| |
II. ALKITAB SEBAGAI BAHAN KESAKSIAN UTAMA TENTANG "PERISTIWA-PERISTIWA PENYELAMATAN"Sebagaimana kita katakan dalam bab 4 di atas, pandangan yang demikian memang mengandung unsur kebenaran. Tetapi kebanyakan pembaca Alkitab akan mendesakkan pandangannya bahwa Alkitab adalah jauh lebih dari itu, dan bahwa ada fungsi-fungsi Alkitab yang jauh lebih penting dari pada unsur kesusasteraannya. Biasanya aspek yang dianggap paling penting ialah bahwa Alkitab memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa. Kebanyakan orang akan berkata bahwa Alkitab adalah bukan hanya suatu mitos yang agung dan luhur, bukan hanya suatu karangan yang indah secara kesusasteraan, dan bukan hanya suatu bahan pola yang memampukan agama Yahudi dan agama Kristen mencapai pengertian akan dirinya. Alkitab adalah lebih dari itu. Eksistensi-eksistensi dan peristiwa-peristiwa yang disinggung dalam Alkitab adalah bukan hanya sarana cerita, atau bukan oknum-oknum dan peristiwa-peristiwa yang bersifat hiasan-hiasan dramatis, yang tidak bereksistensi di luar karangan kesusasteraan yang menceritakannya. Sebaliknya dianggap bahwa obyek-obyek yang nampak dalam Alkitab itu kebanyakan merupakan realita-realita obyektif dan justru Alkitablah yang menyediakan keterangan yang esensial tentang obyek-obyek tersebut. Bahkan dapat dirumuskan secara lebih ketat lagi, dengan mengatakan bahwa Alkitab merupakan sumber keterangan yang satu-satunya tentang eksistensi-eksistensi tersebut. Menikmati Alkitab sebagai bahan kesusasteraan yang agung, memanglah merupakan pendekatan yang sah. Tetapi pendekatan yang demikian tidak mencapai inti iman Kristen. Yang menjadi dasar iman ialah eksistensi oknum-oknum tertentu, dan realita peristiwa-peristiwa tertentu, yang dilaporkan dalam Alkitab. Jikalau laporan-laporan tersebut kadang-kadang hanya mencapai nilai rendah saja sebagai bahan kesusasteraan, maka itu tidak menjadi soal; karena nilai kesusasteraannya merupakan soal sampingan saja. Kalau kita berkata bahwa Alkitab merupakan "dokumen iman," yang kita maksudkan ialah bahwa nilai Alkitab tidak bergantung kepada nilainya sebagai bahan kesusasteraan, melainkan bergantung pada fungsinya sebagai tanda yang menunjuk kepada realita-realita obyektip yang melandaskan iman itu. Dengan perkataan lain, menurut pola segitiga yang digambarkan dalam pasal IV, fungsi-dasar Alkitab ialah sebagai sumber keterangan. Penyelidikan Alkitab seharusnyalah terpusat terutama di sudut A pada gambar segitiga kita. Iman Kristen tidak terdiri dari ide-ide tertentu, pun tidak merupakan suatu pola jaringan simbol-simbol. Unsur-unsur yang demikian memanglah termasuk ke dalam iman, tetapi tidak merupakan inti-sarinya. Intisari iman, ialah suatu kelompok fakta-fakta-historis yang ditafsirkan menurut pola-pola iman. Iman Kristen berlandaskan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam rangka sejarah. Bahkan eksistensi-eksistensi yang tidak termasuk proses sejarah, melainkan yang bersifat abadi, seperti misalnya eksistensi Allah, hanya dikenal menurut penyataanNya melalui proses sejarah itu. Demikianlah rumusan yang lazim diterima. Itu berarti bahwa terutama Alkitab merupakan bahan kesaksian yang utama (bahkan yang unik), yang bersaksi tentang peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan. Tugas ahli Alkitab dan ahli teologia adalah bukan hanya untuk merenungkan pola-pola yang nampak dalam nats Alkitab itu begitu saja, melainkan untuk menggunakan dan mengupas Alkitab dalam usaha mengejar dan mencapai realita yang terletak di belakang nats Alkitab itu. Maka oleh karena Alkitab merupakan sumber informasi yang mutlak perlu (bahkan yang kadang-kadang unik), maka itulah sebabnya