Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen |
|
2. Yesus Kristus dalam masyarakat feodal menjadi Tuhan feodalAntara abad VII dan abad XI pemikiran umat Kristen membeku. Apa yang sudah tercapai selama abad-abad sebelumnya diulang-ulang. Lama-kelamaan, seperti sudah dikatakan, terbentuk masyarakat dan kebudayaan baru. Masyarakat feodal dan kebudayaan yang menyerap banyak unsur kebudayaan Yunani-Romawi, tetapi tergabung dengan masukan-masukan dan suku-suku yang baru menetap di kawasan Eropa Barat. Sekaligus langkah demi langkah suku-suku itu dikristenkan. Agama Kristen turut diserap tetapi dalam versi romawi yang praktis, kurang spekulatif daripada versi Yunani Timur. Feodalisme sosio-politik menjadi semacam "alam pikiran," struktur dasar pemikiran orang termasuk mereka yang l.k. Kristen. Tidak ada banyak "refleksi" mendalam. Warisan teologi spekulatif lama sedikit banyak dipelihara tetapi ditempatkan dalam rangka alam pikiran feodal. Dan Yesus Kristus pun difeodalkan. Dengan kaisar (gelar romawi diambil alih, sebab orangnya merasakan diri ahli waris) Carolus Magnus (± 814) pemikiran di kawasan barat mulai dihidupkan. Kaisar itu mengorganisasikan "pendidikan ilmiah," yang ditangani dan ditempuh terutama oleh para rohaniwan dan para rahib. Pada gereja-gereja uskup dan dalam biara-biara rahib dibuka "sekolah" untuk mendidik para penjabat gerejani, yang sekaligus sering kali pejabat negara. Terjadilah semacam "renaissance" yang mempersiapkan perkembangan lebih lanjut. Apa yang dipelajari di sekolah-sekolah itu memang warisan dari kebudayaan Yunani-Romawi dahulu, sejauh masih diketahui. Warisan itu dikumpulkan dan l.k. disistematisasikan. Sebagai "sumber-sumber" dipakai terutama karangan-karangan Augustinus, Boethius (± 480), Cassio-dorus (± 490) dan Isidorus, uskup Sevilla di Spanyoi (± 636). Isidorus sendiri sebenarnya hanya menghimpun segala macam "ilmu" dari masa yang iampau dalam semacam "Ensiklopedia" (Etymologiae). Tokoh-tokoh itulah yang menjadi "guru" pada awal zaman pertengahan. Cukup disebutkan berapa tokoh yang menampung dan meneruskan warisan itu: Beda (± 734), Alcuinus (± 804), Hrabanus Maurus (± 806), Walafrid Strabo (± 849). Mereka tidak melontarkan pikiran baru, tetapi menyerap ajaran guru-gurunya secara inteligen, lalu meneruskannya. Secara formal kristologi dan soteriologi seperti diwariskan oleh masa yang lampau tidak berubah. Namun tradisi itu dipersempit oleh karena tidak seluruhnya dapat diserap. Bagian besar pemikiran pujangga-pujangga Yunani tidak diteruskan, oleh karena bahasa Yunani tidak dimengerti di barat. Kecuali itu terjadilah suatu penggeseran dalam rangka pendekatan yang pada dasarnya sama. Kristoiogi dahulu sudah amat menekankan keilahian Yesus Kristus. Kemanusiaan-Nya yang konkret agak tersingkir dan demikian pun relasi Yesus Kristus dengan Allah, Bapa. Yesus Kristus sendiri adalah Allah (kodrat ilahi) dan begitu juga Yesus Kristus disamakan dengan Allah (Mahaesa) yang tentu saja menjadi manusia. Kalau dahulu Yesus Kristus (Yunani) menjadi mirip dengan kaisar, maka gambaran Yesus Kristus pada suku-suku yang menetap di Eropa dan membentuk suatu masyarakat feodal menjadi mirip dengan tuan feodal. Manusia (beriman) mempunyai relasi dengan Kristus, Allah, l.k. seperti seorang "hamba" feodal mempunyai relasi dengan tuannya, rajanya, maharajanya. Dan itu pun dipikirkan l.k. sesuai