|
AGAMA CINTA
Seseorang
pergi ke pintu Sang Kekasih dan
mengetuknya.
Sebuah suara bertanya, "Siapa
itu?"
Ia menjawab, "Ini,
aku."
Suara tersebut berkata, "Tidak ada
ruang untuk Aku dan
Dirimu."
Pintu itu tertutup.
Setelah setahun menyendiri dan
mengembara, ia kembali
dan mengetuknya.
Sebuah suara dari dalam bertanya,
"Siapa itu?"
Orang itu menjawab, "Ini,
Engkau."
Pintu pun terbuka untuknya.
(Jalaluddin Rumi)
Sufisme sering disebut "agama cinta". Tanpa
melihat penampilan lahiriah madzhab-madzhab mereka, para
Sufi telah menjadikan tema ini sebagai persoalan esensial.
Analogi cinta manusia sebagai refleksi dari kebenaran
sejati, begitu sering dinyatakan dalam puisi Sufi dan
seringkali ditafsirkan secara harfiah oleh orang-orang
non-Sufi. Ketika Rumi mengatakan, "Di mana pun engkau
berada, apa pun kondisimu, berusahalah menjadi
pecinta," ia tidak berbicara cinta sebagai suatu tujuan
dalam dirinya sendiri, juga tidak berbicara cinta manusia
sebagai kemungkinan terakhir dari potensi manusia.
Kemerosotan (makna) cinta ideal Sufi di Barat tampak
berkembang luas setelah hilangnya pemahaman linguistik
tentang pengelompokan-pengelompokan kata yang dipakai oleh
para guru Sufi untuk menyampaikan kenyataan bahwa idea
mereka tentang cinta adalah jauh lebih mendalam dari sekadar
fantasi yang dangkal. Karena menyebar dari Spanyol dan
Prancis Selatan ke Eropa Barat dan mengalami suatu perubahan
bahasa yang telah menghilangkan kandungan maknanya yang
efektif, ajaran tentang cinta telah kehilangan karakteristik
esensialnya. Untuk menangkap kembali sifat komprehensif dari
tema khas Sufi ini bagi pembaca Barat, kita harus melihat
perkembangan para troubador.
Satu aspek puisi cinta yang muncul di Spanyol Islam,
yaitu aspek tentang pengagungan kewanitaan, dengan cepat
dialihkan oleh Gereja ke dalam idealisasi Perawan Maria
sebagaimana telah dicatat para sejarawan. Perkembangan ini
terlihat pada kumpulan puisi yang disusun oleh Alfonso the
Sage dari sumber-sumber Saracen (Spanyol Islam). Seorang
pakar tentang masalah ini mengabadikan momen tersebut dengan
merujuk kepada Pengagungan Perawan Suci Maria (Cantigas de
Santa Maria): "Persoalan tersebut --pengagungan
terhadap Perawan Suci Maria-- merupakan perkembangan logis
dari idealisasi para troubador terhadap istri-istri tuan
tanah mereka, sementara puisi-puisi troubador dari segi
materi, bentuk dan gayanya berkaitan erat dengan idealisme
dan puisi Arab yang ditulis di
Spanyol."1
Profesor Hitti dan lain-lainnya benar-benar merasa yakin
terhadap asal-usul Arab dari para troubador: "Para
troubador ... menyerupai para penyanyi Arab, bukan saja dari
segi sentimen dan karakternya tetapi juga dari segi
bentuk-bentuk nyanyian mereka. Judul-judul tertentu yang
diberikan para penyanyi Provencal (di Prancis) pada
lagu-lagu mereka hanyalah merupakan terjemahan-terjemahan
dari judul-judul Arabnya."2
Asal-usul kata troubador dari kata roman yang berarti
"menemukan" merupakan asal-usul kedua. Mereka
disebut "para penemu" dalam pengertian bahwa makna
ini merupakan naturalisasi terdekat yang bisa diterapkan
pada istilah aslinya dari bahasa Arab, sementara ia sendiri
merupakan suatu permainan di antara dua kata. Pertama adalah
kata RBB (biola alto), yang digunakan oleh para penyanyi
Sufi dan dipakai oleh Khayyam maupun Rumi sendiri
sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Profesor
Nicholson.3 Kata
kedua adalah akar kata TRB. Kata ketiga adalah akar kata RB
--yang secara harfiah, jika diubah menjadi RaBBat, berarti
"perempuan, nyonya rumah, berhala perempuan."