Alkitab dianggap sebagai sumber kewibawaan. Argumentasi semacam itu berlaku secara luas, sehingga ada baiknya kalau kita mengambil waktu untuk meninjaunya dari beberapa segi. 1. Penyataan bukanlah terletak dalam Alkitab, melainkan dalam peristiwa-peristiwa yang dilaporkan AlkitabPandangan yang demikian agaknya mempunyai kekuatan, yaitu bahwa sumber penyataan bukanlah langsung ditemukan dalam Alkitab, melainkan dalam peristiwa-peristiwa historis yang mengantarkan penyataan itu. Karya Allah terkandung dalam peristiwa-peristiwa tersebut, --Keluaran Israel dari Mesir, hidup Tuhan Yesus, kebangkitan Tuhan Yesus dari antara orang mati. Kedudukan Alkitab yang tinggi tidaklah berasal dari hal bahwa Alkitab itu diilhamkan atau diberikan oleh Allah; melainkan statusnya bergantung kepada fakta bahwa Alkitablah yang bersaksi tentang peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan itu. Alkitab bukanlah penyataan begitu saja, melainkan Iaporan tentang peristiwa-peristiwa yang mengandung penyataan, kesaksian tentang peristiwa-peristiwa tersebut, dan tafsirannya. 2. Unsur-unsur ketidak-telitian dalam laporan-laporan AlkitabAda pengertian umum yang berjalan serentak dengan yang tadi, bahwa data-data Alkitabiah tentang peristiwa-peristiwa pengandung penyataan itu belum tentu seratus persen faktual-historis, kalau dibaca secara harfiah. Memang ada peristiwa-peristiwa yang sungguh terjadi, dan peristiwa-peristiwa itulah yang menjadi pengantar penyataan, tetapi laporan Alkitabiah itu belum tentu melaporkan peristiwa-peristiwa itu dengan ketelitian yang sempurna. Atau dengan rumusan lain, cara terjadinya peristiwa-peristiwa itu belum tentu identik dengan apa yang dilaporkan dalam Alkitab. Status Alkitab bergantung kepada kesaksian Alkitab atas peristiwa-peristiwa historis, namun dalam batas-batas tertentu ada unsur kemelesetan dalam laporan-laporan historis itu. 3. Unsur-unsur subyektif dalam laporan-laporan AlkitabKeterangan yang diberikan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa pengandung-penyataan itu tidak merupakan laporan obyektif melulu, melainkan suatu kesaksian berdasarkan iman, suatu laporan tentang peristiwa yang dipandang dengan mata iman; yaitu, justru imanlah yang tumbuh karena peristiwa-peristiwa tersebut. Maka oleh karena Alkitab adalah kesaksian berdasarkan iman, sudahlah wajar bahwa akan timbul laporan-laporan yang berbeda-beda tentang peristiwa-peristiwa yang sama. Laporan-laporan tersebut berbeda-beda dalam penekanannya, dan dalam struktur yang mereka kenakan kepada peristiwa-peristiwa itu; namun laporan-laporan yang berlain-lainan itu sama-sama merupakan kesaksian yang sah atas peristiwa-peristiwa pokok itu. Misalnya, kenyataan bahwa kitab-kitab Injil memberi laporan-laporan yang bertentangan tentang suatu peristiwa tertentu, tidaklah usah sama sekali dipandang sebagai faktor negatif. Justru adanya pertentangan-pertentangan itu menguatkan status Alkitab serta kewibawaannya. - Nisbah peristiwa dan penafsiran: beberapa pendapat Pendapat seperti yang diuraikan di atas ini laku sekali di gereja modern, terutama di kalangan neo-orthodox. Mengenai soal hubungan antara peristiwa dengan penafsirannya, atau mengenai hakekat peristiwa itu sendiri, bolehlah ada perbedaan pendapat. Sebagai contoh, kita mencatat beberapa sikap yang berbeda-beda terhadap kebangkitan Yesus: a. Ada "analogi yang cukup" antara peristiwa dan laporanKebanyakan berpendapat bahwa meskipun ada unsur kesamaran tentang hubungan antara peristiwa-peristiwa kebangkitan itu dan laporan-laporan Alkitab tentang peristiwa-peristiwa tersebut, namun ada suatu kejadian obyektif yang terjadi. Yang terjadi itu tidak seratus persen identik dengan