dengan "hukum" yang dalam masyarakat feodal mengatur hubungan itu. Dalam syair yang terkenal dan tersebar luas di masa itu Yesus ditampilkan sebagai Heliand (= Juru Selamat) yang mirip dengan ksatria, raja feodal. Tugas utama seorang tuan dan raja feodal ialah "berperang." Maka Yesus Kristus, Allah, menjadi terutama seorang pejuang dan pemenang. Gagasan itu tentu saja juga ditemukan dalam kristologi tradisional, tetapi kini gagasan itu diperkembangkan dan diutamakan. soteriologi Augustinus dengan tekanannya pada segi negatif (dosa) benar-benar sesuai dengan pandangan suku-suku yang menetap di Eropa. Pandangan hidup mereka cukup suram dan negatif. Maka segi negatif itu diperkembangkan dan diutamakan, sedangkan segi positif penyelamatan, yaitu pengilahian manusia, sedikit banyak disingkirkan. Akibat tekanan negatif itu ialah: manusia (berdosa) diberi perhatian khusus. Baru pada abad XI dalam rangka pemikiran tersebut berkembanglah suatu pendekatan baru yang cukup mantap dalam kristologi, yaitu dari segi soteriologisnya. Tokoh yang mengembangkan gagasan baru itu ialah Anselmus, rahib dan guru dalam biara Le Bee di Francis, yang kemudian menjadi uskup Canterbury di Inggris (± th. 1109). Anselmus membentangkan pemikirannya dalam beberapa karya, yaitu: Proslogion; Monologion; De Conceptione Virginali; De Incarnatione Verbi dan terutama dalam karyanya "Cur Deus Homo (Mengapa Allah menjadi manusia). Anselmus sebenarnya membuka zaman baru dalam sejarah teologi barat, yaitu zaman "skolastik," teologi di "sekolah," teologi ilmiah. Anselmus tidak lagi puas dengan mengulang-ulang tradisi dan meneruskan ajaran para pujangga dahulu. Sebaliknya dengan menggunakan filsafat Anselmus berusaha memperdalam (ajaran) iman melalui paham intelektual. Terkenal slogannya: "Credo ut intelligam" (saya percaya untuk memahami) atau: Fides qaerens intellectum (iman mencari pengertian). Bagi kebenaran iman, yang memang mesti diimani, Anselmus mencari apa yang disebutkannya sebagai "rattones necessariae," dasar-dasar yang tidak dapat tidak ada, supaya sesuatu ada dan dapat dipikirkan. Bagi kebenaran yang diimani ia mencari dasar yang secara rasional meyakinkan. Ini bukan "rasionalisme" oleh karena Anselmus bertitik tolak iman, kebenaran yang diimani dahulu. Untuk kebenaran yang tidak diragukan itu ia mencari dasar rasionalnya. Dengan demikian Anselmus melanjutkan apa yang boleh disebutkan sebagai "mazhab Augustinus." Anselmus memang penganut Augustinus. Segi soteriologis kristologi diperkembangkan Anselmus dalam karya tersebut "Cur Deus Homo" (Mengapa Allah menjadi manusia). Ia mencari dasar rasional bagi kebenaran iman tentang inkarnasi. Dalam rangka itu Anselmus memanfaatkan suatu gagasan hukum yaitu "satisfactio vicaria" (memberi silih sebagai wakil, pengganti, atas nama lain orang). Benih gagasan itu memang sudah ditemukan pada sementara pujangga Gereja dahulu. Tertullianus (± th. 223) rupanya untuk pertama kalinya menggunakan istilah hukum "satisfactio" itu dalam rangka karya penyelamatan Yesus Kristus. Apa yang baru pada Anselmus justru gagasan "memberi silih atas nama orang lain" yang secara konsekuen diterapkan. Tentu saja mulai dengan Perjanjian Baru ada keyakinan bahwa Yesus bertindak sebagai "pengganti" manusia, terutama dalam menjalani kematian di salib. Dengan itu Yesus meniadakan dan memulihkan dosa manusia. Dan kematian Yesus