Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen |
|
3. Akhirnya pemikir-pemikir Katolik pun menjadi terhanyutGejolak yang melanda kristologi umat Kristen yang berpangkal pada Reformasi selama abad XIX dan awal abad XX, khususnya di Eropa, untuk sementara waktu dapat ditangkis oleh Gereja Katolik, tegasnya oleh pemimpin tertinggi. Zaman pencerahan dan rasionalisme, idealisme, empirisme, positivisme serta historisisme, oleh sementara pemikir Reformasi ditampung secara positif. Dalam alam pikiran baru itu mereka berusaha mewartakan Yesus Kristus sedemikian rupa sehingga revelansi-Nya untuk manusia modern itu pun kentara. Sebaliknya Gereja Katolik, yang secara ketat dipimpin oleh Paus Pius IX (± th. 1878), Leo XIII (± th. 1903), Pius X (± th. 1914) serta Pius XI (± th. 1938), dan para pemikir pada umumnya mengambil sikap negatif dan defensif terhadap "dunia modern" itu. Dengan subur diperkembangkan satu cabang dalam teologi Katolik, yaitu "apologetika." Cabang teologi itu berupa pembelaan tradisi Katolik - yang kerap kali masih relatif baru - terhadap rasionalisme, idealisme, historisisme dan sebagainya. Sebagai sarana positif dihidupkan kembali filsafat/teologi zaman pertengahan, khususnya dalam versi Thomas Aquinas (neothomisme). Oleh P. Pius IX pada tahun 1864 skolastik dinyatakan sesuai dengan zaman modern (DS 2913) dan P. Leo XIII pada tahun 1879 (DS 3139-3140) lebih kurang mewajibkan filsafat dan teologi Thomas Aquinas sebagai filsafat dan teologi resmi Gereja Katolik yang mesti diajarkan di semua sekolah teologi (seminari, universitas) Katolik. Pengarahan itu diperteguh kembali oleh P. Pius X, Benediktus XV dan Pius XI. Akhirnya tercantum juga dalam kitab hukum Gereja (Latin) Katolik (C 1C c. 1366). Dalam rangka pemikiran skolastik, Thomisme, dengan pengakuannya terhadap peranan akal manusia dalam pengolahan iman (fidens quaerens intellectem) ditolaklah reaksi ekstrem terhadap rasionalisme dan sebagainya, yaitu fideisme, tradisionalisme (L. G. A. de Bonald, (± 1840), L. E. Boutain (± th. 1867). F. Lammnenais (± 1854) dan "ontologisme" (N. Malebranche th. 1915). Pemikiran orang-orang tersebut sebenarnya mau menjadikan iman Kristen (Katolik) kebal terhadap serangan dan kritik dari pihak filsafat, ilmu pengetahuan modern, yang dinyatakan tidak kompeten sedikit pun di bidang iman kepercayaan religius. Tetapi fideisme, tradisionalisme dan ontologisme ditolak bersama dengan rasionalisme dan sebagainya oleh pimpinan Gereja Katolik (DS 2751-2756.2765-2769.2811-2814.2841-2847). Sikap negatif dan defensif terhadap "dunia modern" dipertajam oleh Pius IX dalam surat edaran "Quanta cura" dan "Syllabus errorum" (th. 1864) (DS 2901-2880). Dengan nada sedikit lebih positif konsili Vatikan I (th. 1870) (DS 3001-3045) memperteguh arah defensif tersebut. Sebab maksud utama konsili itu ialah: menetapkan dan menyatakan ajaran (tradisional) terhadap semua kesesatan, yang dengan wibawa ilahi dilarang dan dikutuk oleh konsili (DS 3000). Dapat dipahami bahwa dalam suasana defensif semacam itu kristologi/soteriologi tetap tinggal pada jalur lama. Itu tentu tidak berarti bahwa teolog-teolog besar seperti M. Scheebe (± th. 1888) (Die Mysterien des Christentums; Handbuch der katholischen Dogmatik), M. Liberatore (± 1892), G. Perrone(± th. 1876), L. Billot (± th. 1931), J. Kleutchen (± th, 1883), R. Garregot-Lagrange (± 1950), mengulang-ulang saja apa yang sudah dikatakan Thomas Aquinas. Sebaliknya mereka mengembangkan tradisi teologis, tetapi terus tinggal di jalur yang sama. Ada juga pemikir Katolik yang tidak menganut neoskolastik itu dan berusaha mengembangkan pikiran baru. Tetapi mereka pun tetap tinggal dalam rangka kristologi konsili-konsili kuno (Efese, Khalkedon, Konstantinopolis III). Misalnya J. Kuhn(± th. 1887)dan terutama J. M. Newman (± 1890). Kendati sikap negatif dan defensif tersebut para pemikir Katolik terpengaruh oleh alam pikiran modern itu. Dan itu justru terjadi dalam pembelaan tradisi terhadap serangan dan kritik, jadi dalam apologetika. Kritik dari pihak rasionalisme, positivisme dan historisme terhadap tradisi, sebagian besar berdasarkan penyelidikan historis tradisi, tidak terkecuali Alkitab. Diperlihatkan bahwa ajaran Katolik dan dogma-dogma Gereja menyeleweng dari tradisi tertua dan dari Kitab Suci. Dan Kitab Suci sendiri tidak bisa dijadikan dasar ajaran, sebab ternyata hasil usaha manusia. Maka para pemikir Katolik untuk membela tradisi Katolik sibuk dengan sejarah Gereja serta ajarannya dalam rangka apologetika. Bukti minat historis yang paling mengesankan ialah penertiban semua karya pujangga Gereja, Yunani dan Latin, oleh J. Migne (± th. 1875) dan penerusnya. Dalam rangka apologetika itu mulailah berkembang apa yang boleh disebutkan sebagai "kristologi dari bawah." Salah satu bab dari apologetika itu ialah "De Christo legato divino." Bab ini secara "rasional" (berarti: atas dasar historis) mau "membuktikan" bahwa Yesus benar-benar utusan Allah yang membawa wahyu ilahi (diartikan sebagai pemberitahuan kebenaran-kebenaran). Karena itu para apologet itu mesti merepotkan diri dengan Yesus historis dan dengan metode ilmu sejarah menyelidiki Perjanjian Baru. Tentu saja kristologi spekulatif/dogmatis untuk sementara waktu kurang perduli akan hasil penyelidikan historis. Tetapi lama-kelamaan "kristologi dari bawah" (apologetika) mempengaruhi kristologi dogmatis juga. Dalam rangka apologetika para pemikir Katolik juga mulai menulis "riwayat hidup Yesus." Maksudnya: mengimbangi "riwayat hidup Yesus" seperti diterbitkan oleh para rasionalis dan para ahli teologi di kalangan Reformasi. Boleh disebutkan P. Scheg (Sechs Bücher des Lebens Jesu, 1875), P. Neumann (Das Leben unseres Herrn und Heilands Jesus Christus, 1877), J. Grimm (Das Leben Jesus nach den 4 Evv, 1896), J. N. Stepp-D. Hanenberg (Das Leben Jesu, 1898), E. Camus (La vie de notre Seigneur Jésus Christ, 1883), L. C. Pillion (La vie de Jésus Christ. 1927), F. Prat (Jesus Christ, sa vie, sa doctrine, so.n oévre, 1932), J. Lebreton (La vie et 1'enseignement de Jésus Christ, 1931), P. Riciotti (Vita de Gesù Cristo, 1941). Sayanglah semua karya itu bernada polemis dan apologetis dan kurang dimanfaatkan oleh para dogmatisi. Akibatnya ialah: Kristologi positif (historis) dan kristologi spekulatif/dogmatis berkembang terlepas satu sama lain, sedangkan kristologi positif itu tetap diawasi oleh kristologi spekulatif. Dan kristologi dogmatis itu tidak mengalami perubahan yang berarti. Itu misalnya dapat dilihat dalam kristologi/soteriologi yang dikarang P. Galtier (De incarnatione et redemptione2. 