Allah: "Sesungguhnya bumi dan apa yang ada di atasnya diwarisi oleh hamba-hambaKu yang shaleh". Kaum Israel yang diceritakan dalam konteks S. Al Qashas di atas, tidak dapat dilepaskan dari ajaran Nabi Musa yang berdasarkan kepada nilai-nilai akidah yang benar serta kesalehan dalam aksi.

Hal ini tentunya sangat berbeda dari konsep Markxisme atau sosialismenya Karl Marx yang melihat bahwa kaum tertindas, kafir sekalipun pasti menjadi pemimpin. Apa yang disampaikan Asghar Ali Engineer maupun Ulil Abshar Abdallah tak lebih dari sebuah penafsiran terhadap ajaran Islam (kalau ini benar adanya) yang menghendaki pada akhirnya suatu tatanan masyarakat egalitarian, tanpa batas-batas formalitas keduniaan, namun tetap bersandar kokoh pada tatanan Ilahiyah yang dibangun di atas fondasi keimanan yang solid dan dipelihara oleh aturan syariat yang syamil.

MASYARAKAT TAUHIDI BUKAN SOSIALIS

Sebagaimana disebutkan di atas tentang konsep Islam dalam upaya menciptakan masyarakat tauhidi. Yaitu suatu tatanan kemasyarakatan yang berdasarkan kepada nilai-nilai "TauhiduLLah" serta bermuara kepada terciptanya masyarakat madani yang egaliter, terlepas dari berbagai perbudakan termasuk perbudakann terhadap hawa nafsu sendiri, lingkungan masysrakat, orang lain dan yang terpenting, perbudakan dalam keyakinan dan peribadatan selain kepada Yang Maha Ma'buud (Allah SWT).

Dengan demikian sekali lagi, konsep masyarakat tauhidi (ummatan wahidah) berbeda dengan konsep sosialis yang humane dan bersifat relatif. Konsep ini adalah baku, karena berasal dari Allah yang Maha Benar (ALHAQ).

Usaha perubahan atau tagyiir dalam rangka mencapai atau mewujudkan masyarakat tauhidi tersebut, sebagaiman disinyalir S. Ar Ra'd: 11 maupun berbagai ayat dalam Al Qur'an berbeda dari konsep "Usaha Kaum"nya Karl Marx. Perbedaan itu semakin jelas ketika Karl Marx mengumandangkan upaya perubahan kaum tertindas dengan ajakan untuk menjauhkan manusia dari ajaran Tuhan dan bertumpu pada kemampuan dirinya sendiri. Sementara Islam, mengajak kaum tertindas untuk melakukan perubahan dengan dimulai dari pembangunan akidah dan keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, lalu keyakinan tersebut diaplikasikan dalam kehidupannya yang nyata.

TIDAK ADA TITIK PERTEMUAN ANTARA ISLAM DAN KOMUNISME

Dengan demikian, apapun kebohongan orang, bahwa Islam dan komunisme adalah sama serta memiliki tujuan dan dasar perjuangan yang sama, akan tetap sebagai suatu kebohongan. "in yaquuluuna illa kadziban" (apa yang mereka katakan itu tak lebih dari sebuah kebohongan) Dasarnya, Islam berdasarkan kepada Konsep Ilahiyah (merujuk kepada Allah SWT) dan bukan faham atau isme manusia, berjalan di atas tatanan konsep Ilahiyah (berdasarkan hukum Allah SWT) serta bertujuan untuk meraih maqasid Ilahiyah (yaitu tujuan-tujuan suci dalam rangka menciptakan masyarakat rabbaniyah yang diridhai oleh Allah SWT). Disamping itu, ajaran Islam (nilai sosial dalam Islam) yang dinilai "mirip" dengan ajaran sosialisme hanyalah bagian dari ajaran Islam yang utuh dan menyeluruh serta imbang dan adil (syamil-kaaffah dan mutawazin wa'adilan).

Demikian tanggapan saya, semoga Allah memberikan hidayahNya kepada kita semua.

M. Syamsi Ali
New York.


M. Syamsi Ali adalah seorang muslim anggota ISNET yang tinggal di New York
 
Indeks artikel kelompok ini | Tentang Pengarang | Disclaimer
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota

Dirancang oleh MEDIA, 1997-2002.
Hak cipta © dicadangkan.