sudah lama diartikan sebagai "korban penghapus dosa." Tetapi semuanya itu tidak berarti: memberi silih atas nama orang lain, seperti dipahami Anselmus dalam rangka hukum dan alam pikiran feodal. Pikiran Anselmus yang dituangkan dalam karya "Cur Deus Homo" yang berupa dialog itu boleh diringkaskan sebagai berikut: Dosa (ialah dosa Adam yang menyangkut semua manusia, dosa asal, dan dosa-dosa perorangan, pribadi) menghina Allah dan merampas penghormatan yang wajib diberikan manusia. Dosa mengganggu dan merusak tata hukum, tata keadilan. Oleh karena justru Allah yang dihina, maka kejahatan dosa tidak berhingga. Demi keadilan-Nya Allah tidak dapat melepaskan hak-Nya atas penghormatan wajib dari pihak makhluk-Nya (manusia). Allah harus menuntut penyilihan atas penghinaan yang terkandung dalam dosa manusia. Maka hanya ada dua kemungkinan ini: Atau manusia memberi silih, atau manusia mendapat hukuman yang sepadan dengan penghinaan yang kejahatannya tidak berhingga. Jadi: Atau ada "satisfactio" (silih) atau "poena' (hukuman). Tetapi manusia berdosa (makhluk terbatas) tidak dapat memberi silih yang sepadan dengan penghinaan tak terbatas. Hanya Allah yang dapat berbuat demikian. Di lain pihak yang wajib memberi silih ialah manusia. Maka untuk memberi silih yang sepadan Allah mesti menjadi manusia. Atas dasar kasih dan belas kasihan-Nya Allah-Anak menjadi manusia Yesus Kristus, sekaligus Allah dan manusia. Ia tidak berdosa dan oleh karena itu pada diri-Nya tidak terkena oleh hukuman atas dosa ialah kematian. Maka untuk memberi silih bagi penghinaan yang terkandung dalam dosa manusia Yesus Kristus, demi ketaatan-Nya kepada Bapa dan kasih-Nya kepada manusia, mejalani hukuman mati di salib sebagai pengganti manusia yang berdosa. Hanya dengan kematian itulah Yesus Kristus dapat memberi silih. Sebab sebagai manusia Yesus memang wajib menghormati Allah melalui hidup-Nya. Dengan jalan itu saja Yesus Kristus tidak dapat menutupi, menyilih penghinaan Allah, kekurangan dalam penghormatan yang disebabkan dosa manusia. Tetapi silih yang perlu itu dapat diberi melalui kematian di salib. Yesus tidak harus mati (sebagai hukuman atas dosa), oleh karena Ia tidak berdosa. Dengan secara bebas dan rela menjalani kematian (hukuman dosa) Yesus Kristus seolah-olah memberi penghormatan kepada Allah lebih daripada wajib Ia berikan. Nah, "sisa" itulah yang menyilih penghinaan yang disebabkan dosa manusia. Dan "jasa" (meritum) Kristus itu tidak terbatas nilainya oleh karena Yesus memang Allah. Dengan jasa tak terbatas itu Yesus Kristus menyilih segala dosa semua manusia. Sesuai dengan tradisi kristologi Anselmus menekankan keilahian Yesus Kristus. Yesus Kristus (yang kini ada, dimuliakan) terutama dilihat sebagai Allah dan kemanusiaan-Nya sedikit banyak disingkirkan. Segi ilahi oleh Anselmus malah ditonjolkan oleh karena ia sendiri menerima asas: Omnia sunt unum ubi non obviat relationis opposite" (semuanya adalah satu - dalam keallahan - di mana tidak ada hubungan timbal balik antara ketiga diri ilahi). Akibatnya ialah: baik inkarnasi maupun karya penyelamatan dikerjakan oleh Allah sebagai satu, kalaupun hanya Allah-Anak menjadi manusia. Maka dalam karya penyelamatan sebagaimana dipikirkan Anselmus, Yesus Kristus serentak memberi dan turut menerima silih. Yesus Kristus Allah-manusia digambarkan sebagai "Hakim yang Adil" yang menuntut sebagai hak-Nya silih dari manusia (berdosa) yang berhutang kepada-Nya; Raja feodal yang berhadapan dengan hamba bawahan-Nya. Hanya Raja-hakim sendirilah yang memberi silih. Jelaslah kristologi Anselmus adalah kristologi dari atas dan kristologi soteriologis. Anselmus melanjutkan dan mengembangkan gagasan Augustus tentang Yesus Kristus sebagai "pengantara" dan Anselmus menekankan karya pengantaraan Yesus Kristus. Hubungan Allah dengan manusia mula-mula lurus (rectus) sesuai dengan tata hukum. Manusia, ciptaan Allah, memberi hormat yang menjadi hak Allah. Hormat itulah yang serentak kebahagiaan manusia sendiri. Dengan dosanya manusia merusakkan hubungan lurus itu dengan menghina Allah. Sejak itu manusia berhutang kepada Allah, yaitu: mesti membayar kekurangan hormat yang diakibatkan dosa. Oleh karena manusialah yang menghina dan manusialah berhutang, maka Allah - jika Ia mau memulihkan hubungan manusia dengan dirinya - mesti dan nyata menjadi manusia (ratio necessaria incarnationis) tanpa mengurangi keilahian. Pendekatan Anselmus tersebut, khususnya ajarannya tentang "satisfactio vicaria" ada segi lemahnya dan akhirnya kurang memuaskan. Namun demikian ajaran Anselmus lebih kurang menjadi tradisional, meskipun tidak pernah menjadi ajaran resmi (dogma). Melalui katekese ajaran itu masuk ke dalam kesadaran umat. Para skolastisi besar (Thomas Aquinas, Bonaventura, Scotus dll.) memperlunak pendekatan Anselmus yang terlalu yuridis, namun toh meneruskan pendekatan itu. Tetapi seluruh pendekatan itu kurang meyakinkan dan kurang cocok dengan pendekatan Perjanjian Baru. Dalam pandangan Anselmus Allah - dan Yesus Kristus sendiri Allah - nampak sebagai seseorang "Penguasa mutlak" yang demi keadilan mesti menuntut hak-Nya. Hubungan timbal balik antara Allah dan manusia dipikirkan melalui jalur hukum, hak dan keadilan. Yesus sebagai Allah juga nampak sebagai seorang Raja feodal yang pertama-tama mesti dihormati dan dilayani dan yang menegakkan tata hukum dan tata keadilan. Antara "penghinaan" dan "silih" mesti ada keseimbangan. Karya penyelamatan Yesus Kristus hampir saja secara eksklusif diletakkan dalam kematian-Nya di salib sebagai korban penyilih dosa. Kehidupan dan kebangkitan Yesus seolah-olah tidak mempunyai nilai penyelamatan dan hanya menjadi "contoh" bagi orang beriman. Dan keselamatan manusia terutama dilihat dari segi negatifnya: penyihhan dosa. Dan akhirnya: satu-satunya alasan mengapa Allah menjadi manusia ialah dosa manusia. Seandainya manusia tidak berdosa, tidak ada inkarnasi. Dan dengan demikian tata penyelamatan dilepaskan dari tata penciptaan. Segi kuat pada pendekatan Anselmus terletak dalam peranan aktif yang diberikan kepada manusia Yesus (dalam eksistensi keduniaan-Nya). Anselmus memang menonjolkan ketaatan Allah-Anak dalam kemanusiaan-Nya, realitas historis sengsara dan kematian Yesus. Dalam kristologi Yunani segi-segi itu sedikit banyak disingkirkan, paling tidak kurang ditekankan. Anselmus justru mengembalikan segi-segi itu ke dalam kristologi, sehingga kaitan antara kristologi dengan arti kata sempit dan soteriologi kembali ditonjolkan, sesuai dengan pendekatan Perjanjian Baru, khususnya karangan-karangan Paulus. Pada akhir abad XII Petrus Lobardus (± th. 1160), yang akhirnya menjadi uskup di Paris (pusat hidup intelektual Gereja Latin) menyediakan sebuah wadah bagi teologi selanjutnya. Wadah itu ialah Libri IV