1947), yang cukup laris di kalangan Katolik (seminari). Kristologi itu tahu akan apa yang terjadi di luar Gereja Katolik, tetapi semuanya ditolak secara bulat. Kristologi karya K. Adam (Der Christus des Glaubens, 1954) mencoba menggabungkan kristologi positif dengan kristologi spekulatif, tetapi belum tercapai suatu integrasi yang lancar dan nadanya tetap agak polemis. Sehaluan dengan karya Adam ialah kristologi yang disajikan J. R. Geiselmann (Jesus der Christus, 1951), meskipun Geiselmann lebih banyak mengintegrasikan hasil penyelidikan Kitab Suci dan sejarah. Tentu saja tidak semua pemikir Katolik senang dengan situasi nyata, yakni: teologi/kristologi Katolik membentengi dirinya dan kurang terbuka terhadap alam pikiran modern. Semakin banyak pemikir merasa bahwa metafisik skolastik tidak sesuai dengan alam pikiran modern itu. Tentu saja sejak awal mula metafisik Arestoteles sebagaimana disesuaikan dengan iman Kristen oleh Thomas Aquinas mendapat kritik pedas, misalnya dan pihak Bonaventura (± th. 1274), J. Duns Scotus (± th. 1308) dan terutama dari pihak W. Ockam (± th. 1347). Memang sampai abad XIX metafisik Arestoteles-Thomas tidak pernah mendapat kedudukan tunggal seperti yang diberikan oleh P. Pius IX, Leo XIII dan sebagainya. Demikian juga selama abad XIX dan XX tetap ada pemikir yang berpendapat bahwa metafisik itu bukanlah sarana yang paling baik guna memahami, membela serta menjernihkan iman Kristen. Malah dikatakan bahwa metafisik itu sama sekali tidak sesuai dengan alam pikiran modern yang tidak statis, melainkan dinamis dan historis. Tetapi tokoh-tokoh seperti I. von Dollinger (± th. 1890), H. Schell (± th. 1906), A. Ehrhard (± 1940). J. Schnitzer (± 1939), G. Tyrrel (± th. 1909), F. von Hugel (± 1925), Olle Laprune (± 1900), M. Blondel (± 1913), A. Loisy (± th. 1940), yang menuntut dan mengusahakan suatu penyesuaian teologi Katolik dengan alam pikiran modern, tidak mendapat angin dalam Gereja Katolik (tegasnya instansi yang berwenang). Malah tokoh moderat seperti J. H. Newan, P. Rousselot (± th. 1915), A. Gardeil (± 1913) tidak mendapat dukungan. Perang melawan apa yang diistilahkan sebagai "modernisme," yang dibuka oleh P. Pius X (Dekret "Lamentabili, 1907, DS 3401-3466; Surat edaran "Pasecendi 1907, DS 3445-3500), untuk sementara waktu mematikan segala usaha ke arah penyesuaian. Sebab, kendati represi hebat, alam pikiran teologi dalam Gereja Katolik, sedikit demi sedikit berubah. Perubahan itu a. l. merupakan hasil dari pendekatan historis yang mau tidak mau mesti ditoleransikan oleh teologi spekulatif dan hukum Gereja. Beberapa orang, dengan maksud membela dogma Katolik, mulai secara historis mempelajari dan menyelidiki "sumber-sumber wahyu," Kitab Suci dan tradisi. Tokoh yang penting sehubungan dengan tradisi ialah J. B. Franzelin (± th. 1885, De divina traditione et Scriptura). Dalam karya itu Franzelin mengembangkan semacam "teologi positif," berarti: historis. Meskipun Franzelin bermaksud membela dogma Katolik, namun serentak memperlihatkan perkembangan dogma sepanjang sejarah. Jadi "dogma" itu bukanlah suatu kebenaran abadi yang turun dari surga. Tidak semuanya begitu mantap, seperti diandaikan teologi spekulatif dengan metafisik statisnya. Maka muncullah masalah sekitar perkembangan dogma. Secara spekulatif masalah mau diatasi oleh F. Marin-Sola (± 1930). Namun jelaslah nilai dogma-dogma, tidak terkecuali dogma-dogma kristologis, bagaimanapun juga relatif, terikat pada masa dan kebudayaan serta situasi tertentu. Apa yang diistilahkan sebagai "La nouvelle Théologie," khususnya di Prancis (H. de Lubac, J. Daniélou, I. Congar) dan Jerman (H. Urs von Balthasar, J. Ratzinger) pada tahun 1950-an menyadarkan para teolog spekulatif, bahwa terlalu mempersempit dan malah menyelewengkan ajaran para pujangga Gereja dahulu dan bahkan ajaran teolog-teolog besar zaman pertengahan. Meskipun "teologi baru" (yang berupa teologi historis) mendapat perlawanan, namun dampaknya luas sekali dan turut mempersiapkan dobrak yang terjadi pada Konsili Vatikan II (tahun 1962-1965). Kitab Suci pun mulai dipelajari dengan metode kritis-historis. Tokoh yang amat berjasa di bidang ini ialah J.-M. Lagange (± 1938). Meskipun "Commisio Pontificia de Re Biblica" (sejak tahun 1902) umumnya mengambil sikap negatif terhadap hasil penyelidikan para ahli Kitab (bandingkan dengan Ds 3372-3373.3394-3397.3398-3400.3505-3509.3512-3519.3521-3528; 3561-3567; 3568-3578.3581-3590.3591-3593.3628-3630.3750-3851.3792-3896), namun semakin jelas disadari bahwa Kitab Suci suatu buku manusiawi dan historis, bukan semacam gudang "kebenaran iman." Terdukung oleh pimpinan Gereja yang tertinggi (P. Leo XIII, Providentissimus Deus, 1893, Ds 3280-3294), Benedictus XV (Spiritus Paraclitus, 1920, DS 3650-3654) Kitab Suci semakin direhabilitasikan dalam kehidupan Gereja dan teologi, kalaupun sikap masih hati-hati sekali. Hanya tetap tinggal jurang antara hasil penyelidikan Alkitab dengan teologi spekulatif. Jurang itu memang semakin dirasakan juga dan disadari. Tetapi betapa sukar jembatan antara kedua cabang teologi itu dipasang sampai sekarang cukup terbukti oleh karya K. Rahner-W. Thüsing, Christologie-systematisch und exegetisch, 1972. Kristologi spekulatif K. Rahner ternyata tidak bersangkutan dengan kristologi alkitabiah W. Thüsing dan kristologi spekulatif tetap mendahului kristologi Kitab Suci, kendati kritik yang dilontarkan Thüsing. Perubahan suasana dan arah secara resmi mulai terjadi pada tahun 1943. Surat edaran P. Pius XII mengenai Kitab Suci (Divino afflante spiritu, DS 3825-3831) pada prinsipnya menerima pendekatan kritis-historis terhadap Alkitab dan mendukung tafsiran ilmiah. Itulah hasil kesabaran dan perjuangan tokoh-tokoh seperti J.