|
Gus Dur
oleh : Anshari Thayib (Surya, 5/5/2000)
Mbah Ghafur senyum-senyum mendengar kini muncul topik
seminar yang unik: "Memahami Gus Dur". Artinya, Gus Dur
telah menjadi sebuah tesis, sementara model pendekatan
kajiannya bersifat menduga-duga. Dzanni. Asumtif.
"Dulu, semuanya cukup diwadahi dalam term ia seorang kiai
khariqul adah, kiai nyeleneh," ujar Mbah Ghafur.
"Maknanya?"
"Pernyataan dan aksinya, tak bisa dipahami dengan cara
biasa," ujar Mbah Ghafur.
"Bagi Cak Lan, pewarung kopi sambil nyantri, parameternya
sederhana. Tak ndakik-ndakik. Ia mengikuti mazhab ngelmu
katon, misalnya, "Apa gunanya demokrasi kalau hidup tambah
susah?"
Cak Lan tahu, dalam setiap dialog di warungnya, kadang
muncul provokasi: "Zaman Lik Harto dulu, nggak sesusah
sekarang."
Memang, para pelaku bisnis melihat perang wacana dengan
dalih demokrasi, membawa ongkos mahal. "Artinya, yang
penting sekarang bukan sekadar mengembangkan wacana
demokrasi, tapi memulihkan ekonomi," ujar seorang pelaku
bisnis.
Bagi dia, ada sisi ancaman ketika perang wacana
--termasuk wacana memahami Gus Dur-- terus bergelemak peak.
Cak Nur (Prof Dr Nurcholis Madjid) saja, yang sama-sama dari
Jombang, sama-sama berlatar pesantren, mengaku sering tidak
bisa memahami Gus Dur. Katanya: "Kita share gagasan besarnya
dan abaikan renik-renik kecil yang sukar kita pahami."
Pernyataan itu dikutip Kang Sobary dalam kata pengantar
buku Kiai Nyentrik-nya Gus Dur.
"Berarti, kita harus memosisikan kasus pelengseran
menteri dengan segala ilustrasinya sebagai renik kecil,"
sahut santri sosiologi.
Sepanjang kutipan berita yang bersumber dari tokoh PKB,
tesis Cak Nur itu langsung diamininya.
"Ada sesuatu yang tak mulus dalam hubungan kerja antara
Gus Dur dan menteri yang dicopot, itu yang paling penting,
itu substansinya," ujar seseorang. Dalam konteks "cara yang
nyleneh", Kang Sobary memberikan ilustrasi pada pengantar
buku Gus Dur berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (LKiS
Yogyakarta, 1997). Tulisnya: "Dalam perjuangan lebih besar,
saya kira Gus Dur memang bersedia mempertaruhkan
kredibilitasnya. Ia rela kehilangan kepercayaan umatnya
sendiri. Baginya, mungkin, ada sikap politik yang tak perlu
dijelaskan kepada umat. Dan, tebusannya mahal sekali:
umpatan massa." Wacana "memahami Gus Dur" terus berkembang.
Sebuah koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post menggelar
buku berbahasa Inggris, bertajuk Understanding Gus Dur (The
Jakarta Post, Jakarta, 2000). Susanto Pudjomartono, Pemimpin
Redaksi The Jakarta Post, dalam prawacananya menggambarkan
Gus Dur sebagai a man prone to be understood. Pudjomartono
mendeskripsikan suara yang muncul di permukaan. Misalnya:
komentar dan aksinya menimbulkan pertentangan (hatta di
kalangan suporter loyalnya sendiri); gagal mengembangkan
agenda yang urgen untuk mengatasi krisis negeri ini,
pemerintahannya amburadul, dll. Yang menarik disimak,
barangkali cara Arief Budiman mencoba memotret Gus Dur. Ia
lebih suka menggunakan istilah imagining, ketimbang
understanding Gus Dur. "Mungkin saya tak pernah bisa
memahami dia sepenuhnya," tulisnya. Apakah karena Gus Dur
sulit diprediksi, tak konsisten, dan misterius?
Jawabnya: Tidak, saya tak berpikir begitu. "What I can
say that he is unusual person," tulis Arief Budiman.
Santri filsafat, juga yakin tak mampu memahami Gus Dur.
Seperti hampir semua teman akrabnya pun, terbiasa dengan
pernyataan dan aksinya, sebagai sebuah keniscayaan. Ia
tersenyum mendengar komentar Gus Mus (KH Mustofa Bisri),
teman akrab Gus Dur, mengenai kebingungan orang Indonesia
dalam mencoba memahami Gus Dur. "Kapok kowe. Karena kita
tidak cerdas, akhirnya malah diberi imam yang kontroversial
seperti Gus Dur," katanya (JP, 4 Mei 2000). Siapa yang
dikapokkan Gus Mus? Ya kita semua, rakyat Indonesia, yang
PKB maupun non-PKB. Yang NU maupun non-NU.
