|
Bab IV. Yesus Kristus di Dunia Yunani (abad
IV-VI)
1. Menuju Konsili Nikea
Dari kristologi abad I, yang serba majemuk dan karena itu
pun kabur, mulai berkembang dan timbul, selama abad II dan
awal abad III beberapa garis besar. Dalam pergumulan antara
pelbagai pendekatan, seperti adoptionisme, gnostik,
doketisme dan monarkianisme, hasil pertemuan warisan
jemaah-jemaah Kristen awal dengan alam pikiran Yunani yang
serba sinkretis, problematiknya mulai menjadi jelas. Masalah
pokok ialah: Bagaimana mempertahankan bahwa Yesus
benar-benar manusia (melawan gnosis dan doketisme) dan
benar-benar ilahi (melawan adoptianisme), dan serentak
mempertahankan monoteisme (monarkianisme). Dan apa yang
akhirnya dipertaruhkan dalam pergumulan itu ialah
keselamatan manusia, seperti khususnya ditekankan
Ireneus.
Hanyalah dalam pergumulan itu kristologi hampir saja
secara eksklusif menjadi kristologi dari atas. Dalam
pemikiran para cendekiawan Kristen perhatian semakin
bergeser dari soteriologi, karya penyelamatan Yesus Kristus
(yang tentu selalu menjadi latar belakang) kepada diri Yesus
Kristus sendiri. Dan semuanya berlangsung dalam alam pikiran
Yunani, yang semakin, sadar atau tidak sadar, dipakai. Dalam
alam pikiran itu problem yang paling penting ialah: Siapa
sebenarnya Yesus Kristus, apa itu Yesus Kristus? Guna
menjernihkan duduknya perkara semakin dirnanfaatkan filsafat
yang berpancar dari Plato (platonisme) dan Zenon (Stoa) yang
sendiri bercampur. Semakin tajam problematik sekitar Yesus
Kristus, Firman Allah (logos, yang berasal dari Kristologi
Yoh), "nous" ilahi, dalam kepra-adaan-Nya. Bagaimana relasi
Firman, logos ilahi itu dengan Allah yang mahaesa? Dan
masalah yang tidak kurang pelik ialah: bagaimana relasi
Firman ilahi, Anak Allah yang pra-existen itu dengan manusia
Yesus, orang Nazareth? Kristologi menjadi semakin spekulatif
dan abstrak.
Meskipun mulai timbul beberapa garis besar dalam
kristologi, namun refleksi atas fenomena Yesus dalam rangka
pemikiran Yunani toh masih juga simpang siur. Buktinya
Hippolytus dari Roma (± 235). Sama seperti Ireneus,
Hippolytus bergulat dengan apa yang dinilainya sebagai
"haeresis," bidaah, penyelewengan dari iman benar (buktinya
ialah karya Hippolytus: Philosophoumena, ialah Refutatio
omnium haeresium; Syntagma). Dalam kristologinya Hippolytus
menyalurkan tradisi dan pemikiran pendahulu-pendahulunya
(antara lain Yustinus, Athenagoras, Ireneus). Namun
demikian, Hippolytus sampai berkata bahwa Firman Allah
sebagai "pribadi" tidak kekal. Pada saat tertentu Firman itu
keluar dari Allah dan menjadi manusia. Dan pada waktu
menjadi manusia Firman itu barulah menjadi Anak Allah. Dan
tidak hanya Allah dapat menjadi manusia, tetapi juga seorang
manusia oleh Allah dapat dijadikan Allah. Maka tidak jelas
lagi apakah logos itu benar-benar ilahi atau makhluk saja,
Allah kedua oleh karena dijadikan Allah. Pikiran Novatianus
(± 250) dalam karyanya De Trinitate (Mengenai
Tritunggal) mirip dengan pikiran Hippolytus dan
kristologinya jelas subordinasionis: Logos yang mandiri
tidak kekal (bandingkan dengan Contra Haer. Noet.
10.11.15).
Selama abad II berkembanglah beberapa sarana untuk
menentukan mana iman kepercayaan Kristen yang benar. Dan
sarana utamanya, bahkan satu-satunya sarana ialah "tradisi"
yang berpangkal pada Yesus dan para rasul. Tradisi itu
disalurkan oleh jemaah-jemaah di bawah pimpinan seorang
uskup, khususnya uskup-uskup jemaah-jemaah rasuli. Hanya
sudah menjadi jelas pula bahwa uskup-uskup itu sendiri
kadang-kadang bingung dan tidak dapat dipercaya. Maka
tradisi sejati itu pun disalurkan melalui "regula fidei"
(kaidah iman), yakni ringkasan pokok-pokok inti iman
kepercayaan Kristen yang umum diterima oleh jemaah-jemaah.
Regula fidei mulai menjurus ke suatu "Syahadat." Misalnya
suatu ringkasan yang tersusun sekitar th. 150 (DS 1)
berbunyi sebagai berikut: "(Aku percaya) kepada Bapa,
Penguasa segala sesuatu, dan kepada Yesus Kristus, Juru
Selamat kita, dan kepada Roh Kudus, Parakletus, dan kepada
Gereja dan kepada pelepasan dosa-dosa." Selanjutnya
ditetapkan karangan-karangan mana termasuk ke dalam Kitab
Suci (Perjanjian Baru). Kanon Kitab Suci mulai ditentukan.
Kriteriumnya: Apakah karangan-karangan tertentu umum dipakai
oleh jemaah-jemaah Kristen sebagai berasal dari masa
rasuli?
Jadi "kaidah iman" tersebut serta Kitab Suci menjadi
pegangan bagi iman kepercayaan umat secara menyeluruh.
Itulah yang menjadi tolok ukur bagi pewartaan iman. Dan
dalam ibadat yang juga semakin berkembang (khususnya
Baptisan dan Ekaristi) iman itu dihayati (saksinya: Yustinus
dan Hippolytus). Dengan jalan itu iman kepercayaan Kristen
diteruskan. Hanyalah iman itu kurang tegas terungkap secara
konsepsual dan linguistik. Kecuali itu, juga ibadat umat
(yang belum seragam juga) terpengaruh oleh alam religius
Yunani yang serba sinkretis. Tidak sedikit unsur-unsur dari
religi Yunani itu menyusup ke dalam ibadat umat Kristen.
Refleksi atas iman kepercayaan Kristen, teristimewanya
sekitar Yesus Kristus, selama abad III meneruskan jalur yang
mulai ditempuh selama abad II. Dan selama abad III refleksi
itu menjadi ilmiah. Selama abad II para pemikir Kristen
(seperti Athenagoras, Yustinus) agak curiga terhadap ilmu,
khususnya filsafat Yunani (meskipun mereka sendiri
memanfaatkannya). Tetapi selama abad III, waktu umat Kristen
juga secara sosio-politik menjadi unsur penting dalam
masyarakat Yunani-Romawi, sikap itu berubah. Para pemikir
Kristen mengambil sikap positif terhadap ilmu filsafat
Yunani dan dengan senang hati memanfaatkannya untuk
memperdalam, menjernihkan dan mengungkapkan Iman kepercayaan
Kristen. Dalam hal itu mereka amat tertolong oleh suatu
pandangan yang sudah berkembang pada orang-orang Yahudi yang
berkebudayaan Yunani. Orang Yahudi itu sudah memperkenalkan
iman kepercayaan Yahudi (Perjanjian Lama) sebagai suatu
"filsafat/hikmat," bahkan sebagai filsafat yang tertua,
lebih tua daripada filsafat/hikmat Yunani. Filsuf-filsuf
Yunani yang tersohor berguru pada filsafat Yahudi. Maka
filsafat/hikmat Yunani boleh juga dipakai untuk
mengungkapkan iman kepercayaan Yahudi dan Kristen.