penjelasan yang diberikan dalam teks Alkitab, namun cukup mirip, sehingga hubungan antara peristiwa dengan laporannya itu agak dekat, yaitu ada analogi yang wajar antara keduanya. Sungguh ada suatu kejadian obyektif yang terjadi atas tubuh-daging Yesus, dan ada suatu proses yang menghidupkan tubuh Yesus atau yang membuatnya menjadi ciptaan baru. Laporan-laporan, yang kita dapat dari kitab-kitab Injil, merupakan beberapa respons imaniah terhadap peristiwa-peristiwa itu, yang menyaksikan pengaruh peristiwa itu atas diri para murid, namun tidak langsung menyediakan bahan yang dapat menghasilkan suatu rekonstruksi yang obyektif tentang peristiwa itu sendiri. Bahkan bahan kesaksian kitab-kitab Injil itu memberi kesan bahwa usaha untuk mencari rekonstruksi obyektif itu adalah salah. b. Pendapat yang agak konservatifSuatu sikap, yang agak konservatif (atau konservatif-historis) terhadap kebangkitan Yesus Kristus, bukan hanya akan mempertahankan bahwa peristiwa itu terjadi, melainkan juga bahwa seluk-beluk peristiwa itu dapat direkonstruksikan dengan cukup teliti dari laporan-laporan Alkitab. Riwayat-riwayat dalam kitab-kitab Injil memanglah menyediakan bahan yang dapat diterima sebagai dasar kuat untuk mengerti tentang peristiwa historis yang terjadi. Bahkan ditekankan bahwa keterangan-keterangan dalam kitab-kitab Injil tidak hanya mengijinkan, melainkan (demi kepentingan teologia Kristen) mewajibkan kita memberitakan historisitas kebangkitan Yesus. c. Pendapat yang sungguh-sungguh konservatifSuatu pandangan yang konservatif betul-betul akan melangkah lebih jauh lagi ke arah yang sama. Akan dikatakan misalnya, bahwa rentetan. peristiwa-peristiwa pada hari kebangkitan itu dapat ditentukan secara langsung dari kesaksian Alkitab, dan bahwa perbedaan-perbedaan yang nampak antara Injil dengan Injil, atau antara Alkitab dengan sumber-sumber non-Alkitabiah, dapat diharmonisasikan. Para penganut pendapat demikian akan mengikuti seluk-beluk nats Alkitab dengan teliti. Mereka akan mengaku bahwa memang ada unsur teologisasi/penteologian dalam riwayat-riwayat kebangkitan itu. Tetapi mereka akan mendesak bahwa riwayat itu sendiri tidak bertumbuh dari motifasi-motifasi teologis itu, melainkan sebaliknya, motivasi-motivasii teologis itu tidak akan bermakna sama sekali, kecuali kalau historisitas riwayat kebangkitan itu diakui. d. Pendapat "liberal" atau "existensialis"Pada pola yang bertentangan, para penganut pandangan "liberal" atau "eksistensialis" akan mengatakan bahwa memang riwayat-riwayat kebangkitan itu bersaksi tentang suatu peristiwa, tetapi peristiwa yang dimaksudkan bukanlah peristiwa obyektif di dunia luar, melainkan peristiwa dalam bidang keimanan, yaitu dalam pengalaman orang-orang beriman. Itu berarti bahwa peristiwa kebangkitan yang sebenarnya ialah lahirnya iman dalam hati para murid Yesus. Sehingga segala usaha untuk menemukan inti atau makna lain yang dapat ditarik dari berita kebangkitan itu pastilah akan gagal. Karena riwayat-riwayat kebangkitan itu tidak pernah dimaksudkan sebagai laporan-laporan atas peristiwa obyektif. Bahkan harus dikatakan bahwa usaha untuk menemukan suatu dasar obyektivitas adalah merugikan secara teologis; karena iman kita tidak dikuatkan, melainkan justru dihancurkan, kalau kita berusaha menegakkannya dengan bantuan peristiwa-peristiwa obyektif-ekstern. 4. KesimpulanSebagai kesimpulan tentang pokok ini: sudahlah jelas bahwa dengan menekankan peristiwa-peristiswa yang melandaskan riwayat Alkitab, belumlah tentu kita mencapai persetujuan secara mendetail. Namun demikian, ada beberapa hal yang dapat menerima persetujuan umum, yaitu:
| |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |