|
|
|
Rabu, 19 Januari 2000 Litaay Tolak Bicara Demo Massa PDI-P ke Amien Rais JAKARTA -- Ketua DPR Akbar Tanjung mengakui sebagian masyarakat Indonesia ternyata belum mampu mengaktualisasikan proses demokrasi secara tepat dalam kehidupan mereka sehari-hari. "Kita masih harus belajar terus," ujar Akbar kemarin menanggapi aksi massa PDI Perjuangan terhadap Ketua MPR Amien Rais di Gedung DPR/MPR Senin (17/1) lalu. "Sebagai sebuah proses," lanjut Akbar, "demokrasi seharusnya bisa lebih baik dan berjalan semestinya. Kita masing-masing bisa meletakkan mana yang patut atau tidak." Seperti diberitakan kemarin, menamakan dirinya Gerakan Perekat Bangsa (GPB), ratusan massa PDI-P melancarkan demonstrasi terhadap Amien. Pada intinya, GPB menilai seruan Amien agar pemerintah segera menyelesaikan pembantaian umat Islam di Maluku sebagai gangguan terhadap pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Wapres Megawati. GPB yang sekretariatnya berlokasi di Jl Kebagusan II No 2 Jakarta Selatan (dekat kediaman Megawati di Jl Kebagusan IV No 45 -- Red) datang mengusung poster dan spanduk bertuliskan menghujat Amien. Mereka pun menempeli mobil dinas Amien, sedan Volvo B 5 yang sedang diparkir, di antaranya dengan poster dan spanduk bertuliskan 'Amien kembali saja ke Solo, jadi germo di sana'. Ada lagi satu kalimat yang sangat kotor yang sama sekali tak pantas diucapkan orang berbudaya dan berakal sehat. Apa yang telah dilakukan massa PDI-P ke arah Amien, tegas Akbar, tidak pada tempatnya dilakukan. Semua orang, tegasnya, boleh membuat poster, gambar, atau tulisan bernada kritik kepada pihak-pihak yang tidak mereka setujui, baik ke pemerintah, unsur-unsur DPR, atau MPR. Namun, Akbar berharap para demonstran tersebut juga menghargai pejabat tersebut beserta simbol-simbol negara yang menempel kepadanya. "Mobil dinas Pak Amien itu simbol negara. Mobil itu pun di parkir di gedung negara dengan nomor polisi mobil dinas. Itu kan mobil milik rakyat," katanya. Akbar tidak tahu apakah aksi yang dilakukan oleh massa PDI-P langsung digerakkan oleh partai berlambang banteng gemuk tersebut. Yang jelas, sekitar 200 massa yang hadir menggunakan atribut PDI-P dengan dikawal satgas PDI-P yang berseragam hitam merah. "Saya tidak tahu apa digerakkan PDI-P. Saya tidak melihat langsung dan membaca dari koran," katanya. Memperhatikan masih adanya aksi brutal dan kasar ini, Akbar berpendapat bangsa ini memang masih harus belajar banyak berdemokrasi. Esensi dari demokrasi, ujarnya, adalah bagaimana masing-masing pihak bisa berbeda pendapat. "Setiap orang bisa saja bersikap kritis dan terus memberikan koreksi atau pendapat kepada siapa saja baik Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, atau ke kalangan MPR/DPR dan para anggota." Akbar meminta masyarakat mampu menempatkan perbedaan dan kritik pada porsi sebenarnya. "Jangan marah dan seolah-olah dianggap mau menjatuhkan. Jangan sampai pengikut mereka lalu marah dan melakukan kegiatan-kegiatan esktrem yang istilah Nurcholish Majid melakukan move politik dengan menggunakan massa dalam jumlah besar. Upaya melakukan penekanan bukan sistem demokrasi yang kita bangun," katanya. Sekretaris Fraksi Partai Bulan Bintang Hamdan Zoelva mengungkapkan adanya