LATAR BELAKANG II: GAJAH DI
KEGELAPAN
- Seseorang yang belum pernah melihat air, ia dilempar
ke dalamnya dengan mata tertutup, maka ia akan
merasakannya. Ketika tutupnya dibuka, ia akan tahu apa
itu air. Selanjutnya ia cukup mengetahuinya melalui
dampaknya.
(Rumi, Fihi Ma
Fihi)
Dengan ekspansi ilmu pengetahuan dan seni pada Abad
Pertengahan Islam-Spanyol, para Sufi genius lahir sebagai
tabib dan ilmuwan. Mereka meninggalkan simbol dalam seni
bangunan dan dekoratif (beberapa diantaranya kini disebut
seni arabesque), yang dirancang untuk melestarikan
secara visual beberapa kebenaran abadi yang diyakini oleh
para Sufi sebagai menyimpulkan pencarian jiwa manusia,
kemajuan, keselarasan terakhir dan integrasi dengan semua
makhluk.1
Meski seringkali membingungkan para pengamat karena
ketidaktahuan mereka tentang sistem makna yang sebenarnya,
hasil sistem praktis yang mendalam dari para Sufi ditemukan
dalam pemikiran, seni dan fenomena magis-okultis baik di
Timur maupun di Barat. Untuk mendekati pengalaman Sufi
secara lebih jelas, kita harus melihat sekilas metode
pemikiran dan gagasan dasar para mistikus ini. Kita bisa
mulai dari sebuah syair, humor atau sebuah simbol.
Memasuki pemikiran Sufistik secara tradisional hampir
seberagam eksistensi para Sufi. Sebagai contoh, agama tidak
bisa diterima atau ditolak begitu saja, sampai murid
mengetahui dengan tepat apa makna agama itu. Menurut para
Sufi, kesatuan hakiki dari semua agama tidak diterima di
seluruh dunia karena kebanyakan para penganut agama tidak
mengetahui apa esensi agama itu. Agama bukanlah seperti apa
yang pada umumnya diasumsikan.
Bagi Sufi, agamawan dan pencela agama (kafir) diumpamakan
seperti orang yang percaya bahwa bentuk bumi datar dan orang
yang percaya bahwa bentuk bumi tabung tengah berdebat
sementara keduanya tidak mempunyai pengalaman apa pun
tentangnya.
Hal ini menunjukkan perbedaan mendasar antara metode Sufi
dengan sistem metafisik lainnya. Terlalu sering diterima
begitu saja bahwa seseorang harus percaya atau tidak, atau
mungkin bersikap agnostik saja. Jika ia percaya, maka
seharusnya menerima suatu kepercayaan atau sebuah sistem
yang mungkin memenuhi apa yang dibutuhkannya. Sebagian kecil
orang mengatakan kepadanya bahwa ia mungkin tidak mengerti
apa yang dibutuhkannya.
Dunia para Sufi adalah dunia ekstra dimensi. Segala
sesuatu bagi Sufi bermakna, dalam pengertian mereka bukanlah
orang-orang yang hanya mengikuti latihan yang dipaksakan
oleh masyarakat umum.
Beberapa orang "terpaku pada suatu hal". "Seseorang yang
lapar, ketika ditanya jumlah dua ditambah dua, ia akan
menjawab, 'Empat (bahkan delapan) potong roti'."
Totalitas kehidupan ini tidak bisa dipahami, demikian
pula ajaran Sufi jika hanya dikaji melalui metode-metode
yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
sebagian karena, meskipun pertanyaan, "Apa makna semua itu?"
dapat dikemukakan dengan ungkapan rasional, tentu saja
jawabannya tidak harus dikemukakan sejalan dengan pertanyaan
itu. Sufisme datang melalui pengalaman dan pencerahan.
Sebuah alat yang digunakan untuk mengukur benda-benda kecil
tentu saja tidak bisa digunakan untuk mengukur benda-benda
besar. "Praktekkan ilmu pengetahuanmu, karena pengetahuan
tanpa praktek seperti tubuh tanpa jiwa" -Abu
Hanifah.2 Seorang
ilmuwan mungkin mengatakan kepada Anda bahwa ruang dan waktu
adalah sama, atau bahwa materi sama sekali tidak solid. Ia
mungkin bisa membuktikannya melalui metodenya sendiri. Namun
pembuktian ini akan menjadi agak sulit Anda pahami dan sama
sekali tidak Anda alami. Setiap materi dapat dibagi-bagi
sampai tak terhingga bukan? Namun untuk tujuan praktis,
biasanya ada batas pembagian, misalnya Anda memotong-motong
sebatang coklat. Dengan demikian, di satu sisi Anda melihat
sebatang coklat, di sisi lain Anda melihat sebuah obyek yang
dapat dibagi sebanyak mungkin. Pikiran manusia cenderung
membuat generalisasi atas bukti parsial. Para Sufi yakin
bahwa mereka bisa mengalami sesuatu yang lebih kompleks.
Sebuah kisah tradisional Sufi menggambarkan persoalan ini
dalam salah satu aspeknya dan menunjukkan berbagai kendala
yang dihadapi kalangan terpelajar ketika mereka mendekati
para Sufi dengan menerapkan metode kajian mereka yang
terbatas.
Seekor gajah mengadakan perjalanan dalam sebuah rombongan
sirkus. Ia berada di dalam kandang dekat sebuah kota di mana
penduduknya belum pernah melihat apa itu gajah. Mendengar
hal yang menakjubkan itu, empat warga kota pergi melihatnya
agar mereka bisa mengetahui seperti apa gajah itu. Ketika
mereka tiba di kandang gajah, tiba-tiba lampu padam. Jadi
penyelidikan berlangsung dalam keadaan gelap.
Orang pertama menyentuh belalainya, sehingga ia mengira
bahwa makhluk ini pasti seperti sebatang pipa. Orang kedua
menyentuh telinganya dan menyimpulkan bahwa ia adalah kipas.
Orang ketiga memegang kakinya sehingga ia berkesimpulan
bahwa gajah itu adalah binatang seperti pilar. Akhirnya
orang keempat menyentuh punggungnya sehingga ia yakin bahwa
ia adalah semacam singgasana. Tidak seorang pun bisa
menggambarkan gajah dengan sempurna. Lantaran menyentuh
sebagian makhluk itu, maka setiap orang hanya mengacu pada
apa yang telah diketahuinya. Hasil penyelidikan itu
membingungkan. Setiap orang merasa yakin bahwa dirinya benar
sehingga tidak ada warga kota yang bisa memahami apa yang
terjadi, apa yang sebenarnya dialami oleh para penyelidik
itu.
Ketika orang biasa ingin mengetahui pemikiran Sufi, ia
biasanya merujuk buku-buku referensi. Ia mungkin mencari
kata "Sufi" dalam ensiklopedia atau mengacu pada buku-buku
yang dikarang para sarjana dan peneliti yang ahli dalam
bidang agama dan mistisisme.
Bila ia melakukan itu, ia akan menjumpai sejumlah besar
contoh tentang mentalitas "gajah di kegelapan" itu.
Menurut seorang sarjana dari Persia, Sufisme adalah
sebuah penyimpangan dari ajaran Kristen. Seorang profesor
dari Universitas Oxford berpendapat bahwa Sufisme
dipengaruhi oleh Hindu-Vedanta. Seorang profesor
Arab-Amerika menyatakan bahwa Sufisme semacam reaksi
terhadap intelektualisme dalam Islam. Seorang profesor di
bidang kesusastraan Semit menandaskan adanya jejak-jejak
Sufisme dalam Shamanisme Asia Tengah. Seorang Jerman
menyatakan bahwa Sufisme adalah Kristianitas plus Budhisme.
