| |
II. PERANAN ALKITAB DALAM HOMILETIKA1. Alkitab menjadi "pola-klasik" dalam pelaksanaan tugas homiletikSelama ini kita berbicara tentang peranan teologia dalam proses penafsiran Alkitab untuk gereja, dan tentang caranya unsur-unsur Alkitabiah itu dimanfaatkan dalam struktur teologia. Tetapi makna Alkitab untuk gereja tidaklah terbatas kepada peranannya dalam teologia. Memanglah Alkitab tak dapat ditafsirkan dengan sah tanpa adanya suatu teologia, tetapi proses menafsirkan Alkitab untuk gereja belum selesai dengan sempurna, hanya dengan merumuskan suatu teologia. Kita perlu memikirkan juga tugas hermeneutik, yaitu tugas menguraikan Alkitab kepada gereja. Hal ini membawa kita kembali kepada beberapa pertanyaan yang sudah kita bahas; hanya sekarang kita menghadapinya dalam konteks yang baru. Mengapa Alkitablah yang merupakan bahan yang lazimnya dipakai untuk menyusun khotbah-khotbah di dalam gereja? Menurut apa yang kita uraikan di atas ini, sebabnya itu ialah karena Alkitab merupakan pola-klasik asli untuk pengertian tentang Allah. Justru gereja dibangun atas pola itu, dan pola itu sendiri terbentuk dalam krisis-krisis yang dialami tokoh-tokoh iman menjelang waktu lahirnya gereja. Dalam khotbah-khotbah, dalam liturgi-liturgi, dan dalam sakramen-sakramennya, gereja terus menerus mengambil makanan rohani dari pola-dasariah itu. Tetapi apakah ada alasan yang baik, mengapa pengkhotbahan itu harus didasarkan atas uraian Alkitabiah? Apakah tidak diakui di atas bahwa dapat ditemui rumusan-rumusan ide-ide teologis yang lebih teliti dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam Alkitab? Apakah tidak lebih tepat kalau pengkhotbahan masa kini menekankan secara utama apa yang dipercayai gereja masa kini? Betulkah dapat diharapkan bahwa Alkitab sanggup menjawab segala problema yang dihadapi manusia pada abad ke-20 ini? Dengan demikian kita sampai kembali kepada beberapa pertanyaan yang diajukan pada pasal pertama buku ini. 2. Keutamaan "mitos-dasar" atas "kerangkaian teologia" dalam pengkhotbahanMeskipun diakui bahwa barangkali dapat ditemui rumusan-rumusan teologis yang lebih teliti, dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam Alkitab, namun kenyataan itu tidak memecahkan persoalan tentang pengkhotbahan, karena maksud khotbah itu adalah bukan untuk menyampaikan teologia yang paling teliti. Memang boleh jadi bahwa teologia itu berhasil merumuskan pengajaran Kristen secara lebih jelas dan lebih nyata, dibandingkan dengan bahan-bahan yang ada di dalam Alkitab; namun belum tentu juga rumusan-rumusan yang teliti itu harus dianggap sebagai keuntungan melulu, karena ketelitian dalam rumusan hanya dapat tercapai dengan jalan mengorbankan sesuatu. Ditinjau dari satu segi, kenyataan ini mengantar kita kembali kepada apa yang dikatakan dulu tentang sifat-kesusasteraan kebanyakan bahan Alkitab itu; yaitu, ketidak-langsungan dalam uraiannya, kekonkritannya, keaneka-ragamannya. Karena aspek-aspek inilah maka Alkitab menjadi cocok sebagai bahan pemikiran dan meditasi untuk gereja. Dan jikalau saudara pembaca bersedia menggunakan istilah "mitos" dalam artinya yang paling positif, maka dapat dikatakan bahwa justru karena aspek-aspek itulah Alkitab patut menjadi "mitos-dasar" yang definitif untuk iman Kristen. Maka sebaliknya patutlah dicatat juga bahwa Alkitab mempunyai aspek-aspek demikian (ketidak-langsungan dalam uraian, kekonkritan, dan keaneka-ragaman) justru karena dia merupakan "mitos-dasar" yang definitif. 3. Pemanfaatan distorsi-distorsi Alkitab dalam pengkhotbahanKita boleh kembali juga kepada pokok tadi tentang adanya unsur-unsur kesalahan atau distorsi dalam Alkitab. Kita sudah mengakui adanya (atau sedikit-dikitnya kemungkinan adanya) unsur-unsur demikian dalam Alkitab; namun kenyataan itu tidak berarti bahwa ada bagian-bagian Alkitab yang tidak usah diperhatikan sebagai bahan-bahan khotbah, karena mengandung unsur-unsur distorsi. Persoalan tentang "kebenaran" dalam naskah yang diuraikannya itu merupakan pokok pergumulan bagi si pengkhotbah, dan termasuk kepada kerangkaian tugasnya. Pergumulan yang demikian itu tidak boleh dielakkan dengan jalan membuang salah satu kategori bahan Alkitabiah itu berdasarkan pra-sangka, atau dengan jalan menganggap bahwa kategori bahan yang lain lagi adalah seratus persen bebas dari segala kemungkinan distorsi. Bukanlah maksud saya bahwa tiap-tiap bagian Alkitab pastilah cocok untuk dijadikan nats khotbah dengan hanya berdasarkan fakta bahwa memang nats itu terambil dari Alkitab. Ada alasan-alasan lain yang menyebabkan nats-nats tertentu tidak dipakai sebagai nats khotbah. Tetapi soal tentang kesalahan teologis dalam nats-nats Alkitab itu haruslah dihadapi secara terbuka, dan tidak boleh didiamkan. 