Dalam suasana itu muncullah "perguruan tinggi" teologi
Kristen. Dengan sengaja dan secara sistematik iman
kepercayaan Kristen di sana dikelola dan diajarkan untuk
mendidik "teolog." Berkembanglah dua "perguruan tinggi
teologi" (kategese) macam itu, yang masing-masing masih ada
cabangnya juga. Dua-duanya berkembang di kawasan timur
negara Roma. Dan itulah yang menyebabkan bahwa teologi,
khususnya kristologi, selama abad III-IV berkembang terutama
di kawasan timur itu. Di kawasan barat tidak ada sesuatu
yang sebanding. Tetapi adanya kedua perguruan tinggi itu pun
menyebabkan bahwa muncullah dua "mazhab" dalam teologi,
khususnya dalam kristologi. Selama abad III-IV kedua mazhab
itu bersaingan dan berusaha saling mengalahkan.
Perguruan tinggi pertama dan terpenting didirikan di kota
Aleksandria di Mesir. Sejak hari jadinya (oleh Aleksander
Agung th. 331 SM) kota itu menjadi pusat ilmu dan
kebudayaan, baik pada umumnya maupun bagi orang-orang Yahudi
dan kemudian bagi orang-orang Kristen. Pada th. 180 M sudah
ada perguruan tinggi teologi yang dikelola oleh Patenus.
Sesudahnya dipimpin oleh Klemens dari Aleksandria (±
th. 215) dan terutama oleh Origenes (± th. 253).
Origenes pada th. 232 membuka perguruan serupa di Kaisarea,
Palestina. Sejumlah besar tokoh teologi (dan gerejani)
keluaran perguruan di Aleksandria itu (antara lain
Dionysius, Pierius, Petrus dari Aleksandria, Didymus,
(Cyrillus). Mazhab Aleksandria itu bergerak dalam alam
pikiran filsafat yang berpangkal Plato dan terpengaruh oleh
gnosis Yunani. Dalam menafsirkan Kitab Suci mazhab ini
meneruskan eksegcse allegorik yang sudah dimanfaatkan para
filsuf untuk mengartikan mitos-mitos dan para ahli Yahudi -
misalnya Filo - untuk mengartikan Perjanjian Lama.
Perguruan tinggi teologi Kristen yang kedua berkembang di
Antiokhia di Siria. Kota ini pun sudah lama menjadi pusat
ilmu, filsafat dan kebudayaan Yunani. Perguruan tinggi
teologi Kristen itu didirikan pada tahun 260 oleh Lucianus
dari Samosata (± th. 312). Perguruan tinggi ini
mempunyai cabangnya di kota Edesa di Mesopotamia. Tokoh
teologi yang besar seperti Diodorus dari Tarsus, Meletius
dari Antiokhia, Johanes Khrisostomus, Theodorus dari
Mopsuestia, Nestorius dan Teodoretus dari Sirus dan Efraim
orang Siria adalah wakil mazhab Antiokhia itu. Mazhab ini
pun bergerak dalam alam pikiran Yunani, tetapi terlebih
terpengaruh oleh ilmu dan filsafat Arestoteles, bersifat
positives, kurang mistik dan lebih rasionalis daripada
mazhab Aleksandria. Dalam eksegese mazhab Antiokhia
menekankan segi historik dan harafiah Kitab Suci dan kurang
gemar akan allegorese.
Wakil pertama yang berbobot dari mazhab Aleksandria ialah
Ktemens dari Aleksandria (± th. 1225). Pemikirannya
tentang fenomena Yesus Kristus, kedudukan dan peranan-Nya,
meneruskan dan mengembangkan pemikiran Yustinus dan (kurang)
Ireneus. Klemenslah yang menentukan arah perkembangan mazhab
Aleksandria selanjutnya. Ia mempunyai hati yang lebar-lebar
terbuka bagi alam pikiran Yunani dan berusaha mengkristenkan
filsafat Plato dan gnosis Yunani. Bau gnostik misalnya
tercium dalam ucapan Klemens ini: "Mengenal dirinya ialah
mengenal Allah" (Paed. 3,1. 1.1). Dengan pendekatan positif
Klemens berusaha melampaui penyelewengan dalam iman Kristen
yang tercetus oleh alam pikiran Yunani (gnosis, doketisme,
monarkianisme). Pikiran-pikirannya tercantum dalam
karya-karya utamanya ialah Pendidik (Paedagogus) dan
Permadani (Stromata).
Kristologi Klemens tentu saja bertitik tolak Firman Allah
(logos ilahi) dalam kepra-adaan-Nya. Firman itu ialah Anak
Allah dan gambar Allah. Ia kekal abadi dan dengan-Nya segala
sesuatu dijadikan. Menurut Klemens, sesuai dengan filsafat
Plato dan Stoa, Firman itu meresap ke dalam segala sesuatu,
mengatur dan memimpin jagat raya sebagai akal dan jiwanya.
Semua manusia, khususnya para filsuf, menjadi peserta dalam
Firman ilahi itu (Protr 6.68.2). Pada saat tertentu Firman
atau Anak Allah itu menjadi nampak bagi manusia oleh karena
menjadi manusia. Dengan demikian Firman/Anak Allah serentak
ilahi dan manusiawi (Protr 1,7.1). Allah dalam manusia dan
manusia dalam Allah (Paed 3,2.1) ialah Yesus Kristus. Kalau
Klemens menyebut Yesus Kristus "Allah," maka sebutan itu
belum banyak artinya. Sebab menurutnya setiap orang yang
dengannya Firman ilahi diam bersama mendapat rupa "Firman"
dan menjadi Allah (Paed 3.1.2.5). Yesus Kristus, ialah
Firman Allah yang menjadi manusia, merupakan penyambung
antara umat manusia dan Allah (Paed 10,110.1). Allah-manusia
yang satu itu benar-benar menderita dan mati (Strom
5,16.5).
Firman dan Anak Allah yang terbungkus dalam manusia dari
darah dan daging (Quis Dives 37,3) dalam seluruh
eksistensi-Nya di dunia berperan sebagai "Pendidik" dan
"guru" (Paed 3,12.99.2). Dengan pendekatannya itu Klemens
mengkristenkan suatu gagasan yang amat penting dalam alam
pikiran Yunani dan sudah dipakai oleh Tit 2:11-12. Gagasan
itu ialah "pendidikan" (paideial). Pendidikan dalam
pendekatan Yunani ialah suatu jalan dan sarana penyelamatan,
sebab memberi "pengetahuan," gnosis, seperti juga diusahakan
para gnostik. Menurut Klemens dosa dasar manusia, yakni
Adam, ialah: meluputkan diri dari pendidikan ilahi oleh
Firman Allah) (Protr 11,111; Strom 6,12.96) dan
manusia-manusia lain dalam hal itu mencontoh Adam saja. Maka
Firman Allah menjadi manusia guna kembali mendidik manusia,
mengajar mereka, memberi gnosis/pengetahuan eksistential,
tentang Allah. Tentu saja - ini pun cocok dengan pikiran
Yunani - Allah tetap tidak tercapai, juga oleh Firman/Logos
yang menjadi manusia tidak. Barang siapa menerima pendidikan
dan pengetahuan itu disempurnakan dalam penyerupaan asli
dengan Allah, diilahikan dan akhirnya memandang Allah.
Sesuai dengan misalnya Ireneus, Klemens dapat berkata bahwa
Allah (Firman/Anak Allah) menjadi manusia, supaya manusia
menjadi Allah, ilahi dan Anak Allah. Tetapi maksud Klemens
lain. Firman yang menjadi manusia "mengajar" manusia
bagaimana ia dapat menjadi Allah (Protr 1,8. 4). Semuanya
itu berbau gnosis Yunani yang dikristenkan.
Klemens dari Aleksandria yang tentu saja mau meneruskan
tradisi mewartakan seorang Yesus Kristus Yunani. Ia
menonjolkan ciri ilahi Yesus Kristus sedemikian rupa,
sehingga ciri manusiawinya yang secara formal dipertahankan
nyatanya diserap oleh ciri ilahi. Klemens misalnya dapat
berkata (Strom 6,9.91.2) bahwa Yesus Kristus makan dan minum
bukanlah oleh karena membutuhkannya, sebab daya penyangga
Yesus ialah logos ilahi. Yesus hanya makan dan minum supaya
orang sekitarnya tidak mendapat kesan bahwa kejasmanian-Nya
hanya bayangan (phantasma) saja. Menurut Klemens manusia
Yesus sebenarnya bebas sama sekali dari segala nafsu. Itulah
cita-cita askese Yunani, apatheia.