Kenapa dikapokkan? Gus Mus mencoba menjlentrehkan. Dalam
konstruk pikiran kita, Presiden Indonesia itu masih Pak
Harto, yang setiap ucapannya menjadi UU. Karena itu, ucapan
dan aksi Gus Dur pun, dipersepsi seperti itu: harus jadi
ketetapan. Padahal, seluruh ucapan dan aksi Gus Dur, oleh GD
sendiri, dipersepsikan sebagai wacana. Menurut Gus Mus,
kisah ucapan dan aksi Soeharto yang jadi UU, harus jadi
pelajaran mahal bagi kita.
Dalam buku Understanding Gus Dur, mungkin menarik disimak
cerita Ahmad Badruddin, seorang kiai muda NU. Cerita Kiai
Badruddin, menurut Mbah Ghafur, sedikit banyak memberikan
benang merah kenapa bergumpal-gumpal wacana terus mencair
dari kepala Gus Dur. Cerita Kiai Bahruddin itu maraji' pada
cerita teman akrab Gus Dur, KH Mahfudz Ridwan. GD
memanggilnya Kang Pud.
Tak peduli dia menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar
atau Universitas Baghdad. Tak peduli dia menjadi tokoh LSM,
Ketua PBNU, kiai atau presiden. Di MEsir, ia diputus
beasiswanya dari Al-Azhar, karena sering mangkir kuliah.
Waktunya dihabiskan di perpustakaan membaca buku atau di
majlis diskusi di sekitar kampus. Di hampir semua diskusi di
sekitar kampus Al-Azhar, GD selalu ada.
"Pernah dengan cerita GD tidur di seminar dan memori
ingatannya terus mencatat seluruh pendapat dan kritik
terhadapnya?" tanya Mbah Ghafur.
"Ya, bukan cuma satu kali, beberapa kali," sahut
santri-adab.
Mbah Ghafur beberapa kali kumpul GD dalam seminar,
sekitar 10 tahun yang silam. Cerita itu bukan rumor. GD
duduk di sampingnya. Selesai memaparkan pikirannya, GD
tampak memejamkan matanya. Dengkurnya terdengar halus.
"Tetapi, begitu muncul kritik kepadanya, ia bisa
menjlentrehkan argumentasinya dengan runtut," ujar Mbah
Ghafur yang pernah memandu diskusi menjelang muktamar NU di
Yogyakarta di Hotel Hyatt Surabaya oleh Harian Surya,
Surabaya.
Dari cerita kang Pud, Kiai bahruddin menulis: "He
eventually gave in after he learned class attendance was
obligatory , but he
spent most of his time dozing and often failed to take
notes."
Tradisi humor, gayanya yang santai, kesenangannya
menonton film, dalam istilah orang Jawa Timur, tampaknya
sudah gawan bayek (pembawaan, red). Kiai Bahruddin menulis
lagi: "Outside of class, he occupied himself reading,
playing karambol, telling funny stories and watching
movies."
Santri-adab manthuk-manthuk. ia menggambarkan bagaimana
memori pikiran GD penuh dengan berbagai macam file, susunan
data hasil bacaan filsafat dan ilmu pengetahuan, cerita
lucu, musik klasik, cerita film -termasuk film kungfu-- dsb.
Ibarat maha-harddisk, nama file-nya sudah lebur, sehingga
setiap diakses semuanya meluncur begitu saja.
"Itu bisa diamati dari model responsi GD yang sangat
cepat, sulit ditebak dan mengagetkan," ujar santri-adab.
Dari cerita Kiai Bahruddin (dari Kang Pud), santri-adab
tahu, ungkapan GD seringkali harus ditafsirkan tak harfiah.
Misalnya waktu di Baghdad GD bercerita kepada Kang Pud:
"Those NU leaders really are too much, hey're all corrupt,"
he would rail, "How come hundreds of hectares of wakaf
(donated) land are devoured by them?"
Ada dua kata GD, yang jika ditafsirkan harfiah bisa jadi
tuduhan. Misalnya, "they're all corrupt" (mereka semua
koruptor) dan tukang tilap (devour) tanah wakaf. Yang tidak
harfiah, "Ada sesuatu yang tidak beres". Cuma saja,
something wrong itu begitu menjadi wacana GD, bisa jadi
lain. Bisa muncul ungkapan: anak TK, atau MALING.
Mbah Ghafur merasa, yang harus kita pahami adalah,GD akan
tetap jadi GD, kendati ia menjadi Presiden. Ya, seperti
itulah imam yang kita pilih, kita beri legitimasi. Kapok
kowe. Atau karena itu ada makmum ramai-ramai bilang: Imam
batal! Imam itu menjawab: Fiqh yang mana?
Tampaknya, makmum (terutama yang merasa fiqh) dan imam
(yang dianggap kontroversial) perlu duduk lesehan di serambi
musalla, ngomongin sesuatu, yang membuat mereka saling
memahami. Tidak terus pecoh-pecohan (bertengkar, red). Bukan
yang satu tak peduli yang lain, paham atau tidak.
Biarinisme.
Date: Mon, 15 May 2000 05:14:52 +0700
From: "Huda" <mhasbullahhuda@telkom.net>
To: "Forum Islam Gado-gado" <is-lam@isnet.org>
|