Sementara dua orientalis Inggris terkemuka telah menyediakan
dana untuk meneliti pengaruh kuat Neoplatonisme atas
Sufisme, namun salah seorang kemudian mengakui bahwa Sufisme
mungkin lahir secara independen. Dengan mempublikasikan
opininya melalui sebuah universitas di Amerika, seorang Arab
meyakinkan para pembacanya bahwa Neoplatonisme sendiri
adalah pemikiran Yunani plus Persia (dengan berdasar pada
sebuah sumber Sufi). Salah seorang ahli kajian Arab
terkemuka berkebangsaan Spanyol mengklaim bahwa Sufisme
bersumber pada monastisisme Kristen dan menyatakan bahwa
Manichaeisme adalah salah satu sumber Sufisme. Akademisi
lain yang tak kalah reputasinya menemukan Gnostisisme
diantara para Sufi. Sementara seorang profesor Inggris,
penterjemah sebuah buku Sufi, lebih suka menyatakan bahwa
Sufisme adalah "sebuah sekte kecil Persia". Namun
penterjemah lainnya menemukan tradisi mistik para Sufi "di
dalam al-Qur'an sendiri". "Meskipun banyak definisi yang
mengacu pada buku-buku Arab dan Persia secara historis
menarik kesimpulan pokoknya ternyata menunjukkan bahwa
Sufisme tidak dapat didefinisikan."3
Seorang pengamat Rumi (1207-1273), asal Pakistan
menganggap bahwa Rumi adalah ahli waris yang sebenarnya dari
semua aliran pemikiran kuno sebagaimana direpresentasikan di
Timur Dekat. Namun mereka yang telah mengadakan hubungan
langsung dengan para Sufi dan pernah menghadiri majelis
mereka, tidak memerlukan penyesuaian mental dan kehendak
untuk memahami bahwa Sufisme sendiri mengandung berbagai
unsur dari sistem non-Sufi seperti Gnostisisme,
Neoplatonisme, Aristotelianisme dan lain-lain. "Tidak banyak
gelombang yang memintal-mintal dan sekilas memantulkan sinar
mentari -- semua berasal dari laut yang sama," kata guru
Sufi Halki. Disamping itu, pikiran yang telah dilatih untuk
percaya pada ciri khas dan monopoli pemikiran madzhab
tertentu tidak akan mudah memasukkan pemahaman sintetis itu
ke dalam kontemplasi Sufisme.
Dr. Khalifa Abdul Hakim menunjukkan bahwa ia bisa mengacu
pada setiap madzhab filsafat yang dirujuk Rumi tanpa harus
menganggap pemikiran tertentu diturunkan dan pemikiran lain.
Ia menyatakan, "Matsnawi-nya adalah sebuah kristal
dari berbagai unsur. Di dalamnya kita melihat refleksi dan
cahaya monotheisme Semitik yang terputus-putus,
intelektualisme Yunani, teori idea Plato, teori sebab-akibat
Aristoteles, Yang Esa dari Plotinus dan pengalaman ekstase
ketika menyatu dengan Yang Esa, berbagai persoalan
kontroversial para mutakallimun, teori emanasi Ibnu
Sina dan al-Farabi, teori kesadaran nubuwah al-Ghazali dan
monisme Ibnu Arabi."
Namun perlu dicatat bahwa pernyataan ini bukan berarti
Rumi telah membangun sebuah sistem mistisisme dari berbagai
unsur itu. "Buah pir tidak hanya ditemukan di
Samarkand."
Kepustakaan tentang Sufisme sangat banyak -- sejumlah
besar naskah-naskah Sufi telah diterjemahkan oleh para
sarjana Barat. Beberapa sarjana, jika memang ada, telah
memperoleh manfaat setelah memahami Sufisme, mengetahui
tradisi lisannya atau bahkan tarekat Sufi sebagai sumber
kajian formalnya. Ini bukan berarti bahwa karya mereka tidak
bermanfaat. Karya-karya itu sangat berguna bagi Orientalis,
namun mungkin cenderung inkoheren. Seperti penulis dongeng
yang harus menyertai tulisannya dan membacakannya sendiri
karena tulisannya tidak dapat dibaca. Karya-karya itu
membutuhkan ulasan sang Sufi sendiri.
Pengaruh terjemahan dan buku diskursif tentang Sufisme
terhadap murid yang belum mengenalnya pasti sangat kuat dan
niscaya akan sulit dilupakan. Metode pendekatan melalui
penterjemahan itu akan menghadapi masalah yang pelik. Dengan
menyisihkan masalah perbedaan tingkat akurasi dan makna yang
ditangkap para penterjemah (masalah yang mengandung berbagai
kekaburan meskipun sebenarnya merupakan kegiatan yang tidak
relevan), kita akan tahu bahwa karya sastra dalam bentuk
terjemahan itu mungkin membuat pembaca terpesona dan
mengalami petualangan yang asing.
Kadangkala mereka menterjemahkan irama dan rima orisinil
dari puisi Timur ke dalam bahasa Inggris, karena mereka
merasa bahwa kiat ini membantu untuk menyampaikan makna yang
orisinal. Namun penterjemah lainnya mempertahankan pandangan
sebaliknya dan menghindari upaya menterjemah dengan cara
tersebut, karena mereka mengklaim bahwa hal itu tidak
mungkin dicapai atau menimbulkan makna yang berbeda.
Disamping itu, beberapa naskah diterjemahkan dengan bantuan
berbagai komentar non-Sufi (pada umumnya Muslim, bahkan
teolog formal Kristen). Kemudian ada berbagai terjemahan
parsial, terbitan seleksi yang telah dipotong sehingga
penterjemahnya kesulitan sendiri untuk memberikan judulnya.
Ia kurang mengetahui praktek-praktek Sufi, sehingga
keberaniannya itu rupanya menimbulkan berbagai perusakan.
Karya tulis Sufi bukanlah semata-mata karya sastra,
filsafat, atau teknik.
Ada sebuah terjemahan buku Persia dalam bahasa Inggris,
namun diterjemahkan dalam bahasa Perancis. Versi bahasa
Perancis ini adalah terjemahan dari bahasa Urdu sebagai
karya klasik Persia yang diikhtisarkan dari sebuah buku
Arab. Banyak versi modern dari karya sastra Persia klasik
yang kadangkala disunting untuk mengimbangi berbagai
referensi yang menyerang kepercayaan agama Iran. Disamping
itu muncul penulis non-akademis dan penulis populer dari
kalangan Kristen (misionaris), Hindu, neo-Hindu Barat -- dan
neo-Sufi Barat -- yang menulis tentang Sufisme. Presentasi
Sufisme di kalangan terpelajar dalam bahasa Barat itu
menghasilkan kepustakaan yang sangat berlimpah dibandingkan
kepustakaan di bidang lainnya.
Pengamatan kaleidoskopis itu mempunyai kecenderungan
insidentilnya sendiri. Tendensi berbias ini -- suatu istilah
yang mungkin tidak tepat, atau sebaiknya "polikotomi"
(menurut istilah dikotomi) -- ternyata menyentuh pokok
kajian yang sangat menarik selama hampir seribu tahun yang
lalu. Hal ini juga pernah terjadi ketika pemikir Yahudi
Avicebron dari Malaga (hidup kira-kira 1020-1050 atau 1070)
menulis sebuah buku berjudul Fountain of Life (Sumber
Kehidupan), sebuah karya tulis berdasarkan filsafat
iluministik Sufi. Karena ia menulis dalam bahasa Arab, maka
banyak pemikir Kristen otoritatif dari madzhab Eropa Utara
dan telah mempelajari ilmu pengetahuan "Arab", mengira bahwa
ia adalah orang Arab. Setidaknya beberapa pemikir menganggap
bahwa ia beragama Kristen, sebagai "gema ajaran," demikian
kata mereka. Kalangan Franciscan (Ordo keagamaan yang
didirikan oleh Francis Assisi pada tahun 1209, pent.)
menerima ajaran-ajarannya dengan penuh semangat dan
mentransmisikannya kedalam aliran pemikiran Kristen.
Sementara ajaran-ajarannya telah diseleksi dari sebuah
terjemahan bahasa Latin yang dikerjakan sekitar seabad
setelah kematian Avicebron.
Sementara seorang akademisi perempuan terkemuka, penulis
otoritatif tentang mistisisme Timur Tengah telah menyentuh
lebih dari satu bagian gajah. Dalam sebuah bukunya, ia
menyatakan bahwa Sufisme "mungkin dipengaruhi secara
langsung oleh pemikiran Budhisme." Ia mengimbuhkan bahwa
para Sufi paling awal "mungkin mempunyai sedikit hubungan
dengan kepustakaan Hellenistik" -- namun pemikiran mereka
ternyata diturunkan dari sumber-sumber Hellenistik. Akan
tetapi di akhir kajiannya tentang Sufisme, ia menyatakan
bahwa "asal-usul dan sumber Sufisme yang sejati terdapat
dalam hasrat abadi dari jiwa manusia untuk bertemu
Tuhan."
Aktivitas Sufi mempunyai pengaruh sangat luas terhadap
Barat Kristen, sehingga kenyataan ini lebih baik dari kasus
umum yang bisa dikemukakan tentang Sufi bahwa kebenaran
obyektif dari Sufisme adalah suatu dinamika yang hampir
tidak dapat disangkal. Namun kekuatan vitalistik ini, yaitu
ungkapannya yang benar, tergantung pada pemahaman manusia
secara benar. Bila tahap persiapan ini tidak ada, maka besar
kemungkinan aliran Sufi menjalankan perubahan tertentu. Yang
sangat rentan dari bias ini adalah aktivitas Sufi tertentu
atau fragmentaris. Ilustrasi yang sangat khas dapat
dikemukakan melalui nasib karya al-Ghazali di Eropa.
Al-Ghazali dari Asia Tengah (1058-1111) menulis sebuah
buku yang berjudul Tahafutul-Falasifah (Kerancuan
Para Filosuf). Buku ini telah diterjemahkan sebagian dan
digunakan oleh para apolog Katholik untuk menentang
madzhab-madzhab pemikiran Muslim maupun Kristen. Namun karya
tulisnya yang diterima di Barat ini hanyalah semacam
pengantar filsafat. Karya al-Ghazali harus dibaca secara
keseluruhan. Demikian pula maksud latihan para Sufi harus
diikuti jika ingin dipahami secara benar. Karya al-Ghazali
ini ditanggapi oleh filosuf Arab lainnya, yaitu Ibnu Rusyd
dari Cordoba (1126-1198). Dengan nama Averroes, karyanya
juga diterjemahkan. Ibnu Rusyd sebenarnya tidak sepenuhnya
menyangkal al-Ghazali melalui metode skolastik. Namun ia
telah merasa melakukan hal itu. Meskipun demikian,
Averroeisme telah mendominasi pemikiran skolastik Barat dan
Kristen, setidaknya selama empat abad -- dari abad kedua
belas sampai akhir abad keenam belas. Secara bersamaan,
karya-karya al-Ghazali dan Aristotelianisme telah membentuk
dua aliran ganda Sufi (aksi dan reaksi) yang telah menjaga
ajaran Kristen secara keseluruhan. Namun sumber awalnya,
yaitu Ghazallisme dan Averroeisme, kemudian diabaikan
(selama menyangkut pemikiran skolastik).
"Perlu dicatat," kata Rumi, "bahwa hal-hal yang
bertentangan bekerja secara bersamaan, meskipun secara
nominal bertentangan." (Fihi Ma Fihi).
Secara fundamental, Sufi menyadari bahwa Sufisme adalah
suatu ajaran dan sekaligus sebuah bagian dari evolusi
organis yang jarang dimasukkan dalam kajian oleh mereka yang
memusatkan perhatian pada penelitian sistem tersebut.
Konsekuensinya, hampir tidak ada kemungkinan bagi pengamat
untuk memberikan kesimpulan akurat. Dengan bersandar pada
kemampuan diskursifnya semata, ia tidak akan mampu mengkaji
sebelum memulainya. Rumi mengalamatkan syair dalam
Matsnawi-nya berikut ini kepada kalangan
Eksternalis-literalis (Zhahiriyah) masa lalu maupun masa
kini:
- Dia yang telah tercerahkan (Sufi);
- Mengetahui bahwa cara berpikir sesat berasal dari
Iblis,
- sementara cinta dari Adam.
Para Sufi telah membingungkan sarjana karena perilaku
mereka tampak tidak konsisten dan kadangkala memaksanya
untuk menyimpulkan dengan berbagai kualifikasi dari inti
ajaran mereka. Namun mereka juga bisa membangkitkan
ghirah keagamaan para teolog. Cinta sebagai prinsip
aktif dari perkembangan dan pengalaman Sufi, baik sebagai
mekanisme maupun sebagai tujuan akhir, tidak bisa dianggap
sebagai asal-usul Sufisme. Namun yang Terhormat Profesor
W.R. Inge dalam bukunya Christian Mysticism segera
terseret pada target yang diacunya itu. "Para Sufi atau
mistik Muhammad menggunakan bahasa erotis dengan sangat
bebas dan seperti aliran mistik Asia yang sejati, mereka
hadir dalam upaya memberikan karakter sakramental atau
simbolik atas kegairahan nafsu mereka."
Contoh klasik ini telah mengaburkan pandangan dari
beberapa sarjana Barat yang telah akrab dengan Sufisme.
Contoh ini juga mengungkapkan imitasi Sufi terhadap mistik
Asia yang kecanduan pada bahasa erotis (secara rahasia,
karena mereka tidak mempublikasikannya). Bahasa erotis ini
sebenarnya bertujuan merahasiakan kegemaran nafsu mereka.
Akan tetapi, mereka dapat merasa terhibur dengan sebuah
opini dari seorang profesor Universitas Cambridge yang
memandang Sufisme secara lebih hormat sebagai "perkembangan
agama primordial bangsa Arya". Jika simbolisme Sufi tidak
bermakna demikian, namun lebih merepresentasikan pengalaman
hidup aktual, maka kita mungkin akan menemukan bahwa para
Sufi lebih mempunyai banyak fungsi dibandingkan apa yang
diketahui pendukung demokrat mereka. Ahli sastra Sufi
mungkin mampu mereguk seratus samudera, yaitu
berhala-berhala ketika semuanya tidak disembah, merantau ke
Cina dalam keadaan mabuk -- hidup di dunia namun tidak larut
di dalamnya -- belum lagi disebutkan seratus bulan dan
mentarinya.
Para pendukung penafsiran literal atas ungkapan mistik
tentu saja secara memadai ditanggapi oleh pakar bahasa
seperti Evelyn Underhill:
"Simbol -- dalam persoalan spiritual meminjam dari bidang
material -- adalah sebuah ungkapan artistik. Hal itu berarti
bahwa simbol tidak literal namun sugestif, meskipun seniman
yang menggunakannya kadangkala mungkin tidak melihat
pembedaan ini. Oleh karena itu, orang-orang yang menganggap
bahwa 'perkawinan spiritual' dari St. Catherine atau St.
Teresa merahasiakan suatu skandal seksual, bahwa mimpi Hati
Suci mengandung suatu pengalaman anatomia atau bahwa
pengalaman Ilahiyah dari para Sufi adalah kemabukan
Ilahiyah, tentu saja menunjukkan ketidaktahuan mereka
tentang mekanisme seni: seperti sang nona yang menganggap
bahwa Blake pasti gila karena berkata bahwa ia
menyentuh langit dengan jemarinya."4
Harus diakui bahwa kalangan terpelajar lebih mudah
mendekati dan memaparkan salah satu aspek Gajah di Kegelapan
itu dibandingkan memberikan suatu pandangan koheren tentang
Sufisme. Banyak kalangan terpelajar mengalami ketidakmampuan
psikologis untuk mengkaji tema ini. Al-Ghazali berkata, "Di
luar ketidakmampuan itu sendiri, kelemahan lainnya
menghalangi untuk mencapai kebenaran batiniah. Kelemahan
semacam ini adalah pengetahuan yang dicapai melalui metode
eksternal." (Kimiyya'us-Sa'adah).
Disamping dinding tak tertembus dari pengalaman Sufi, ada
masalah personalitas Sufi. Penelitian biasa mana pun tentang
karya tulis dan karir Sufi akan cukup membingungkan sejumlah
kecil peneliti doktriner. Di antara para Sufi, ada yang
awalnya penganut Zoroastrian, Kristen, Hindu, Budha dan
orang suci lainnya, demikian pula ada orang-orang Persia,
Yunani, Arab, Mesir, Spanyol dan Inggris. Ada tingkatan guru
teolog Sufi, seorang pemimpin gerakan banditti, para
budak, tentara, pedagang, menteri, raja dan seniman. Namun
hanya dua tokoh yang terkenal di kalangan pembaca Barat.