Sebagaimana berkali-kali ditunjukkkan dalam buku ini,
nama-nama Sufi untuk kelompok-kelompok khusus tanpa kecuali
dipilih dengan memperhatikan dan mempertimbangkan secermat
mungkin hal-hal yang menyenangkan dari situasi puitis. Kita
harus ingat bahwa bagian kata ador (troub-ador) hanyalah
akhiran (bahasa) Spanyol untuk menunjukkan agent (pelaku),
dan bukan bagian konsep asal.
Dengan mengikuti asal-usul dari akar-akar kata RB dan
TRB, jika digunakan untuk menggambarkan kegiatan-kegiatan
dari sekelompok orang, kita akan menemukan sepuluh kata
turunan utama:
- TaraBaB = memberi parfum, membesarkan anak.
- RaBBa = mengumpulkan, memerintah rakyat,
menguasai.
- TaRaBBaB = mengklaim kepenguasaan.
- RaBB = Penguasa, Tuhan, tuan tanah.
- RaBBat = perempuan, nyonya rumah, berhala
perempuan.
- RiBaB = perjanjian, sahabat, sepersepuluh bagian yang
diberikan.
- MaRaB = pengumpul, tempat tinggal, tempat
pertemuan.
- MaRaBBaB = memelihara, manisan.
- MuTriB = musisi, anggota pendukung Sufi, guru,
pembimbing.4
- RaBaB = biola alto, sebutan bagi penyanyi Sufi yang
digunakan oleh Rumi, Khayyam, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, dilihat dari penggunaan Sufistik, kita
tidak berurusan dengan suatu fenomena nyanyian Arab, tetapi
dengan upaya-upaya dari sekelompok guru Sufi dimana tema
cinta merupakan suatu bagian dari keseluruhan. Meskipun
idealisasi perempuan atau biola tidak penting, tetapi ia
merupakan aspek-aspek parsial dari keseluruhan tersebut.
Ajaran-ajaran dari sekolah-sekolah Sufi mengandung semua
unsur yang terangkum dalam nama khusus troubador itu. Para
Sufi berkumpul bersama pada suatu tempat pertemuan, sebagian
tinggal di "biara-biara" (RaBAT), yang sampai saat
ini masih dikenang untuk nama-nama tempat di Spanyol seperti
Arrabida, Rabida, Rapita, Rabeda. Mereka menyebut diri
mereka sendiri dan (mereka) disebut "para pecinta"
dan juga "para tuan." Meskipun disebut "para
tuan", mereka juga disebut "para budak
cinta", sebagaimana yang sering mereka tekankan. Mereka
memainkan biola, dan menggunakan kata sandi tertentu yang
memuat dua kata alternatif untuk "manisan" dan
"kekasih" dalam menekankan atau mengingat-ingat
bahwa nama kelompok tersebut mempunyai beberapa makna yang
berbeda, tetapi tetap terkait ungkapan tersebut. Secara
kasar ungkapan itu bisa diterjemahkan dengan "menjadi
kekasih (RB) dan melewati kesulitan (RB)". Mereka
berbicara tentang ketuhanan sebagai perempuan, berhala,
nyonya rumah. Ibnu Arabi ("guru terbesar" para
Sufi dari Spanyol), menggunakan tamsil ini sampai pada
tingkatan sedemikian rupa sehingga ia dituduh melakukan
penghujatan (terhadap akidah ortodoks Islam).
Para troubador merupakan asal-usul dari suatu gerakan
Sufi yang pada mulanya berkisar pada nama mereka dan melekat
padanya setelah berbagai seginya dilupakan. Orang-orang Arab
memerintah Spanyol sejak awal abad kedelapan, dan kemunculan
sekolah-sekolah Sufi tercatat selama abad kesembilan. Para
penyair dari Provencal pertama menulis karya-karyanya pada
akhir abad kesebelas. Meskipun telah menipiskan suatu bentuk
dari aliran Sufi, kesesuaian antara cita rasa seni troubador
dan bahan Sufi asli tetap tercatat bahkan oleh orang-orang
yang tidak memiliki pengetahuan khusus tentang hubungan
batin tersebut. Emerson menyejajarkan penyair besar cinta
Sufi, yaitu Hafizh dengan para troubador dan menegaskan
esensi sejati dari puisi mereka, "Bacalah Hafizh dan
trouveres (para troubador), buktikan buku-buku yang oleh
semua orang-orang jenius dianggap sebagai bahan mentah dan
sebagai penangkal puisi dangkal dan palsu."