aksi brutal massa PDI-P membuktikan masih diterapkannya gaya Orde Baru, karena menggunakan cara-cara intimidasi. Kendati prihatin, Hamdan mengaku tidak kaget karena aksi brutal tersebut merupakan bukti bahwa di gambaran riil masyarakat memang tidak bisa dilepaskan dengan kekerasan. "Ini sama dengan cara-cara rezim Soeharto," tukasnya. Respons Amien yang tampak cukup dingin dan bijaksana menanggapi demo, disambut baik Hamdan. Pernyataan Amien, ia harapkan mampu meredam emosi para pendukungnya. "Ini penting sebab langkah brutal tersebut bisa saja memancing pihak-pihak pendukung Amien Rais melakukan pembalasan." Sebagai bentuk demokrasi, Hamdan setuju masyarakat melakukan aksi unjuk rasa sebagai bagian bentuk menyampaikan pendapat. Hanya saja, bagi Hamdan, unjuk rasa massa PDI-P dua hari lalu sangat kasar dan tidak pantas dilakukan. "Bahkan, ada kalimat-kalimat yang tidak bermoral dan tidak pantas dikemukakan oleh bangsa yang mengatakan sebagai bangsa beradab," tegasnya. Tulisan-tulisan di spanduk dan poster yang ditempel di mobil dinas Amien, menurut Hamdan, sudah bisa dikategorikan sebagai penghinaaan. "Amien atau pendukungnya bisa saja lapor ke polisi atas tuduhan penghinaan. Saya rasa ini perlu dilakukan demi tegaknya hukum sekaligus untuk mengoptimalkan demokrasi. Sebab, cara balas dendam tidak akan menyelesaikan masalah," tandasnya. Ketua Fraksi Reformasi Hatta Radjasa juga menyesalkan lankah massa PDI-P tersebut. Melakukan demonstrasi, ujar anggota PAN ini, sah-sah saja diarahkan ke pejabat termasuk ke pimpinan dan Ketua MPR. "Kita tidak usah melarang demo, tapi itu seharusnya dilakukan dengan berbudaya dan sesuai etika dan moral yang berlaku," katanya. Demo dua hari lalu, tegas Hatta, jelas tidak etis dan tidak berbudaya. Ini membuktikan kegagalan parpol tersebut melakukan pendidikan politik pada anggotanya. Ia menyanyangkan hal ini sebab sebuah parpol seharusnya mampu memberikan pencerahan kepada para kadernya di era reformasi ini. Hatta menjelaskan simpatisan PAN jelas tidak bisa menerima aksi brutal dari massa PDI-P tersebut. Namun, ia masih belum bisa memutuskan langkah apa untuk menyalurkan kekecewaan mereka. "Saya akan melakukan klarifikasi dengan rekan-rekan dari Fraksi PDI-P," ujarnya. Sekjen PDI-P Alex Litaay tidak bersedia mengomentari soal demonstrasi yang dilakukan massa dan simpatisan PDI-P terhadap ketua MPR Amien Rais. "Untuk soal itu saya tidak mau berkomentar dulu. Coba Anda hubungi saja Janis [Roy BB Janis, Ketua DPD PDI-P DKI]," katanya saat dihubungi Republika semalam. Ketika didesak kenapa dia tidak mau memberikan komentar soal demonstrasi tersebut, Litaay tidak memberikan alasan apa-apa. Dia sekali lagi hanya mengatakan agar menghubungi Roy BB Janis yang juga anggota DPR. Namun, ketika Republika mencoba menghubungi Janis via handphone, yang terdengar hanya nada mail-box. Begitupun ketika Republika mencoba menghubungi fungsionaris PDI-P lainnya seperti Suparlan, Dimyati Hartono, Meilono Soewondo, Haryanto Taslam, dan Soetardjo Surjoguritno, untuk meminta klarifikasi masalah tersebut, cuma nada mail-box yang terdengar dari handphone mereka. http://www.republika.co.id/2001/19/15206.htm |
|
Program Kerja | Koleksi | Anggota | Indeks Artikel
|