Mereka adalah penyair dan ahli matematika Omar Khayyam dari
Persia dan Pangeran Abu ben-Adham dari Afghanistan -- subyek
dari sebuah syair Leigh Hunt: 'Abu ben Adham, mungkin
sukunya meningkat ..."
Di antara tokoh-tokoh yang dipengaruhi secara langsung
oleh Sufisme adalah Raymond Lully, Goethe, Presiden de
Gaulle (Presiden Perancis setelah Perang Dunia Kedua,
pent. ) dan Dag Hammerskjold dari Perserikatan Bangsa
Bangsa.
Lantaran seringkali menulis di bawah ancaman
penganiayaan, para Sufi telah mempersiapkan buku yang
menyesuaikan praktek mereka dengan ortodoksi dan
mempertahankan penggunaan citra yang menyenangkan. Untuk
mengaburkan makna dari berbagai faktor ritualistik atau
untuk memenuhi kebutuhan penting para penghimpun karya
ikhtisar Sufi, mereka mewarisi berbagai manuskrip tentang
hakikat ajaran Sufi yang hanya bisa disaring oleh mereka
yang membutuhkan perlengkapan. Dengan menyesuaikan karya
mereka dengan berbagai tempat, masa dan kecenderungan,
selanjutnya mereka menekankan peran asketisme, kesalehan,
musik dan tari, bertapa dan hidup bermasyarakat. Namun hanya
karya tulis Sufi yang sopan dan religius beredar di luar
lingkungan Sufi.
Seseorang yang mungkin sama sekali tidak mengetahui
koherensi di batik ajaran Sufi dan belum mengapresiasi karya
para penyair besar Sufi, selalu ditunjukkan oleh para
penterjemah. Gertrude Bell, seorang mahasiswi tekun dan
penterjemah karya-karya Hafizh ke dalam bahasa Inggris,
disanjung oleh Orientalis Sir Denison Ross karena
kesarjanaan dan penilaiannya. Namun ia adalah orang pertama
yang mengakui bahwa, "Sebenarnya kita akan menemukan
kesulitan untuk menentukan dasar apresiasi karya Hafizh di
Timur, dan para sahabat sebangsanya menjadikan ajarannya
tidak mungkin dipahami."5
Berikut ini membuat semua orang lebih tertarik pada
sorotan Gertrude Bell di kegelapan, ketika ia mencoba
mengemukakan beberapa opini tentang apa yang sebenarnya
sedang dijelaskan Hafizh, "Dari sudut pandang kami, matahari
filsafatnya tampak bahwa ada sedikit kepastian yang dapat
kita ketahui, bahwa hal kecil harus selalu menjadi obyek
dari setiap hasrat manusia. Sementara setiap orang akan
melakukan pencarian itu di jalan yang berbeda. Tak seorang
pun akan mudah menemukan jalannya, jika ia bijak mungkin
mendapatkan manfaat karena kerja kerasnya menyusuri tepi
jalan."6 Bell
tidak melihat aktifitas Sufi sebuah proses -- sebagaimana
para Sufi memandangnya -- namun berhasil memandang sekilas
ciri khas dan utuh dari pemikiran Sufistik Hafizh dalam
membahas dan melihat sebuah panorama pemikiran manusia yang
hadir di hadapan kita dan tentu saja mempunyai jangkauan
masa depan baginya:
Itu seolah-olah mata batinnya, yang dianugerahi
dengan ketajaman pandangan mengagumkan. Ia telah merasuk
ke dalam wilayah-wilayah pemikiran yang pada masa
berikutnya menjadi asing bagi
kita.7
Pandangan visioner Hafizh sangat kuat untuk diabaikan,
namun ia juga mengejutkan. Gertrude Bell ternyata tidak
mencapai kesimpulan apa pun.
Kembali pada kisah gajah di atas. Para sarjana ternyata
lebih suka bersikap eklesiastik (sikap pendeta gereja)
dibandingkan bersikap doktriner. Bagi Sufi, kedua sikap ini
sama saja dengan para pengunjung kandang gajah itu.
Mungkinkah mereka semua sebenarnya memandang salah satu
bagian keseluruhan? Para Sufi berkata, "Ia bukan sebuah
agama, ia adalah agama," dan "Sufisme adalah esensi
dari semua agama." Lalu apakah di antara para Sufi atau
lainnya, ada sebuah tradisi, ada sebuah ajaran rahasia yang
diturunkan melalui penobatan dan dilestarikan melalui rantai
transmisi; sebuah ajaran rahasia yang mungkin menjelaskan
sesuatu kepada para pengamat sesuai dengan prasangkanya yang
hampir melihat setiap bentuk agama dalam berbagai karya
tulis Sufi?
Untuk menjawab hal ini, kita seharusnya mengacu pada
berbagai pendapat Sufi yang biasanya disalahpahami oleh
murid-murid non-Sufi. Demikian pula kita seharusnya
mengikuti tradisi dari madzhab-madzhab lainnya maupun
transmisi kepercayaan di abad-abad pertengahan dan masa lain
menyangkut ajaran batiniah dibalik agama formal. Pencarian
ini sama sekali bukan suatu pencarian yang membosankan.
Menurut Syekh Abu al-Hasan Fusyanji, "Dulu Sufi adalah
realitas tanpa nama. Kini ia nama tanpa realitas." Secara
lahiriah, pernyataan ini biasanya dianggap berarti bahwa
orang-orang menyebut diri mereka sebagai Sufi sebenarnya,
sementara pencarian sejati dari para Sufi tidak dipahami.
Meskipun hal ini mungkin juga merupakan suatu interpretasi
atas sebuah pernyataan, namun di sini dimaksudkan untuk
mengklarifikasi suatu sudut pandang yang berbeda.
Urgensi menelusuri jejak sejarah untuk menentukan
permulaan sesuatu yang begitu ditekankan pada tahap
pengetahuan sekarang, tentu saja didorong oleh kebutuhan
pikiran biasa untuk mengetahui sebuah permulaan dan jika
mungkin akhir dari setiap hal. Hampir setiap hal yang
diketahui manusia sesuai dengan akal sehatnya mempunyai awal
dan akhir. Keinginan mengetahui esensi sesuatu itu merupakan
wujud kebutuhan akan stabilitas, rasa aman. Istilah ini
tercantum di dalam buku, kini bisa diletakkan di atas papan
-- mengetahui A sampai Z sesuatu atau lainnya. Ada berbagai
metode yang relatif diterima dalam menentukan awal dan akhir
itu, atau menghasilkan berbagai penyulihan untuknya. Semua
metode itu mungkin dihasilkan dari berbagai mitos dan
legenda yang seringkali menyangkut bagaimana segala sesuatu
bermula dan berakhir. Cara lainnya adalah penegasan raja
Cina bahwa sejarah berawal dari dirinya dan buku-buku
sejarah sebelumnya harus dimusnahkan. Teknik ketiga adalah
asumsi bahwa peristiwa tertentu pada suatu waktu dan di
suatu tempat mempunyai permulaan. Hal ini biasanya merupakan
metode keagamaan. Metode ini dipegang teguh dalam ajaran
umum Kristen sebagai dogma resmi, namun St. Agustinus tidak
mempertahankannya.
Kepercayaan bahwa sebuah peristiwa unik keagamaan
menimbulkan sebuah perubahan sempurna nasib manusia, dalam
masyarakat Kristen, menghasilkan sebuah kekuatan besar,
namun setidaknya ada dua faktor yang membatasi dampaknya.
Pertama adalah waktu peristiwa yang menunjukkan bahwa ada
batas bagi ekspansi alamiah dan bahkan artificial dari
Gereja Kristen dan sebuah batas bagi dinamikanya dalam
bidangnya sendiri. Lebih dari itu ada persoalan skolastik.