-M. Lagange dan yang sehaluan. Dan kalau Kitab Suci dapat (dan mesti) didekati secara demikian, mengapa juga dogma-dogma Gereja tidak dapat didekati dengan metode kritis-historis? Dampak surat edaran itu untuk sementara waktu kurang dirasakan, akibat perang yang sedang berkecamuk. Arah yang ditempuh surat edaran P. Pius XII diperteguh oleh "Commissio Pontificia de Re Biblica" dalam suratnya kepada uskup Paris, Suhard, tahun 1948 (DS 3862-3864). Dan kendati perlawanan, khususnya dari pihak sementara teolog spekulatif (bandingkan dengan DS 3886-3889), arah itu dipertahankan dan menjadi matang pada konsili Vatikan II (Konstitusi dogmatis tentang wahyu ilahi, Dei Verbum, th. 1965). Keputusan-keputusan (negatif) yang dikeluarkan "Commissio Pontificia de Re Biblica" sejak tahun 1902 nyatanya dicabut pada tahun 1955 oleh Commissio itu sendiri. Maka para ahli Kitab Katolik merasa lega dan terbebaskan dari belenggu. Dalam menafsirkan Alkitab mereka mulai memakai metode yang selama abad XIX dan XX diperkembangkan di luar rangka umat Katolik: Kritis-historis, sejarah bentuk (Formgeschichte), sejarah penggubahan (Redaktions-geschichte), sejarah tradisi (Traditions-geschichte). Kemudian sejumlah teolog spekulatif menyusul dan mulai "menafsirkan" dogma-dogma Gereja Katolik. Ciri historis Kitab Suci dan tradisi ditekankan dan dengan demikian direlatifkan. Boleh jadi para exeget dan teolog Katolik sedikit kesal hati oleh karena dari pihak linguistik orang semakin meragukan tepatnya pendekatan semacam itu. Tentu saja para ahli kitab dan para teolog terutama merasa lega oleh karena kini dapat mewartakan Yesus Kristus, inti pokok iman Kristen, sesuai dengan alam pikiran modern (di dunia barat) atau dianggap modern. Umat Katolik tidak (usah) lagi kebal terhadap alam pikiran itu, alam pikiran yang tidak lagi kosmosentris dan teosentris, melainkan antroposentris, alam pikiran yang tidak lagi bergerak dalam metafisik Yunani-skolastik, tetapi dalam dunia positivis yang berpusatkan manusia yang otonom-bebas, bertanggung jawab dan pengurus nasibnya sendiri dalam alam dunia yang berkembang, dengan bertitik tolak pengamatan, pengalaman dan eksperimen. Hanya para ahli kitab dan teolog yang merasa lega oleh karena dapat mewartakan Yesus kepada "dunia modern" (barat) mesti menghadapi dunia yang amat membingungkan oleh karena dunia itu kehilangan arah. Berkerumunlah pelbagai macam "filsafat," pandangan hidup, yang berlawanan satu sama lain. Ada kantianisme/idealisme (Jerman), fenomenologi, filsafat dialektis, marxisme, strukturalisme, eksistensialisme, personalisme, neo-skolastik, filsafat hidup, filsafat yang dibawa dari India. Sungguh membingungkan "dunia modern" itu. Kristologi/soteriologi seperti secara tradisional diwartakan rupanya tidak lagi dapat ditelan "manusia modern" itu. Seorang Yesus Kristus yang terdiri atas "dua tingkat" (kodrat ilahi, kodrat manusia) yang dipersatukan dalam "diri ilahi yang pra-existen" dengan tidak ada lagi "diri manusia" tidak dapat dipikirkan lagi. Pikiran tentang Yesus Kristus yang mati sebagai "korban," pengganti manusia, yang mesti "menebus" manusia dari "dosa (asal)" merupakan bahasa kiasan yang kehilangan artinya bagi manusia "modern," yang otonom mengurus dirinya. Allah yang "turun," yang mencampuri urusan manusia di dunia ini, sukar diterima. Dan halangan paling besar ialah "keilahian" Yesus Kristus seperti secara tradisional diwartakan, sehingga mendekati monophysitisme. Yesus semacam itu tidak lagi dirasakan sebagai senasib dengan manusia, seorang manusia seperti kita sekalian. Para ahli kitab dan ahli ilmu ketuhanan yang ingin menyusun suatu kristologi/soteriologi yang lebih sesuai dengan manusia "modern" (di Eropa dan Amerika Utara) merasa diri didukung oleh konsili Vatikan II yang a. l. (Dekret: "Unitatis redintegratio" n.11) berkata tentang "hierarki kebenaran-kebenaran" dan mendesak para teolog untuk menjernihkan iman Kristen dengan cara dan dalam bahasa yang dapat dimengerti lain orang juga. Konsili Vatikan II memang mencari kontak dengan "dunia" (nyatanya: dunia barat) dan membuka jendela/pintu pada benteng Gereja Ka-tolik. Maka apa yang sudah dimulai sebelum konsili Vatikan II sesudahnya seolah-olah meledak. Dalam suasana dan situasi "baru" itu Yesus Kristus seolah-olah menjadi "buruan" "free for all," khususnya bagi para teolog dogmatis. Tampil suatu situasi, suatu "krisis" dalam kristologi yang mengingatkan situasi pada abad III-IV. Hampir setiap ahli kitab dan ilmu ketuhanan merasa diri l. k. wajib dan berwewenang untuk menyusun suatu "kristologi/soteriologi baru dengan sedikit banyak menyingkirkan kristologi tradisional-skolastik. Membaca produksi teologi dan ilmu tafsir pada tahun 60-70-an, orang sedikit banyak dapat menyetujui apa yang dikatakan seorang teolog Anglikan pada tahun 1970, F. Forranca. Beliau berpendapat bahwa sejumlah teolog Katolik pada abad XX mengulang-ulang kekeliruan teologi (liberal) Protestan pada abad XIX. Memanglah setiap orang yang sedikit tahu tentang gejolak di kalangan Reformasi pada abad yang lampau lalu membalik-balik "kristologi-kristologi" baru yang diproduksikan di kalangan Katolik habis pertengahan abad XX, merasa: Itu pernah saya baca! Seolah-olah para ahli yang begitu lama lapar dan haus, sekarang dapat makan dan minum sekenyang-kenyangnya dari apa yang dipersiapkan para Protestan liberal (Jerman) di abad yang lampau. Ada suatu ciri yang muncul para kebanyakan "kristologi" (entah alkitabiah entah spekulatif), yaitu: Banyak mengusahakan suatu "kristologi dari bawah" dengan tekanan pada "manusia" Yesus. "Kristologi dari bawah" itu mengandaikan bahwa masih mungkin dan perlu orang menembus pewartaan Perjanjian Baru dan kembali kepada Yesus historis. Pengakuan iman Kristen mesti didasarkan pada manusia Yesus dalam eksistensi historis-Nya. Yesus itulah yang mau dijadikan ukuran kristologi seperti berkembang pada umat Kristen. "Keilahian" Yesus (entah apa itu "keilahian") mesti nyata dalam hidup Yesus di dunia. Maka pengakuan iman umat (dogma) perlu dikritik berdasarkan Yesus historis. Para ahli kitab (dan teolog) Katolik amat senang bahwa malah para pengikut Bultmann "bertobat" dan dirintis oleh E. Kasemann kembali "mencari Yesus historis" sebagai unsur yang secara teologis/kristologis relevan dan mutlak perlu. Bukankah selama abad XIX/XX para apologet Katolik selalu membela historisitas Yesus terhadap rasionalisme, idealisme dan eksistensialisme? Seolah-olah mereka dibenarkan oleh sejarah. Maka seiring dengan teman-temannya di kalangan Reformasi para ahli Kitab Katolik pun berusaha menemukan Yesus historis. Boleh disebutkan tokoh-tokoh seperti R. Pesch (Jesu ureigene Taten, 1970; Das Abendmahl und Jesu Totesverständnis, 1978), A. Vogtle (Jesus von Nazareth, 1970; J. Gnilka (Jesus Christus nach frühen Zeugnisse des Glaubens, 1970), W. Trilling (Fragen zur geschichtlichkeit Jesu, 1969), J. Blank (Jesus von Nazareth. Geschichte und Relevanz, 1972). K. Kertelge e.a. (Rückfrage nach Jesus, Zur Methodik und Bedeutung der Frage nach dem historischen Jesus, 1974), H. Merklein, Jesu Botschaft von der Gottesherrschaft. Eine Skizzc, 1983), J. Sauer (e. a.) (Wer ist Jesus Christus, 1977). Kalau nama-nama tersebut semua nama Jerman maka sebabnya ialah: Masalah itu kembali terutama direpotkan oleh ahli-ahli Jerman, padahal yang berbahasa Inggris tidak pernah terhanyut oleh radikalisme Jerman dahulu. Para ahli yang berbahasa Inggris lebih