| |
II. FIRMAN ALLAH1. Konsep Firman Allah menurut Karl BarthDalam membahas di atas ini tentang keilhaman, kita mencatat bahwa pada umumnya para ahli teologia Protestan pada abad kedua puluh ini agak mengabaikan konsep keilhaman. Konsep yang jauh lebih laku ialah konsep Firman Allah. Konsep Firman Allah ini telah dibahas dengan teliti dan panjang-lebar, terutama oleh Karl Barth. Bahkan teologia Karl Barth itu telah disebut sebagai teologia Firman Allah. Kita tak mungkin di sini memberikan suatu uraian yang mendetail (terperinci) tentang perkembangan teologia Karl Barth. Cukuplah, kalau kita mencatat garis-garis-umum teologia yang disebut "Barthian" itu. a. Firman Allah = Yesus KristusMungkin kaum awam, kalau diminta definisinya tentang arti istilah "Firman Allah," akan menyamakannya dengan istilah "keilhaman" Alkitab. Istilah Firman juga berarti bahwa Alkitab itu berasal dari Allah serta merupakan penyataan kehendakNya, dan karena itu pastilah bebas dari segala macam kesalahan. Sedangkan pendefinisian yang demikian ditolak oleh para ahli teologia. Ahli teologia menekankan bahwa yang dinyatakan Allah dalam proses penyataan, ialah Allah sendiri. Allah menyatakan Diri dalam FirmanNya. Dan Firman Allah ialah Yesus Kristus. Itu berarti bahwa pada prinsipnya, dan terutama, Firman Allah itu bukanlah Alkitab, melainkan Yesus Kristus sendiri. Di dalam Yesuslah (menurut Injil Yohanes) Firman Allah menjadi daging. Rumusan yang demikian tidak berarti bahwa Yesus Kristus, Firman Allah itu, dapat ditanggapi atau didekati terlepas dari Alkitab. Hubungan antara Yesus dengan Alkitab itu dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep "kesaksian." Alkitab merupakan saksi mutlak yang menyaksikan (memberi kesaksian tentang) Yesus Kristus. Alkitab mengandung kesaksian dari pihak mereka yang merupakan saksi-saksi Yesus. Kesaksian itu tidak membenarkan Alkitab, melainkan membenarkan Dia yang dibicarakan dalam Alkitab itu. Jadi inti penyataan Alkitab adalah bukan Alkitab sendiri, melainkan Oknum dan karya-karya yang diuraikan dalam Alkitab. Itu berarti bahwa Alkitab tidaklah menjadi "kitab berupa penyataan"; karena Allah tidak mewahyukan kitab-kitab, pasal-pasal, kalimat-kalimat dan ayat-ayat, melainkan Allah menyatakan Diri. Jadi adalah termasuk kesalahan, kalau kita mengatakan bahwa Alkitab merupakan penyataan: yang tepatnya, ialah bahwa Alkitab merupakan kesaksian tentang penyataan Allah. b. Alkitab sebagai laporan historis dan kesaksian-imanTetapi walaupun Alkitab merupakan kesaksian yang diberikan oleh manusia-manusia, namun kesaksian yang terkandung di dalam Alkitab itu memanglah mutlak perlu. Kesaksiannya perlu, justru karena cara yang dipakai Allah dalam menyatakan Diri; yaitu Dia tidak menyatakan diri melalui konsep-konsep yang bersifat universal melainkan melalui kejadian-kejadian di atas panggung sejarah. Allah menyatakan Diri melalui suatu rentetan kejadian-kejadian, pada saat dan tempat tertentu dalam proses sejarah. Maka oleh karena itulah, adanya laporan tentang peristiwa-peristiwa tersebut memang mutlak perlu, supaya kita dapat mendekati penyataan tersebut. Bahkan bukan hanya demikian; Alkitab tidak hanya merupakan kesaksian yang mutlak perlu, melainkan juga merupakan kesaksian yang tepat dan cocok. Karena isinya bukanlah kesaksian-historis begitu saja, melainkan suatu reaksi-dalam-iman terhadap penyataan Allah. Dengan perkataan lain, para pengarang Alkitab tidak merupakan saksi-saksi obyektif (begitu saya) tentang kejadian-kejadian yang tidak kena (relevan) kepada mereka pribadi, melainkan mereka termasuk manusia yang percaya bahwa Allah telah berbicara kepada mereka melalui kejadian-kejadian tersebut. Itu berarti bahwa, walaupun Firman Allah itu tidak identik dengan Alkitab, Alkitab tokh merupakan suatu jembatan yang mutlak perlu yang mengantar kita kepada Firman Allah, sedemikian rupa, hingga tak mungkinlah kita mendengar Firman Allah itu kalau tidak dengan perantaraan Alkitab. c. Firman yang berbentuk tigaKarena duduknya perkara memanglah demikian, maka tidaklah kurang tepat, kalau Alkitab itu sendiri juga disebut "Firman Allah," walaupun bukan dalam arti-istilah yang primer, melainkan dalam arti sekunder. Satu rumusan yang dipakai Karl Barth tentang hal ini, ialah konsepnya bahwa Firman Allah mempunyai bentuk rangkap-tiga. Bentuk-primer Firman Allah ialah Yesus Kristus sendiri, Sang Firman yang dinyatakan. Bentuk-sekunder Firman Allah adalah skriptura dalam bentuk tertulisnya. Sedangkan bentuk ketiga ialah Firman yang berupa kerygma gereja, firman dalam bentuk khotbah. Ketiga bentuk tersebut adalah berhubungan-erat satu sama lain. Sang Firman, Yesus Kristus, hanya berbicara bilamana Ia disaksikan oleh skriptura dan diberitakan dengan iman oleh gereja. Alkitab merupakan Firman Allah hanya sebagai kesaksian tentang Allah yang menyatakan Diri dalam Yesus Kristus itu. Bahkan Alkitab hanya merupakan Firman Allah, bilamana diterima dengan penuh iman dan diberitakan dalam gereja dan oleh gereja. Di pihak lain, pemberitaan gereja hanyalah merupakan Firman Allah bilamana pemberitaannya itu sungguh-sungguh mengabdi kepada Firman Allah di dalam Yesus Kristus, dan mendasarkan diri pada Alkitab yang menyaksikan (memberi kesaksian tentang) Yesus Kristus itu. d. Alkitab "menjadi" Firman AllahSuatu konsep lain yang sering muncul dalam hubungan dengan ide-ide Karl Barth, seperti yang diuraikan di atas ini, ialah konsep bahwa skriptura tidak "merupakan" Firman Allah melainkan "menjadi" Firman Allah. Dengan perkataan lain, Alkitab tidak merupakan suatu eksistensi yang statis, yang identik dengan Firman Allah, melainkan sesuatu yang dapat menjadi dinamis, yang dapat menjadi hidup, dan oleh karena itu menjadi Firman Allah. Rumusan yang demikian memberikan gambaran yang lebih bersifat eksistensialis, yaitu bahwa Alkitab memang bersatu dengan Firrnan Allah, namun tidak identik dengan Firman Allah itu. Senada dengan rumusan yang demikian, seorang teolog Katholik modern4 berbicara tentang hal skriptura itu menjadi Injil:
e. Alkitab bersifat ilahi dan manusiawiRumusan yang lain lagi, yang terrnasuk lingkaran ide-ide ini, ialah bahwa Alkitab mempunyai dua aspek, aspek kemanusiaannya dan aspek keilahiannya. Penggambaran kepribadian Kristus menurut Kristologi tradisional, diambil sebagai pola dalam hal ini. Kristus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia; maka sejajar dengan itu Alkitab adalah sungguh-sungguh Firman Allah, dan sungguh-sungguh firman manusia. Dalam rumusan demikian, kedua istilah yang dipakai itu tidaklah menunjuk kepada suatu pembagian bahan-bahan Alkitab atas bagian ilahi dan bagian manusiawi, melainkan merupakan muka dan balik dari satu konsep. (Bandingkan rumusan kristologi, yang tidak mengatakan bahwa bagian-bagian tabiat Kristus mengandung keilahian, sedangkan bagian-bagian lainnya mengandung kemanusiaan). Seluruh Alkitab merupakan firman manusia, sehingga dipengaruhi oleh