Kisah Pengasuh Ponpes Wali Songo Poso
Yang Selamat Diikat dan Disiksa, Lolos Lewat Sungai
Kasus pertikaian di Poso tidak
hanya membawa korban dan kerugian materil, tapi juga menjadi
beban masyarakat lain yang tidak berdosa. Berikut cerita
yang disajikan dalam gaya bertutur dari dua pengasuh Pondok
Pesantren Wali Songo, Ilham (23) yang selamat dari
penyanderaan, setelah Pondok Pesantren (Ponpes) Wali Songo
dibumihanguskan.
PADA saat itu hari Kamis (1/6) kami masih berada di hutan
bersama adik-adik (santri, red) yang lain. Setelah
ditangkap, mereka memisahkan kami. Perempuan jalan terus,
sedangkan kami disuruh tetap tinggal di hutan.
Setelah adik-adik santri dan ibu-ibu pergi, kami semua
disuruh buka baju. Tangan kami diikat satu per satu. Jumlah
kami saat itu ada 28 orang, menurut hitungan mereka
(penyandera, red). Terdiri dari enam orang dari pesantren
dan penduduk biasa.
Setelah diikat dengan tali nilon, kabel atau sabut
kelapa, kami digandeng tiap lima orang. Saya sendiri diikat
tiga ikatan. Kami digiring jalan melewati hutan, tembus di
suatu desa Lembomao. Di sana kami berhenti sebentar. Mereka
kayaknya memanggil pemimpinnya. Saat itu juga pemimpinnya
keluar dan memerintahkan anggotanya untuk membawa.
Kami digiring lagi berjalan melewati jembatan gantung
tembus di desa Ranononcu, terus dibawa ke Baruga. Di sana
kami disiksa dalam keadaan berdiri, berbanjar membuat dua
barisan. Setelah itu tangan kami ditambah ikatannya. Saya
sendiri diikat dengan tali sabut kelapa kemudian ditambah
dengan tali nilon warna biru, kemudian diikat dengan kabel.
Setelah itu kami disiksa dengan begitu sadis. Badan kami
diiris-iris, ditendang, dipukul, pokoknya sudah segala macam
penyiksaan, ada yang dipukul dengan gagang pedang, ada yang
dengan popor senjata. Saya sudah tidak tahu lagi dengan alat
apa semua yang mereka gunakan memukul kami.
Setelah disiksa mereka mengeluarkan pertanyaan kepada
kami. pertanyaan pertama. Siapa yang tahu mengaji?
Pertanyaan kedua siapa guru mengaji? Dan yang ketiga, siapa
yang pernah naik mimbar, dan pertanyaan keempat, siapa yang
imam. Pada saat itu, kami tidak ada yang mengaku.
Setelah disiksa, badan-badan kami diiris dan setelah
ditaruh tanah, disiram air panas. Sekitar kurang lebih dua
jam kami disiksa di tempat itu, kami dinaikkan ke mobil.
Mereka tujukan ke arah atas. Menurut pengamatan kami saat
itu ke arah Desa Togolu. Sampai di situ mereka giring ke
pinggir kuala Poso.
Sampai di pinggiran kuala kami disuruh turun. Saya
sendiri loncat dari mobil tersebut. Saya melihat teman saya
sudah dibacok satu orang. Dan saat itu, saya langsung
mengambil keputusan, berlari menuju kuala tersebut yang
jaraknya kurang lebih 10 meter.
Sebelum kami turun dari mobil, mereka sudah berdiri untuk
menjaga kami di pinggir kuala tersebut. Yang anehnya bagi
saya. Mungkin sudah gerakan Allah, pada saat saya lari di
antara mereka tidak ada yang bergerak.
Sekitar satu meter lagi dari pinggiran kuala, saya sudah
terjun. Dan tiba-tiba ikatan yang mengikat tangan saya
terlepas. Setelah saya terjun ke kuala baru mereka mengambil
gerakan. Ada yang menembak, tapi alhamdulillah -saya
berenang, muncul lagi untuk mengambil nafas sedikit, mereka
menembak lagi. Menyelam lagi saya, sampai waktunya sekitar
satu menit, baru saya sampai ke seberang kuala, dalam
kondisi badan saya yang sudah teriris-iris.
Setelah saya sampai, saya langsung naik ke daratan. Lari
ke hutan. Saya perkirakan dan melihat mereka tidak kelihatan
lagi, saya balik ke kuala . Saya masuk melebur kembali
mencari tempat yang aman - mendapatkan pinggir kuala, ada
rumput yang menutup. Saya masuk di semak-semak rumput
tersebut. Badan saya setengah dalam air, setengah di atas.
Dan saat itu mereka mengadakan pencarian pada saya.
Mereka lewat, saya lihat mereka. Tetapi mereka tidak melihat
saya. Pada saat itu waktunya, saya perkirakan jam 04.00
sore. Sekitar dua jam saya merendam di kuala, untuk menunggu
waktu malam.
Setelah malam, saya naik ke darat untuk mengambil alat
renang. Saya cabut pohon pisang. Setelah saya cabut, saya
langsung buang ke kuala, saya gunakan untuk membantu
berenang.
Baru sekitar 10 meter saya berenang, mereka sudah hadang
di depan dengan senternya yang begitu terang. Saya melihat
senter mereka itu seperti senter mobil. Jadi tidak mungkin
pakai baterei, mungkin sudah memakai accu (aki, red) atau
alat canggih lain.
Pada saat itu saya lepaskan pohon pisang yang saya pakai.
Saya menyeberang kembali, mendekati kembali pinggiran kuala
tersebut. Setelah itu tiba-tiba saya lihat ada tiga orang
yang lewat kuala. Mungkin teman-teman saya, yang masih ada
di hutan, yang belum tertangkap pada saat itu. Dan
alhamdulillah, tiga orang lewat itu lolos.
Kemudian lewat lagi tiga orang naik perahu, dan ini
kelihatan oleh pengejar. Mereka langsung mengejar dengan
perahu pula. Dua yang lolos pada saat itu. Satu orang
tertangkap. Dia berteriak-teriak "Saya tidak salah".
Kedengarannya mereka menyiksa. Dan pada saat itu tiba-tiba
terdengar suara letusan. Dan teriakan itu langsung lenyap.
Setelah itu, saya berpikir, berarti saya ini akan
tertangkap juga kalau saya teruskan untuk berenang. Saya ke
darat dan duduk berdoa. Ya Allah turunkan lah hujan, ya
Allah. Supaya mereka menghindar dari pinggiran kuala
tersebut.
Dalam kurun waktu kurang lebih setengah jam, yang awalnya
bintang-bintang lengkap di langit. Tiba-tiba gelap dan
langsung turun hujan. Setelah hujan turun, saya berlari ke
atas sekitar 20 meter. Kemudian saya masuk lagi ke dalam
kuala, dan saya lanjutkan berenang.
Dalam jarak 10 meter lagi saya berenang ke bawah, ada
lagi mereka yang menghadang di depan. Saya naik lagi ke
daratan. Duduk saya di daratan berkisar kurang lebih satu
jam. Badan saya kayaknya sudah tak mampu lagi digerakkan,
dengan merasakan luka, kedinginan. Rasanya badan saya sudah
tidak bisa lagi bergerak.
Pada saat itu, saya berpikir. Kalau siang di sini, saya
sembunyi dimana lagi. Setelah pemikiran itu muncul
kepasrahan, saya berdoa: bismillahi tawaqqaltu alallahi la
haula wala quwata illah billah. Saya berdiri, lalu mencari
alat bantu renang lagi. Alhamdulillah, saya ketemukan satu
biji kelapa kering. Saya bawa kembali ke kuala.
Setelah saya masuk, melebur kembali ke kuala, rasanya
badan ini sudah kuat kembali. Tangan dan kaki saya, yang
semula sudah tidak mampu digerakkan, setelah saya melebur ke
kuala, badan saya terasa pulih kembali. Kayaknya tidak ada
luka yang melekat.
Setelah itu saya berenang sampai melewati pinggir kuala
tersebut. Setiap pinggiran kuala tetap juga mereka jaga.
Tetapi sudah tidak terlalu ketat. Karena hujan turun terus.
Saya temukan jembatan yang saya lewati pertama pada saat
kami menuju di desa Ranononcu itu. Mereka berjaga di
jembatan itu, alhamdulillah saya masih sempat lolos.