kurang sehaluan dengan posisi moderat seperti dikemukakan oleh C. H. Dodd (The Founder of Christianity, 1970). Meskipun para ahli kitab tersebut tetap mengulang pernyataan bahwa tidak mungkin menulis suatu "riwayat hidup Yesus," namun mereka berpendapat bahwa masih dapat menggali suatu "gambar," bagan yang cukup tepat tentang kehidupan Yesus dan terutama tentang pewartaan-Nya. Mereka berusaha memperlihatkan bahwa memang ada kesinambungan antara Yesus historis dan pewartaan kristologis yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Terpengaruh oleh evolusionisme modern mereka pun melihat dalam Perjanjian Baru suatu perkembangan kristologis (tegasnya: beberapa perkembangan) dan kerap kali ada semacam apriori yang tidak disadari bahwa apa yang paling tua, juga paling benar. Apa yang kemudian dalam waktu, secara spontan dinilai kurang berbobot dan lebih kurang menyeleweng. Oleh karena jarang sekali hasil penyelidikan atas Yesus historis sejalan, maka terpaksa para ahli terus-menerus memperhalus dan mempertajam metodiknya dan terutama memperbanyak dan mempertajam kriteria, ukuran yang mesti dipakai untuk memisahkan "yang asli" dari "yang kurang asli." Alhasil: Metodik menjadi begitu berbelit-belit, sehingga hampir saja tidak dapat dipakai lagi. Maka "Yesus historis" yang digali para ahli dari Perjanjian Baru selalu cukup hipotetis dan macam-macam "Yesus historis" yang tampil. Dan ciri-ciri "Yesus historis" yang tampil terlalu mengingatkan "Gambaran Yesus," seperti yang dikemukakan para teolog/ahli kitab liberal pada abad yang lampau di kalangan Reformasi. Hanya gambaran itu disesuaikan sedikit dengan harapan dan cita-cita manusia (barat) pada abad XX, yang memang tidak sama dengan cita-cita manusia borjuis abad yang lampau. Yesus yang digali itu lalu mau diangkat menjadi ukuran iman dan praxis umat Kristen pada abad XX. Hanya para ahli itu belum dapat sepakat kalau-kalau "kebangkitan Yesus" (yang tetap batu sandungan) harus dimasukkan ke dalam "Yesus historis" atau tidak perlu diperhitungkan. Oleh karena selama abad XX rasionalisme/idealisme, eksistensialisme dan positivisme diganti dengan pendekatan "pragmatis," maka tidak mengherankan bahwa Yesus yang digali dari Perjanjian Baru cocok dengan pendekatan "pragmatis" itu; yang diutamakan ialah: praxis Yesus dalam konteks (sosio-politik) historis-Nya. Kristologi/soteriologi spekulatif seharusnya meneruskan kristologi-kristologi yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Tetapi para ahli kitab tidak banyak menolong para dogmatisi. Mengingat hasil penyelidikan para ahli kitab yang agak simpang siur, maka jarang sekali ada ahli kitab yang memberanikan diri menyajikan suatu kristologi Perjanjian Baru yang menyeluruh, seperti disajikan oleh R. Schnackenburg (Christologie des Neuen Testaments, 1970). Lebih sering disusun suatu kristologi salah satu penulis (Paulus) atau salah satu karangan saja. Maka biasanya hanya disoroti salah satu segi atau unsur pada Yesus Kristus sebagaimana diwartakan Perjanjian Baru. Mengingat tendensi banyak ahli kitab untuk menekankan Yesus historis dan mengambil itu sebagai ukuran dan betapa hipotetis Yesus historis itu, maka para dogmatisi tidak mendapat pangkal pemikiran yang mantap serta utuh menyeluruh. Sebagai contoh "kristologi parsial" yang diangkat para ahli kitab dari Perjanjian Baru boleh disebutkan: L. Cerfaux (Le Christ dans la théologie de saint Paule, 1951), J. Comblin (Le Christ dans l'Apocalyps, 1965), J. Dupont (Essays sur la christologie de Jean, 1951), G. Voss (Die Christologie der lukanischen Schriften, 1965), F. M. Braun (Jean le théologien III: Le mystére de Jésus Christ, 1966), J. Dean Kingsbury (The Christology of Mark's Gospel, 1983). Orang berkesan bahwa kristologi spekulatif, yang tidak diberi pangkalan mantap oleh ilmu tafsir, sejak sekitar 1950 tidak hanya mulai bergerak tetapi juga kehilangan arah, a. l. terpengaruh oleh ilmu tafsir yang sejak 1943 menempuh jalan baru. Tidak tersedia lagi suatu paradigma kristologis bersama dan tidak ada "tata bahasa kristologis" yang sama. Para teolog spekulatif tidak lagi saling mengerti. Rasa kurang puas dengan kristologi tradisional-skolastik sekonyong-konyong meletup. Pada tahun 1935 Déodat Basly sudah melontarkan suatu pendekatan baru yang diistilahkan sebagai "Assumptus Homo" kristologi (Inopérantes offensives centre L "Assumptus homo," 1935). Sangat ditekankan bahwa Yesus Kristus benar-benar seorang manusia utuh lengkap. Kristologi seharusnya bertitik tolak manusia utuh lengkap, seperti tampil di belakang pewartaan Perjanjian Baru. Meskipun pendekatan Déodat itu secara resmi ditolak, namun ia mencetuskan suatu debat antara para teolog yang semakin sengit. Diperdebatkan kalau-kalau pada Yesus Kristus dapat/mesti diterima adanya suatu "Aku" manusiawi, diri manusiawi? Dalam kristologi tradisional dikatakan bahwa diri Yesus Kristus ialah diri ilahi yang kedua (Firman, Allah-Anak). Tetapi kalau pada Yesus tidak ada "diri manusiawi" masih dapatkah Ia dikatakan benar-benar manusia? Teolog yang terlibat dalam debat itu a. l. P. Parente (L'Io di Cristo, 1953; La Psicologia di Cristo, Problemi e orientamenti, 1957), B. Lonergan (De constitutione Christi ontologica et psychologica, 1956), J. Galot (La personne du Christ. Recherches ontologiques, 1969), M. Nédoncelle (Le "moi" du Christ et le "moi" des hommesa à lumière de la réciprocité des consciences, 1965). Dipertikaikan juga "kesadaran diri" Yesus dan pengetahuan Yesus (historis). Soalnya ialah: Sejauh mana secara manusiawi Yesus sadar akan keilahian-Nya (visio beatifica, visio immediata) dan bagaimana; apakah Yesus secara manusiawi tahu segala sesuatu yang dapat diketahui dan bagaimana (pelbagai macam pengetahuan yang dikatakan ada pada Yesus). Dalam tradisi skolastik orang berpendapat bahwa Yesus historis langsung sadar akan keilahian-Nya dan sungguh-sungguh, meskipun secara manusiawi, mahatahu. Misalnya J. M. Scheeben (Handbuch der katholischen Dogmatik V,2.20-30) mengemukakan sebagai keyakinan umum bahwa Yesus sejak rahim ibu-Nya sepenuh-penuhnya memakai daya pengenal dan selama hidup-Nya pengetahuan-Nya tidak mengalami perkembangan. Sejak awal Yesus mempunyai seluruh pengetahuan yang dapat dimiliki suatu makhluk. Dasar pengetahuan itu ialah "scientia beata," kesadaran langsung akan keilahian. Pendapat itu juga dikemukakan P. Pius XII dalam surat edaran "Mistici corporis" (1943, DS 3812) dengan mengulang penetapan S. Offici 1918 (DS 3545-3646) dan apa yang dikatakan dekret "Lamentabili" pada tahun 1907 (DS 3432-3435). Namun demikian, keyakinan itu tidak pernah menjadi umum, apalagi dogma resmi. Memang Yesus, seperti tampil dalam Injil-injil sinoptik tidak mendukung keyakinan itu, sebab Ia tidak tampil sebagai "mahatahu" dan tanpa perkembangan manusia yang biasa. Pada tahun sekitar 1950-1960 masalah itu diperdebatkan. Dan pertimbangan utama yang dikemukakan ialah: Yesus (historis) yang "mahatahu," langsung sadar akan keilahian-Nya, bukan lagi seorang manusia, senasib dengan manusia lain. Kalau itu dikatakan, maka Yesus menjadi seorang dewa, Allah yang bertopeng manusia. Sejumlah teolog yang terlibat dalam debat itu mempertahankan bahwa Yesus memang tidak mahatahu dan tidak mempunyai "visio beatifica," misalnya E. Gutwenger (195 ). R. Haubst (1957), J. Mouroux (1959), J. Galot (1960), K. Rahner (1958), E. Schillebeeck (1961), A. Vogtle (1964), H. Riedlinger (1966). Dengan pelbagai cara para teolog berusaha mendamaikan perkembangan manusiawi Yesus serta keterbatasan historis-Nya dengan ajaran tradisional bahwa "diri" Yesus tidak lain kecuali "diri" ilahi kedua dan langsung sadar akan keilahian-Nya. Seluruh masalah itu bukanlah soal baru. Melawan pendapat umum selalu ada pemikir yang, entah bagaimana, membela keterbatasan kesadaran manusiawi dan pengetahuan manusiawi Yesus historis. Para skolastik zaman pertengahan berbeda pendapat, tetapi menerinia bahwa daya pengenal Yesus diaktualkan dengan pelbagai cara (visio, scientia infusa, scientia aquisita). Dan sejak Reformasi (Luther, Kalvinus) di luar rangka teologi skolastik semakin larislah pendapat bahwa - demi kemanusiaan dan historisitas-Nya - Yesus mengalami perkembangan mirip dengan manusia lain (Erasmus, 1541; B. Stattler, 1797; M. Dobmayer, 1923; G. Hermes, 1834; A. Gamer, 1829; H. Klee, 1935; E. Bourgand, 1878; H. Oswald, 1878; H. Schell, 1892; A. Loisy, 1903). Tidaklah mungkin dalam rangka karya ini memperkenalkan segala macam "kristologi" yang dikemukakan sementara pemikir Katolik sejak tahun 1950. Ada sementara proyek kristologis yang tidak hanya menyim pang dari kristologi skolastik dan tidak hanya "menginterpretasikan kembali" dogma konsili Khalkedon dan Konstantinopolis III, tetapi juga secara jelas atau kurang jelas, menyingkirkan dogma itu. Misalnya kristologi (dari bawah) seperti yang disajikan P. Schoonenberg (Een God van Mensen, Twee theologische studies, 1969). Schoonenberg mati-matian mempertahankan bahwa "diri" (persona) Yesus Kristus sepenuh-penuhnya "diri" manusiawi. Ia amat berkeberatan terhadap kristologi tradisional yang seolah-olah "memotong" Yesus Kristus menjadi dua (kodrat manusiawi, kodrat ilahi), yang kemudian dipersatukan dalam "diri ilahi" (kedua). Menurutnya tidak ada suatu "diri ilahi" (kedua) lepas dari diri manusiawi Yesus. Sebaliknya dengan "diri" manusiawi Yesus Allah, yang menghampakan diri, menjadi "diri" ilahi (yang kedua). Oleh karena Allah hadir dengan/dalam "diri" manusiawi Yesus, maka Yesus boleh disebut "Anak Allah," memang secara istimewa. Tidak ada suatu Tritunggal ilahi - paling tidak kita tidak tahu apa-apa tentangnya - lepas dari penciptaan dan lepas dari manusia Yesus Kristus. Schoonenberg memang mau setia kepada tradisi sejati, tetapi tradisi, yang menurutnya kerap dimengerti salah, mesti diinterpretasikan kembali bagi "dunia modern." Hanya sedikit sukar orang melihat bagaimana pendekatan baru itu dapat didamaikan dengan dogma (meskipun diinterpretasikan kembali) dan sejauh mana Yesus masih berbeda dengan manusia lain. Demikian pun kristologi (dari bawah) yang pernah dikemukakan A. Hulsbosch (Jezus Christus gekend als mens, beleden als Zoon Gods, 1966, dilengkapi, dijernihkan dan dibetulkan dalam: Christus de scheppende Wijsheid van God, 1971). Hulsbosch, sama seperti Schoonenberg, ingin meninggalkan kristologi skolastik dan dalam kesetiaan pada maksud dogma kuno mengembangkan suatu kristologi dalam rangka evolusionisme modern. Maka Yesus Kristus merupakan puncak "wajar" dari perkembangan dunia dan manusia. Penciptaan dan pewahyuan (diri) Allah sebenarnya satu dan sama. "Hikmat kebijaksanaan" ilahi selalu ada pada makhluk-makhluk dan maju bersama kemajuan makhluk-makhluk. Pada manusia Yesus Kristus perkembangan itu mencapai puncaknya dan dengan "diri" manusiawi Yesus Hikmat ilahi (Firman Allah) menjadi "diri." Dinamika evolusi yang memuncak dalam diri Yesus Kristus tentu saja bukanlah sesuatu "alamiah" (makhluk), melainkan sesuatu ilahi. Hanya dimensi ilahi itu ada pada semua makhluk, meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda. Pada Yesus dimensi itu menjadi paling intensif dan tampil sebagai "diri" (pribadi). Kristologi itu pun sukar didamaikan dogma kristologis, seperti dimaksudkan Hulsbosch, dan dengan Allah Tritunggal. Di mana persis terletak keunikan Yesus Kristus? Mengapa hanya sekali saja terjadi "inkarnasi" macam itu? Apakah Allah Tritunggal mendahului atau menyusul penciptaan? Seorang teolog yang amat luas dampaknya ialah K. Rahner (± 1984). Pikirannya, juga tentang Yesus Kristus, tertuang dalam sejumlah besar karangan. Sebagai karya yang menyajikan pikiran Rahner l. k. lengkap dan matang boleh disebutkan K. Rahner (-W.Thüsing), Christologie-systematisch (-exegtisch), 1972, dan: Grundkurs des Glaubens. Einführung in den Begriff des Christentums, 1976. K. Rahner mendapat banyak pengikut dalam pikirannya. Ada yang hanya mengulang-ulang apa yang dikatakan Sang Guru, yang lain dengan tidak mengerti pikirannya secara tepat menyebarluaskannya ke mana-mana; ada yang berusaha mengembangkan pikiran Rahner lebih lanjut dan teramat banyak yang dengan tidak sadar sepenuhnya menyerap (sebagian) pikiran Rahner. Adapun K. Rahner ialah seorang teolog spekulatif yang mau tetap "orthodox" sepenuh-penuhnya dan tidak menyimpang dari dogma-dogma kristologis. Hanya dogma itu mesti dipahami secara tepat dan isinya disajikan dalam bentuk yang dapat ditangkap manusia modern. Dengan mengulang-ulang dogma saja manusia modern tidak tercapai. Tetapi terhadap apa yang diistilahkannya sebagai "teologi mazhab" (ialah skolastik, neothomisme seperti ditemukan dalam pedoman teologi dogmatis) Rahner melontarkan banyak kritik. Sama seperti para teolog liberal abad XIX dan R. Bulthmann pada abad XX, K. Rahner ingin mewartakan Yesus Kristus dalam rangka alam pikiran "modern" (barat) abad XX. Keprihatinan pastoral mendorong Rahner untuk memikirkan kembali "teologi/kristologi mazhab" itu. Kecuali itu Rahner yakin bahwa akibat teologi dan pewartaan masa yang lampau Yesus Kristus seperti dipikirkan dan dihayati umat Katolik tidak lagi Yesus Kristus seperti diwartakan Perjanjian Baru dan dimaksud dogma kristologis kuno. Teologi/kristologi tradisional itu amat mempersempit pewartaan dan dogma dengan menekankan keilahian Yesus sedemikian rupa, sehingga kemanusiaan secara praktis hilang, kalaupun secara formal dipertahankan. Yesus Kristus nyatanya dipikirkan dan dihayati secara monophysitis malah doketis (kemanusiaan Yesus hanya "topeng" keilahian). Dan dengan demikian Yesus Kristus menjadi tokoh mitologis belaka. "Haeresis" yang nyata itu mesti ditentang dan dihilangkan demi kesejatian iman Kristen. K. Rahner adalah seorang teolog spekulatif yang secara kritis dan positif mau meneruskan teologi/kristologi Thomas Aquinas dan neothomisme (L. Billot, De Verbo Incarnate; P. Galtier, L'Unicité du Christ). Sebagai thomis sejati Rahner mau mengembangkan teologi/kristologi skolastik (Thomas) itu dan menggabungkannya dengan alam pikiran modern, khususnya dengan filsafat Jerman abad XIX, yang secara kritis mau diserap. Memang K. Rahner mulai sebagai filsuf, lalu menjadi teolog. Maka filsafat modern (Jerman) itu dengan tekanannya pada subjek (intelektual) yang otonom mau dipakai dalam berteologi. Pada latar belakang itu Rahner mengembangkan apa yang diistilahkan sebagai "teologi (kristologi) transendental," ialah teologi yang dalam metode bertitik tolak praandaian yang ada pada manusia (antropologi), pada struktur manusia sendiri, khususnya struktur pengetahuan manusia, sebagai praandaian iman. Dalam hal "metode transendental" itu Rahner terpengaruh langsung oleh I. Kant dan oleh pendahulu Rahner, J. Marechal dan P. Rousselot. Nyatanya dalam pikiran Rahner bergabung pelbagai aliran pemikiran. Rahner terpengaruh oleh filsafat klasik, Plato dan Arestoteles yang disalurkan kepadanya molalui patristik dan skolastik-thomisme, filsafat "modern" Jerman (Kant, Hegel, Heidegger), filsafat empirisme yang melatarbelakangi masyarakat modern (ilmu pengetahuan, teknologi) dengan pengamatan positivisnya. Dan masih turut berpengaruh evolusionisme (historisisme) serta versi gnostiknya yang terdapat pada Teillard de Chardin. Maka pemikiran Rahner agak sintetis, kalau tidak mesti dikatakan sinkretistis dan eklektistis, sementara juga mau berpegang pada dogma-dogma tradisional. Rahner terutama seorang teolog sistematis-intelektualistis. Dengan pertolongan filsafat (bermacam-macam) ia mengusahakan suatu sistem utuh lengkap atas dasar beberapa prinsip umum, yang berperan sebagai semacam kerangka yang dapat menampung semua masalah konkret dan semua "kebenaran iman" ortodoks. Dengan demikian kaitan antara semua kebenaran menjadi jelas dan kedudukan tiap-tiap kebenaran dalam keseluruhan jernih. Dalam proses penyusunan sistem itu baik prinsip-prinsip (filsafat) disesuaikan dengan "kebenaran iman" maupun "kebenaran iman" diartikan kembali sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip (apriori) itu. Meskipun Rahner tidak pernah menyusun sebuah "pedoman teologi dogmatis," namun ia mempunyai sebuah kerangka pemikiran (prinsip-prinsip dasar) yang dapat menampung segala pokok dan masalah yang dihadapi teologi dogmatis. Maka ada sebuah sistem. Sistem K. Rahner memang kokoh-kuat dan sedikit banyak kebal terhadap sumbangan dari luar sistemnya. Khususnya sistem itu kebal terhadap sumbangan dari pihak ilmu tafsir. Rahner tidak mempunyai minat besar terhadap Kitab Suci dan tafsirannya. Secara formal tentu saja Alkitab dijunjung tinggi, tetapi kurang berperan positif dalam sistemnya. Rahner sedikit banyak tahu tentang hasil (l. k, pasti atau hipotetis) ilmu tafsir modern. Tetapi mana pun juga hasil ilmu tafsir, banyak atau sedikit, sistem Rahner tidak terpengaruh olehnya. Semua hasil dapat dipasang dalam kerangka sistem itu. Teologi K. Rahner sebenarnya sebuah contoh (yang terakhir?) dari teologi skolastik (yang diadaptasikan seperlunya). Karena itu boleh ditanyakan kalau-kalau K. Rahner merupakan akhir - boleh jadi puncak - teologi neoskolastik atau benar-benar awal suatu teologi baru, yang sesuai dengan abad XX-XXI? Sebagaimana layak untuk seorang teologi Kristen, teologi K. Rahner kristosentris dan - tidak dapat tidak - teosentris. Dalam rangka sistem Rahner teologi sebenarnya sama dengan antropologi dan antropologi menjadi kristologi. Orang tidak dapat berpikir tentang Allah kalau tidak berpikir tentang manusia dan tentang manusia orang tidak dapat berpikir kecuali kalau berpikir tentang Yesus Kristus. Dengan merenungkan manusia orang sampai kepada Yesus Kristus dan kepada Allah. Pada dasarnya kristologi Rahner boleh disebut "Offenbarungs christologie". K. Rahner mengembangkan dua pendekatan terhadap Yesus Kristus yang sekaligus merupakan perkembangan pikirannya sejauh dari kristologi yang satu tekanan lama-kelamaan bergeser kepada kristologi yang lain. Kedua pendekatan itu boleh dikatakan: "kristologi dari atas" dan "kristologi dari bawah." Tetapi menurut Rahner kristologi yang satu dapat dialihkan kepada kristologi yang lain dan sebaliknya. Kedua kristologi itu pada dasarnya sama, menurut Rahner. Dengan "kristologi dari atas" itu Rahner melanjutkan dan mengembangkan "logos-sarks" (Firman-daging) kristologi seperti terdapat pada kristologi mazhab Aleksandria pada abad III-IV. Dengan "kristologi dari bawah" K. Rahner melanjutkan dan mengembangkan "assumptus-homo " (diangkatnya manusia) kristologi yang dahulu dianjurkan oleh mazhab Antiokhia dan pada abad XX diperdalam a. l. oleh F. Malmberg (Über den Gottmenschen, 1960). Sekaligus dengan "kristologi dari bawah" itu Rahner menyesuaikan pikirannya dengan tendensi umum dalam kristologi abad XX yang menekankan kemanusiaan Yesus serta ciri historis-Nya. Dalam pendekatan Rahner Yesus Kristus serentak penyataan/penawaran diri Allah dan penyataan/penyerahan diri manusia. Rahner memberi Yesus Kristus beberapa "gelar" baru, seperti "nabi eskatologis," pengantara mutlak dan definitif, puncak umat manusia, janji mutlak tak terbatalkan dan definitif dari Allah, lambang real Allah, pemberian diri Allah dan sebagainya. Dengan bertitik tolak Allah Yesus Kristus mesti dilihat sebagai penyataan diri Allah yang utuh lengkap di dalam rangka dunia dan sejarah. Dengan demikian Yesus Kristus boleh disebutkan sebagai "real-symbol" Allah ataupun sakramen Allah. Allah mengungkapkan diri sepenuh-penuhnya dalam Firman-Nya (pra-existen). Bila pengungkapan diri Allah itu (tentu dengan bebas) mau tampil di dalam sejarah, maka tampillah manusia, yang mampu menerima pengungkapan diri Allah itu. Dan bila nyatanya pengungkapan diri Allah itu ditawarkan kepada manusia, maka tampillah Yesus Kristus, yaitu pengungkapan diri Allah dalam dunia dan sejarah. Dengan tampilnya Yesus Kristus Allah menjadi lain, meskipun dalam diri-Nya tetap sama. Allah (tegasnya: Allah-Anak, Firman Allah) menjadi manusia dan benar-benar menghampakan diri secara nyata. Dan Yesus Kristus mesti diambil, bukanlah secara abstrak-formal saja (kodrat manusia), melainkan secara konkret, secara dinamis, seluruh eksistensi manusia Yesus Kristus, dari awal (kelahiran) sampai dengan kebangkitan-Nya. Kebangkitan Yesus itu seolah-olah mengabadikan seluruh eksistensi-Nya dan membuatnya tak terbatalkan, definitif. Allah sendiri menyatakan diri, mengungkapkan diri dalam seluruh eksistensi manusia Yesus Kristus. Maka hal-ihwal Yesus sungguh-sungguh mengenai Allah sendiri dalam Yesus Kristus. Dengan demikian Yesus Kristus tetap penyataan, penawaran, pemberian diri Allah untuk selama-lamanya, justru sebagai manusia utuh lengkap, yang sadar dan bebas. Sebagai manusia utuh lengkap, sadar dan bebas Yesus Kristus dengan bebas (dalam ketaatan sampai mati) menerima tawaran diri Allah oleh karena secara utuh menyerahkan diri, secara mutlak mempercayakan diri (Yesus menurut Rahner memang beriman, meskipun secara lain dari kita) kepada Allah. Pada Yesus ada suatu "pusat aktivitas" (Aktzentrum) seperti pada manusia lain dan ada "sadar diri" seperti pada manusia lain. Pada Yesus terciptalah kesatuan justru oleh karena pada-Nya penawaran diri Allah dan penyerahan manusia bergabung menjadi satu. Sebagai manusia Yesus sadar diri dan dalam kesadaran diri manusiawi itu Yesus menyadari hubungan unik-Nya dengan Allah. Ada suatu "visio immediata." Dengan "berada pada diri-Nya" (sadar diri seperti manusia lain) Yesus berada pada Allah, sadar akan Allah. Berada dan "ada sadar" tidak terpisah (dalam filsafat Rahner: "ada" manusia berarti: ada sadar; pikiran dan "ada" menjadi satu dan sama), sehingga tidak ada perbedaan antara "yang mengenal" (subjek) dan "yang dikenal" (objek). Hanyalah "pengenalan diri" yang pada Yesus serentak "pengenalan Allah" bukanlah pengetahuan terinci (kategorial, tematis), melainkan hanya pengetahuan "umum," implisit. Maka selagi hidup Yesus dapat berkembang (dan keliru) seperti manusia lain berdasarkan pengalaman dan relasi dengan dunia luar. Hanyalah Yesus menjadi tahu secara terinci tentang apa yang sejak awal sudah (turut) disadari dan sejauh itu diketahui. Adapun kesadaran diri Yesus sebagai (Anak) Allah, meskipun tidak terinci, turut terungkap, dinyatakan dalam perkataan dan tindakan manusia Yesus Kristus dan tidak dapat tidak turut terungkap. Bila orang bertitik tolak manusia (kristologi dari bawah), maka Yesus Kristus dapat dilihat sebagai puncak mutlak dan tunggal (umat) manusia. Menurut Rahner (yang dalam hal ini menuruti Duns Scotus) Allah menciptakan dunia menuju ke Kristus. Dengan mengadaptasikan pikiran evolusionis (Teillard de Chardin) Rahner berpendapat bahwa dunia material menjadi sadar pada manusia sebagai puncak. Tetapi manusia (kodrat manusia yang "kategorial" nampak pada manusia perorangan) justru sebagai makhluk jasmani-rohani secara wajar bertendensi melampaui dirinya menuju ke Yang Mutlak (Allah). Itu diistilahkan sebagai "eksistensial," suatu segi, dimensi yang melatar-belakangi (meskipun tidak sadar) segala sesuatu yang manusiawi. Oleh karena "eksistensial" itu nyatanya bergantung pada Yesus Kristus sebagai tujuan dunia semesta, maka disebut "adikodrati" (rahmat). Maka manusia secara dasar merupakan suatu "pertanyaan," ia terus menanyakan "lebih." Pertanyaan itu dijawab oleh Allah dengan menciptakan Yesus Kristus, yang tercipta justru oleh dan dalam pemberian diri Allah secara historis duniawi. Maka dalam Yesus Kristus, satu orang manusia, (umat) manusia sampai kepada tujuannya dan penyelesaiannya. Apa itu "manusia" baru menjadi nyata dan real dengan adanya Yesus Kristus. Dalam Yesus Kristus, tegasnya: dalam ketaatan-Nya sampai mati, manusia secara mutlak menyerahkan diri kepada Allah seperti Allah (secara difinitif dengan membangkitkan Yesus) secara mutlak dan definitif memberikan diri kepada manusia dalam Yesus Kristus yang secara definitif dan mutlak diterima oleh Allah. Dan jelaslah: pemberian diri Allah (yang menciptakan Yesus) secara logika dan ontologis mendahului penyerahan diri manusia. Dalam kristologi rangkap dua itu K. Rahner dapat juga memasang soteriologinya. Memang kristologi dan soteriologi melebur menjadi satu. Rahner tidak puas dengan soteriologi tradisional, yaitu ajaran Anselmus mengenai "satisfactio vicaria." Allah tidak perlu "didamaikan" atau mendamaikan diri melalui seorang (Yesus Kristus) yang mengganti orang lain untuk memberi silih. Allah dalam sikap-Nya terhadap manusia (kasih) tidak pernah berubah. Tidak mungkin seorang manusia mengganti lain orang yang bebas dan sendiri bertanggung jawab (terasa antroposentrisme modern, tekanan pada otonomi dan kebebasan manusia). Dan suatu prestasi moral (ketaatan) tidak dapat "membereskan" dosa (prestasi amoral). Namun demikian Yesus (Allah dalam Yesus Kristus) menjadi Juru Selamat manusia. Sebab mau tidak mau semua manusia mempunyai relasi dinamik dengan Yesus Kristus (solidaritas, kesetiakawanan dan antarsubjektivitas modern). Dengan demikian semua menjadi peserta dalam relasi utuh, sempurna dan mutlak yang terjalin antara Allah dan manusia Yesus Kristus. Dan kaitan itu menjadi definitif dalam wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Yesus Kristus yang wafat (dan dengan itu secara mutlak menyerahkan diri kepada Allah) dan dibangkitkan (dengan itu Allah memantapkan penyerahan diri kepada manusia) menjadi semacam "sakramen," penampakan dan dari segi itu juga sebab penyelamatan Allah. Pada dasarnya semua manusia sudah selamat, meskipun masing-masing orang masih dapat melepaskan diri dari keselamatan yang sudah ada. Semua manusia dengan menyadari dirinya sudah berjumpa dengan Allah (visio immediata), meskipun barangkali tidak menjadi disadari secara terinci, tematis, kategorial. Dan dari situ dapat dipahami mengapa Rahner dapat berkata tentang "Kristen anonim"; semua manusia adalah Kristen dengan tidak disadari, termasuk para ateis. K. Rahner memang menganut suatu optimisme soteriologis ala Origenes (apo-katastasis pantön). Sehubungan dengan kematian Yesus sebagai "korban" Rahner menekankan bahwa hanya secara analog dapat diistilahkan begitu. Kematian Yesus hanya menjadi ekspresi lahiriah yang paling lengkap dari ketaatan, penyerahan diri secara mutlak kepada Allah, sebagaimana diharapkan terlaksana pada setiap manusia pada saat kematiannya, yang dipersiapkan seumur hidup. Sistem teologi Rahner, termasuk kristologinya, memang amat mengesan dan dapat menarik banyak pengikut. Sistemnya kokoh kuat dan bagian-bagiannya sukar dikritik. Namun demikian, tidak semua orang (teolog) dapat menelan pemikiran yang cukup abstrak dan berbelit-belit dalam bahasa yang tidak kurang berbelit-belit. Soal pokok ialah: Adakah pra-andaian pemikiran itu, struktur filsafatnya, benar dan kena? Bila dalam sistem Rahner orang menerima bahwa Allah dengan bebas mau memberikan diri kepada manusia yang bukan Allah, maka semuanya rupanya dapat dijabarkan: ciptaan (manusia), inkarnasi dan penyelesaian. Sesuai dengan kantianisme/idealisme Rahner menyamakan "ada" dan "ada sadar," sehingga apa yang (dapat) dipikirkan haruslah ada demikian. Apakah pra-andaian seluruh filsafat Jerman abad XIX dan XX benar? Kecuali itu, berhasilkah Rahner dalam kristologinya mempertahankan kesatuan Kristus dalam perbedaan, seperti ditegaskan dogma? Pikirannya kadang-kadang menjurus kepada adanya dua subjek dalam Kristus (ada "Aktzentrum" manusiawi dan ada "diri ilahi"), berarti kepada Nestorianisme. Bila, seperti dikatakan Rahner, Firman Allah memberi manusia Yesus eksistensinya, eksistensi Allah, miripkah kesatuan Yesus Kristus dengan kesatuan jiwa raga (Apolininarisme)? Kadang-kadang pikiran Rahner menjurus ke monophysitisme (yang dikritiknya habis-habisan). Sebab menurutnya seluruh realitas Yesus Kristus adalah realitas Allah. Kalau demikian, di manakah realitas manusia? Jika manusia Yesus Kristus, justru dan hanya sebagai manusia menjadi penyataan diri Allah, bukanlah pendekatan itu mirip dengan monophysitisme dahulu, hanya tekanan bergeser dari keilahian kepada manusia? Jika Yesus Kristus mau dilihat sebagai "puncak" dan "tujuan umat" manusia, bukankah Yesus Kristus hanya menjadi yang ulung di antara semua manusia, yang pada dasarnya dan hakikatnya sama. Yesus Kristus hanya realisasi unggul dari apa yang sebagai kemungkinan ada pada semua manusia? Mana dasarnya hanya Yesus Kristus disebut "puncak" semacam itu? Apakah Yesus Kristus ciptaan Rahner tidak mirip dengan Yesus Kristus ciptaan Arius dahulu? Apakah Yesus Kristus dalam sistem Rahner toh tidak menjadi tokoh mitologis belaka, ciptaan manusia, hasil struktur pemikiran K. Rahner? Dan juga boleh dipertanyakan: mana perbedaan antara Yesus Kristus dan manusia pada umumnya, mengingat pendekatan Rahner? Rahner mau mempertahankan bahwa perbedaan antara diri manusia Yesus Kristus dan diri manusia lain dapat dipikirkan sebagai berikut: Diri manusia lain sebenarnya tidak sepenuh-penuhnya diri manusia. Sebab manusia lain tidak berhasil sepenuh-penuhnya menyerahkan diri kepada Allah. Yesus Kristus sepenuh-penuhnya diri manusiawi oleh karena sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah. Dan justru itulah sebabnya mengapa diri manusia Yesus Kristus adalah diri ilahi. Tetapi kalau demikian duduknya perkara, toh muncul pertanyaan sebagai berikut: Manusia lain bukan sepenuh-penuhnya manusia? Bagaimana dengan Maria? Dan Yesus masihkah manusia seperti manusia lain? Dan kalau dalam penyelesaian terahkir manusia toh masih dapat menjadi manusia sepenuh-penuhnya seperti Yesus Kristus, mana perbedaan antara Yesus Kristus dengan manusia lain? Dalam tradisi sejak awal ada keyakinan bahwa Allah (dapat) menjadi manusia. Kebalikankah mau dikemukakan Rahner: manusia (dapat) menjadi Allah, meskipun atas dasar prakarsa Allah sendiri? Perbedaan antara Allah (transenden) dan makhluk rupanya dikaburkan, bahkan hilang sama seklai. Itukah yang dimaksudkan Paulus dengan berkata: Akhirnya Allah menjadi semua dalam semua (1Kor15:28)? Boleh juga dipertanyakan apakah dalam sistem Rahner kejadian historis yang serba kontingen masih dapat ditampung, tegasnya: dosa dan (kehidupan serta) kematian Yesus (penebusan). Menurut Rahner semuanya ditentukan oleh Allah secara bebas dan tidak tergantung. Kejadian-kejadian historis seolah-olah hanya penampakan, kategorialisasi menurut istilahnya, suatu bagan abadi dan atemporal pada Allah ialah Allah sendiri. Dan menurut Rahner Allah itu sebenarnya tidak dapat diketahui (theologia negativa memang menyolok pada Rahner). Maka bagaimana Allah yang tidak dapat diketahui dapat menyatakan diri, menawarkan diri kepada manusia dan oleh manusia sebagai manusia dapat diterima, berarti dengan sadar? Sebab menurut Rahner, manusia pada dasarnya "intellectus" berbadan dan berpengalaman. Kristologi seperti yang disajikan D. Wiederkehr (Entwurf einer system-atrischer Christologie, MS 111,1, 1970) mensistematisasikan, melanjutkan serta mengembangkan pikiran yang sedikit terserak-serak dilancarkan oleh K. Rahner dan ia juga terpengaruh oleh W, Pannenberg (Grundzüge der Christologie, 1966). Juga Wiederkehr kurang puas dengan kristologi skolastik, seperti menjadi tradisional. Ia berusaha menggabungkan menjadi suatu keseluruhan kristologi-kristologi seperti tampil dalam Perjanjian Baru, kristologi yang terungkap dalam dogma-dogma kuno yang mau diteruskan sambil dilampaui dan dengan demikian diharapkan kristologi lebih sesuai dengan alam pikiran modern. Menurut Wiederkehr kristologi mesti ditempatkan dalam rangka sejarah penyelamatan, sehingga kristologi statis (dua kodrat, satu diri) menjadi kristologi dinamis yang dapat menampung hal-ihwal kehidupan Yesus. Karena itu Wiederkehr berkata mengenai "peristiwa" (Geschehen) Allah dan "peristiwa" Kristus. Maka Yesus Kristus oleh Wiederkehr ditempatkan dalam rangka dinamika relasional antara Allah (Tritunggal) dan dinamika sejarah (umat) manusia. Yesus Kristus menjadi titik bertemu antara Allah dan (sejarah) manusia. Dan keseluruhan itu dirangkul oleh Allah Tritunggal dan berdasarkan Allah itu. Allah secara penuh dan secara intern (dalam Allah sendin) mengkomunikasikan diri dan itulah Allah-Anak, dan komunikasi, pemberian diri di dalam Allah sendiri dengan manusia Yesus dan dalam hal-ihwal-Nya menjadi sejarah sambil menciptakan manusia Yesus itu. Pemberian diri Allah menjadi sejarah, historis, dengan dan dalam pemberian diri manusia Yesus kepada (semua) manusia. Dan sebaliknya juga. Sejarah (umat) manusia oleh Allah Tritunggal, Pencipta, diarahkan kepada diri-Nya. Dinamika (umat) manusia itu memuncak dalam pemberian diri manusia Yesus kepada Allah. Dan pemberian diri manusia itu merupakan segi historis manusiawi dari pemberian diri Anak kepada Bapa di dalam Allah sendiri. Dinamika rangkap dua itu dalam Yesus yang dibangkitkan berjalan terus dan tiap-tiap manusia (dapat) diikutsertakan dalam dinamika itu. Dan itulah keselamatan manusia. |
|
Indeks artikel kelompok ini | Disclaimer ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota Dirancang oleh MEDIA,
1997-2001. |