|
40. Lembah Ketiga atau Lembah
Keinsafan
Hudhud melanjutkan, "Setelah lembah yang kubicarakan itu,
menyusul lembah yang lain - Lembah Keinsafan, yang tak
bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan
ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk melintasinya tak
dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi setiap penempuh
perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi pengetahuan hanya
sementara. Jiwa, seperti raga, ada dalam perkembangan maju
dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya menampakkan dirinya
dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan itu telah
mengatasi kesalahan-kesalahan dan kelemahankelemahannya,
tidur dan kemalasannya dan setiap penempuh perjalanan itu
akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing sesuai
dengan usahanya. Meskipun seekor lalat terbang dengan segala
kemampuannya dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada
berbagai cara melintasi Lembah ini, dan semua burung
tidaklah sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan
beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di
Mihrab,1 yang
lain pada arca pujaan. Bila matahari keinsafan menerangi
jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai dengan
amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan
baginya dalam menginsafi kebenaran. Bila rahasia hakikat
segala makhluk menyingkapkan dirinya dengan jelas padanya,
maka perapian dunia pun menjadi taman mawar. Ia yang
berusaha akan dapat melihat buah badam yang terlindung dalam
kulitnya yang keras itu. Ia tak akan lagi sibuk memikirkan
dirinya sendiri, tetapi akan menengadah memandang wajah
sahabatnya. Pada setiap zarrah ia akan dapat melihat
keseluruhan; ia akan merenungkan ribuan rahasia yang
cemerlang.
Tetapi berapa banyak yang telah tersesat dalam mencari
penunjuk Jalan yang telah menemukan rahasia itu! Perlu
kiranya mempunyai keinginan yang dalam dan tetap untuk
menjadi sebagaimana keadaan kita semestinya buat melintasi
lembah yang sulit ini. Sekali kau telah mengenyam
rahasia-rahasia itu, maka kau pun akan sungguh-sungguh ingin
memahami semua itu. Tetapi apa pun yang mungkin kau capai,
jangan sekali-kali lupa akan sabda Quran, 'Adakah lagi yang
lain?'
Akan halnya kau yang tidur (dan aku tak dapat memuji kau
karena yang demikian), mengapa tak bersedih? Kau yang tak
melihat keindahan sahabatmu, bangunlah dan berusahalah
mencari! Berapa lama kau akan tinggal tetap sebagaimana
keadaanmu sekarang, seperti keledai tanpa tali leher!"
Airmata Batu
Adalah seorang laki-laki di Cina yang mengumpulkan
batu-batu tiada hentinya. Ia mengucurkan airmata
berlimpahan, dan bila airmata itu jatuh ke tanah, berubahlah
jadi batu, yang tiap kali dikumpulkannya. Kalau awan mesti
mencucurkan airmata seperti itu, maka akan menimbulkan
kesedihan dan keluhan.
Pengetahuan sejati menjadi milik pencari yang tulus. Jika
diperlukan mencari pengetahuan ke negeri Cina, maka
pergilah. Tetapi pengetahuan dirusakkan oleh pikiran
dangkal, ia mengeras, bagai batu. Berapa lama lagi
pengetahuan sejati akan terus salah dimengerti? Dunia ini,
rumah kesedihan ini, ada dalam kegelapan; tetapi pengetahuan
sejati ialah perrnata, ia akan menyala bagai lampu dan
menunjukkan jalan padamu di tempat yang kelam ini. Bila kau
remehkan permata ini, kau akan sungguh-sungguh patut
disesalkan. Bila kau tercecer di belakang, kau akan menangis
pedih. Tetapi bila kau hanya tidur sedikit di malam hari,
dan puasa di siang hari, kau mungkin mendapatkan apa yang
kaucari. Maka carilah, dan tenggelamkan dirimu dalam usaha
mencari itu.
Pencinta yang Tidur
Seorang pencinta, merasa cemas dan risau, dan letih
karena mengeluh, tertidur di atas gundukan sebuah makam.
Kekasihnya datang mendekatinya dan melihat dia tertidur,
ditulisnya sepucuk surat kecil lalu disematkannya di jubah
pencintanya itu. Ketika si pencinta bangun dan membaca apa
yang telah ditulis kekasihnya itu, ia pun mengeluh sedih,
karena surat itu berbunyi, "O laki-laki goblok! Bangkitlah,
dan bila kau pedagang, berdaganglah dan dapatkan uang; jika
kau seorang zahid, bangunlah malam hari dan berdoalah pada
Tuhan dan jadilah hamba-Nya. Tetapi jika kau seorang
pencinta, merasalah malu pada dirimu sendiri. Apa gunanya
tidur bagi mata pencinta? Di siang hari pencinta berlomba
dengan angin; di malam hari hatinya yang menyala membuat
wajahnya bersinar seri dengan cemerlang cahaya bulan. Jika
kau bukan laki-laki semacam itu, jangan lagi berlagak
mencintai aku. Jika seseorang bisa tidur di tempat lain dan
bukan di kuburnya, boleh kukatakan dia itu seorang
pencinta-tetapi, pencinta dirinya sendiri."
Perajurit Pengawal yang Sedang
Dalam Bercinta
Seorang perajurit sedang dalam bercinta. Selagi tidak
mengawal pun ia tak bisa tidur. Akhirnya seorang kawan
memintanya agar tidur beberapa jam. Kata perajurit itu, "Aku
perajurit pengawal, dan aku sedang dalam bercinta. Bagaimana
aku bisa istirahat? Seorang perajurit yang sedang bertugas
tak boleh tidur, maka yang demikian itu akan merupakan
keuntungan bagi dia dalam bercinta. Setiap malam cinta
menguji diriku, dan karena itu aku dapat tetap berjaga dan
mengawal benteng. Cinta ini sahabat bagi perajurit pengawal,
karena keadaan jaga menjadi bagian dari dirinya; ia yang
mencapai keadaan demikian akan selalu awas."
Jangan tidur, o insan, jika kau berusaha mendapatkan
pengetahuan tentang dirimu sendiri. Kawal baik-baik benteng
hatimu, karena banyak pencuri di mana-mana. Jangan biarkan
para perampok mencuri permata yang kau bawa. Pengetahuan
sejati akan datang pada dia yang dapat tetap berjaga. Ia
yang dengan sabar berkawal akan sadar-tahu kapan Tuhan
datang mendekat. Para pencinta sejati yang ingin menyerahkan
diri dalam bius kemabukan cinta akan pergi menyendiri. Ia
yang memiliki cinta ruhani menggenggam di tangannya kunci
kedua dunia. Jika ia perempuan, ia akan menjadi laki-laki;
dan jika ia laki-laki, ia akan menjadi lautan yang
dalam.
Mahmud dan Si Gila Tuhan
Suatu hari, di gurun, Mahmud melihat seorang fakir yang
menundukkan kepala dengan sedih berpunggung bungkuk karena
duka. Ketika Sultan mendekatinya, orang itu berkata,
"Enyahlah! Atau akan kupukul kau seratus kali. Pergi,
kataku, kau bukan raja, melainkan orang yang berpikiran
hina, seorang kafir di mata Tuhan." Mahmud menjawab tajam,
"Bicaralah padaku sebagaimana layaknya pada seorang sultan,
jangan serupa itu." Jawab fakir itu, "Jika kau tahu, o si
bodoh, bagaimana kau terjungkir-balik, kerajaan dan kekayaan
pun tak ada artinya; kau akan meratap tiada hentinya dan
membakar kepalamu."
Catatan kaki:
1 Ceruk di mesjid
menghadap ke Mekah. (Tempat sembahyang bagi Imam yang
memimpin sembahyang bersama. - H.A.)
(sebelum, sesudah)
|