Sehaluan dengan Klemens tetapi jauh melampauinya sebagai
teolog ialah Origenes, seorang imam dari Aleksandria (±
253/25). Dari semua tokoh teologi dalam sejarah hanyalah
Agustinus yang sebanding dengan Origenes. Dan meskipun di
kemudian hari dikutuk sebagai "tersesat" (secara resmi
barulah pada th. 543), namun pengaruh Origenes atas
pemikiran dan kehidupan umat Kristen besar dan luas sekali
dan berlangsung sampai dengan hari ini, tidak hanya di
bagian timur kekristenan, tetapi juga di bagian barat.
Sebagai teolog Origenes memang seorang "allround." Ia
seorang filsuf (platonis), seorang ahli kitab dan ahli
bahasa, seorang teolog dan seorang mistikus. Mungkin karena
kebesaran dan keunggulannya Origenes sejak awal menjadi
tokoh kontroversial.
Mula-mula Origenes, sebagai pengganti Klemens, menjadi
pemimpin perguruan tinggi teologi di Aleksandria. Tetapi
olen karena tidak disenangi uskupnya dan dipecat, maka
Origenes membuka perguruan serupa di Kaisarea, Palestina,
dengan dukungan uskup setempat (th. 230). Menjelang akhir
hidupnya oleh pemerintah (Decius) Origenes dijebloskan ke
dalam penjara dan disiksa dengan ngeri. Dan itu menyebabkan
kematiannya.
Pikirannya dituangkan ke dalam sejumlah besar tulisan
(konon sekitar 2000!) dan untuk kerjanya Origenes
menggunakan suatu staf besar (7 stenograf, 1 penulis,
sejumlah putri yang merias tulisannya). Ada karya raksasa di
bidang perkitabsucian yang disebut "Hexapla" dan di samping
itu sejumlah besar komentar atas Kitab Suci, yang
bermacam-macam jenisnya. Teologi sistematiknya terurai dalam
karya besar "Mengenai pokok-pokok utama" (iman kepercayaan
Kristen) (Peri Arkhon/De Principiis) dan sebuah karya
apologetis "Melawan Celsus" (seorang filsuf Yunani yang
menyerang kekristenan dalam karyanya "Alethinos Logos,"
pikiran yang benar).
Seperti ditegaskannya dalam kata pendahuluan karya "Peri
Arkhon Origenes mau setia pada tradisi, apa yang
diistilahkannya sebagai "pewartaan/praedicatio Gereja." Ia
sendiri mengumpulkan ajaran yang umum diterima (semacam
syahadat), tetapi sekaligus mencatat di mana ajaran tegas
tidak ada, belum ada. Hanya tradisi itulah mau dipikirkan
Origenes dengan hati-hati. Dengan maksud yang sama Origenes
berusaha menentukan mana teks Kitab Suci yang dapat
dipercaya (Hexapla) dan kitab-kitab mana yang umum diterima
sebagai Kitab Suci (kanon Kitab Suci). Memang Origenes dapat
tahu mana ajaran Gereja dan mana kitab-kitab yang umum
diterima. Ia membuat banyak perjalanan; ke Roma, Atena,
Antiokhia, Kapadosia, Palestina.
Hanya Origenes seorang teolog kreatif yang bernafas dan
hidup dalam suasana intelektual Yunani yang - juga secara
populer - menyerap filsafat Plato dan penerus-penerusnya.
Dan suasana itu justru paling intensif di Aleksandria. Di
sana orang-orang Yahudi sudah lama menyerap alam pikiran
itu. Karya-karya Filo dari Aleksandria dikenal Origenes.
Maka sama seperti dan malah lebih dari Klemens, Origenes
secara spontan terbuka bagi Pengaruh Yunani itu. Tendensi
yang sudah lama ada itu menjadi matang dalam pemikiran
Origenes. Ia berusaha dengan tuntas mengungkapkan
iman-kepercayaan tradisional dalam alam pikiran Yunani.
Untuk dapat mengikuti pikiran Origenes orang mesti ingat
akan latar belakang Yunani itu. Platonisme (dan Stoa)
mempunyai pandangannya sendiri terhadap dunia dan terhadap
manusia. Ada suatu kosmologi dan suatu antropologi khusus,
yang di masa itu memang tersebar luas.
Secara statik-vertikal dunia dipikirkan terdiri atas
beberapa tingkat. Tingkat paling atas ialah tingkat ilahi
(Yang Ilahi, Allah) yang oleh manusia tidak tercapai. Dari
padanya berasallah (dipikirkan dengan pelbagai cara) tingkat
tengah. Dan dari situ datanglah dunia materiil yang diamati.
Khususnya Plato dan penerusnya memikirkan halnya lebih
kurang sebagai berikut: Pada yang Ilahi ada "akal" (logos,
nous) yang secara ideal, berupa cita-cita,, mengandung
seluruh realitas. Cita-cita yang masih satu itu tercermin
dalam suatu dunia rohani intelektual. Dalam dunia rohani itu
cita-cita tersebut mengenai seluruh realitas menjadi
terpisah dan tersendiri. Akhirnya cita-cita itu secara
terbatas dan tidak sempurna tercermin dalam dunia yang
didiami manusia.
Manusia dipikirkan terdiri atas tiga (atau dua) unsur
tersendiri (bandingkan dengan 1Tes 5:23). Bersama-sama unsur
itu membentuk manusia seadanya. Ada akal (logos, nous,
pneuma) manusia, yang merupakan manusia yang sebenarnya,
peserta dalam logos/nous ilahi. Unsur kedua ialah "jiwa
(psykhe) prinsip hidup jasmani. Dengan jiwa itu akal
bergabung. Dan akhirnya ada badan yang merupakan unsur
rendah dalam manusia dan yang membatasinya. Badan itu
sebenarnya hanya beban saja bagi akal/logos, pneuma. Akal
(ataupun jiwa) sudah ada sebelum bergabung dengan badan,
jadi sebenarnya termasuk tingkat kedua, dunia rohani
tersebut.
Baiklah diingat kosmologi dan antropologi Yunani secara
mendasar berbeda dengan kosmologi dan antropologi yang
melatarbelakangi Kitab Suci Perjanjian Lama (kecuali Keb)
dan, pada umumnya, Perjanjian Baru. Dunia yang diciptakan
Allah dilihat oleh Kitab Suci sebagai serangkaian kejadian
dan manusia dilihat sebagai suatu kesatuan yang tentu ada
berbagai seginya, tetapi bukanlah sebuah "kemajemukan," yang
terbentuk dengan pelbagai unsur yang berdiri sendiri.
Adapun Origenes, dalam rangka pikiran Yunani tersebut ia
merefleksikan ajaran tradisional mengenai Yesus Kristus,
kedudukan dan peranan-Nya. Kosmologi dan antropologi Yunani
diadaptasikan pada kepercayaan Kristen tentang penciptaan.
Origenes tidak menerima bahwa dunia dan manusia, entah
bagaimana, kekal dan abadi. Dan Allah bagaimanapun juga
tidak termasuk jagat raya. Origenes menolak emanasi,
seolah-olah segalanya akhirnya semacam cetusan dari yang
ilahi. Tentu saja ajaran khas Origenes mengenai
"apokataiasis panton" (pemutihan segala sesualu) mirip
dengan pandangan Yunani bahwa segala sesuatu akhirnya
dipulihkan menjadi satu kembali. Tetapi Origenes mengartikan
pandangan itu secara soteriologis. Semua orang (termasuk
Iblis) akhirnya akan selamat. Kemudian mulailah lingkaran
berikut. Sebab - ini sesuai dengan Plato - menurut Origenes,
dunia (lingkaran) yang sekarang ada bukanlah yang pertama
dan bukanlah yang terakhir. Tetapi semuanya tidak kekal dan
ciptaan Allah.