Kemudian terus lagi, menemukan lagi jembatan satu. Yang
pertama jembatan gantung Ranononcu dan yang kedua jembatan
gantung Lembomawo.
Setelah itu, saya terus lanjutkan berenang. Dan apabila
mereka mencari, menyenter dari sebelah, saya menghindar,
menyeberang ke sebelah. Jadi, saya memotong-motong kuala
Poso itu, yang jaraknya, yang disebut orang sering ambil
korban manusia, ada buaya kayaknya sudah tidak lagi saya
pikirkan.
Setelah itu, saya tiba di jembatan II Poso, yang
direncanakan untuk dijadikan "kriminal dua". Setelah
mendekati jembatan tersebut, saya melihat pancaran cahaya.
Lampu mereka begitu terang. Mereka memakai lampu sorot.
Mereka pancarkan ke kuala tersebut. Kualanya terang sekali.
Jadi apapun yang lewat, kayu sepenggal pun yang lewat,
kelihatan dalam kuala tersebut. Tetap saya terus dan
berhenti di jembatan tersebut.
Saya berhenti di bawah jembatan dan berdiri serta duduk
bergantian sambil berpikir, bagaimana caranya bisa lolos.
Sedangkan kuala ini terang sekali. Berpikir saya di situ
sekitar satu jam. Bagaimana caranya, tidak ada hasil.
Kayaknya, secara jernih saya tidak mampu lagi untuk
berpikir, bagaimana caranya untuk lolos.
Setelah itu, saya terpikir dalam satu firman "Jangan
takut Allah bersama kita". Saya membaca doa bismillahi
tawaqqaltu alallahi la haula wala quwata illah billah.
Segala daya dan kekuatan saya serahkan kepada Allah
sepenuhnya. Muncul keyakinan saya pada saat itu, saya
langsung meloncat berenang ke kuala.
Setelah saya mendekati lampu tersebut, tiba-tiba lampunya
langsung mati. Saya berpikir jangan-jangan saya dijebak,
dengan sengaja mematikan senter, agar saya terus berenang.
Dan setelah melewati tempat terang tersebut baru lampunya
menyala. Tidak tahu mengapa lampu mereka mati. Berarti
mereka sebenarnya bukan menjebak saya. Tetapi memang benar
lampunya mati pada saat itu. Mungkin sudah digariskan oleh
Allah. Sudah memberikan pertolongan pada saat itu kepada
saya.
Sebagai manusia biasa, yang sudah luka parah, muka saya
sudah hancur dipukul, mungkin tidak bisa melanjutkan
perjalanan. Tapi kekuatan yang ada, saya melanjutkan
berenang melewati jembatan dan tiba-tiba saya mendegar suara
azan. Berarti menandakan waktu subuh atau pagi telah tiba.
Saya makin cepat berenang sebelum terang, karena kalau sudah
siang mereka akan temukan saya.
Sekitar pukul 6 pagi saya mendengar suara pengumuman yang
menyebutkan nama kompi. Saya berpikir bahwa itu adalah
asrama tentara dan langsung mendekati. Di dekat lokasi
asrama saya melihat seorang pemuda dan saya tanyakan
asalnya. Saya juga tanya mengapa ada disini dan pemuda itu
mengatakan dirinya pengungsi. Saya tanya lagi agamamu apa,
dan dia menjawab agama Islam. Disaat dia menjawab Islam,
saya langsung mengatakan tolong, dan dia pun langsung
menolong saya membawa ke asrama kompi dan dirawat.Pada saat
disiksa, saya melihat seorang aparat tentara yang juga saya
sudah pernah lihat sebelumnya. Waktu di kompi saya juga
melihat tentara itu, kami sempat berpapasan mata kemudian
tentara itu langsung pergi. Saya periksa di semua ruangan
tentara itu tidak ada. Saya yakin dia adalah tentara yang
saya lihat ketika saya disiksa. (ud/jpnn)
Source : Riau Pos Rabu, 14 Juni 2000
Date: Wed, 28 Jun 2000 12:43:30 +0200
From: fajar rahmat hidayat
<annafrh@hrz1.hrz.tu-darmstadt.de>
|