Sebenarnya ada sesuatu yang lebih mendalam selain
penampilan superfisial dari para troubador yang dicatat oleh
Robert Graves dalam The Mite Goddess (Dewi-dewi Putih).
Karena menulis pada suatu waktu ketika ia belum menyelidiki
Sufisme sama sekali, ia menyadari bahwa telah terjadi suatu
proses yang bekerja pada puisi yang telah mengubah makna dan
tujuan aslinya.
"Fantasi memainkan suatu peran kecil dalam
perkembangan mitos-mitos Yunani, Latin dan Palestina, atau
mitos-mitos Celtic sampai para troubador Normandia-Prancis
mengubahnya menjadi roman-roman ksatriaan yang bertanggung
jawab. Roman-roman itu semuanya merupakan catatan-catatan
yang mengerikan tentang kebiasaan-kebiasaan dan
peristiwa-peristiwa keagamaan kuno, dan cukup bisa
diandalkan sebagai catatan sejarah jika bahasanya dipahami
dan melakukan perbaikan atas kesalahan transkripsi,
kesalahpahaman atau ritual yang sudah tidak dipraktikkan,
serta perubahan-perubahan sengaja yang dimaksudkan untuk
alasan-alasan moral dan
politik."5
Untuk mengarahkan diri kita sendiri, untuk merasakan
suasana dari masa tersebut ketika pemikiran Sufi melalui
puisi dan musik telah menyediakan semacam ragi bagi
pemikiran Barat yang masih melekat kepada kita, kita bisa
merujuk kepada Michelet, seorang ahli zaman Pertengahan
Prancis.6
"Kegelapan skolastik Kristiani telah diganti oleh
cahaya dan kehangatan dari kehidupan Saracen, disamping
kemerosotan kekuatan militernya," katanya. Gambaran
yang yang diberikannya kepada kita itu jelas sekali
memperlihatkan pengaruh Sufi, bukan pemikiran
"Arab". Bagian ini mungkin seluruhnya dimaksudkan
untuk tujuan ini. Seperti Emerson dan Graves, keberadaannya
itu juga menggarisbawahi pandangan intuitif Michelet
terhadap suatu proses yang mendasari para penyair merasakan
dorongan Sufi pada diri Hafizh dan para troubador.
Sebagai contoh, ia menceritakan kepada kita bahwa Dante
dan St. Thomas Aquinas memandang setan dengan salah satu
dari dua cara --cara Kristiani, "pikiran aneh dan kasar
... seperti keadaannya pada masa-masa awalnya, ketika Yesus
masih mampu menggiringnya memasuki kawanan babi." Cara
lain (cara Sufi) adalah memandang setan sebagai
"seorang pemikir yang pelik, teolog skolastik, ahli
hukum yang suka membual". Pandangan terakhir ini selalu
ditekankan oleh para Sufi: "Carilah Setan yang
sesungguhnya dalam diri sofis skolastik, atau ulama yang
pandai berkelit --ia adalah lawan kebenaran."
Kecenderungan kedua yang ditekankan oleh Michelet sebagai
suatu penegasan Islam bagi Barat --suatu kesadaran baru
tentang cinta, kasih sayang, seni, warna, kegairahan hati--
begitu kuat dengan ditandai gagasan dan aktivitas-aktvitas
Sufi, bukan oleh kalangan skolastik kaku Muslim Spanyol yang
pada tahun 1106-1043 secara terang-terangan membakar
kitab-kitab al-Ghazali, salah satu dari tokoh Sufi
terbesar:
"Sejak dari Asia, orang-orang itu mengira (bahwa)
mereka telah menghapuskannya dan membangkitkan tugas baru
yang sangat mulia, cahayanya menembus jauh, sangat jauh,
sehingga mampu menembus kabut tebal Barat. Inilah suatu
dunia alami dan kesenian dimana kebodohan telah dikutuk,
bahkan sekarang melangkah ke depan untuk menaklukkan para
penakluknya dalam perang damai penuh cinta dan kehangatan
sifat keibuan. Semua orang menyebutkan namanya; semuanya
terpukau dan tidak memiliki apa pun dari yang bukan Asia.
Timur mencurahkan kekayaannya kepada kita; anyaman dan
selendang, karpet-karpet halus dengan warna-warna yang
dipadu secara trampil dari alat tenun, pedang-pedang tajam
dan mengkilat dari baja, meyakinkan kita akan kebiadaban
kita ... Apakah ada seseorang dengan akal yang cukup waras,
dimana kewarasan begitu langka, akan menerima semua ini
tanpa kebingungan, tanpa rasa mabuk ... Apakah ada suatu
jiwa yang tidak ketakutan dan membeku akibat dogma-dogma
Aquinas yang kaku, masih bebas menghayati kehidupan dan
melumpuhkan kehidupan yang kaku? Tiga pemikir raksasa
(Albertus Magnus, Roger Bacon, Arnold of Vallaneuve)
mengupayakan tugas tersebut dan melalui upaya keras pikiran,
mereka menguak jalan menuju sumber Alam; meskipun berani dan
jenius, upaya ini tidak memiliki kemampuan menyesuaikan diri
dengan semangat rakyat."
Arus Sufi dibendung secara parsial. Barat menerima
dasar-dasar kemewahan, puisi cinta, dan kenikmatan hidup.
Sementara unsur-unsur tertentu yang penting untuk keutuhan
dan tidak mungkin dipahami tanpa teladan langsung dari
penempuh Jalan Sufi, hampir-hampir tetap tidak dikenal.
Mursyid Sufi yang terselewengkan berupa sosok misterius dan
mendekati sosok okultis, samar-samar terlihat di
tempat-tempat angker. Sebagian besar ia adalah sosok yang
(dikenal) melalui cerita, bukan melalui pertemuan
langsung.
Beberapa abad kemudian, dengan merujuk kembali kepada
sumber-sumber pemujaan cinta yang telah membentuk warisan
ajaran ini di Barat sendiri, tidak kurang sarjana besar
seperti Profesor Nicholson sendiri telah menggubah sebait
syair Sufi:
Cinta, ya hanya Cinta bisa
membunuh
ular beku nafsu yang tampak mati.
Hanya cinta, melalui doa dengan
derai air mata dan gairah hati
yang membara, yang mampu mengungkap
ma'rifat
yang tidak pernah diketahui oleh berbagai
madzhab.7
Begitu kuat daya hidup tema batiniah Sufi dalam puisi ini
sehingga ia meletakkan dasar bagi sejumlah besar kepustakaan
Barat pada perkembangan berikutnya. Sebagaimana seorang
penulis menyatakannya, "Tanpa para penyanyi Provencal
dan troubador, pasti hanya sedikit musik kontemporer kita
yang layak untuk dihargai. Tentu saja kita mempunyai
nyanyian-nyanyian untuk pemakaman dan lagu-lagu rakyat,
tetapi seruan kuat yang asing itu mengajak pada sesuatu yang
berbeda, sesuatu yang harus kita tuntaskan sebagai manusia,
sesuatu yang barangkali tak terwadahi puisi maupun
musik."8
Meskipun dengan penekanan yang kecil, transmisi Sufi
harus dipandang sebagai komposisi dasar bagi kehidupan
modern. Ini bukan berarti bahwa tujuan-tujuannya dipahami
pada masa kini, sebab tradisi yang telah dikenal di Barat
niscaya tidak utuh. Pakar terbesar tentang Arab, yakni
Profesor Philip Hitti memandang transmisi Provencal dan
troubador ini sebagai suatu titik tolak suatu peradaban
Barat yang baru:
"Di Prancis Selatan, penyair-penyair Provencal
berkembang pesat pada akhir abad kesebelas dengan membawa
detak cinta yang terungkap dalam kekayaan imaji fantastik.
Sementara para troubador (TaRaB = musik, nyanyian) yang
berkembang pada abad kedua belas meniru rekan-rekan
sezamannya dari Selatan, para penyanyi Zajal. Mengikuti
contoh Arab, pemujaan perempuan tiba-tiba muncul di Eropa
barat daya. Chanson de Roland, monumen teragung dalam
kepustakaan Eropa awal yang hadir menjelang tahun 1080,
menandai permulaan sebuah abad baru --yaitu peradaban Eropa
Barat-- sama seperti puisi-puisi Homerik menandai permulaan
sejarah Yunani, yang eksistensinya berhutang pada suatu
hubungan militer dengan Spanyol
Muslim."9
Sementara musik Eropa sebagaimana kita kenal pada saat
ini telah ditransformasi oleh perkembangan dari
sumber-sumber Sufi ini.10
Hubungan antara cinta dan puisi, antara penyair dan
pemusik dan hubungan antara mereka (penyair dan pemusik)
dengan "penyihir" dalam pengertian luas,
berlangsung melalui Sufisme, sebagaimana melalui tradisi
Barat yang tentu saja berhubungan dan diperkuat melalui
Sufisme. Hal ini seperti dua arus kembar dari ajaran kuno
yang menyatu dalam dimensi ini, jauh berbeda dari akal
rasional yang dingin. Meskipun demikian, dalam Sufisme,
tujuan penyair-pemusik-penyihir bukan semata-mata untuk
terserap ke dalam kebenaran yang dipelajarinya. Ia
ditransformasi oleh tradisi itu sehingga mempunyai fungsi
sosial - untuk'memasukan kembali bimbingan yang
dibutuhkan manusia untuk memenuhi (kesempurnaan) dirinya
dalam arus kehidupan. Inilah peran dari pengalaman
"kebun-rahasia" dimana di baliknya bisa dipahami
misi penyair tersebut. Florence Lederer menangkap pengertian
ini secara kuat ketika mengomentari puisi Syabistari yang
mengagumkan, Kebun Rahasia: "Tetapi manusia tidak boleh
berhenti dalam penyatuan Ilahiyah ini. Ia harus kembali ke
dunia semu ini dan dalam perjalanan ke bawah ia harus
menjaga hukumhukum biasa dan keyakinan
manusia."11
Seperti para penyair-penyihir Barat kuno, Anwari
menekankan bahwa penyair dan pecinta saling menyinari:
Jika menjadi pecinta harus menjadi
penyair,
Akulah sang penyair;
Jika menjadi penyair harus menjadi
penyihir,
Akulah sang penyihir;
Jika menjadi penyihir harus berpikir
jahat,
Aku bisa berpikir jahat;
Jika karena berpikir jahat harus dibenci oleh
dunia,
Aku rela untuk itu.
Dibenci dunia berarti menjadi pecinta hakikat,
dan
itulah yang sering terjadi.
Aku tegaskan, Akulah sang Pecinta!
Dalam (kitab) Kunci Orang-orang Afghanistan, seorang
penyair Sufi pada abad ketujuh belas menyatakan:
Anak panah membutuhkan seorang pemanah, dan puisi
membutuhkan seorang penyihir. Dalam benaknya ia harus selalu
mencantumkan skala-skala jarak, dengan menolak (dimensi)
panjang dan pendek. Kebenaran adalah kekasihnya yang
tersembunyi dalam kiasan. Dari bawah cemetinya, seratus
bidikan tepat terlontar. Penyair akan menghiasi jari-jarinya
dengan permata warna-warni, menghiasinya dengan wewangian
dan aroma kiasan
saffron. Pengulangan suara pertama akan berdenting
seperti gelang kaki; atau kuncupnya akan menjadi misteri
irama yang tersembunyi. Bersama-sama dengan rahasia-rahasia
dari makna batin dan mata-mata yang tertutup, semua ini
menjadikan tubuhnya sebagai misteri yang utuh.
Apakah sebenarnya yang hilang dalam transisi tema cinta
dari Timur ke Barat? Pertama, pengetahuan tentang arti
penting cinta yang lebih luas dan hanya bisa ditumbuhkan
melalui hubungan (antar) manusia dan hubungannya dengan
unsur-unsur kehidupan lainnya. Individu yang semata-mata
menyamakan cinta dengan ketuhanan dari sudut pandang
seseorang yang telah menemukan hubungan dengan dasar
kehidupan adalah barbarian (biadab).
Kedua, kepelikan-kepelikan dan kedalaman dalam kedalaman
yang terkandung dalam karya-karya seni yang dihasilkan oleh
para cendekia Sufi. Orang biadab akan mengambil makanan dari
apa yang bisa dilihat dan dipegang. Orang buta warna mungkin
melihat semua warna dalam bayang-bayang putih, abu-abu dan
hitam. Hal ini mungkin memenuhi keinginan-keinginannya,
tetapi menurut Sufi tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Kepelikan dalam kesenian Timur dan lainnya bukan semata-mata
suatu pertunjukan kekayaan atau ketrampilan. Ia merupakan
suatu kias dari rangkaian makna tak terbatas yang bisa
disalurkan dari suatu wadah ke wadah lainnya. Lebih jauh
lagi, mereka yang telah merasakan pengalaman-pengalaman Sufi
menyadari bahwa sejauh menyangkut manusia, keanekaragaman
makna dalam karya seni semacam ini dimaksudkan untuk
membawanya kepada persepsi yang benar tentang apa
sesungguhnya realitas batin itu. Persepsi tentang realitas
batin inilah yang memungkinkan untuk membawa dirinya sendiri
melangkah menuju evolusi yang lebih besar sebagai tujuan
akhir manusia.
Hampir semua orang akan melihat serangkaian kotak Cina
hanya sebagai suatu hasil kesenian atau kerajinan yang indah
secara lahiriah. Karena telah menemukan "kunci
peralihan abadi", seorang Sufi akan menyadari bahwa
hasil karya seni itu adalah sebuah kias, bukan sesuatu yang
membingungkan atau menyenangkan orang biadab. Jadi bagi Sufi
ia merupakan tema cinta yang utuh. Dengan analogi cinta dan
menggunakannya dalam kesusastraan, ia bisa menjembatani
jurang pemisah dalam pemahaman orang lain yang berada pada
tahapan lebih awal di Jalan itu.
Cinta adalah "bilangan-pembagi" umum bagi
manusia. Karena telah menembus rahasia-rahasia cinta dengan
merasakan realitas sejati yang terletak di balik (dunia
kasat mata), seorang Sufi kembali ke dunia (nyata) untuk
menyampaikan langkah-langkah di Jalan itu. Mereka yang tetap
mabuk di pinggiran Jalan itu tidak menjadi perhatiannya.
Mereka yang ingin melangkah lebih jauh harus mengkajinya dan
juga karya-karyanya.
Catatan:
11 J. B. Trend, The
Legacy of Islam, Oxford, 1931, hlm. 31.
2 P Hitti, History of the
Arabs, New York, 1951, hlm. 600.
3 R. A. Nicholson,
Selections from the Diwan-i-Shams-i Tabriz, dalam Kata
Pengantar, hlm. xxxi dan seterusnya.
4 Prof Edward Palmer,
Oriental Mysticism, hlm. 80.
5 Edisi Faber and Faber,
London, 1961, hlm. 13.
6 Jules Michelet,
Satanism and Witchcraft (terjernahan A. R. Allinson),
London, 1960, hlm. 71-73.
7 R. A. Nicholson, Rumi,
Poet and Mystic, London, 1956.
8 G. Butler, The
Leadership of the Strange Cult of Love, Bristol, 1910, hlm.
17.
9 P K. Hitti, History of
the Arabs, Ed. 1951, hlm. 562.
10 Ibid., "Adelard
of Bath yang belajar musik di Paris, kemungkinan adalah
penerjemah dari risalah matematika al-Khawarizmi, yaitu
Liber Ysagogarum Alchorism. Oleh karena itu ia merupakan
orang pertama yang memperkenalkan musikArab ke dunia Latin
... Yang signifikan adalah bahwa dalam periode yang sama
sebuah prinsip baru muncul dalam musik Eropa Kristiani.
Prinsip tersebut adalah bahwa not-not (musik) mempunyai
nilai waktu yang pasti atau rasio diantaranya ... Istilah
Ochetus (corak ritmis) kemungkinan merupakan transformasi
dari kata Arab iqa'at (jamak dari iqa). Musik berdasar
aturan yang pasti (matematis) tersebut barangkali merupakan
sumbangan terbesar, tetapi tentu saja bukan satu-satunya
sumbangan orang-orang Arab dalam bidang pengetahuan musik
ini."
11 F. Lederer, The
Secret Garden, London, 1920.
|