Pemikiran Origenes bertitik tolak Firman ilahi, seperti
sudah lazim dalam tradisi Kristen-Yunani. Firman Allah dan
Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya disamakan dengan Hikmat
ilahi (In Yoh 1,20). Firman/Hikmat ilahi itu sezat dengan
Allah yang satu dan esa. Tidak terlalu jelas bagaimana
Origenes memikirkan relasi antara Firman/Hikmat ilahi dan
Allah. Allah (Bapa) dan Anak dikatakan dua "benda"
(pragmata) oleh karena ada Diri (Contra Celsum 8,12). Anak
disebut "sezat, sehakikat (homo-ousios) dengan Allah
(Adamantius 1,2). Origenes untuk pertama kalinya dalam
rangka kristologi memakai istilah "homo-ousios" itu, yang
sudah lama ada, khususnya di kalangan para gnostik. Maka
Origenes dapat menyebut Firman itu sebagai Allah (De Princ.
1 Praef 4). Namun demikian rupanya Origenes dengan istilah
itu mau mengatakan bahwa Firman itu sejenis dengan Allah,
dengan arti itu "Allah" berarti "ilahi." Tetapi Firman itu
rupanya tidak setingkat dengan Allah dan satu dengan Allah.
Rupanya Firman itu dipikirkan sebagai semacam "emanasi"
(kekal) dari Allah (Theognostus 1,2). Dan itulah kiranya
sebabnya mengapa Origenes menyebut Firman Allah itu sebagai
"Allah Kedua" (Contra Celsum 5,39), sama seperti Yustinus.
Pemikiran Origenes subordinaionis." Firman itu "lahir" dari
zat (ousia) Bapa (Theognostus), sehingga ada "dua benda"
(pragmata), dua "diri" (hypostasis) yang mandiri. (Contra
Cels 8,12).
Dengan Firman/Hikmat itu Allah menciptakan segala
sesuatu. Tetapi penciptaan itu terjadi dalam dua tahap.
Firman Allah, ialah Hikmat dan gambaran-Nya mengandung di
dalam diri-Nya segala cita-cita makhluk (In Yoh 1:29.22).
Dan dengan arti itu dunia sama kekal dengan Firman dan Allah
sendiri (De Princ. 1,2.10). Lalu dalam langkah pertama
diciptakan dunia rohani, yang terdiri atas cita-cita,
gambaran-gambaran, bagan segala makhluk. Itulah tingkat
tengah kosmos. Akhirnya menurut gambaran-gambaran itu
tingkat bawah dijadikan.
Firman/Anak Allah yang pra-existen itu benar-benar
menjadi manusia, secara utuh-lengkap, serupa dengan manusia
lain (Dep Princ. 2,6.2). Origenes menekankan bahwa pada
Yesus Kristus ada "dua kodrat," yang ilahi dan yang
manusiawi (Contra Celsum 3,28). Kedua kodrat itu
dipersatukan oleh Firman/Anak Allah itu. Dengan demikian
Firman/Anak Allah "menghampakan diri" dan Ia serentak Allah
(Ilahi) dan manusia. Dan berdasarkan dua "kodrat" itu pada
Yesus Kristus ada juga dua rangkaian hal ihwal/perbuatan,
yaitu ilahi dan yang insani (Contra Celsum, 7,17; 4,15). Dan
kedua itu bersatu (Contra Celsum 1,66; 2,9; 6,41) sedemikian
rupa, sehingga yang ilahi dapat dikatakan mengenai manusia
dan yang insani dapat dikatakan tentang Allah (Anak/Firman)
(De Princ. 2,6.6). Origenes menerima apa yang diistilahkan
sebagai "communicatio ideomalum," artinya: dua rangkaian
ciri (ilahi dan insani) tergabung dalam satu subjek sehingga
subjek itu dapat bergilir ganti disebut menurut ciri-ciri
yang berbeda itu, sehingga ciri-ciri yang berbeda itu
serentak dikatakan mengenai subjek yang sama. Misalnya:
Allah (ilahi) menderita (insani) dan: manusia (insani)
menciptakan (ilahi). Adapun sebabnya ialah: pelaku/subjek
dua rangkaian perbuatan/ciri itu satu dan sama. Hanyalah
pada Origenes halnya belum seluruhnya jelas, yaitu: Apakah
menurut Origenes subjek/pelaku benar satu dan sama, meskipun
ada dua rangkaian ciri? Sebab kadang-kadang orang mendapat
kesan bahwa Origenes memikirkan halnya seolah-olah semacam
campuran (Contra Celsum 1,66). Tapi bagaimanapun juga
Origenes menekankan bahwa Yesus Kristus, Firman/Anak Allah
benar-benar menderita, mati dan bangkit (Contra Celsum
2,16).
Menurut pendekatan Origenes Firman/Anak menjadi manusia
dalam dua tahap. Terlebih dahulu Firman/Anak Allah bergabung
dengan "jiwa" (akal/nous) yang sudah ada sebelum berbadan
(bandingkan dengan De Princ. 3,3.5). Penggabungan Firman
dengan "jiwa" itu terjadi pada saat jiwa itu dijadi-kan oleh
Firman menurut "gambaran Allah" ialah Firman ilu sendiri.
Jiwa Kristus selalu melekat pada Firman dan setia pada-Nya
tanpa kekurangan apa saja. Origenes menegaskan bahwa jiwa
itu selalu tertanam dalam Allah (melalui Firman), sehingga
segala apa yang dibuat, dilihat dan dirasakan jiwa itu
menjadi ilahi. Ia bersatu dengan Firman itu, seperti besi
yang dile-takkan ke dalam api bersatu dengan api itu. Dan
itulah sebabnya mengapa jiwa itu tidak berbalik dan tidak
berubah (De Princ. 2,6.6). Jiwa dan Firman itu menjadi satu
"roh" (pneuma) (De Princ. 4,4.4; 2,6.6). Dalam lang-kah
kedua jiwa yang bergabung dengan Firman itu, bergabung
dengan badan (De Princ. 2,6.3). Dengan demikian Firman/Anak
Allah menjadi se-nasib dengan manusia yang malang dan
berdosa. Itulah penghampaan diri Firman dan Anak Allah (De
Princ. 1 Praef 4). Menurut Origenes kebaikan (dan kasih)
Kristus paling nampak ilahi dan unggul ketika Ia merendahkan
diri dalam ketaatan sampai mati, sampai mati di salib. Di
situ lebih nampak daripada seandainya kesetaraan Anak dengan
Allah dianggap tidak dapat ditinggalkan atau seandainya
Kristus menolak menjadi Hamba demi kesela-matan dunia (In
Yoh 1:32). Oleh karena jiwa Kristus tetap lekat
seerat-erat-nya pada Firman, maka badan pun diikutsertakan
dalam ciri ilahi Firman melalui persatuan dan pencampuran.
Maka badan pun berubah menjadi ilahi (Contra Cels 3,41).
Maka titik sambungan Anak dan Firman Allah ialah jiwa Yesus
Kristus.
Dalam rangka yang sama Origenes memikirkan lebih lanjut
karya pe-nyelamatan Kristus yang diwartakan tradisi. Manusia
nyatanya ada dalam keadaan malang. Dan sebabnya ialah semua
jiwa dalam kepra-adaan-nya bersalah (De Princ 1,8.1), entah
bagaimana, dengan pelbagai tingkat (De princ 2,9.2). Sebab
itu tidak semua manusia sama malangnya. Sebagai hukuman jiwa
menjadi terkurung dalam badan. Dan badan dan jiwa tetap
bermusuhan satu sama lain (De Princ. 3,4.1). Satu-satunya
jiwa yang tidak berdosa dan selalu melekat pada Allah ialah
jiwa Kristus (De Princ. 2,6.5). Hanya karena kasih-Nya
kepada jiwa-jiwa lain Firman/Anak/Gambar Allah (bandingkan
dengan Contra Cels 8,12) menjadikan diri-Nya senasib dengan
manusia yang paling malang, yaitu dengan benar-benar
mengalami kematian di salib.
Yesus Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia,
menyelamatkan seluruh manusia. Origenes mengulang dan
memperuncing prinsip karya pe-nyelamatan yang menegaskan:
Apa yang tidak dipersatukan dengan Firman, tidak
diselamatkan pula (Dial. Her. 7). Namun demikian jelas bahwa
dalam pendekatan Origenes jiwa manusia dibebaskan dari badan
(seada-nya). Sesuai dengan tradisi Origenes mempertahankan
kebangkitan badan. Tetapi segera ia menambah: Badan
kebangkitan itu lain sama sekali dengan badan sekarang (De
Princ. 3,6.6; Contra Celsum 5,23).
Dalam rangka komentarnya atas Rm (3:8) Origenes dengan
panjang le-bar menguraikan tradisi yang mengartikan kematian
Yesus di salib sebagai korban pemulihan dan penyilih dosa,
korban pendamaian. Dosa-dosa manusia menuntut penyilihan dan
pemulihan. Dan Kristus dengan rela dan sebagai pengganti
orang berdosa dan Imam besar (In Yoh 6.53.273-274)
menawarkan diri menjadi korban pendamaian. Hanya mesti
diakui bahwa dalam pendekatannya ini Origenes menyatakan
diri lebih setia pada tradisi daripada pada pemikirannya
sendiri. Dalam kerangka pemikirannya sendiri gagasan "korban
Kristus" itu tidak terlalu cocok.
Origenes juga mengambil alih suatu pikiran yang sudah ada
(Yustinus) dan yang di kemudian hari menjadi laku sekali
(Ambrosius), khususnya dalam rangka khotbah. Pikiran itu
sangat mendramatisasikan kematian Yesus "demi untuk dosa
kita" sebagai (uang) tebusan. Manusia (jiwa) karena dosanya
menjadi budak dan milik Iblis. Iblis mendapat hak milik atas
manusia. Adapun Kristus Ia "menebus" manusia dengan membayar
sebagai uang tebusan darah-Nya (kematian-Nya) kepada Iblis,
sehingga manusia menjadi bebas dari genggaman Iblis.
Hanyalah Kristus sendiri diluput-Kan dari genggaman Iblis
dan Maut melalui kebangkitan. Iblis sedikit banyak merasa
dirinya tertipu. Sebab seandainya Iblis tahu bahwa Yesus
Kristus (sebab Allah) akan bangkit, pasti tidak menerima
bayaran itu. Ha-nya boleh dipertanyakan sejauh mana "drama"
itu oleh Origenes dinilai se-bagai "teologi" atau sebagai
retorik belaka. Pikiran dasar sebenarnya ialah: Dengan
kematian-Nya Yesus Kristus yang kuasa mengalahkan kuasa
Iblis dan Maut (In Yoh 1,32.233; 6,53.273-275). Itu
merupakan suatu pra-andaian untuk proses penyelamatan yang
direalisasikan Yesus Kristus.
Proses itu oleh Origenes dipikirkan lebih kurang sebagai
berikut: Dengan men-jadi manusia Firman/Anak Allah pada
dasarnya sudah mengilahikan manusia. Tetapi serentak Ia
membuka jalan penyelamatan bagi manusia. Dalam hal itu
Origenes meneruskan pikiran Klemens tentang Yesus Kristus
sebagai pendidik dan guru. Dalam hal ihwalnya sebagai
manusia Yesus Kristus, gambar Bapa, memperlihatkan
kesempurnaan Bapa kepada manusia. Ia menjadi "contoh," model
manusia yang langkah demi langkah diilahikan (Contra Celsum
8,17). Manusia yang percaya kepada Kristus menjadi peserta
Kristus dalam kekuasaan, kekuatan Allah, dalam Firman dan
hidup Allah. Berkat penyertaan tersebut dan pengetahuan
tentangnya manusia naik kepada Bapa (Contra Celsum 6,68).
Maka penyelamatan merupakan suatu proses yang maju dan
berkembang, baik untuk tiap-tiap orang maupun untuk seluruh
umat manusia, yang langkah demi langkah menuju
penyelesaiannya (De Princ. 3,6.6).
Jelaslah kristologi dan soteriologi Origenes benar-nenar
Yunani. Secara formal dan devosional Origenes mempertahankan
realitas historis Yesus dan realitas kemanusiaan-Nya.
Bagaimana tidak, mengingat Origenes menulis
komentar-komentar atas Injil-injil sinoptik. Ia pun
mempertahankan bahwa keselamatan mencakup seluruh manu.sia.
Namun demikian Origenes begitu menekankan keilahian Yesus
Kristus, sehingga - seperti pada Yoh - keilahian itu
terus-menerus menembus kemanusiaan. Kemanusiaan merupakan
semacam kaca yang sedikit memadamkan sinar cahaya keilahian,
sehingga dapat dipandang mata manusia. Dalam pendekatan
Origenes manusia Yesus, Orang Nazareth, akhirnya diserap
oleh Anak/Firman Allah (In Yoh 32,25.325). Juga keselamatan
oleh Origenes terutama dipikirkan sebagai "keselamatan
jiwa," keselamatan rohani. Origenes memang tidak menjunjung
tinggi badan manusia. Ia misalnya hanya melihat jiwa
(pra-existen) sebagai "gambar Allah'', seperti juga hanya
Firman pra-existen menjadi gambar Allah. Dan dunia materiil
oleh Origenes bisa disebut sebagai "kakus." Kendati
kesetiaannya pada tradisi, Origenes akhirnya toh amat jauh
dari Yesus, orang Nazareth, dan hidup-Nya di dunia ini di
tengah-tengah manusia.
Usaha besar para teolog (dari Aleksandria), khususnya
Origenes, belum juga berhasil menjernihkan suasana pemikiran
sekitar Yesus Kristus. Belum ada suatu kesepakatan tuntas,
kendati kemajuan yang tercapai. Bahkan pemikiran menjadi
semakin simpang siur, Memang ada semacam kesepakatan dasar
dalam kristologi. Kistologi dari atas sudah lama menjadi
lazim. Pusat perhatian ialah Anak Allah, Firman Allah dalam
kepra-adaan-Nya. Umum diterima bahwa Anak, Firman Allah,
mempunyai ciri ilahi. Ia sezat, sehakikat (homo-ousios),
berarti: sejenis, dengan Bapa, yaitu Allah yang Mahaesa.
Baiklah disadari bahwa yang di masa itu disebut Bapa, ialah
Allah yang esa dan tunggal. Dan itu sesuai dengan pikiran
Yunani yang sudah biasa menyebut Yang Ilahi, Allah, sebagai
Bapa. Hanya sebutan Yunani itu kurang cocok dengan pandangan
Alkitab. Dalam tradisi alkitabiah (Perjanjian Lama) Allah
yang esa ('elohim) tidak begitu saja dapat disamakan dengan
Yahwe, Bapa Israel, raja, orang benar. Umum diterima pula
bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia. Doketisme sudah
diatasi. Tetapi tetap tinggal masalah: Bagaimana relasi
antara Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan
Allah yang mahaesa? Sejauh mana, dengan arti mana, Ia mesti
disebut "sezat," "sehakikat" (homo-ousios) dengan Allah,
ialah Bapa? Jika Yesus Kristus disebut "Allah" (theos =
ilahi; Yesus tidak disebut "ho theos"), maka bagaimana
keesaan Allah dapat dipertahankan? Dan selanjutnya, masih
tetap tinggal masalah ini: Bagaimana relasi Anak Allah,
Firman Allah yang pra-existen, dengan manusia Yesus,
sehingga Yesus Kristus tetap hanya satu dan sama, tidak dua
tokoh.
Dan pemecahan lama atas masalah-masalah tersebut, kecuali
doketisme, masih tersebar luas. Monarkianisme (Noetus,
Praexeas, Sabellius), bahkan dalam bentuk dinamik-adopsianis
masih juga mendapat pembela. Itu terbukti oleh kasus Paulus
dari Samosata, uskup di Antiokhia (± th. 270). Sejauh
masih dapat diketahui, pikirannya lebih kurang sebagai
berikut: Firman Allah, Anak Allah dalam kepra-adaan-Nya
memang "sezat/sehakikat" (homo-ousios) dengan Bapa, ialah
Allah yang mahaesa. Tetapi Ia bukan suatu "pribadi"
(hypostasis) yang mandiri, melainkan berupa suatu kekuatan
ilahi, hikmat ilahi, firman dengan arti: perintah yang
berdaya. Pada suatu saat kekuatan/hikmat ilahi itu turun
atas Yesus, seorang manusia yang suci dan secara luar biasa
dikurniai. Berkat kekuatan ilahi yang ada pada-Nya, di
dalam-Nya, Yesus Kristus diangkat menjadi Anak Allah. Versi
monarkianisme (modalis), seperti disebarluaskan Sabellius
(± th. 210) masih tetap laku juga. Anak Allah, Firman
Allah hanya rupa, bentuk dari Allah yang mahaesa. Dalam
Yesus Kristus Allah mendapat rupa manusia dan nampak di
bumi. Dan itulah yang disebut "Anak Allah" atau "Firman
Allah." "Bapa" hanyalah nama bagi Allah Pencipta, "Anak"
nama bagi Allah yang nampak sebagai manusia dan "Roh Kudus"
ialah nama Allah yang menguduskan (rahmat).
Modalisme dalam kasus Paulus dari Samosata berbentrokan
dengan pendekatan yang didukung oleh pemikiran Origenes.
Origenes memang mati-matian menolak monarkianisme, sehaluan
dengan Tertullianus, Hippolytus dan Novatianus. Anak Allah,
Firman Allah yang sezat/sehakikat dengan Allah (Bapa) sejak
kekal ada, bukan sebagai kekuatan saja, melainkan secara
mandiri, berbeda dengan Bapa, sebagai "hypostasis" dan
"ousia" (kedua istilah ''hypostasis" dan "ousia" biasanya
searti). Meskipun demikian Anak Allah, Firman Allah berasal
dari Allah, yang karena itu disebut Bapa-Nya. Maka Anak
Allah, Firman Allah memang ilahi, tetapi tidak setingkat
dengan Bapa (Allah yang mahaesa). Ia disebut "Allah kedua,"
Pendekatan Origenes disuarakan oleh seorang imam dari
Aleksandria, Malkhion, murid Origenes, pada suatu sinode
uskup-uskup di Antiokhia (th. 268), yang menolak ajaran
Paulus dari Samosata, oleh karena menyeleweng dari iman
kepercayaan sejati, dari tradisi.
Tetapi bentrokan di Antiokhia tersebut sekaligus
menyingkapkan suatu kelemahan yang ada pada kristologi
Origenes. Terbawa oleh kosmologi dan antropologi Yunani
(platonis) Origenes memikirkan inkarnasi dalam dua tahap.
Firman Allah, Anak Allah yang sejak kekal ada dan sezat
dengan Bapa bergabung dengan jiwa (nous, akal) Kristus,
kemudian melalui jiwa Anak Allah itu bergabung dengan badan
yang sebenarnya hanya semacam bungkus, penjara bagi jiwa
(dan Anak Allah, Firman Allah). Pikiran Origenes tentang
jiwa yang pra-existen itu umum ditolak, juga oleh
pengikut-pengikut pikiran Origenes. Maka Malkhion (dan orang
yang sehaluan, seperti Hymeneus, uskup Yerusalem) melompati
saja langkah tengah tersebut. Mereka melihat hubungan antara
Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen, dengan manusia
Yesus seperti hubungan antara jiwa (nous, akal) dan badan.
Pada Yesus Kristus jiwa (nous) manusiawi diganti dengan
Firman Allah yang pra-existen. Logika pikiran itu tidak
dapat disangkal. Dalam antropologi Yunani (Plato, Stoa) akal
(nous, logos) manusia merupakan penyertaan dalam akal (nous,
logos) ilahi. Kalau logos sendiri menjadi manusia (seperti
pada Yesus Kristus), mengapa masih mesti ada suatu
"penyertaan" dalam "logos" yang sama? Badan Yesus hanya
menjadi sarana, alat untuk Firman Allah, sehingga pelaku,
subjek, hal ihwal dan perbuatan Yesus tidak lain kecuali
Firman Allah. Dengan cara demikian nampaknya secara tuntas
dipertahankan tradisi yang berkata bahwa Yesus Kristus satu
dan sama, bukan dua tokoh, subjek. Tetapi jelaslah keutuhan
kemanusiaan Yesus Kristus dikorbankan, malah apa yang
dikorbankan justru unsur yang dalam antropologi Yunani
membuat manusia menjadi manusia. Apa yang akhirnya muncul
hanyalah suatu doketisme, versi baru. Namun demikian
pemikiran Malkhion dan kawan-kawannya tidak boleh dikatakan
kurang konsisten dalam rangka antropologi Yunani itu.
Maka tidak mengherankan bahwa kristologi seperti
dipaparkan Malkhion menjadi kristologi yang dianut banyak
pengikut Origenes, dan malah oleh mereka yang cukup tegas
mengecam pikiran Origenes, seperti Eusebius, uskup Kaisarea,
dan Methodius dan Olimpus. Eusebius (± th. 339)
misalnya berkata (De eccl, Theol. 1,20.90) bahwa Firman
Allah berada dalam daging dan menggerakkannya, selaku jiwa,
dan daging menjadi alat bagi Firman. Pada saat Yesus mati
Firman itu meninggalkan daging (dan turun ke dunia orang
mati) (Dem.evang. 3,4.108). Apa yang dalam Alkitab dikatakan
mengenai jiwa Yesus sebenarnya mengenai Firman Allah (Dem.
evang. 10,8.503-504). Senada dengan penegasan Eusebius
Methodius dari Olimpus (± th. 311) berkata bahwa Yesus
seorang manusia yang penuh dengan Allah (Firman Allah) yang
terbungkus dalam kemanusiaan. Daging merupakan sarana bagi
Firman (Sympos. 3,4; 3,7). Yesus Kristus terdiri atas dua
unsur (seperti manusia terdiri atas dua unsur), yaitu Firman
dan daging (De res. 2,18).
Kristologi macam itu diistilahkan sebagai kristologi
"logos-sarks" (Firman-daging). Rumus itu diambil dari Yoh
1:14 (Firman menjadi daging). Tentu saja Yoh 1:14 (yang
barangkali berpolemik dengan doketisme) lain sekali
maksudnya. "Daging" pada Yoh 1:14 berarti: eksistensi
historis manusiawi yang sungguh-sungguh. "Daging" justru
menekankan keutuhan eksistensi manusiawi Yesus Kristus. Yoh
1:14 tidak berkata tentang "kemanusiaan" dengan arti
"kodrat," seperti yang dipikirkan filsafat Yunani, apa pula
tentang "daging" sebagai satu unsur "kodrat" itu. Dan bukan
Origenes yang melontarkan kristologi logos-sarks itu. Namun
demikian pemikirannya sedikit membuka pintu ke arah itu.
Masalah yang pada sinode di Antiokhia tahun 263
diperdebatkan, yaitu: hubungan antara Firman Allah dan
manusia konkret Yesus, orang Nazareth, tidak sampai
dijernihkan secara tuntas. Masalah hanya ditangguhkan saja.
Untuk sementara waktu pandangan Malkhion, yang sehaluan
dengan arah pikiran Origenes, menjadi laku. Masalah tidak
dipikirkan lebih lanjut, oleh karena perhatian para pemikir
bergeser kepada soal lain, yaitu hubungan Firman Allah, Anak
Allah yang pra-existen, dengan Bapa ialah Allah yang
mahaesa. Untuk waktu yang lama justru soal itu menjadi
hangat dan masalah-masalah lain hilang dari perhatian dan
penjernihannya ditangguhkan.
Biang keladi pergumulan dan bentrokan baru itu ialah
Arius (± th. 336) terdukung oleh seseorang yang mahir
dalam filsafat Yunani (sofis) bernama Asterius. Arius
seorang imam di Aleksandria, tetapi berasal dari Antiokhia
dan di sana berguru pada Lucianus dari Antiokhia, pendiri
perguruan tinggi teologi (katekese). Rupanya Arius juga
berkenalan dengan Paulus dari Samosata. Maka bentrokan yang
terjadi sekaligus bentrokan antara mazhab Aleksandria dan
mazhab Antiokhia, yang bersifat rasionalis-positivis. Pun
pula bentrokan di Antiokhia pada tahun 268 sudah diwarnai
oleh dua aliran besar dalam teologi Kristen di masa itu.