4. Perlukah khotbah berlandaskan Alkitab?Tetapi pertanyaan masih mendesak: mengapa justru kita harus berkhotbah berdasarkan nats-nats Alkitab? Mengapa tidak langsung mengutarakan apa yang kita yakini begitu saja? Pertanyaan ini terbagi menjadi beberapa bagian: a. Pada prinsipnya, sebaiknyalah demikianSudah barang tentu kita boleh menggunakan bahan-bahan non-Alkitabiah sebagai landasan khotbah. Dapat diambil bahan patristik, atau suatu kutipan dari kesusasteraan modern, atau dapat langsung diutarakan apa yang kita anggap penting tentang gereja masa kini. Memang adalah penting bahwa kita bebas dalam hal ini. Tetapi patutlah dibedakan antara apa yang boleh dilakukan dan apa yang bijaksana. Patutlah dibedakan antara apa yang boleh dilakukan secara insidental, dan apa yang biasa dilakukan. Patutlah dibedakan juga antara apa yang boleh dilakukan oleh individu-individu tertentu, dan apa yang boleh dilakukan oleh umum. Jadi apa yang diperkenankan, belum tentu merupakan cara yang pantas diikuti oleh gereja pada umumnya. b. Bahan Alkitabiah dalam liturgi itu perlu diuraikan dalam khotbahSatu cara memandang persoalan ini ialah sebagai berikut: Khotbah adalah lain dari pada percakapan. Khotbah merupakan percakapan dalam konteks ibadat; akan tetapi liturgi-ibadat adalah penuh dengan bahan-bahan Alkitabiah, baik berupa doa, pembacaan-pembacaan bahan Alkitab, mazmur, nyanyian-nyanyian rohani dan pelayanan sakramen-sakramen. Satu alasan yang kuat mengapa khotbah itu sebaiknya berdasarkan Alkitab (dalam konteks liturgi di mana sudah termasuk banyak bahan Alkitabiah) ialah bahwa bahan-bahan liturgis itu harus mendapat penafsiran yang jelas. menurut pendapat saya, liturgi tidak usah dianggap "lebih Kristen" atau "lebih baik" karena ternyata penuh dengan bahan-bahan Alkitabiah berupa nyanyian, doa, pengakuan, bahan-bahan ini dipakai dalam liturgi justru karena terambil dari Alkitab. Sebaliknya, saya telah mencatat di atas (pasal 6 bagian 11, dan pasal 7: IV, 2. j) bahwa sikap keterikatan kepada Alkitab dalam segala seluk-beluk ibadat dapat dinilai positif atau negatif. Tetapi penafsiran yang jelas atas bahan-bahan Alkitabiah itu merupakan suatu cara untuk menyaring bahan-bahan tersebut, untuk mengkaitkannya dengan apa yang memang dipercayai, serta menggarisbawahi maknanya untuk hidup masa kini. Saya menganggapnya suatu kesalahan yang berbahaya, kalau dikatakan bahwa oleh karena begitu banyak bahan Alkitabiah dipakai dalam liturgi, maka khotbah tidak usah didasarkan atas Alkitab. Memang perlu dicatat, bahwa argumen terakhir itu ternyata sah hanya jikalau pendekatan kita terhadap liturgi itu sangat konservatif. Pentingnya Alkitab dalam pengkhotbahan tidak dapat didasarkan secara definitif atas peranan Alkitab dalam liturgi; karena sembarang waktu dapat terjadi suatu "pembaharuan" liturgi yang meniadakan sebagian besar bahan Alkitabiah itu. Klemungkinan itu saya kemukakan bukan sebagai harapan akan hal itu, melainkan sebagai kenyataan saja. c. Dalam uraian berdasarkan situasi kontemporer, dasar Alkitabiah adalah implisitMemang baik sekali jika si pengkhotbah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengutarakan atau menguraikan iman-kepercayaan Kristen sebagaimana dianut oleh orang Kristen masa kini. Baik juga barangkali bila uraian tersebut kadang-kadang ditampilkan lepas dari nats-nats Alkitab. Pernah kita catat bahwa pendekatan yang demikian adalah wajar, bilamana kita berhadapan dengan orang-orang yang belum memiliki iman Kristen. Namun sekalipun demikian, bahan Alkitabiah sebagai landasan uraian itu, haruslah berada di belakang bentuk-lahiriah uraian itu. d. Kemajemukan metoda homiletik sejajar dengan kemajemukan corak teologiaPada prinsipnya saya mengalami kesulitan dalam menentukan suatu patokan yang tegas tentang cara menggunakan Alkitab sebagai dasar pengkhotbahan; malah barangkali tidak tepat kalau saya mengusahakannya dalam rangka uraian buku ini. Karena saya merasa agak