sententiarum. Dalam karya besar itu Petrus Lombardus mengumpulkan dan sedikit banyak mensistemkan bahan-bahan dari masa yang lampau (sententiae, ucapan, pendapat para bapa Gereja dan pujangga dahulu, sejauh diketahui, penetapan-penetapan konsili-konsili dan sinode-sinode dahulu, pendapat para ahli). Susunannya sebagai berikut: Buku I mengumpulkan dan menyusun tradisi mengenai Allah yang mahaesa dan Allah Tritunggal. Buku II membahas penciptaan dunia, manusia awal, dosa manusia yang mengasingkannya dari Allah. Buku III mengenai inkarnasi dan dasar-dasarnya: Diri Yesus Kristus, sebagai Allah dan sebagai manusia; karya dan jabatan Kristus serta hal ihwal utama-Nya. Selanjutnya dibahas buah hasil karya penebusan, yaitu: rahmat, keutamaan ilahi, keutamaan susila serta peranan (karunia-karunia) Roh Kudus. Buku IV berbicara tentang sakramen-sakramen Gereja. Liber Sententiarum Petrus Lombardus itulah yang sampai sekitar tahun 1500 menjadi "buku pedoman" di "sekolah teologi" (universitas). Para Mahaguru memberi komentarnya atas Liber sententiarum, mengoreksi ataupun melengkapinya di mana dirasa perlu. Tetapi Liber Sententiarum dengan seluruh sistematiknya menentukan masalah-masalah mana yang dibahas dan garis besar perkembangan teologi termasuk kristologi. Akibatnya ialah: kekayaan Perjanjian Baru dan tradisi patristik (khususnya Yunani) kurang berperan dalam teologi dan kristologi (yang seperti Liber Sententiarum tinggal pada jalur Augustinus sampai abad XIII) dan kurang dimanfaatkan. Tentu saja teologi tetap dilihat sebagai tafsiran atas Kitab Suci. Tetapi Kitab Suci dibaca dengan kaca mata Liber Sententiarum dan isi Alkitab dipasang dalam kerangka itu. Melalui kaidah tafsiran (empat makna, sensus: literalis - harafiah, allegoria - dogmatik, topologia - moral dan anagogia - eskatologia) Kitab Suci diolah seperlunya, sehingga tinggal dalam rangka tradisi seperti dikumpulkan dan disistemkan dalam Liber Sententiarum. Boleh dikatakan bahwa di zaman berikutnya, zaman skolastik (abad XIII-XV) kristologi pada dasarnya tidak berkembang. Pemikiran tinggal dalam kerangka yang dipasang konsili Khalkedon, konsili Konstantinopolis III serta arah yang ditentukan Augustinus dan Anselmus, khususnya sehubungan dengan soteriologi yang terutama berpusatkan soteriologi subjektif, rahmat. Tentu saja selama abad XIII teologi Latin kemasukan suatu unsur baru yang sangat besar akibatnya. Filsafat Arestoteles semakin dikenal di barat dan mulai dipakai dalam teologi juga. Kecuali itu banyak bahan baru dari tradisi Yunani menjadi dikenal. Muncul dua aliran dalam teologi yang berbeda, berlawanan ataupun berbentrokan. Tetap tinggal teologi yang menempuh jalur Augustinus yang berpikir pada latar belakang filsafat Plato. Pada abad XIII muncullah "teologi modern" yang memanfaatkan filsafat (metafisik) Arestoteles dan dengan demikian meninggalkan jalur lama. Dari situ muncul bentrokan. Kedua aliran dalam teologi kadang-kadang bertikai. Skolastisi besar (Bonaventura, ± th. 1274), Thomas Aquinas (± 1274) dan Johannes Dun Scotus (± 1308) mencoba menyusun sebuah sistem baru dengan menyerap unsur-unsur yang baru dikenal itu. Bonaventura melanjutkan dan mematangkan jalur Augustinus dan hanya sedikit saja terasa dampak filsafat Arestoteles. Sebaliknya Thomas Aquinas, khususnya dalam karya matangnya "Summa Theologica," menciptakan suatu sintesis antara tradisi lama dengan filsafat Arestoteles. Sintesis itu cukup seimbang. Thomas mengakui bahwa filsafat boleh saja mandiri di samping iman. Filsafat mempunyai otonominya sendiri. Besar sekali akibat pendirian itu. Johannes Dun Scotus terutama secara tajam menyoroti kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sintesis lama dan sintesis baru, sehingga ia terlebih membuka pintu bagi perkembangan lebih lanjut. Yang semakin berpengaruh dalam teologi selanjutnya ialah Thomas Aquinas. Sebab karyanya "Summa Theologica" semakin menjadi "buku pedoman" di sekolah teologi. Sudah dikatakan bahwa skolastik itu tidak membawa banyak pembaharuan dalam kristoiogi/soteriologi. Para skolastisi merepotkan diri dengan masalah-masalah sekunder, memperuncing dan memperhalus kristologi tradisionai. Pemakaian filsafat (metafisik Arestoteles) menimbulkan problem-problem baru yang perlu dipecahkan. Tetapi filsafat itu pun menolong untuk semakin memperdalam paham mengenai "unio hypostatica" seperti dirumuskan konsili-konsili dahulu. Para skolastisi misalnya sibuk dengan masalah pokok mereka ialah: Bagaimana struktur interen Yesus Kristus, serentak Allah dan manusia. Mana persis arti rumus yang mengatakan bahwa Diri Firman Allah (Diri, persona, kedua) menjadi prinsip yang mempersatukan kodrat ilahi dan kodrat manusiawi. Dalam rangka ini mereka berspekulasi sekitar soal apakah pada Yesus Kristus ada suatu "existentia" manusiawi bersama dengan "essentia/natura, substantia" manusiawi atau existentia manusiawi diganti dengan existentia ilahi. Mereka sibuk berdebat-debat sekitar "motivum incarnationis." Ialah: mengapa Allah-Anak menjadi manusia, hanya oleh karena dosa manusia atau juga seandainya Adam tidak berdosa? Di mana persis terletaklah "keunggulan/keutamaan" Yesus Kristus? Dipertanyakan kalau-kalau Firman Allah langsung mempersatukan dengan diri-Nya seluruh "kodrat manusia" (jiwa dan badan) atau mempersatukan dengan diri-Nya badan melalui jiwa? Mereka pula repot dengan masalah "pengetahuan" Yesus Kristus (selagi hidup). Umumnya diterima bahwa Yesus berdasarkan keallahan-Nya tahu segala sesuatu berkat "scientia visionis" (dalam keilahian) tetapi di samping itu masih ada juga pengetahuan berdasarkan pengalaman (scientia aquisita) dan pengetahuan (seperti pada para malaikat) yang langsung "dicurahkan" (scientia infusa). Para skolastisi bertanya bagaimana sengsara Yesus dapat dihubungkan dengan "visio"itu. Mereka memikirkan bagaimana hubungan antara Firman Allah dengan jenazah Yesus selama mati? Dan bagaimana relasi Firman dengan darah yang tertumpah? (DS 1385). Diperdebatkan lagi apa itu "diri manusia" (persona Humana) sehubungan dengan masalah ini: Kalau pada Yesus tidak ada diri manusiawi (persona Humana) apakah ada kekurangan dalam kemanusiaan Yesus? Jawaban para teolog berbeda-beda. Ada yang mengatakan: "persona Humana" sebenarnya suatu kekurangan. Kalau "natura Humana" tidak dipersatukan dengan "persona" lain (ilahi), maka natura humana ada personanya. Lain teolog berkata bahwa "persona" memang sesuatu yang positif, yang tidak ada pada kodrat manusiawi Yesus (an-hypostasia). Kodrat itu menjadi persona dalam "persona "(diri) ilahi Firman Allah (en-hypostasia). Tetapi jelaslah semua spekulasi itu tidak terlalu relevan dan tetap tinggal dalam kerangka kristologi traditional. |
|
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2001. |