Karena ajaran Yesus mempunyai keunikan (meski mungkin
merupakan ajaran "kenabian yang khayali dan prediktif"),
maka sulit untuk mencapai perspektif spiritual yang tidak
dipengaruhi oleh kepercayaan ini. Agama, mistisisme dan
spiritualitas kini tidak bisa begitu saja dilihat sebagai
suatu perkembangan alamiah atau milik umum ummat manusia.
Menurut para Sufi, faktor penyeimbang utama dari kekuasaan
Kristen formal adalah pengalaman sinambung dari tradisi
Kristen sejati yang telah mengalami distorsi.
Sebelum abad kesepuluh, ketika Islam mempunyai kekuasaan
budaya sangat kuat dan perluasan peradaban yang terkenal di
dunia, teori tentang ajaran rahasia, sebuah ajaran yang
dihargai sejak zaman kuno, telah merintis jalannya dari
pusat gravitasi ke Barat. Pertama dan paling kuat, madzhab
Sufi klasik di Eropa ditemukan di Spanyol lebih dari seribu
tahun yang lalu.8
Sebagaimana mungkin dianggap orang, tradisi ini bukan muncul
di Barat karena keruntuhan negeri-negeri di bawah kekuasaan
Arab. Tradisi itu sangat sejalan dengan, dan bahkan secara
insidental disemangati, oleh Islam dengan pandangan religius
sebagaimana telah kami catat, yaitu suatu proses sinambung
dalam setiap masyarakat. Tradisi ini hidup di Timur Jauh dan
menimbulkan kesan di hati orang-orang yang masih mempunyai
ingatan tentang ajaran-ajaran spiritual sebelumnya. Dalam
satu segi, tradisi ini adalah teori teosofi dari berbagai
manifestasi keagamaan setiap masyarakat, seperti agama
doktriner di tempat lain yang seharusnya tidak ada.
Berdasarkan pengalaman dan simbolik ini, konsep tentang
kesatuan agama batiniah tentu saja berlaku pada masa-masa
ketika orang-orang dunia kuno menyamakan dewa yang satu
dengan dewa lainnya -- Mercury dengan Hermes, Hermes dengan
Thoth, misalnya. Teori teosofi inilah yang dianggap oleh
para Sufi sebagai tradisi mereka sendiri, meski tidak
terbatas pada bidang agama. Oleh karena itu, sebagaimana
sang Sufi meyakininya:
Aku penyembah berhala; Aku beribadah di altar
Yahudi; Akulah berhala Yaman, candi para penyembah api;
rahib Majusi; realitas batin dalam meditasi bersila
Brahma; kuas dan cat warna para seniman; sosok pencela
agama yang tertekan dan berkepribadian kuat. Satu sama
lain tidak saling mengalahkan -- ketika sebuah api
dilempar ke dalam kobaran api lainnya, mereka membentuk
"kobaran api" bersama-sama. Engkau melempar suluh ke
lilin, lalu berkata, "Lihat! Aku telah memusnahkan nyala
lilin!" (Ishan Kaiser dalam Percakapan Para
Hakim).
Para Sufi menerapkan suatu sudut pandang baru untuk
mengatasi pengaruh materialistik yang dipaksakan oleh
masyarakat yang berat sebelah. Semua pemikiran filosofis
direndahkan karena ajaran "kebijaksanaan" ini mengungkung.
Akhirnya orang-orang mengulang truisme satu sama
lain, namun sebenarnya tidak mengalami apa maksud mereka.
Jika seorang Sufi berkata, "Apa yang dibutuhkan adalah suatu
pendekatan baru," ini sama sekali tidak mungkin berarti
bahwa setiap orang yang mendengar pernyataannya akan
langsung setuju (karena terdengar bermakna) dan langsung
mengabaikannya. Makna kata-kata itu tidak tertanam di
dalamnya. "Ambillah gandum, bukan kadar yang dikandungnya."
(Rumi, Matsnawi, Buku II).
Karena membebaskan pemikiran dari ikatan pemikiran yang
kaku begitu penting, Rumi memulai kedua karya utamanya
dengan berbagai latihan untuk proses itu. Maka dari itu,
kita menyesuaikan diri dengan apa yang biasanya diikuti
madzhab Sufi. Meskipun kalangan Eksternalis mungkin tidak
mengetahuinya, dua bukunya itu sebenarnya merupakan
ulasan-ulasan tentang jenjang dan keadaan perkembangan
Sufistik sebagaimana dimanifestasikan secara mandiri dalam
sebuah madzhab Sufi.
Dalam Fihi Ma Fihi, pada permulaannya, Rumi
mengutip sabda Nabi Muhammad saw. yang menjadi kata-kata
umum dan sebuah peribahasa. Nabi Muhammad pernah bersabda
demikian, "Orang bijak terburuk adalah orang yang
mengunjungi raja; raja terbaik adalah raja yang mengunjungi
manusia bijak."
Rumi menjelaskan bahwa makna tersembunyi dari ajaran ini
adalah bahwa "kunjungan" itu bergantung pada kualitas
pengunjung dan yang dikunjungi. Jika seorang bijak besar
mengunjungi seorang raja, pangeran lah yang memperoleh
manfaat, karena ia dianggap telah mendapat "kunjungan" sang
manusia bijak itu.
Hal ini sama sekali bukan sebuah permainan kata-kata,
sebagaimana anggapan beberapa orang.
Dengan menggunakan taktik singkat, Matsnawi
memulai ajarannya setelah Kidung Ilalang yang
terkenal, dengan apa yang tampak sebagai sebuah dongeng
tentang seorang pangeran yang pergi berburu dan seorang
gadis cantik. Selagi pendengar duduk tentang mendengarkan
dongeng, Rumi mulai memanfaatkannya untuk membangkitkan
kreativitas pikiran dan mengatasi rasa kantuk, metode
Sufistik untuk menimbulkan reaksi lazim terhadap cerita
rakyat.
Saat pergi berburu, seorang pengeran bertemu dengan
seorang gadis pembantu cantik. Ia jatuh cinta kepadanya dan
membelinya. Namun setelah itu, si gadis jatuh sakit. Dalam
keputus-asaan, sang raja menawarkan harta-benda apa pun
kepada para dokter yang mungkin mereka inginkan jika mampu
mengobatinya. Namun mereka tidak mampu mengobatinya dan
keadaan si gadis semakin buruk. Dengan diliputi rasa cinta
dan takut, sang pangeran bergegas ke masjid dan memohon
inayah Allah.
Kemudian ia melihat sebuah bayangan, seorang tua yang
meyakinkannya bahwa seorang tabib akan segera datang. Pada
hari berikutnya, sebagaimana diramalkan, tabib itu datang.
Sang tabib memandang gadis itu dan menyadari bahwa setiap
pertolongan yang diupayakan para lintah darat itu tidak
berguna dan menambah keadaan semakin buruk. Ia paham bahwa
penyakitnya berkaitan dengan keadaan batinnya. Dengan
menggunakan metode psikologis, ia mengajukan pertanyaan dan
memancing si gadis berbicara. Akhirnya ia tahu bahwa gadis
itu mencintai seorang pengrajin emas dari Samarkand.
Ia mengatakan kepada sang pangeran bahwa pengobatan akan
berhasil dengan membawa pengrajin emas itu ke hadapan si
gadis. Sang pangeran setuju. Sang pengrajin emas merasa
bahwa panggilan pangeran itu hanya untuk suatu penghargaan
atas keahliannya menyepuh emas. Ia tidak menyadari apa yang
akan terjadi padanya.
Ketika ia tiba di istana, mereka dinikahkan. Si gadis
kemudian sembuh total. Jadi kisah yang tak menyenangkan ini
mungkin menimbulkan dampak kepada pendengar, pendengar yang
mengharapkan kesenangan di akhir cerita.
Namun sang tabib kini menyiapkan obat untuk sang
pengrajin emas, sebuah obat yang membuat kesalahan dirinya
tampak jelas sehingga sang gadis bisa menyaksikannya dan
mulai membencinya. Ia akhirnya meninggal dunia dan sang
gadis bisa mencintai pangeran yang selalu
mengharapkannya.
Selain citra dongeng yang kompleks dalam bentuk
orisinalnya, ajaran itu menimbulkan dampak pada banyak
tataran. Ia bukan hanya mengisahkan sebuah dongeng dengan
suatu moral lahiriah, ia adalah sebuah ulasan tentang proses
hidup.
Hadrat-i-Paghman berkomentar tentang dongeng ini,
"Renungkanlah dongeng itu, kecuali kalau engkau
mengabaikannya, maka engkau akan seperti anak kecil yang
menginginkan setiap hal benar dan menangis ketika semua hal
tampak tidak benar. Engkau akan membuat penjara bagi dirimu
sendiri, penjara emosi. Ketika berada dalam penjara ini,
engkau akan melukai diri sendiri dengan ketajaman jeruji
besi yang engkau buat sendiri."
Dulu pemikiran dan ajaran Sufi benar-benar hidup -- bisa
jadi ada seorang Sufi tanpa sebuah nama untuk kultusnya.
Kemudian pada masa modern, dalam mana nama itu eksis, namun
kehidupan susah dan telah disesuaikan dengan selubung --
pengkondisian -- sejak buaian sampai masuk liang lahat.
Tepatnya berapa lama kata "Sufisme" itu digunakan?
Menurut tradisi, Sufi hidup di setiap masa dan wilayah. Para
Sufi hidup demikian dan dengan nama demikian sebelum Islam.
Namun jika ada nama untuk praktisi, maka tidak ada nama
untuk praktek. Kosa kata Inggris Sufism adalah
adaptasi bahasa Inggris dari bahasa Latin Sufismus.
Seorang sarjana Jerman pada tahun 1821 telah menentukan
Latinisasi yang kini hampir dinaturalisasikan ke dalam
bahasa Inggris. Sebelum dia, ada kata tasawwuf --
keadaan, praktek atau kondisi menjadi Sufi. Ini mungkin
tidak tampak penting, tapi bagi para Sufi penting. Itulah
satu alasan mengapa tidak ada istilah statis yang digunakan
para Sufi untuk kultus mereka. Mereka menyebutnya suatu ilmu
pengetahuan, seni, pengetahuan, Jalan, rumpun -- bahkan
dengan istilah teknis abad kedua puluh mungkin bisa
diterjemahkan dengan psikoantropologi
(nafsaniyyatalinsaniyyat) -- namun mereka tidak
menyebutnya Sufisme.
Thariqat-shufiyyah artinya Jalan Sufi karena
thariqat [tarekat] berarti Lorong, maupun sebuah
cara melakukan sesuatu dan juga mengandung pengertian
menelusuri sebuah jalan, garis -- Jalan Sufi. Sufisme
mengacu pada berbagai nama sesuai dengan pengertian yang
dibahasnya. Maka kita mungkin menemukan kata ilm
al-ma'rifat atau al-'irfan (gnosia). Sementara
Tarekat atau kelompok terorganisir cenderung disebut
thariqat. Demikian pula, Sufi dikenal sebagai sang
Pencari, Pemabuk, orang tercerahkan, luhur, Sahabat,
muqarribun, darwis, Fakir (rendah hati), atau
Kalandar, arif, bijak, pecinta dan ahli batin. Karena
tidak ada Sufisme tanpa para Sufi, kata itu selalu ditujukan
kepada orang dan tidak bisa dianggap sebagai suatu kata
abstrak seperti "filologi" atau "komunisme" yang
masing-masing bisa berarti kajian kata atau sebuah teori
tentang tindakan komunalis. Jadi Sufisme mencakup sosok para
Sufi maupun praktek aktual kultus mereka. Ia sebenarnya
tidak bisa disamakan dengan presentasi teoritis mana pun
dari Jalan Para Sufi. Tidak ada Sufisme teoritis atau
intelektual. Namun mungkin ada gerakan Sufi, yang kemudian
merupakan sebuah pleonasme, karena semua kehidupan Sufi
adalah gerakan dan sebuah gerakan yang akrab dengan setiap
fenomena. Sebagai contoh, ada "Kalangan Sufi Kristen",
sebuah ungkapan yang bisa dan telah digunakan oleh para Sufi
secara umum. Dalam beberapa hal, Sufi bahkan disebut
masihi-i-batini (Kristen esoteris).
Jika seorang Sufi sesuai dengan pikiran konvensional
bermaksud menampilkan fakta-fakta tertentu tentang para
Sufi, maka sebuah alat hitung mental atau elektrik mungkin
akan merusak dirinya sendiri dalam upaya mengerjakan mereka
ke dalam beberapa sistem. Namun untungnya, masih ada banyak
orang yang bisa menerima informasi dari berbagai tataran dan
akan bisa menyusun suatu pola lahiriah. Berikut ini
serangkaian fakta-fakta tentang para Sufi:
Para Sufi tampil pada masa-masa terutama dalam Islam
awal. Mereka telah menghasilkan para teolog, penyair dan
ilmuwan. Mereka menerima teori atom dan merumuskan teori
evolusi lebih enam ratus tahun sebelum Darwin. Mereka
dihormati sebagai orang suci, dihukum mati dan dituduh ahli
bid'ah. Mereka mengajarkan bahwa hanya ada satu kebenaran
mendasar dari setiap agama.
Sebagian Sufi menyatakan, "Aku tidak mempercayai apa
pun." Sementara Sufi lain mengatakan, "Aku mempercayai
segala sesuatu." Yang lain lagi mengatakan, "Tidak ada sikap
sembarangan di antara para Sufi," dan ada pula yang berkata,
"Tidak ada Sufi tanpa humor." Skolastisisme dan mistisisme
bertentangan satu sama lain. Namun di antara para Sufi, ada
yang mendirikan madzhab. Apakah ini adalah madzhab-madzhab
Muslim? Tidak, mereka adalah orang-orang Kristen yang
dihubungkan dengan para pengikut St. Agustinus dan St. John
of the Cross, seperti Profesor Palacios dan tokoh ternama
lainnya. Sementara dari mistik Timur, Sufi kini muncul
sebagai pengimbang mistikus dan filosuf Katholik. Ijinkanlah
di sini kami menambahkan beberapa contoh. Kopi yang kita
minum secara tradisional pertama kali diminum para Sufi
untuk memperkuat kesadaran. Kita mengenakan pakaian ala
mereka (kemeja, ikat pinggang, celana panjang). Kita
mendengarkan musik mereka (musik irama Andalusia, musik
birama, lagu-lagu cinta). Kita menari tarian mereka (Waltz,
tarian Morris). Kita membaca kisah-kisah mereka
(Dante, Robinson Crusoe, Chaucer,
William Tell). Kita menggunakan ungkapan-ungkapan
esoteris mereka ("momen kebenaran", "ruh", "manusia
sempurna" [insan kamil]); dan kita memainkan
permainan mereka (kartu).9
Bahkan kita menjadi anggota kelompok turunan mereka, seperti
freemasonry dan ordo-ordo Ksatria. Unsur-unsur Sufi tersebut
akan kami kaji dalam bab-bab selanjutnya.
Biarawan di tempat persemediannya, Fakir di puncak
gunung, saudagar di tokonya, raja dengan singgasananya --
semuanya mungkin menjadi Sufi, namun bukan penganut Sufisme.
Tradisi Sufi memang ada, namun Sufisme itu laksana adonan
asam ("Sufisme laksana ragi") dalam setiap masyarakat. Jika
tradisi Sufi itu selalu menjadi bidang kajian akademis yang
rumit, karena sebagai suatu subyek penelitian ia sama sekali
berbeda dengan skolastisisme. Tingkat kemajemukannya itu
sulit untuk disistematisasikan dalam bentuk semi-permanen
sehingga mudah diteliti. Menurut Sufi sendiri, "Sufisme
adalah suatu petualangan hidup, petualangan penting."
Jika Sufisme itu merupakan suatu petualangan, suatu
cita-cita menuju kesempurnaan manusia yang dicapai melalui
pencerahan dan pengembangan fungsi organis, keutuhan dan
nasib kemanusiaan, lalu mengapa ia begitu sulit dipahami,
dilacak asal-usulnya, ditunjukkan bukti-buktinya? Ya, memang
demikian, karena Sufisme ada dalam setiap masyarakat dan
setiap zaman sehingga ia mempunyai keberagaman sedemikian
rupa -- dan inilah salah satu rahasianya. Sang Sufi tidak
membutuhkan masjid, bahasa Arab, serangkaian doa-doa,
buku-buku filsafat, bahkan stabilitas sosial, karena
hubungannya dengan kemanusiaan bercorak evolusioner dan
adaptif. Sufi tidak bergantung pada reputasi karena
kemampuannya memeragakan kekuatan magis dan keajaiban -- hal
ini tidak lebih dari kegiatan insidentil, meskipun ia
mungkin mendapatkan reputasi untuk itu. Sementara ahli sihir
dari sistem mistik lainnya bertolak dari tujuan yang
berbeda. Reputasinya diandalkan dan mungkin didukung
keajaibannya. Sufi pun mempunyai reputasi, namun tetap
bersifat sekunder dalam keseluruhan amalnya. Keberadaannya
merupakan suatu peran dari organisme Sufi.
Otoritas moral atau kepribadian yang menarik dari para
Sufi bukan tujuan utama mereka, namun hasil pencapaian
batiniah dan refleksi perkembangan mereka.
Seorang Sufi berkata, "Seandainya laron bisa berpikir, ia
mungkin akan benar-benar percaya bahwa nyala api lilin itu
sangat penting, karena ia menunjukkan kesempurnaan. Nyala
api itu sebenarnya hasil dari lilin, sumbu dan percikan api.
Apakah manusia itu masih mencari nyala api atau percikan
api? Amatilah laron itu. Karena dikelabui nyala api,
nasibnya pasti engkau ketahui, namun tak disadari olehnya."
(Tongue of the Dumb, dikutip Paiseem).
Tentu saja Sufi dinilai di dunia luar dari apa yang
dilakukan dan dikatakannya. Ada suatu anggapan bahwa ia
adalah seorang jutawan. Para pengamat yang berpikir bahwa ia
menjadi seorang jutawan karena cara hidupnya, yaitu Sufisme,
mungkin menganggap fenomena itu sebagai proses menjadi
seorang jutawan. Namun menurut Sufi, hal itu adalah
realisasi batiniah dan evolusi melalui pencapaian
batiniahnya. Uang mungkin merupakan suatu refleksi lahiriah,
namun sangat tidak berarti dibandingkan
pengalaman-pengalaman Sufi. Hal ini bukan berarti,
sebagaimana diasumsikan banyak orang bahwa ia adalah seorang
jutawan yang telah dipengaruhi mistisisme, dan bahwa uang
tidak berarti baginya. Perkembangan sedemikian rupa tidak
mungkin bagi Sufi, karena materi dan metafisika berkaitan
dalam suatu kondisi terbaik yang dipandang sebagai suatu
rangkaian. Ia mungkin menjadi jutawan yang tidak saja kaya
materi, namun jiwanya tetap utuh. Banyak orang merasa
kesulitan untuk memahami fakta sangat penting yang hanya
digunakan untuk berbagai kepentingan oleh mereka.
Dalam praktek populer, sejak dari Calcutta sampai
California, orang biasa akan bisa mencapai puncak pemahaman
filosofis dengan mengatakan berulangkali kata bijak kepada
dirinya sendiri atau meyakinkan orang lain yang menyadari
bahwa "uang bukanlah segalanya" atau "uang tidak
mendatangkan kebahagiaan". Fakta ini pun menunjukkan bahwa
pikiran tersebut berasal dari asumsi sebelumnya, yaitu bahwa
uang bisa digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan
transendental. Dalam praktek tidak demikian. Namun filosuf
yang bersahaja tidak bisa memahami mengapa demikian. Bagi
orang yang tidak punya uang, masalah ekonomi yang paling
mendesak hanya bisa diselesaikan dengan uang. Pendeta
menasehatinya bahwa uang bukan penyelesaian yang baik.
Akibatnya bila ia memperoleh uang, tidak akan merasa puas.
Sebenarnya ada tiga faktor yang bisa dipadukan olehnya
dengan penjelasan berikut ini.
Psikologi modern telah membuktikan efektivitasnya,
misalnya ketika ia menyatakan bahwa keinginan memiliki uang
itu muncul dari suatu perasaan tidak aman. Akan tetapi
psikologi modern sendiri masih belum sempurna. Secara
historis ia masih mengalami pasang surut. Sementara Sufi
bertolak dari pandangan dasar yang berbeda. Menurut Sufi,
kehidupan ini adalah perjuangan, akan tetapi perjuangan itu
harus mempunyai koherensi. Manusia biasanya berjuang
menghadapi begitu banyak masalah sekaligus. Bila seseorang
yang bingung dan berjiwa labil memiliki uang, menjadi
pekerja yang sukses, maka ia akan tetap bingung dan
labil.
Psikologi masih mempelajari obyek kajiannya, sementara
Sufisme sudah sedemikian lanjut. Sufisme mentransformasi
pikiran dari ketidaklogisan alamiah dan dipengaruhi oleh
lingkungan, suatu instrumen manusia yang mampu mengangkat
martabat dan nasibnya.
Psikologi Freudian dan Jungian yang telah tersebar di
Barat tidak mengandung gagasan baru dari sudut pandang Sufi.
Argumen seksual Freud itu telah dibahas oleh Syekh Sufi,
al-Ghazali, dalam karyanya Kimiyyatus Sa'adah (yang
ditulis lebih dari sembilan ratus tahun yang lalu). Karya
ini adalah buku standar di kalangan teolog Muslim. Sementara
teori arketip Jung bukanlah gagasan orisinalnya, namun telah
dibahas oleh guru Sufi, Ibnu Arabi -- hal ini dicatat oleh
Profesor Rom Landau dalam The Philosophy of Ibu Arabi
(New York, Macmillan, 1959, hlm. 40 dan seterusnya).
Para Sufi dari semua tarekat telah terbiasa mendalami
karya al-Ghazali itu dan karya-karya Ibnu Arabi. Oleh karena
itu, mereka tidak asing lagi dengan pola-pola dan jangkauan
pemikiran yang dianggap modern itu.
Karena beberapa alasan, Sufisme tidak mudah dipelajari
melalui psikologi. Alasan paling menarik bagi ilmuwan Barat
mungkin karena Sufisme merupakan suatu sistem psikologis
yang lebih lanjut dibandingkan sistem psikologis mana pun
yang sedang dikembangkan di Barat. Namun Sufisme sama sekali
bukan psikologi Timur, ia adalah psikologi manusia. Fakta
sederhana ini tidak perlu dijelaskan. Kita cukup menyebutkan
pengakuan Jung bahwa psikoanalisis Barat hanya merupakan
psikologi pengantar dibandingkan psikologi Timur itu:
"Psikoanalisis sendiri dan batas-batas pemikirannya yang
sedang dikembangkan -- tentu saja suatu perkembangan khas
Barat -- hanyalah suatu percobaan awal dibandingkan
psikologi Timur yang terlupakan
itu."10
Sementara itu Jung hanya mengacu pada beberapa bagian
dari pemikiran Timur itu. Keutuhan (ajaran Sufi) tidak bisa
dipelajari sebagian. Pemula tidak dapat menilai karya pakar
dalam bidang apa pun, termasuk Sufisme.
Apa yang disebut pendekatan ilmiah terhadap fenomena
manusia dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya hanyalah
sebatas pemikiran filosofis. Seperti pemikiran diskursif,
ilmu pengetahuan hanya bekerja dalam ruang lingkup yang
sesuai dengan praduganya. Hal ini diingatkan oleh Profesor
Graves:
"... para ilmuwan berhati-hati dalam mengutarakan
berbagai anggapan mereka menurut rumus-rumus matematis yang
secara artistik diterapkan pada masalah-masalah tertentu,
seperti struktur atom atau temperatur bintang-bintang,
sehingga dapat memberikan hasil yang 'mengesankan'.
Rumus-rumus itu diterapkan agar bisa dipercaya dan untuk
bidang-bidang pemikiran -- meskipun tidak dapat diterapkan
dalam bidang-bidang yang berbeda; namun harus ada suatu
titik persamaan antara rumus dan kasus ... Suatu hasil yang
mengesankan sama dengan suatu bukti nyata dan hanya dapat
digugurkan dengan hasil yang lebih
mengesankan."11
Disamping ajaran Sufi yang utuh itu tidak bisa dipelajari
sebagian, kita juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa
sesuatu tidak mungkin meliputi seluruh bidang kajiannya
sendiri sekaligus. Guru Sufi Pir-i-Do-Sara menyatakan:
"Dapatkah engkau membayangkan bahwa pikiran bisa
mengamati dirinya secara menyeluruh -- jika semua bidang
pemikiran dimasukkan dalam pengamatan, lalu apa yang akan
menjadi obyek pengamatan? Jika semua termasuk yang
dipikirkan, lalu siapa yang melakukan pengamatan? Pengamatan
terhadap diri penting sepanjang ada suatu diri yang
benar-benar berbeda, yaitu bidang di luar diri
..."12
Para Sufi menegaskan bahwa organisme yang biasa disebut
Sufisme mempunyai suatu aliran langsung, yaitu pengalaman
evolusioner yang menjadi faktor penting dalam semua madzhab
mistik. Untuk membuktikan hal ini, ada beberapa hal menarik
dalam menelusuri perkembangan gagasan Sufi itu. Bila para
Sufi terbukti mempunyai kekuatan penetratif, yaitu suatu
kemampuan mempengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat,
maka dinamisme inti dari sistem ajaran mereka dapat kita
duga. Dengan kata lain apakah ada alasan untuk menduga bahwa
aliran Sufi mempunyai kemampuan mempengaruhi pemikiran
manusia, katakanlah di Eropa Barat? Sepanjang periode klasik
Sufisme yang didokumentasikan secara agak baik, apakah
Sufisme telah menembus tabir abad kegelapan, membangkitkan
dan mengembangkan masyarakat dengan latar belakang berbeda?
Adakah Sufisme organis di masa itu?
Hal ini mengesankan bahwa, sejak masa lalu, para guru
Sufi telah menyampaikan tradisi pengetahuan mereka kepada
hampir setiap masyarakat. Menurut tradisi Sufi, transmisi
pengetahuan itu adalah faktual. Pada masa-masa yang lebih
modern, penandasan transmisi itu hanya dapat diselidiki
melalui munculnya praktek-praktek Sufi yang nyata dalam
berbagai masyarakat yang jauh dari pusat-pusat Sufi Asia.
Akan tetapi esensi kegiatan Sufi tidak kelihatan. Sepanjang
kita masih berusaha menyelidiki, maka ada jejak-jejak di
sana-sini -- seperti jejak radioaktif kadangkala sampai ke
dalam aliran darah manusia -- tentang tradisi pengetahuan
dan praktek Sufi yang khas dan masih mempertahankan corak
lokalnya.
Sebagai contoh, jika Alfonso yang Bijak itu menulis dalam
bahasa Arab, hal ini membuktikan ada pengaruh Arab. Demikian
pula, jika simbol awal dari sebuah kelompok Sufi konon
ditemukan di Irlandia pada abad kesembilan, hal ini
menunjukkan suatu lintasan (penyebaran) tradisi pengetahuan
Sufi di Barat.
Kita memang telah mengetahui beberapa ciri khas Sufisme,
namun kita tidak memperhatikan kebutuhan untuk memahami
fakta ungkapan Sufi secara benar. Tentang transmisi ungkapan
dengan kata-kata biasa itu, ada keyakinan Sufi lainnya
sebagai berikut:
Para Sufi percaya bahwa dengan cara tertentu, kemanusiaan
berkembang menuju suatu masa depan, kita semua sedang
mengalami proses evolusi tersebut. Organ-organ manusia
sekarang merupakan wujud perpaduan fungsi organ-organ khusus
(Rumi). Organisme manusia sedang menghasilkan suatu organ
kompleks baru untuk memenuhi suatu kebutuhan. Pada tahap
melampaui ruang dan waktu, organ-organ kompleks itu
menyesuaikan dengan tahap itu. Apa yang dianggap orang pada
umumnya sebagai kemampuan telepatik dan propetik, menurut
Sufi tidak lebih sebagai perkembangan awal dari organ-organ
itu. Perbedaan antara evolusi masa lampau dengan kemampuan
evolutif masa kini adalah, masa lampau membutuhkan waktu
sekitar sepuluh ribu tahun atau di masa kini kita mungkin
telah memasuki evolusi kesadaran. Jadi masa depan kita
sangat tergantung pada evolusi kesadaran yang lebih murni.
Dalam ungkapan fabel kita, evolusi itu dapat disebut
"belajar berenang".
Bagaimana organ-organ itu dikembangkan? Melalui metode
Sufi. Bagaimana cara mengetahui perkembangannya? Hanya
melalui pengalaman. Dalam sistem Sufi ada sejumlah
"jenjang". Pencapaian jenjang-jenjang itu ditandai dengan
suatu pengalaman nyata. Manakala pengalaman itu datang,
menggerakkan organ dalam persoalan, memberikan kita
keringanan akan pendakian kita, dan memberikan kemampuan
untuk mencapai jenjang selanjutnya. Pencapaian
jenjang-jenjang itu bersifat permanen. Hingga satu dari
jenjang-jenjang ini tercapai, gambar yang sangat tajam,
seperti yang terjadi, dapat terekspose dan berkembang, namun
tidak tetap; dan pengalaman nyata adalah suatu substansi
perasaan.
Demikian ini adalah makna dari pengalaman mistik, yang,
betapapun, manakala diperturutkan tanpa jalinan harmonis
dengan evolusi yang tampak menjadi sesuatu yang sublim --
sebuah sensasi agung, namun tidak ada jaminan apakah manusia
akan bahagia atau tidak di masa depan.
Para Sufi percaya bahwa hasil kegiatan Sufistik dan
memusatkan perhatian bisa jadi merupakan kekuatan
centrifugal atau magnetik. Kekuatan ini mampu menggabungkan
kekuatan yang sama di lain tempat. Penggabungan
kekuatan-kekuatan itu sinambung dan lestari serta sebagai
"kekuatan" misterius, hanya diperoleh atau dimiliki para
guru Sufi. Mereka mampu menggali atau membangkitkan kekuatan
pancaindera yang tidak berfungsi.
Dalam Sufisme, kemampuan-kemampuan itu bisa dijelaskan
dengan istilah-istilah formal. Sebagai landasan, kita perlu
mengutip semboyan Sufi, "Dialah yang tidak dikenal,"
(Rumi).
Catatan kaki:
1 Yang mengejutkan
beberapa ilmuwan abad kedua puluh adalah bahwa hampir seribu
tahun sebelum Einstein, ternyata darwis Hujwiri telah
mengkaji secara teknis identitas ruang dan waktu yang
diterapkan dalam pengalaman Sufi.
(Kasyful-Mahjub).
2 Abu Hanifah adalah
pendiri salah satu madzhab hukum Islam, yaitu Madzhab
Keempat. Ia adalah guru Sufi Dawud ath-Tha'i (w. 781). Dawud
menyampaikan ajarannya kepada muridnya yaitu Ma'ruf
al-Karkhi (Sang Raja Sulaiman), pendiri persaudaraan Sufi
yang bernama "al-Banna".
3 Profesor R. A.
Nicholson, The Mystics of Islam, London, 1914, hlm.
25.
4 Mysticism,
London, 1911; New York, 1960.
5 Lihat anotasi
"Hafizh".
6 G.L. Bell, Poems
from the Divan of Hafiz, London, edisi baru, 1928, hlm.
81.
7 Ibid.
8 Para Sufi beserta
tentara-tentara Arab menaklukkan Spanyol pada
711 M.
9 Lihat anotasi
"Taurat".
10 C.G. Jung, Modern
Man in Search of a Soul, London, 1959, hlm. 250-1. Lihat
juga anotasi "Kesadaran".
11 Robert Graves,
The Crowning Privilege, London, 1959, hlm. 306-7.
12 Mountain of
Illumination, XVI, ayat 9951-9957, MS.
|