aneh, kalau dalam uraian buku ini saya menggariskan suatu kemajemukan teologia-teologia yang dapat dipakai, kemudian memberanikan diri untuk menentukan suatu patokan tentang isi dan bentuk khotbah yang sah. Karena jelas bagi saya bahwa sebagaimana ada kemajemukan teologia-teologia, begitu juga mesti ada kemajemukan pandangan dan teori tentang maksud dan tujuan pengkhotbahan. Tetapi bidang itu tidak termasuk keahlian saya. Karena keahlian di dalam bidang homiletika tidak sama dengan keahlian dalam bidang ilmu Alkitab. Dan walaupun banyak bagian dalam Alkitab memperlihatkan suatu perhatian yang besar terhadap tugas homiletik, namun saya sangat ragu-ragu, apakah Alkitab itu sendiri, sekalipun diberi status yang tinggi sekali, memang menyediakan pola-pola yang normatif untuk bentuk dan isi pengkhotbahan masa kini. Saya kira bahwa pembedaan antara pengkhotbahan dan pengajaran, yaitu antara kerygma (pemroklamasian, pemberitaan, pengumuman) dengan didache (pengajaran), adalah relevan di sini. Meskipun perbedaan itu kadang-kadang dilebih-lebihkan, namun pembedaan itu sendiri adalah wajar; maka ada kemungkinan bahwa sebagian dari tugas penguraian Alkitab, yang muncul berdasarkan pandangan yang saya gariskan di sini tentang status Alkitab, sebenarnyalah termasuk bidang pengajaran atau didache. e. Dua pertimbangan praktis mengenai uraian-uraian berdasarkan situasi kontemporerKita sudah sepakat bahwa ditekankannya status Alkitab tidak boleh diterapkan dengan sedemikian ketat, sehingga kita melarang segala uraian atau pembicaraan di dalam gereja yang tidak langsung bersifat penafsiran atau uraian, atau yang mengambil titik-tolaknya dari pemikiran seorang pengarang non-Alkitabiah. Tetapi perlu kita pasang dua peringatan di sini; satu yang bersifat teologis, satu yang bersifat praktis. i. Kesan "imperialisme kristiani (kristen)" perlu dicegah Pertama, bila kita berbicara di gereja berdasarkan pengarang modern atau artikel (karangan) dari koran, kita mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan kepada jemaat bahwa yang kita uraikan adalah bukan tradisi gereja, melainkan bahan lain. Kalau tidak, akan timbul bahaya bahwa kita mendirikan semacam "imperialisme kristiani", yang berusaha merebut segala sesuatu yang bijaksana dan baik, sebagai milik agama Kristen. Dan setelah kita berterus-terang tentang sumber bahan kita itu, maka tidaklah wajar kalau dalam konteks pembicaraan di hadapan jemaat, kita memberi kesan, seolah-olah kita bersikap masa bodoh terhadap suara tradisi Kristen berkenaan dengan pokok yang sedang kita uraikan. Mengingat bahwa sebagian besar tradisi Kristen mendasarkan diri atas kewibawaan Alkitab, maka akhirnya kita sampai kembali kepada Alkitab juga. ii. Kesanggupan atau bakat pengkhotbah perlu dipertimbangkan Peringatan kedua: kita sudah setuju bahwa kita boleh menggunakan metoda langsung, yaitu dari pada menguraikan nats-nats Alkitab, kita mengutarakan atau menguraikan iman Kristen sebagaimana dia laku pada masa kini. Tetapi masalah kesanggupan teologis ada tersangkut dalam hal ini. Mereka yang menganjurkan, supaya kita berkhotbah langsung dari situasi masa kini, sering termasuk ahli teologia yang cakap, yang berpikir secara kreatif; sehingga mereka sanggup menangani tugas sulit yang mereka usulkan itu. Tetapi pendeta, yang tidak begitu berbakat dalam bidang teologia dan yang tidak begitu kreatif, lebih baiklah memperkembangkan pemikirannya dengan jalan menggumuli dan memanfaatkan dokumen-dokumen-dasar tradisi Kristen. Antara dokumen-dokumen tersebut, Alkitab sendiri selalu mendapat tempat yang terutama sebagai bahan homiletik. Kalau boleh saya menambah suatu kesan pribadi di sini, yaitu sebagai orang Kristen yang biasanya duduk di bangku gereja dan bukan berdiri di mimbar, mutu pengkhotbahan di gereja-gereja kita sangat rendah sekali; sehingga sebagian besar kaum awam akan merasa berterima kasih sekali kalau mereka diajak mendengarkan percakapan, biar sederhana sekali, tentang bahan-bahan Alkitabiah. Para pendeta sering membebani diri dengan suatu beban yang berat sekali yaitu dalam usaha menciptakan khotbah-khotbah yang "relevan" dan "modern." Sedangkan pendekatan yang demikian itu merupakan pemerkosaan terhadap panggilannya, dan mencita-citakan sesuatu yang jauh di luar kesanggupan mereka. | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |