| |
II. PEMBENTUKAN DAN PEMBATASAN-JUMLAH KITAB-KITAB DALAM ALKITAB1. Latarbelakang pembentukan kanona. Cara-cara pengolahan bahan, sampai menjadi kitab-kitab definitifSebagaimana kita lihat di atas (pasal 7 bagian 12), kitab-kitab dalam Alkitab itu (atau kebanyakannya) mulai dalam suatu tradisi lisan, dan barulah kemudian mencapai bentuk tertulis. Maka baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tertulis, ada proses perumusan-ulang yang tersangkut dalam perkembangan serta penurun-alihan kitab-kitab itu. Bahan-bahannya disusun dari sumber-sumber yang berbeda-beda, diolah kembali dalam bentuk-bentuk baru; ada sumber-sumber lama yang memang dikutip-kutip, tetapi yang tidak dipertahankan secara utuh dalam bentuk tersendiri; unsur-unsur lama ditafsirkan-ulang dalam konteks kesusasteraan yang baru. Pada masa Perjanjian Lama ada beberapa kitab yang agaknya segera mencapai bentuk-definitifnya, sedangkan kitab-kitab lain memerlukan proses yang lama sekali. Mengenai Panca Jilid (Pentateuch) , misalnya: banyak tradisi-tradisi kuna dikarang-ulang pada taraf peredaksian Deuteronomis, dan sekali lagi pada taraf peredaksian mazhab Imamat, (menurut pendapat para ahli, peredaksian Ulangan terjadi pada abad ke-7, dan peredaksian mazhab Imamat pada abad ke-5 SM.). Penafsiran-ulang terhadap tradisi-tradisi lama dapat berbentuk:
Sebenarnya ada suatu proses pengarangan tradisi dan bahan kesusasteraan yang berlangsung terus-menerus, bahkan masih berlangsung sampai masa kini, karena tidak ada titik sejarah yang dapat dianggap sebagai titik-perhentian proses tradisi itu. Tradisi Perjanjian Lama diteruskan dalam Yudaisme; dan tradisi Perjanjian Baru, yang juga merupakan kelanjutan Perjanjian Lama itu, diteruskan dalam agama Kristen. b. Flexibilitas yang mula-mula dalam daftar kitab-kitab definitifSuatu bagian tertentu dari semua bahan kesusasteraan itu dimasukkan ke dalam semacam kategori khusus (walaupun batas-batas dan syarat-syarat pengkategorian itu tidak ditentukan dengan jelas), sebagai bahan yang suci, berfaedah, dan patut dibacakan di synagoge atau di jemaat. Daftar yang jelas tentang kitab-kitab mana yang termasuk kanon, barulah ada pada periode kemudian; dan isi daftar itu berbeda-beda di beberapa wilayah Yudaisme, dan di beberapa gereja besar. Memang kalau kita meninjau-kembali sejarah Yudaisme dan gereja, kita mudah berasumsi bahwa masyarakat beriman yang menghasilkan kanon itu pastilah bersifat "orthodox," yaitu penyalur "tradisi yang utama." Tetapi pada periode-awal (mula-mula) sekali, belum nampak sama sekali mazhab yang mana yang bakal merupakan aliran utama. Pada periode itu terdapat banyak mazhab yang berbeda-beda menurut keyakinannya dan ajarannya; dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda itu sering memiliki kitab-kitab suci bersama dengan kelompok-kelompok lain, --namun selain kitab-kitab itu mereka juga memiliki bahan-bahan lain yang khusus mencerminkan ajaran-ajaran-khas dari kelompok itu sendiri. c. Kitab-kitab Apokrifi. Batas-batas kategori "Apokrif" Ditinjau dari titik pandangan ahli modern, mungkin sebaiknya kita mengadakan seleksi dari keseluruhan bahan kesusasteraan "post Alkitabiah" (baik bahan Yudais maupun bahan Kristen) dengan memusatkan perhatian khusus kepada kitab-kitab yang jenis kesusasteraannya mirip kepada kitab-kitab dalam Alkitab kita. Dengan demikian, lapangan penyelidikan dipersempit sedikit: tinggal (dari kitab-kitab Yudais) kitab-kitab seperti yang terdapat dalam Apokrif (Deuterokaronika menurut Katolik Roma) kita. Kitab Kebijaksanaan dan kitab Ben Sirakh tentunya termasuk jenis kesusasteraan yang sama seperti kitab-kitab Amsal dalam Alkitab. Kitab Makabe kira-kira sama jenis kesusasteraannya dengan Kitab-kitab Raja-raja, dan Tawarikh, dan sebagainya. Kitab-kitab yang termasuk Apokrif merupakan kitab-kitab Yahudi yang tergolong dalam Alkitab Yunani (yaitu Septuaginta), tetapi tidak termasuk Biblia Hebraica, --walaupun beberapa di antara buku-buku itu memang mula-mula dikarang dalam bahasa Ibrani. Masih ada kitab-kitab lain yang sejenis, seperti kitab Yubileum dan kitab Henokh, yang jenis kesusasteraannya kira-kira sama dengan kitab-kitab Alkitabiah, yang termasuk kanon gereja-gereja tertentu, tetapi yang tidak mendapat pengakuan universal. ii. Tiga cara penurun-alihan kitab-kitab Apokrif Penurun-alihan kitab-kitab Yahudi (yaitu kitab-kitab di luar kanon Biblia Hebraica) terjadi menurut tiga cara yang terpenting:
Kitab-kitab yang kadang-kadang disebut Apokrif Perjanjian Baru sering juga dapat digolongkan kepada jenis kesusasteraan yang sama seperti beberapa kitab Perjanjian Baru; misalnya Kisah Rasul Yohanes, Kisah Rasul Paulus, Injil Filipus, Injil Tomas, Wahyu Paulus, Wahyu Tomas, Surat Lentulus, Surat para Rasul, dan sebagainya. 2. Masalah-masslah pokokDemikianlah sekedar survai ringkas tentang bahan-bahan apokrif itu. Marilah sekarang kita mulai membahas persoalan-persoalan teologis yang timbul berkenaan dengan bahan tersebut. a. Pertautan kategori "kanonik" dan "apokrif"Sudah jelas bahwa ada banyak titik-persamaan secara agamawi, antara kitab-kitab kanonik dan kitab-kitab lain yang mirip kepada kitab-kitab kanonik itu, (yang kedua jenis itu dikarang pada waktu yang sama). Sebagaimana sudah kita catat di atas, Alkitab tidak sempurna secara teologis; maka perlu juga dicatat yang sebaliknya, yakni bahwa belum tentu kitab-kitab non-kanonik itu menyesatkan secara teologis. Pembedaan-pembedaan berdasarkan nilai-teologis harus kita gariskan, tetapi perlu disadari bahwa pembedaan yang demikian adalah bersifat relatif dan bukan mutlak. Kita tidak menggariskan pembedaan yang demikian berdasarkan alasan-alasan yang abstrak (yaitu bahwa rumusan atau ide tertentu patut diterima karena terdapat dalam kitab kanonik, sedangkan ide atau rumusan lain patut ditolak karena terdapat dalam kitab apokrif); pembedaan digariskan hanya setelah bahan yang bersangkutan itu; dibaca secara teliti dan kritis, --seperti caranya kita membaca Alkitab sendiri secara kritis. Misalnya, seorang ahli Perjanjian Baru barangkali ingin meneliti perkembangan konsep "Anak Manusia": untuk itu kemungkinannya besar bahwa dia akan memanfaatkan bahan dari kitab kanonis, yaitu kitab Daniel, maupun dari kitab Henokh yang tidak termasuk kanon gereja-gereja Barat. Dan ada kemungkinan besar bahwa dalam kesimpulannya dia akan mengutarakan bahwa pemakaian istilah itu dalam Perjanjian Baru berakar dalam Daniel maupun dalam Henokh; sehingga kedua kitab itu perlu diselidiki demi untuk memahami latar belakang konsep Anak Manusia. Dalam arti demikian, ahli-ahli Alkitab dalam melaksanakan tugas penyelidikannya akan memanfaatkan bahan dari kanon maupun dari Apokrif, dengan tidak begitu mempedulikan pembatasan antara kedua kelompok bahan itu. Hal ini belum tentu berarti bahwa mereka mengabaikan sama sekali batas-batas yang digariskan oleh kanon itu. Ada kemungkinan bahwa sedikit-dikitnya pada suatu taraf tertentu dalam pelaksanaan tugasnya, mereka akan terangsang mempertimbangkan bukan hanya makna kitab tertentu kalau diselidikinya secara tersendiri, melainkan juga maknanya dalam konteks kanon skriptura. Namun sekalipun ada taraf demikian dalam proses penyelidikan, tugas pengumpulan bahan-bahan yang relevan dan penilaian-penilaian sementara terhadap arti bahan tersebut pastilah sudah meliputi banyak bahan, baik dari dalam maupun dari luar kanon kita. Saudara pembaca akan mengingat bahwa posisi-dasar yang saya ambil tentang status Alkitab, tidak saya dasarkan atas suatu kekhasanteologis yang mutlak yang saya temukan dalam bahan-bahan Alkitab itu, melainkan atas kenyataan bahwa bahan-bahan Alkitab itu sudah diakui sebagai skriptura. Para tokoh di sinagoge kuna dan di gereja awal (mula-mula) memanglah berdebat tentang batas-batas kanon; maka sudah barangtentu mereka menggunakan berbagai ukuran dalam mengambil keputusan mereka. Misalnya, mereka mempertimbangkan soal kapan dokumen itu dikarang menurut tradisi, siapa nama pengarangnya menurut tradisi, dan apa jenis pengajaran yang termuat di dalamnya. Para ahli modern berpendapat bahwa dalam kitab-kitab "pinggiran" (kitab-kitab "marginal") tertentu ada beberapa bahan non-kanonik yang mempunyai mutu teologis yang lebih tinggi daripada apa yang terdapat dalam beberapa bagian kitab-kitab kanonik yang sezaman dan sejenis. Namun ditinjau sebagai keseluruhan, kitab-kitab non-kanonik tidak mendekati (dan pastilah tidak melebihi) nilai atau mutu kitab-kitab kanonik itu. Kita tidak mendasarkan posisi kita atas argumen ini, namun kita perlu mencatatnya juga. b. Unsur kebetulan dalam penentuan batas-batas kanon tidaklah menjadi soalJadi dapat diakui bahwa ada suatu wilayah kesamaran di perbatasan antara skriptura dengan kitab-kitab non-kanonik. Hanya kaum fundamentalis masa kini mendesak bahwa keputusan-keputusan-pokok, yang diambil oleh orang Kristen masa kini, akan dipengaruhi secara radikal, sekiranya kitab-kitab tertentu dari apokrif itu diangkat ke dalam kanon skriptura, atau sebaliknya, sekiranya kitab "pinggiran" tertentu dikeluarkan dari kanon. Perubahan-perubahan yang demikian hanya dapat dikatakan penting sekali, kalau pokok-pokok pengajaran dan doktrin ditetapkan berdasarkan ayat-ayat-bukti, dan kalau tiap-tiap unsur dalam tiap-tiap kitab kanonik dianggap senilai dalam menentukan pokok-pokok teologia. Tetapi sebagaimana kita lihat di atas, pandangan demikian tentang Alkitab tidak laku lagi. Mungkin pandangan itu memang berpengaruh atas periode pembentukan kanon, tetapi posisi kita sekarang sudah lain. Menurut pendapat saya, sekiranya seluruh Apokrif itu dianggap kanonik, maka pengajaran di gereja-gereja masa kini tidak akan dipengaruhi sedikitpun. Akibat yang paling menyolok dari tindakan itu ialah bahwa jumlah bahan yang harus digumuli para pendeta akan bertambah banyak. c. Bolehkah gereja mengubah kanon?Kalau begitu, apakah gereja berhak mengubah isi kanon skriptura? Tentunya berhak. Tetapi perlu kita bedakan antara dua soal: Soal pertama timbul, sekiranya ada usaha yang sengaja untuk mengubah kanon Alkitab. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa kitab Wahyu patut dikeluarkan dari kanon (dan memang ada gereja-gereja kuna tertentu, yang sudah lama tidak memakai kitab Wahyu itu), dan yang oleh karena itu mengusulkan supaya surat-surat Klementius dimasukkan ke dalam kanon, ganti kitab Wahyu itu. (Ada naskah-naskah Alkitab yang kuna yang memasukkan surat-surat itu ke dalam kanon, misalnya Kodeks Alexandrinus). Usul demikian dapat diajukan, dan gereja akan berkewajiban membicarakannya serta menanyakan alasan-alasan usul tersebut. Setelah mempertimbangkan segala fakta-fakta yang bersangkutan, gereja kemudian mengambil keputusan. Tetapi usul yang demikian pada kenyataannya adalah bersifat hypothetis, karena tindakan seperti itu hampir tak mungkin terjadi. Pastilah akan timbul banyak sekali keberatan terhadap usul tentang perubahan kanon. Tetapi di samping itu ada faktor konkrit yang harus dihadapi, yaitu bahwa satu usul perubahan yang demikian pastilah dapat disejajarkan dengan banyak usul-usul lain yang sama-sama kuatnya. Jadi dengan demikian kita kembali kepada suatu pokok, yang bagi say a termasuk pertimbangan yang pokok dalam seluruh diskusi ini, yaitu bahwa proses pembentukan skriptura dan pembentukan kanon skriptura adalah merupakan proses-proses yang timbul pada periode tertentu, --suatu taraf tertentu dalam sejarah umat Allah. Kita masa kini tidak berada lagi pada taraf itu. Jadi soal pembentukan kanon adalah termasuk kepada bahan sejarah; dan sekalipun kita pribadi tidak menguasai dengan sempurna argumentasi-argumentasi dan kategori-kategori yang dipergunakan pada waktu itu untuk menentukan kanon, namun kanon sudah jadi lahir. d. Perbedaan konsep "skriptura" dan konsep "kanon"Soal kedua yang sering diajukan, walaupun bukan sebagai usul serius untuk mengubah kanon, adalah sbb.: Mengapa kita tidak boleh membaca Konfesiones Augustinus, atau karangan dogmatik Karl Barth, sebagai pengganti beberapa bahan dalam kitab-kitab kanonik? Jawabannya: tentulah Konfesiones atau karangan-karangan Karl Barth boleh dibaca, malah usaha itu baik sekali. Tetapi pertanyaan yang di atas tadi tidaklah menyangkut soal perubahan kanon skriptura; melainkan yang dimaksudkan ialah bahwa sebaiknyalah kita meninggalkan konsep skriptura sama sekali, serta mengganti apa yang selama ini disebut "skriptura" dengan suatu seleksi bahan yang terambil dari buku apa saja yang dapat dianggap "kesusasteraan agamawi yang bermanfaat." Dengan perkataan lain, harus dibedakan antara prinsip "skriptura" dan prinsip "kanon." Usul-usul supaya daftar kanon itu diubah adalah masih berlandaskan pra-duga bahwa skriptura tetap ada. Saya telah mempertahankan di atas, bahwa adanya skriptura itu termasuk faktor yang menyangkut hakekat atau eksistensi agama Kristen, karena berakar dalam sejarah agama itu. Pengangkatan bahan-bahan lain, yang dianggap menjadi "bahan kesusasteraan agamawi yang berfaedah," itu bukanlah berarti bahwa kita mau merobah daftar kanon itu, melainkan bahwa kita mau beralih kepada suatu prinsip yang berbeda sama sekali. Saya kira, tidaklah usah digarisbawahi bahwa Konfesiones Augustinus dan karangan-karangan-teologis Karl Barth adalah merupakan bahan-bahan sekunder, dibandingkan dengan Alkitab. Maksudnya, pengarang-pengarang tersebut beranggapan, bahwa karangan mereka itu justru bertumbuh dari Alkitab, sehingga merupakan bahan sekunder. Mereka sendiri menganggap Alkitab sebagai bahan normatif, yang oleh mereka sendiri diberi status yang mutlak. Maka hampir semua buku-buku agamawi yang berfaedah dalam rangka tradisi Kristen adalah merupakan karangan yang sejenis, yaitu yang berstatus sekunder karena bertumbuh dari bahan Alkitab sendiri. Jadi patut dicatat bahwa selama ini kita menekankan pembentukan suatu skriptura; maka itu lain dari pada soal pembentukan kanon, karena pembentukan skriptura terjadi lebih awal, dan merupakan proses yang lebih penting, dibandingkan dengan pembentukan kanon. Menentukan suatu kanon berarti menggariskan batas-batas skriptura secara teliti, dan membedakan skriptura itu dari tulisan-tulisan lain. Konsep kanon muncul belakangan, dan sering bergumul khusus dengan status tulisan-tulisan "pinggiran" itu. Walaupun pembentukan kanon secara tegas memang merupakan fase belakangan, tidaklah kita maksudkan dengan itu bahwa kitab-kitab tersebut barulah mencapai status sebagai skriptura suci, waktu didaftarkan dalam kanon. Kanon atau daftar itu berfungsi untuk menertibkan kenyataan, yaitu bahwa sudah ada skriptura suci yang diakui oleh umat Allah, hanya soal-soal konkrit tentang letaknya batas-batas skriptura itu masih harus diselesaikan. 3. KesimpulanSudah waktunya kita berusaha menyimpulkan hasil diskusi ini tentang pembatasan skriptura suci secara ekstern. Harus diakui bahwa seluruh persoalan ini penuh dengan kebetulan-kebetulan historis, penuh dengan kerelatifan-kerelatifan dan unsur-unsur yang tak dapat dijelaskan atau dibenarkan menurut norma-norma teologia rasional, tetapi yang tokh harus diakui sebagai kenyataan. Tetapi ada juga suatu aspek praktis tentang kanon Alkitab yang patut kita ingat. Yaitu bahwa kanon itu menggariskan suatu korpus bahan yang dapat dikuasai dan diselidiki, dan yang memperlihatkan (walaupun kadang-kadang secara kebetulan) suatu keseimbangan antara berbagai jenis-bahan, berbagai periode, dan berbagai pendapat teologis. Tentulah ahli tafsir tidak menyelidiki kitab-kitab kanonik itu secara terisolasi, melainkan dalam hubungan dengan jumlah buku yang besar sekali yang termasuk kategori non-kanonik, --yaitu bukan hanya dokumen-dokumen Kristen dari periode post-Perjanjian Baru, tetapi juga tulisan-tulisan Yahudi dari periode yang sama, dan bahan-bahan dari agama-agama lain sama sekali. Misalnya, saya sendiri beranggapan bahwa Mishna dan Talmud merupakan kelangsungan yang sah dan wajar dari/untuk kecenderungan-kecenderangan yang nampak pada taraf-terakhir dalam kanon Perjanjian Lama. Saya beranggapan bahwa hubungan antara tradisi Yahudi dan Alkitab ini adalah sangat penting, bukan hanya di bidang dialog antar-agama, melainkan penting juga untuk pemikiran teologis di kalangan Kristen. Tetapi mustahillah (secara praktis) kita memasukkan-ke-dalam-kanon seluruh tradisi yang telah bertumbuh secara wajar dari akar-akar skriptura, atau menilai seluruh bahan itu sebagai skriptura. Jadi soal kanon banyak mengandung unsur kebetulan; dan ditinjau sepintas lalu, kita mendapat kesan bahwa seolah-olah kebetulan itu merupakan kesulitan dalam usaha menentukan status Alkitab sebagai skriptura suci. Tetapi sebenarnya kesulitan-kesulitan demikian tidak begitu mengganggu pada masa kini. Persoalan tentang penyeleksian dan pengaturan bahan Alkitabiah secara intern adalah merupakan persoalan yang jauh lebih rumit, dan memang menuntut perhatian yang jauh lebih besar dalam diskusi modern tentang penafsiran Alkitab! | |
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program Kerja | Koleksi | Anggota |