Suatu unsur lain yang berperan besar dalam bentrokan yang
dicetuskan Arius dan berlangsung lama itu ialah unsur
politik. Menjelang akhir abad III dan awal abad IV umat
Kristen oleh kaisar-kaisar Roma (Diokletianus, Decius,
Valerianus) dilawan dengan kekerasan. Tetapi pada tahun 312
Kaisar Konstantinus berubah haluan dan malah mulai mendukung
agama Kristen. Kaisar itu menyadari bahwa agama itulah yang
mempunyai masa depan. Agama Kristen oleh Konstantinus
dinilai sebagai unsur pemersatu negara. Itulah sebabnya
Kaisar, yang menganggap dirinya sebagai "Imam Besar," tidak
segan campur tangan dalam pertikaian panas pada umat
Kristen, khususnya sekitar Yesus Kristus. Umat Kristen,
pertama-tama para uskup, tidak menolak campur tangan kaisar
serta "pertolongannya" itu. Maklumlah pada umat Kristen
belum ada sebuah instansi pusat yang sungguh-sungguh
berkewibawaan dan berwewenang, kalaupun peranan uskup Roma
semakin tampil ke depan.
Pertikaian pada umat Kristen tersebut memperlihatkan juga
bahwa pemikiran para umat Kristen agak kabur, simpang siur
dan tidak menentu. Sekaligus pertikaian yang tercetus oleh
Arius itu memperlihatkan bahwa kerangka pemikiran Yunani
(platonisme) yang sudah lama dipakai pemikir Kristen kurang
memadai untuk mengkonsepsualkan dan secara linguistik
merumuskan iman kepercayaan Kristen. Adaptasi iman
kepercayaan Kristen pada alam pikiran Yunani menempuh saat
krisisnya yang parah, jalan buntu.
Bagaimana persis pikiran Arius sendiri kurang diketahui
dengan pasti. Semua tulisannya (yang hanya sedikit),
khususnya "Thalia/Perjamuan" hilang. Hanya kepingan-kepingan
terpelihara melalui kutipan-kutipan pada orang-orang lain
yang menolak pendekatan Arius, khususnya Athanasius. Agaknya
pikiran Arius lebih kurang sebagai berikut: Allah/Yang ilahi
secara mutlak esa, tunggal, transenden, tak tercapai oleh
manusia, dan menjadi asal usul segala sesuatu (Surat kepada
Aleksander, 16). Sesuai dengan kosmologi Yunani Arius
mengatakan bahwa Allah yang esa dan transenden itu
menciptakan segala sesuatu secara bertahap (sebab tidak
dapat langsung berhubung dengan dunia material) (Thai. 5).
Ciptaan pertama dan utama ialah Firman Allah (yang tidak
termasuk dunia ilahi dan pun pula tidak termasuk dunia
jasmani) dan secara metafor Firman itu boleh disebut "Anak
Allah" (Thai. 6). Firman itu tidak "sezat/sehakikat
(homo-ousios) dengan Allah (Thai. 6), tidak secara langsung
mengenal Allah, tidak sama dengan firman dan hikmat yang ada
pada Allah (imanen) (Thai. 5). Firman tercipta itu tidak
kekal dan abadi, meskipun ada sebelum dunia (dan waktu), dan
dijadikan dari ketidakadaan, seperti makhluk-makhluk lain.
Firman itu seluruhnya tidak mirip (an-homoios) dengan Allah.
Pokoknya Firman itu ada awalnya, sehingga ada pernahnya
Firman itu tidak ada (Thai. 5). Selanjutnya Firman, makhluk
utama dan utama, sebagai "demiurg" dan penengah antara Allah
dan jagat raya menciptakan dunia. Rupanya Arius juga
menjelaskan inkarnasi Firman itu sebagai berikut: Firman itu
bergabung dengan manusia Yesus Kristus begitu rupa sehingga
mengganti jiwa (akal, nous, logos) manusiawi dan menjadi
penggerak (subjek) kemanusiaan (daging) Yesus. Jadi Arius
menjadi penganut kristologi Logos-sarks.
Jelaslah dalam pikiran Arius tersebut tergabung berbagai
unsur yang sudah lama ada dalam alam pikiran Yunani dan
sudah menyusup ke dalam pikiran Kristen sekitar fenomena
Yesus. Keesaan dan transendensi mutlak Allah yang tidak
dapat diketahui makhluk mana pun juga sudah menjadi pikiran
lebih kurang umum. Itulah "Theologia Negativa" yang terkenal
itu. Gnosis sudah lama menekankan bahwa tidak ada hubungan
langsung antara Allah/Yang ilahi dan dunia/manusia. Mesti
ada (beberapa) penengah antara Allah dan dunia. Gagasan
bahwa jiwa (nous, logos) manusiawi pada Yesus Kristus
diganti Logos ilahi, sudah lazim di kalangan para pengikut
Origenes. Arius menjadi paling radikal dengan penegasannya
bahwa Firman Allah, Anak Allah, adalah sebuah makhluk,
ciptaan, dan tidak kekal-abadi. Dengan cara itu Arius secara
"mendasar memisahkan Allah dari dunia dan manusia.
Akibatnya: keselamatan sebagaimana secara tradisional
diterima iman kepercayaan Kristen ditiadakan. Tetapi
radikalisme Arius itu hanya memperuncing suatu pendekatan
yang sudah lama tersebar luas pada umat Kristen, yaitu apa
yang diistilahkan sebagai "subordinasionisme." Firman
Allah/Anak Allah memang sezat/sehakikat dengan Allah yang
esa sehingga benar-benar "ilahi." Namun demikian Firman
tidak setingkat dengan Allah. Tetapi kalau demikian duduknya
perkara, Firman itu masih boleh dikatakan Allah? Dalam
pikiran Arius tidak ada pilihan lain kecuali mengatakan
Firman itu adalah ciptaan, makhluk, sesuatu di tengah Allah
dan makhluk-makhluk lain.
Memang pikiran Arius itu tidak serba baru. Ada
perintisnya, meskipun belum begitu jelas dan tuntas.
Dionysius (± th. 264), uskup Aleksandria dan pengikut
Origenes, dalam melawan modalisme (Sabellius) pernah
merumuskan pikirannya (ada tiga hypostaseis yang mandiri
pada Allah yang mahaesa) begitu rupa, sehingga memancing
reaksi. Orang berkesan bahwa Dionysius menyangkal kekekalan
Anak Allah, bahwa memisahkan Anak dari Bapa dan menyatakan
Anak sebuah makhluk yang pada prinsipnya tidak berbeda
dengan ciptaan-ciptaan lain. Cepat-cepat Dionysius, antara
lain atas desakan uskup Roma, Dionysius (± th. 268),
membetulkan perumusannya. Dionysius dari Aleksandria,
sehaluan dengan pikiran Origenes, sangat menekankan bahwa
sejak kekal ada tiga (Bapak, Anak, Roh) hypostaseis yang
mandiri yang memang sezat/sehakikat (homo-ousios). Tetapi
"ousia" (zat/hakikat) itu oleh Dionysius disamakan dengan
Allah yang mahaesa. Maka pertanyaannya ialah: Apakah
Dionysius tidak memperbanyak Allah yang mahaesa, sehingga
ada dua (tiga) Allah serentak? Paling tidak uskup Roma,
Dionysius (bandingkan dengan DS 112), merasa prihatin dan
curiga terhadap pikiran Dionysius dari Aleksandria. Uskup
Roma dalam hal ini jelas berguru pada Novatianus yang
menekankan keesaan Allah dan uskup Roma kuatir kalau-kalau
keesaan Allah dikurangi oleh pikiran uskup Aleksandria. Dan
memang justru dalam hal ini nampak perbedaan pendekatan
Barat/Latin dengan pendekatan Timur/Aleksandria. Barat
menekankan keesaan Allah, sehingga mesti dijelaskan
bagaimana kesamaan Anak, Bapa (dan Roh Kudus) dengan Allah
tidak mengurangi kemandirian Bapa, Anak dan Roh itu secara
modalis. Sebaliknya Timur menekankan kemandirian dan
perbedaan Allah (Bapa) dengan Anak (dan Roh), sehingga
tinggal dijernihkan bagaimana ketiga itu tetap satu dan
Allah yang mahaesa tidak diperbanyak menjadi tiga Allah.
Uskup Roma tentu saja, sesuai dengan tradisi, mempertahankan
bahwa Allah adalah esa dan Anak (serta Roh Kudus) yang
mandiri selalu bersatu dengan Allah. Tetapi ia pun tidak
berhasil secara tuntas menjernihkan duduknya perkara, Sebab
keterangannya bahwa ketigaan ilahi seolah-olah dipadatkan
dan dikumpulkan dalam Allah yang mahaesa sebagai puncaknya
tidak amat jelas.
Adapun Arius, ia secara radikal memecahkan masalah.
Secara mutlak ia mempertahankan keesaan Allah, yang
bagaimanapun juga tidak dapat diperbanyak atau dibagi-bagi.
Konsekuensinya: Anak (dan Roh) bukan Allah, melainkan
makhluk. Pikiran Arius sangat rasional dan jelas. Rahasia
menjadi jernih, berarti: kepercayaan Kristen menjadi pikiran
murni, cocok sama sekali dengan kosmologi dan antropologi
Yunani. soteriologi tidak atau kurang merepotkan Arius.
Justru karena jernihnya itu tidak mengherankan bahwa pikiran
Arius amat menarik.
Memang sampai dua kali Arius dinyatakan menyeleweng dari
iman kepercayaan Kristen yang benar. Yaitu oleh suatu sinode
uskup-uskup di Aleksandria (th. 318/320) dan di Antiokhia
(th. 325). Sinode di Antiokhia itu diketuai Uskup Hosius
dari Corduba, penasihat rohani Kaisar Konstantinus. Itu
membuktikan keprihatinan Kaisar. Uskup, atasan Arius
sendiri, yaitu Aleksander dari Aleksandria (± th. 326)
yang oleh Arius diserang sebagai modalis (Sabellius),
memimpin perlawanan. Aleksander sendiri termasuk mazhab
Aleksandria dan menganut pikiran Origenes. Menurutnya Yesus
Kristus, gambar Allah, Anak Allah, kekuatan, Firman dan
hikmat Allah yang pra-existen, merupakan suatu "pribadi"
(hypostasis) dan "kodrat" (physis) mandiri, berbeda dengan
Bapa dan sehakikat dengan Bapa (bandingkan dengan Ep. ad
Alex. Constant. 4; 9; 7; 12). Firman itu (sejak kekal)
berasal dari Bapa, lahir dari-Nya. Tetapi belum jelas pula
bagaimana hubungan Firman Allah dengan Allah yang mahaesa
(Bapa). Sehaluan dengan Origenes Aleksander tetap
subordinasionis. Anak Allah ditempatkan antara Allah yang
Mahaesa dan ciptaan (Epist.ad Alex, Const 11), tetapi bukan
di pihak ciptaan melainkan di pihak Allah.
Arius yang di Aleksandria dan Antiokhia ditolak, mendapat
dukungan pada uskup-uskup lain, khususnya pada Eusebius,
uskup Nikomedia (± th. 341) di Asia Depan, dan Eusebius
(th. 320), uskup di Kaesarea, Palestina. Oleh sebuah sinode
uskup-uskup di Nikomedia dan suatu sinode uskup di Kaisarea
Arius "direhabilitasikan." Eusebius, uskup Kaisarea, menjadi
pemimpin kelompok uskup-uskup yang mendukung Arius. Dan
pandangannya tentang Yesus Kristus memang cukup senada.
Menurutnya Allah secara mutlak esa dan tunggal dan tidak ada
apa saja yang setingkat (De eccl. theol. 2,14). Yesus
Kristus Gambar, Firman dan Anak Allah memang pra-existen (De
eccl. theol 2,14) dan menjadi penengah dalam penciptaan
jagat raya (De eccl. theol. 1,13.1). Firman itu pantulan
cahaya abadi (Allah) dan sebagai gambar Allah boleh disebut
Allah (ilahi), tegasnya: Allah kedua. Namun demikian Ia
bukan Allah sesungguhnya, bukan "sezat/sehakikat"
(homo-ousios) dengan Allah (Bapa) dan tidak sekekal (Dem.ev.
4,3.7; 5,1.29; 4,3.5). Pada ketika tertentu Ia berada berkat
kehendak Allah yang khusus (Dem.ev. 4,3.7), meskipun tidak
dijadikan dari yang tidak ada (nihilo) seperti
makhluk-makhluk. Kalau Yesus Kristus dikatakan "satu" dengan
Bapa (Allah) (Yoh 10:30) maka artinya ialah: Anak menjadi
peserta dalam kemuliaan Bapa, mirip dengan orang-orang suci
lainnya(De eccl.theol. 3,19).
Maka sekitar tahun 325 di kawasan timur negara Roma ada
dua kelompok uskup (sekeliling Aleksander dari Aleksandria
dan sekitar Eusebius dari Kaisarea) yang bertikai satu sama
lain, saling menuduh dan saling mengutuk, Selanjutnya Kaisar
Konstantinus yang memprihatinkan kesatuan negara
mengumpulkan semua uskup (atas beaya negara) untuk
mengadakan suatu sinode menyeluruh di kola Nikea, Asia
Depan. Itulah konsili ekumenik yang pertama datam sejarah.
Pada saat itu tentu saja belum dinilai secara demikian.
Untuk pertama kalinya Gereja sebagai suatu kesatuan dan
dengan seluruh kewibawaannya mencoba secara konsepsual dan
linguistik mengungkapkan secara tegas iman kepercayaan
tentang (salah satu segi) Yesus Kristus.
Biasanya konsili Nikea dihubungkan dengan dogma mengenai
Allah Tritunggal. Tetapi itu sebenarnya kurang tepat. Yang
dipertaruhkan dan diperdebatkan bukan Allah Tritunggal,
melainkan Yesus Kristus. Dogma Allah Tritunggal belum ada di
masa itu, meskipun kepercayaan itu sejak awal dihayati.
Konsili Nikea suatu konsili kristologis. Hanya konsili itu
agak terbatas dalam pendekatannya. Sebab apa yang ditentukan
ialah hubungan Anak Allah, Firman Allah yang pra-existen,
dengan Allah. Tentu saja tidak lepas dari Yesus Kristus
secara menyeluruh. Hanya satu segi saja yang disoroti.
Hubungan Anak Allah, Firman Allah dengan manusia Yesus tidak
sampai dijernihkan, apa pula arti dan makna penyelamatan hal
ihwal, penderitaan dan kematian Yesus. Dalam hal itu tradisi
saja yang diteruskan tanpa dipikirkan lebih lanjut. Tentu
saja ada kesadaran bahwa dalam seluruh debat dan pertikaian
yang mau diakhiri konsili itu, keselamatan manusialah yang
dipertaruhkan. Tetapi segi itu tidak dipertegas. Maksud
konsili Nikea ialah menyaring dari kekaburan dan perbedaan
pendapat yang berkecamuk, apa yang sebenarnya sejak awal
(tradisi) diimani umat Kristen dan dalam praktek (khususnya
ibadat baptisan) dihayati dan diakui. Memang syahadat yang
dipakai dalam ibadat bukan teologi melainkan homologi. Hanya
iman itulah mau diungkapkan dan dirumuskan konsili Nikea
demi persatuan umat dalam iman. Tetapi oleh karena bergerak
dalam alam pikiran Yunani (Plato, Arestoteles, Stoa), maka
iman kepercayaan tradisional - dan dengan demikian Yesus
Kristus sendiri - dirumuskan dalam alam pikiran itu dan
dengan istilah teologis yang dipinjam dari alam pikiran
Yunani itu, meskipun arti dan isi istilah itu diubah
seperlunya.
|