ketegangan-ketegangan, kelemahankelemahan, dan kesalahan-kesalahan yang selalu melekat pada hasilkarya manusia. Itu berarti bahwa ditinjau dari segi kemanusiaannya, Alkitab tidak berstatus lebih tinggi-dibandingkan dengan buku-buku lain, sehingga patut, bahkan wajib, diselidiki dengan metode seperti yang dikenakan kepada buku-buku lain. Tetapi ditinjau dari segi lain, seluruh Alkitab juga merupakan Firman Allah. Itu berarti bahwa Alkitab mengandung suatu pemberitaan yang tidak timbul dari kebudayaan manusia begitu saja, bahwa pemberitaannya pun tidak imanen dalam kebudayaan manusia, maka oleh karena itu, Alkitab harus diselidiki dengan metode-metode yang peka terhadap kemungkinan mendengarkan Firman Allah itu. 2. Keuntungan-keuntungan dalam memakai istilah Firman AllahKonsep-konsep, yang kita uraikan di atas ini, yang menggunakan istilah Firrnan Allah, kalau ditinjau secara sepintas lalu, kelihatannya berhasil mengatasi banyak persoalan rumit yang kita hadapi, bila kita memikirkan status Alkitab. Dengan pengistilahan Firman Allah itu, penting-mutlaknya Alkitab mendapat penekanan yang layak, namun bahaya pendewaannya dielakkan. Sifat kemanusiaan dan sifat kehistorisan Alkitab diakui, tanpa mengurangi atau meremehkan fungsi Alkitab sebagai pengantara penyataan. Unsur penyataan dalam Alkitab ditaklukkan kepada unsur yang lebih prinsipal lagi, yaitu karya Allah dalam menyatakan Diri. Namun dipertahankan juga prinsip mutlak-perlunya peranan Alkitab dalam proses penentuan isi penyataan. Dengan demikian, pengistilahan Firman Allah itu nampaknya membuka jalan tengah, yang memberi penekanan yang layak kepada kedua aspek realita itu. 3. Keberatan-keberatan terhadap istilah Firman AllahDemikianlah kesan yang kita peroleh; namun penggunaan istilah Firman Allah itu dalam prakteknya belum juga memecahkan persoalan-persoalan sekitar hakekat Alkitab yang dihadapi manusia masa kini. Belakangan ini, minat untuk menggunakan pengistilahan itu nampaknya berkurang. Misalnya dalam diskusi tentang status Alkitab yang berlangsung di kalangan Dewan Gereja-gereja sedunia dewasa ini, istilah "Firman Allah" jarang terpakai, baik dalam paper-paper (kertas-kertas-kerja) persiapan maupun dalam laporan yang definitif. Bahkan skema-skema seperti "Firman Allah yang berbentuk rangkap-tiga," atau skema tentang Alkitab sebagai "Firman Allah merangkap firman manusia" hampir tidak mendapat perhatian lagi. Jikalau kita mempersoalkan, mengapa sampai konsep-konsep yang terumus dengan begitu teliti, agaknya kurang kena lagi, mungkin sebab-sebabnya adalah sebagai berikut: a. Konsep Firman Allah terlalu berbau dogmatisKonsep-konsep seperti yang di atas ini terlalu berbau teologia sistematis atau teologia-dogmatis, dan kurang berhubungan atau kurang berakar dalam tafsir Alkitab sendiri. Ahli tafsir yang menggali nats-nats Alkitab secara mendetail, sering mengalami kesulitan dalam menempatkan konsep-konsep yang menarik itu dalam konteks tafsir, atau untuk menguraikan penerapannya secara tafsiran. Keterasingan konsep-konsep Barthian dari bidang tafsir adalah merupakan suatu kelemahan besar dalam teologia tersebut. Maka sebagai kontras, diskusi-diskusi oikumenis yang mutakhir menekankan tafsir secara kuat. Bahkan sebagaimana kita catat di atas ini, diskusi oikumenis itu justru bertolak cari suatu penelitian tentang cara-cara-menafsir yang tepat. b. Kesulitan-kesulitan hermeneutisPerhatian baru, yang ditujukan kepada hermeneutika, telah memindahkan secara radikal fokus diskusi tentang Alkitab. Letak persoalan-persoalan bagi ahli homiletika bukanlah pada perbedaan antara segi-segi ilahi dan segi-segi manusiawi dalam Alkitab, melainkan pada perbedaan antara dunia kuna dengan dunia modern. Persoalan pokok adalah begini: Alkitab menguraikan kepada kita cara-pemikiran jaman kuno, jaman alkitabiah. Sehingga timbul pertanyaan: bagaimanakah buah pemikiran itu dapat dirumuskan kembali dalam pola-pola pemikiran modern, mengingat bahwa latar belakang dunia modern itu serta persoalan-persoalan yang dihadapinya adalah lain daripada yang berlaku pada jaman kuno? Berhadapan dengan rumusan-soal yang baru ini, skema-skema yang menggunakan konsep "Firman Allah" nampaknya adalah kurang relevan. c. Keberatan-keberatan teologisDari segi teologis pun, skema-skema yang memanfaatkan konsep "Firman Allah" itu harus diragukan. Misalnya, tidak ada alasan-kuat untuk menyejajarkan hubungan antara aspek keilahian dan aspek kemanusiaan di dalam pribadi Kristus, dengan hubungan antara aspek keilahian dan aspek kemanusiaan di dalam Alkitab. Biar kita menerima dengan segala senang hati rumusan Kredo Chalcedon tentang tabiat Kristus, namun tidak ada alasan kuat untuk mengenakan rumusan Chalcedon itu kepada Alkitab. Karena sudah barang tentu rumusan Chalcedon itu tidak dimaksudkan sebagai penjelasan tentang wujud Alkitab. Patutlah diragukan juga cara-berpikir yang mensejajarkan antara tiga eksistensi yang begitu berbeda: yaitu Kristus, Firman tertulis dalam Alkitab, dan proses pengkhotbahan dalam gereja, sehingga dikatakan bahwa ketiga-tiganya bersama-sama merupakan Firman Allah dalam bentuk rangkap-tiga. Saya tidak bermaksud menyangkal bahwa kesejajarannya dapat dirumuskan demikian, tetapi yang saya ragukan ialah apakah rumusan yang demikian memang wajib. Maka jikalau tidak wajib, itu berarti bahwa ada pola-pola lain-lain lagi yang sama-sama sah. 4. KesimpulanJadi hasil bagian ini dapat kita simpulkan sebagai berikut: Usaha untuk menentukan soal "dalam arti manakah Alkitab itu patut disebut Firman Allah?" memanglah merangsang pemikiran kita. Tetapi tidak dapat diharapkan lagi bahwa penjernihan pengertian tentang makna istilah "Firman Allah" itu, akan membantu kita memecahkan persoalan-persoalan yang termodern tentang status Alkitab. Namun demikian, survai (pemeriksaan) yang kita adakan tentang istilah Firman Allah itu adalah berguna, karena hal itu membantu kita mengerti variasi-variasi yang nampak dalam pengertian istilah Firman Allah itu. Bahkan meskipun konsep tersebut ternyata mengandung kelemahan dan kekurangan, namun patut kita sadari juga bahwa pada periode tertentu konsep itu mempunyai pengaruh yang positif sekali. Bahkan sudah barangtentu bahwa masih banyak orang Kristen yang belum berhadapan dengan konsep "Firman Allah," seperti yang diuraikan dalam teologia Karl Barth itu, dan yang pasti akan merasakan manfaatnya, serta mengalami pembebasan melaluinya/ dengannya, kalau mereka sungguh-sungguh menggumulinya. Saya mencatat di atas ini bahwa teologia neo-orthodox, seperti teologia Karl Barth, akhirnya nampak lebih konservatif dari pada dugaan semula. Maka justru karena itu, teologia neo-orthodox telah berhasil membentuk jembatan, yang membantu menyeberang golongan-golongan Kristen yang sangat konservatif, sampai mereka dapat mengejar cara berpikir dan berteologia yang sudah menjadi lazim di gereja Protestan modern. | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |