KITAB TENTANG PARA DARWIS
Jika kau tidak mengerti
hal-hal ini,
tinggalkanlah, jangan bergabung
dengan
orang kafir dalam
kepalsuan-kebodohan
... tetapi semua orang tidak
memahami
rahasia-rahasia Jalan tersebut.
(Syabistari, Secret Garden, terjemahan
Johnson Pasha)
Jika memang ada buku-teks darwis standar, maka pastilah
buku tersebut adalah "Hadiah-hadiah Pengetahuan"
--Awarif al-Ma'arif-- yang ditulis pada abad ketiga
belas dan telah dikaji oleh anggota-anggota dari semua
Tarekat. Penulisnya, Syekh Syahabuddin Suhrawardi
(1145-kira-kira 1235) dengan menguasai semua gabungan teori,
ritual dan praktik di masanya, mendirikan sekolah-sekolah
pengajaran yang dekat dengan istana Persia dan India, dan
merupakan Imam dari para Imam Sufi di Baghdad.
Kitab tersebut menarik bagi kita karena ia memaparkan
tahapan-tahapan lahir dan awal yang mempunyai daya tarik
untuk memahami kumpulan tulisan darwis, mempunyai
muatan-muatan pemikiran dan amalan dasar dari para mistikus
ini, dan (juga) karena Letnan Kolonel Wilberforce Clarke.
Kolonel Clarke sendiri seorang darwis, kemungkinan ia
anggota Tarekat Suhrawardiyah. Ia telah menerjemahkan lebih
separo dari (kitab) Gifts (Hadiah-hadiah), untuk pertama
kalinya ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan pada
tahun 1891. Dan sebagai penerjemah pertama dari Orchard
karya Hafizh, Kisah Iskandar karya Nizhami dan Amalan-amalan
karya Hafizh, ia adalah pengikut yang baik dari tradisi para
Sufi yang unik seperti Raymond Lully.
Secara keseluruhan, karya Clarke bisa dianggap sebagai
upaya untuk mempresentasikan pemikiran darwis kepada seorang
pendengar Inggris yang mengira darwis sebagai orang gila dan
bertemperamen sangat fanatik. Para darwis tersebut
(sebagian) ada di Sudan. Mereka dianggap sebagai orang-orang
biadab. Yang lain dikenal di Turki --tetapi tentu saja Turki
lebih cenderung di luar batas tersebut. Clarke menjadikan
teks-teks tersebut lebih up to date dengan kutipan-kutipan
dari Sir William Jones, Malcolm, the Secret Garden karya
Syabistari, Darvishes ("Para Darwis")-nya Brown
dan bahan-bahan lain. Ia menyatakan bahwa Hafizh yang agung
telah "disalahartikan dan disalahpahami" oleh
penyair Emerson dan lain-lainnya. Ia tidak segan-segan
mencetak kutipan-kutipan mereka semua untuk memperlihatkan
kesalahan dalam terjemahan. Ia melakukan ini untuk
meluruskan anggapan tentang Para darwis, bukan demi reputasi
akademiknya.
Ketika menyusun kembali bahan-bahan tersebut dengan
mengerjakannya sedemikian rupa untuk merefleksikan, dengan
informasi tambahan agar gambaran tersebut bisa dipahami oleh
pembaca Inggris, Clarke mendapatkan penjelasan bahwa Sufisme
sebagai suatu kegiatan semi-terorganisir dalam konteks
Islam. Adalah sulit untuk melihat bagaimana hal ini bisa
dilakukan dengan lebih baik, karena kebutuhan yang
menggejala di Inggris terhadap masalah-masalah keagamaan
untuk bisa dihadirkan dengan cara yang serupa dari jenis
praktik Protestan yang berlaku. Sekarang buku ini hampir
tidak mungkin ditemukan.
Ia menyatakan bahwa Islam melarang kerahiban
(monastisisme). Orang-orang yang pada masa berikutnya
dikenal sebagai para darwis, pada tahun 623, mengambil
sumpah persaudaraan dan kesetiaan di Arab. Mereka memilih
nama Sufi, yang bermakna wool (suf), saleh/suci (sufiy) dan
makna-makna lainnya. Mereka ini merupakan inti dari Para
Sufi Muslim, yaitu empat puluh lima orang Mekkah yang
melakukan baiat bersama-sama dengan sejumlah yang sama dari
Madinah.
Praktik orang-orang ini diungkapkan dalam berbagai cara.
Khalifah pertama dan keempat (Abu Bakar dan Ali) membentuk
majelis-majelis khusus untuk melakukan latihan-latihan
(spiritual). Hal ini sejalan dengan Uwais, pendiri tarekat
pertama yang menekankan kehidupan yang ketat dan sederhana
pada tahun 657.
Bangunan-bangunan pertama didedikasikan bagi gerakan
tersebut di Syria pada abad kedelapan Masehi. Sejauh itulah
penyebaran ungkapan-ungkapan lahir dari Sufisme Islam.
Clarke mencatat bahwa ajaran Sufistik serupa yang melihat
Sufisme sebagai sebuah gerakan yang tidak terputus,
menggunakan tamsil "anggur" untuk memperlihatkan
perkembangan gradual dari ajaran tersebut sampai Ia menjadi
wacana publik, sebelum kembali ke dalam wacana khas dirinya
sendiri pada abad ketujuh belas. Hal ini dinyatakan
dengan:
Benih Sufisme
telah ditaburkan pada nrasa Adam
disesuaikan pada masa Nuh
bersemi pada masa Ibrahim
mulai berkembang pada masa Musa
mencapai kematangan pada masa Isa,
dan menghasilkan sari anggur pada masa
Muhammad.
Dengan mengutip serangan-serangan yang ditujukan kepada
Sufisme karena "paham liberalnya" yang mempesona
dan karena diambil dari sistem-sistem luar, Clarke
menegaskan kesatuan dan individualitas esensialnya. Ia
menyatakan bahwa Sufisme tidak diperkenalkan dari Yunani
atau India. Ia menjelaskan makna dari penegasan seorang
darwis, "Kami tidak takut neraka, tidak pula mengharap
surga," yang terdengar sangat ganjil, karena terungkap
dari mulut seseorang dengan segenap penampilannya yang
menunjukkan sebagai seorang agamawan.
Ia sangat memahami pengalaman Sufi, bahwa setiap tahapan
perkembangan batiniah selalu memperlihatkan suatu misteri
baru atau perubahan persepsi dan pemahaman.
"Jejak-jejak ajaran Sufi," ujarnya, dan untuk
masanya dianggap sangat berani, "ada di setiap negeri
--dalam teori-teori Yunani kuno; dalam filsafat-filsafat
modern Eropa; dalam mimpi orang bodoh maupun terpelajar; di
wilayah subur dan ketandusan gurun."
Tetapi pencerahan hanya bisa datang pada sebagian kecil
manusia, tidak menjadi soal berapa banyak potongan ilusi
kebenaran yang mungkin telah menghapus keraguan sang
Pencari. Guru Sufi merupakan pembimbing yang sempurna dan
agung. "Meskipun ia ada, tidaklah mungkin
ditemukan". Gurulah yang mencari murid, bukan
sebaliknya. "Guru-guru palsu dan para murid yang
terpedaya dan mengejar fatamorgana di gurun --dan kembali
dengan putus-asa, adalah korban tipu daya khayalnya
sendiri."
Masalah calon Sufi terletak pada pengenalannya terhadap
guru, sebab ia belum cukup terlatih untuk mengetahui siapa
sebenarnya dirinya? "Kesempurnaan tidak akan terungkap
kecuali bagi yang sempurna". "Siapa yang akan
mengatakan harga permata, kecuali kalau bukan ahli
permata?" Oleh karena itu, beberapa sistem darwis
seringkali merosot seperti ajaran lainnya. Clarke mengutip
Muhammad (saw), "Karena orang-orang 'bodoh'
yang saleh, punggungku patah. "
Keinginan guru adalah memenuhi kebutuhan sejati dari
seorang murid, dan agar sifat-sifat dasarnya bisa diubah
menjadi sifat-sifat yang terpuji sehingga mudah memperoleh
pemahaman.
Karena harus mempergunakan cara-cara tertentu untuk
mengatasi keadaan-keadaan mental yang tidak diinginkan,
menurut gambaran Clarke, darwis niscaya tidak pernah
menghindari godaan dengan tujuan untuk lari dari kejahatan
semata-mata untuk menjauhinya. Ia mempergunakan
(amalan-amalan) lahiriah agama, dan berusaha meneguhkan diri
berjalan sesuai dengan pengetahuan tradisional, sebagai
jaminan agar ia tidak tersesat. Pada saat yang sama ia sadar
bahwa, "Surga, neraka dan semua dogma agama adalah
tamsil (metafor), hanya jiwalah yang mengerti
maknanya." Inilah yang dinamakan "para ahli hati,
orang-orang kebatinan". Bagi mereka, kejahatan hanyalah
ketiadaan. Wujud itu sendiri, jika dicapai secara
menyeluruh, akan menghilangkan kemungkinan peniadaan, yang
disebut sebagai kejahatan.
Melalui pencerahan Ilahiyah, manusia melihat dunia
sebagai ilusi (dalam pengertian bahwa ada realitas yang
lebih besar sehingga dunia hanyalah suatu gumpalan
penyimpangan). Karena itulah ia menyebut dunia sebagai
keburukan. Ia mencoba meruntuhkan ketiadaan, dalam ungkapan
Sufi yang digunakan oleh Clarke.
Tidak mungkin memahami puisi Sufi kecuali jika seseorang
menyelami imajinasi dan kedalaman perasaan yang
hampir-hampir tidak bisa dipercaya dan tersembunyi di dalam
tamsil. Dengan demikian, buku Clarke menyajikan beberapa
istilah teknis yang telah diterangkan dalam the Secret
Garden sebagai petunjuk bagi para calon Pencari (Salik).
Dengan menyeleksi secara cerdik poin-poin yang paling sulit
bagi pembaca Barat, Clarke menerangkan penggunaan tamsil
anggur. Sebagai contoh, ekstase dan keterpesonaan bukanlah
keadaan-keadaan yang pasti berkaitan dengan keadaan mabuk
sebagaimana disebutkan oleh para Sufi. Sebab akal menjadi
tumpul karena alkohol, ucap sang Sufi, memusuhi logika yang
aneh dan dianggap sebagai perkembangan yang berakibat pada
kelumpuhan dari apa yang oleh kebanyakan orang dianggap
sebagai pemikiran. Bagi Sufi, proses-proses pemikiran
otomatis (fungsi-fungsi asosiatif) hanya berguna pada
bidang-bidang kerja mereka --yaitu skolastisisme dan
pemikiran mekanik.
Keyakinan pada kebenaran diri sendiri yang merupakan ciri
khas pemikiran Victorian menjadi sasaran kritik Clarke.
Untuk itu, ia menyeleksi materi-materi Sufistik dengan
penekanan-penekanan yang mungkin bermakna di masanya.
Pemusatan terhadap "diri" ini, atau yang dianggap
"diri sendiri" merupakan Tabir Cahaya. Tabir
Kegelapan adalah keadaan jiwa manusia jahat yang mengetahui
bahwa ia jahat. Menjauhi "diri" semacam ini
laksana "pengunjung kedai minum", itulah sang
darwis. Ia bukan seorang mukmin maupun kafir, dalam
pengertian yang biasa dipahami akal.
Resensi yang patut dipuji terhadap bagian-bagian esensial
dalam (kitab) Hadiah-hadiah itu secara substantif dimulai
dengan sosok Syekh --Pembimbing darwis. Sebagai murid,
langkah utama sang darwis dalam kehidupannya yang baru
adalah mencari pribadi semacam ini. Menurut ungkapan Sufi,
fungsi pembimbing ini adalah menghilangkan penyakit pikiran,
sehingga kenyataan (obyektif) yang abadi bisa dipahami.
Dengan suatu langkah yang secara memadai bisa mengantisipasi
psikologi modern, (kitab) Hadiah-hadiah itu sejak awal
menekankan perlunya seorang pembimbing untuk meninggalkan
alasan-alasan subyektif mencari kepemimpinan (duniawi).
Sementara pembimbing tidak boleh (bertujuan) menjadi seorang
mursyid, atau berkeinginan mempunyai pengikut. Seorang
pemimpin sejati akan menunda untuk menerima para pelamar
sebagai murid sampai ia yakin bahwa dirinya tidak memiliki
subyektivitas semacam itu.
Mursyid harus mampu menentukan kapasitas murid. Ia harus
membimbing muridnya sesuai dengan kemampuannya. Jika ada
sedikit harapan, ia harus mempergunakan cara-cara yang keras
dengan teguran. Ia memerintahkannya untuk mengikuti
pola-pola pikiran tertentu untuk mengubah konsentrasinya
yang tumpang-tindih terhadap hal-hal tertentu. Jika ia tidak
memiliki persepsi ini, maka Syekh itu tidak bisa menjadi
seorang Mursyid sama sekali.
Seorang Mursyid tidak boleh mempunyai keinginan sedikit
pun terhadap harta-benda murid. Ia hanya boleh menerima
harta dari seorang murid jika terpaksa menggunakannya untuk
kemaslahatan umum. Ketika seorang murid ingin mendermakan
harta miliknya kepada Syekh, maka guru darwis tersebut
mungkin mengambilnya, sebab ia bisa menggantinya dengan
pengajaran yang dibutuhkan murid. Tetapi jika murid masih
menginginkan harta tersebut, ia dibolehkan untuk
membelanjakannya sebagian.
Dorongan untuk bersikap tulus dalam diri murid merupakan
salah satu perhatian utama Syekh; begitu juga pemutusan
terhadap berbagai kecintaan yang tidak diinginkan pikiran.
Bagian penting dari kegiatan ini adalah sedekah dan
pembagian barang-barang material. Murid seharusnya memilih
hidup fakir dibandingkan hidup dengan kekayaan, meskipun
bagi seorang Sufi, kefakiran dan kekayaan adalah sama.
Syekh harus memberikan keramahan dan cinta kasih. Ia
mengurangi ketegangan-ketegangan murid sejauh mungkin dalam
rnenjalankan berbagai latihan. Kesengsaraan yang terlalu
berat mungkin bisa menghalangi murid dalam mengintegrasikan
dirinya pada upaya awal darwis.
Pengaruh ucapan Syekh terhadap murid sangat penting.
Pengaruh ini laksana benih, dan hanya dari benih yang baik
tanaman yang baik bisa tumbuh. Kotoran jiwa dari seorang
pelajar bisa bersumber dari sang Syekh lantaran ia
berkeinginan untuk mempengaruhi pendengarnya atau bangga
terhadap dirinya sendiri. Syekh tidak berbicara kepada
seorang murid tanpa suatu alasan obyektif "Pembicara
obyektif adalah jika makna (pembicaraan tersebut) bagi
pembicara maupun pendengarnya sama".
Nasihat diberikan kepada murid dalam bentuk hikmah atau
tamsil, terutama jika berupa kritik.
Perkembangan batin seorang murid merupakan rahasia
Mursyid. Harapan murid terhadap perkembangan batin itu
merupakan hal yang tidak dibolehkan. Syekh akan menjelaskan
bahwa tindakan mengharapkan keadaan-keadaan tertentu itu
akan menutup jalan baginya.
Murid harus menghormati sang Syekh dengan khidmat. Di
sinilah terletak harapannya. Tetapi, sebaliknya, Syekh tidak
boleh mengharap untuk dihormati oleh muridnya. Hak-hak murid
selalu dihormati oleh Syekh.
Syekh yang mempunyai aktivitas mengajar tersebut tidak
banyak menghabiskan waktunya untuk berhubungan dengan
komunitasnya. Ia mempergunakan waktunya untuk berdzikir dan
melakukan penyendirian (khalwat) dan pergerakan (jalwat).
Guru memiliki cara-cara latihan (riyadhah) khusus. Cara-cara
ini bersifat pribadi, bagi dirinya dan orang lain, untuk
pengabdian terhadap aktivitas tersebut. Ia harus melepaskan
dirinya dari masyarakat sedemikian rupa.
Ia juga terlibat dalam amalan-amalan pengabdian dan
kebajikan khusus, termasuk amalan-amalan keagamaan.
Kemudian Clarke menguraikan bagian yang membahas
kewajiban-kewajiban murid setelah menjelaskan fungsi-fungsi
Syekh, yang berbeda dari versi aslinya. Poin penting yang
pertama ditekankan adalah arti penting seorang guru bagi
murid. Penerimaan seorang guru sangat sejalan dengan
penerimaan Tuhan, dan menyerupainya sejauh yang bisa
diterima. Sebaliknya, hak murid untuk mendapatkan bimbingan
dari seorang Syekh diperoleh karena sikap yang benar
terhadap gurunya. Syekh mempunyai hak untuk dimuliakan.
Murid harus memperhatikan lima belas Aturan Perilaku:
- Ia harus memberikan kepercayaan penuh kepada
Mursyidnya dalam memberikan instruksi, pengarahan dan
penasbihan.
- Ia harus menghadap gurunya dengan hati-hati dan
akrab.
- Ia harus patuh kepada Syekhnya.
- Ia tidak boleh melawan, baik lahir maupun batin
(kepada gurunya).
- Ia harus menyesuaikan keinginannya dengan keinginan
gurunya.
- Ia harus memperhatikan pemikiran-pemikiran
Syekhnya.
- Ia harus menceritakan mimpi-mimpinya kepada Syekhnya
untuk mendiagnosa pemikiran-pemikirannya.
- Ia selalu mengharap nasihat-nasihat gurunya.
- Ia harus merendahkan suaranya di depan Syekhnya.
- Ia tidak boleh membiarkan egonya tumbuh. Ia memanggil
gurunya dengan sebutan 'Wahai Sayyid'
(pangeran), atau 'Maula' (guru).
- Ia memanggil gurunya dengan panggilan yang sesuai
dengan zamannya.
- Ia tidak boleh membicarakan tahapan-tahapan pemikiran
dan pengalaman yang bukan miliknya, ia juga tidak boleh
berbicara terlalu banyak kepada gurunya tentang tahapan
pemikiran dan pengalamannya sendiri.
- Ia harus merahasiakan mukjizat-mukjizat gurunya yang
mungkin ia ketahui.
- Ia harus mengungkapkan pengalaman-pengalamannya
sendiri kepada Syekhnya.
- Ia harus berbicara kepada Syekhnya dengan cara yang
bisa dipahaminya.
Setelah sampai pada tahapan dimana kebiasaan-kebiasaan
sebuah komunitas darwis mungkin bisa dikaji, Clarke
meringkaskan artikel Suhrawardi yang kelima pada bagian
ketiga.
Ketika seorang darwis sampai pada sebuah halaqah (Sufi),
ia berusaha sampai ke kelompok ini sebelum sore hari. Ia
memberikan salam doa, kemudian bersalaman dengan orang-orang
yang hadir. Pemberian, bisa jadi berupa makanan, disampaikan
kepada para pemukim. Para darwis terbagi menjadi dua
kelompok --para pemukim dan pengembara. Kedarwisan itu
sendiri sering dipandang sebagai suatu keadaan khas atau
tahapan menjadi seorang Sufi, bukan suatu keadaan yang
tetap. Dalam pengertian ini, ia tidak bisa dibandingkan
dengan organisasi kerahiban, katakanlah, dalam Kristiani
atau Budhisme.
Seorang darwis mungkin tinggal selama tiga hari di
halaqah tersebut sebagai tamu. Setelah itu, ia bisa tinggal
jika bisa menemukan pekerjaan di daerah tersebut dan
memberinya kedudukan yang sesuai untuknya. Mereka yang
terlibat dalam suatu tahapan pengabdian sinambung, tidak
memberikan pengabdian lahiriah terhadap halaqah
tersebut.
Ada tiga tingkatan atau kondisi para darwis yang bisa
ditemui pada komunitas pemukim itu. Kelompok pertama, pada
tahapan yang paling awal, adalah "Para Pengabdi"
(Ahli Khidmat). Mereka melayani para pemukim reguler dan
mereka ini berada pada tahapan paling awal. Mereka berada
pada suatu tahapan sebelum mereka bisa menerima
latihan-latihan batin, dan hanya bisa melaksanakan
latihan-latihan lahir, disertai dengan
"tujuan-tujuan" batin dan bukan merupakan proses
pengembangan sesungguhnya, meskipun para pengabdi tersebut
menganggapnya demikian. Hanya melalui pengabdian inilah
mereka akan benar-benar layak untuk mencapai tingkat
pengabdian sejati.
Para anggota kelompok awal (Ahlus-Suhbah) seringkali
orang-orang yang lebih muda, yang menghabiskan waktunya
duduk (berdzikir) di majelis-majelis rumah dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan kebajikan yang dimaksudkan untuk
memberikan (pengetahuan) kepada kelompok yang mengungkapkan
realitas dan kemampuan mereka melakukan amalan tersebut.
Orang-orang yang berkhalwat (Ahlul-Khalwat) umumnya
orang-orang tua, yang menghabiskan sebagian waktunya
menyendiri, menyesuaikan diri dengan riyadhah yang sesuai
dengan tahapan (spiritual) mereka.
Seringkali majelis darwis seperti ini tidak memiliki guru
tunggal di antara mereka. Jika demikian, mereka mengalami
hambatan. Mereka hanya mampu mempersiapkan dirinya untuk
berhubungan dengan seorang guru. Mereka melatih kepercayaan,
kesabaran dan perenungan. Mereka harus makan bersama,
sehingga bisa berhubungan secara lahiriah maupun batiniah.
Mereka harus selalu berjuang bukan saja untuk sependapat
antara satu dengan lainnya, tetapi juga harus selalu dalam
keadaan kesamaan menyeluruh antara sesamanya. Tidak ada
organisasi atau kepemimpinan berjenjang (hirarkis) yang
mungkin dalam majelis mereka.
Perjalanan fisik maupun metaforis, bisa jadi merupakan
bagian penting dari aktivitas darwis. Seorang darwis mungkin
mengembara di "negerinya" sendiri (secara
batiniah) dan menjelajahi negeri lainnya (secara lahiriah).
Beberapa Syekh menghabiskan waktunya tidak lebih dari empat
puluh hari di satu tempat. "Melalui penyamakan atas
kulit-kulit yang mati, dampak-dampak penyucian, maka
kehalusan dan keindahan teksturnya tampak; begitu juga
melalui 'penyamakan' perjalanan, dan dengan
meninggalkan kerusakan alamiah serta kekerasan batin, akan
muncul kehalusan pengabdian yang tersucikan dan perubahan
pembangkangan menjadi keimanan." Tetapi para darwis
mungkin tidak bepergian sama sekali. Mereka yang tidak
memiliki guru kadang-kadang hampir selalu bepergian secara
berkala.
Ada program-program perjalanan yang detail dan cara
seorang darwis menerapkan pengalaman itu. Program-program
ini umumnya dikenal sebagai Dua Belas Aturan Perjalanan.
"Tarian" para darwis, masalah yang sangat
banyak disalahartikan, terbagi dalam auidisi dan gerak.
Darwis sejati bukanlah seorang musisi, dalam pengertian
bahwa ia tidak memainkan alat musik sebenarnya. Di luar
(lingkungan darwis) para musisi atau para pelayan mungkin
melakukannya. Para penguasa doktrin Islam, "ulama-ulama
lahiriah", melarang kegiatan-kegiatan seperti ini,
tetapi mereka diperbolehkan dan didorong dalam
lingkungan-lingkungan tertentu dan sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan oleh para wali darwis dan
pembimbing-pembimbing spiritual. Namun ada bahaya besar yang
bisa mengakibatkan penolakan "amal" itu secara
menyeluruh dan sangat berkaitan dengan penggunaan musik
serta gerakan (tarian) tanpa memahami makna semua itu. Dalam
keadaan tertentu setiap gerakan sangat berbahaya ketika
dilakukan sambil mendengarkan musik, berbeda dengan
kebiasaan mendengarkan dalam situasi yang lebih wajar,
ketika gerakan justru diharapkan.
Jubah (khirqah) memiliki arti simbolis yang penting bagi
seorang darwis. Ia menjahit jubahnya sendiri, umumnya dibuat
dari lembaran-lembaran (kain) sederhana. Pemberian sebuah
jubah merupakan tanda pelimpahan kekuatan atau barakah yang
dianugerahkan dari seseorang kepada yang lain. Suksesi
keguruan ditandai dengan pewarisan sebuah jubah. Disamping
tradisi rahasia lainnya, para darwis merujuk pada penobatan
yang dilakukan Muhammad dari Ibunda Khalid dengan sebuah
jubah yang tidak disukai oleh siapa pun. Jubah itu adalah
jubah hitam kecil, dengan garis-garis kuning dan merah,
model Badui. Jubah Sufi berwarna biru tua atau putih.
Pemilihan seorang wakil ditandai sebagai berikut:
"Ketika Syekh melihat pengaruh-pengaruh kesucian dan
tanda-tanda pencapaian tingkatan luar biasa dan (layak)
memberikan pengajaran pada diri seorang murid serta ingin
mengangkatnya sebagai penerusnya --ia mengenakan Jubah
Kesucian kepadanya disertai dengan kemuliaan dirinya
sendiri, sehingga hal ini bisa mempengaruhi kesinambungan
tarekatnya dan kepatuhan masyarakat."
Di antara banyak hal lainnya, tradisi penganugerahan
jubah ini membagi para darwis ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama memakai jubah yang diperbolehkan oleh
Syekh, kelompok kedua tidak memiliki jubah tertentu, sebab
mereka sedang menjalankan sebuah "amalan";
kelompok terakhir memilih jubah mereka sendiri, sebab
pilihan mereka telah menjadi suatu pilihan mutlak,
keharusan, dan utuh (obyektif).
Bahan-bahan yang dipaparkan Clarke merupakan bahan-bahan
teoritis yang dianggap terbaik disertai ajaran perkenalan.
Kompleksitasnya semakin tinggi karena ternyata banyak dari
tahapan-tahapan dan pengalaman-pengalaman tersebut
bergantung pada beberapa faktor. Sufisme bukanlah proses
yang statis atau sederhana. Usaha untuk membakukan setiap
tahapan bisa menyebabkan generalisasi yang serius dan
penyelewengan berkelanjutan. Karena itulah bahan tersebut
harus dipandang sebagai (upaya) ilustratif, tetapi bukan
tanpa suatu gerak batiniah.
Pengetahuan digambarkan dalam naskah kuno darwis,
sebagaimana digunakan pada masa kini maupun masa kuno,
seperti pengetahuan secara umum. Pembagian pengetahuan dan
tingkatannya merupakan masalah penting dalam
"kerja" Sufi, sebab setiap tahapan ditandai dengan
pengetahuan yang tepat. Asumsi umum bahwa pengetahuan bisa
dibagi menjadi dua jenis --informasi dan pengalaman-- tidak
diterima oleh para Sufi.
Sebagai contoh, ada dua bentuk, yaitu akal (aql) --akal
orang kebanyakan dan akal ahli agama. "Akal pertama
cocok untuk dunia ini dan masalah-masalahnya, sedangkan akal
yang kedua untuk akhirat. Hal ini ditandai dengan suatu
petunjuk yang kadang-kadang disebut sebagai
pencerahan."
Maka dari itu, ada pengetahuan biasa yang dibedakan dari
pengetahuan batin atau pengetahuan mendalam. Pengetahuan
pertama mungkin ditandai dengan kesalehan (lahir), sedangkan
pengetahuan kedua ditandai dengan persepsi terhadap
kerja-kerja dari suatu aktivitas ketuhanan. Ada bentuk
pengetahuan lainnya, yaitu pengetahuan teologis yang
berurusan dengan hal-hal seperti perintah dan larangan.
Pengetahuan-pengetahuan ini dikejar oleh tiga jenis
cendekiawan. Pertama adalah orang yang arif billah (orang
yang memiliki ma'rifat tentang Allah), yang memiliki
tiga bentuk pengetahuan tersebut. Golongan cendekiawan kedua
adalah orang-orangyang memiliki hikmah tentang akhirat.
Golongan ketiga adalah orangorang yang pandai tentang dunia
ini (saja). Ia hanya mengetahui bentuk-bentuk lahir dari
pengabdiannya.
Pengetahuan sejati itu adalah semacam gizi, seperti
makanan.
Pengetahuan mendalam (ma'rifat) ditandai dengan tiga
bentuk subordinat pengetahuan. Pertama, adalah hikmah
tentang cara kerja setiap kata atau sarana. Kedua, adalah
pengenalan terhadap setiap perantara melalui proses
pemikiran. Orang yang bisa mengenali secara langsung
makna-makna peristiwa dan tindakan, tanpa proses refleksi
biasa adalah orang arif, bijak, Sufi yang "telah
sampai" atau telah matang.
Ada bentuk-bentuk pemahaman dan pemahaman ulang
pengetahuan. Hal ini digambarkan sebagai:
- Ilmu Hikmah Batin;
- Hikmah Ilmu;
- Ilmu tentang Rahasia Hikmah.
Ini merupakan istilah-istilah yang paling sederhana
dimana proses penjernihan pengetahuan dan hikmah bisa
dilakukan.
Apa yang disebut sebagai keadaan mistikal (hal) dan
hubungannya dengan tahapan seorang pengembara, merupakan
masalah pokok yang dibahas oleh Clarke pada bagian
berikutnya.
Pengalaman mistik, yang dalam sistem lainnya dipandang
sebagai "menjadi-semua" dan "akhir" dari
semua pencarian, bagi seorang darwis tidak lebih dari suatu
pengantar pada pencapaian hubungan sejati dengan realitas
obyektif. Cara pencapaian dan interaksinya dengan
penerimanya akan menentukan apakah cara tersebut
menghasilkan suatu kemajuan valid.
Ini merupakan pertimbangan terpenting, sebab pertimbangan
ini secara tegas membedakan Sufisme dari semua aliran
mistik, baik yang dihasilkan melalui obat-obatan, maupun
sebab ekstatogenik (hal-hal yang mengakibatkan rasa bahagia,
baik spiritual maupun badaniah, yang luar biasa)
lainnya.
"Tahapan" (maqam) merupakan tingkat pengetahuan
permanen terhadap kebenaran (obyektivitas) yang telah
dicapai. Oleh sebab itu, ekstase merupakan/atau bisa menjadi
instrumen bagi penentuan maqam.
"Hal adalah suatu anugerah, sedangkan maqam
merupakan pencapaian".
Keadaan mistikal (hal) itu, menurut para Syekh Khurasan,
"merupakan dampak dari amalan-amalan. Laksana kilat, ia
muncul dan hilang dengan cepat." Perwujudannya diikuti
oleh kerahasiaan. Ia diubah atau mengubah kesadaran yang
bisa memberikan kepuasan (ridha). Adalah keharusan untuk
menyadari idea tentang tahapan kemajuan atau perkembangan
kronologis pada keadaan-keadaan ini, dan Junaid telah
mengingatkan hal ini. Ia mengatakan, "Dari satu hal
seseorang mungkin bisa maju ke hal yang lebih tinggi. Dari
sana, ia memperoleh informasi yang bisa membantunya untuk
memperbaiki hal yang sebelumnya."
Ada penjelasan dari setiap hal yang memungkinkan untuk
maju ke hal lainnya, dan juga memungkinkan penetapan
kemajuan dari (setiap) tahapan. Tanpa suatu metodologi
tertentu, hal bersifat sporadis dan berulang-ulang. Karena
itu tidak berguna.
Kemudian konsepsi darwis tentang sifat Tuhan dijelaskan,
meskipun tampaknya dalam (naskah) aslinya, semuanya ada di
permulaan kitab tersebut.
Sufi tidak menyembah sesuatu pun kecuali Allah, Yang
Mahaunik dan Mahatunggal.
Namun sifat Tuhan sebagaimana dipahami Sufi itu tidak
bisa dijelaskan dengan kata-kata lahiriah yang digunakan
untuk tujuan-tujuan lain. Sebagai contoh, "tempat
tinggal" Tuhan bukanlah di mana Tuhan itu berada.
Jawaban atas persoalan tersebut terletak pada
"Dia". Dia berada pada masa "Dia". Dia
menjadikan segala sesuatu menyerupai dan terpenuhi dengan
khazanah "Dia".
Tidak ada kemungkinan untuk memperdebatkan eksistensi
atau tempat Tuhan, sebab Tuhan tidak bisa diukur dengan
takaran yang ada.
Pengetahuan ini merupakan hasil dari apa yang disebut
keyakinan, yang memiliki modus operandinya sendiri, bukan
seperti pengetahuan intelektual. Oleh sebab itu, Sufisme
memiliki ilmunya sendiri untuk mendekati persoalan tersebut.
Ilmu ini berdasar amal (praktik), bukan pemikiran
(spekulasi).
Dalam membahas masalah-masalah yang biasanya disebut
"akhirat", kitab tersebut menekankan adanya
bahaya-bahaya dari asumsi bahwa bentuk wujud ini merupakan
sesuatu yang bisa dipahami dengan persepsi-persepsi mentah
yang biasanya kita gunakan untuk pengukuran kasar.
Upaya-upaya untuk merasionalkan hubungan antara (dunia)
yang kita kenal dengan konsep tentang akhirat hanya akan
berakhir dengan kegagalan. Ketika akal melampaui
batas-batasnya, maka berakibat kesalahan.
Demikian pula ada batas bagi fungsi efisien dari
imajinasi dan khayal. Gambaran imajinatif yang ditimbulkan
oleh nama seseorang tidak begitu jauh yang mungkin terlihat
mendekati realitas atau tidak.
Ada dua kekuatan utama yang biasa digunakan oleh mereka
yang tidak memiliki pandangan batin untuk melawan mereka
yang memilikinya. Kekuatan pertama adalah kekuatan penguasa,
yang mampu membunuh, menghukum dan menyiksa. Kekuatan kedua
adalah dari "golongan terpelajar", yang
menggunakan tipudaya, kemunafikan dan kesesatan.
"Kesigapan" merupakan istilah teknis yang
berkaitan dengan sikap tetap waspada (muhasabah), sadar akan
kehadiran Tuhan, dan memandang bahwa Tuhan selalu mengawasi.
Hal ini menyebabkan kesadaran (terhadap) diri sendiri,
terhadap apa sesungguhnya jati dirinya dan terhadap apa yang
dilakukannya.
Dalam kondisi seperti ini, seorang pengabdi
mempertahankan perhiasan lahir maupun batin dari
aturan-aturan (agama). Pengetahuan batin berdasar pada
perenungan, penyaksian (muraqabah).
Mereka yang berada pada tahapan ini menyatakan,
"Kemarin telah mati, esok belum lahir, dan hari ini
berada dalam penderitaan kematian."
Pemusatan perhatian terhadap latihan-latihan yang terkait
dengan masa lalu atau masa depan itu berada dalam suatu
kehancuran. "Keselamatan dan keamanan manusia
bergantung pada keterlibatannya dalam hukum waktu
biasa".
Salah satu ilmu khusus Sufi disebut Ilmu tentang Kondisi
(ilm al-hal). Penggunaan ilmu ini berbeda-beda sesuai dengan
kemampuan pemakainya. Tidak ada ilmu Sufi yang lebih agung
darinya, sebab ilmu ini merupakan metodologi dimana
tingkatan-tingkatan hal dikaji dan diterapkan.
Ilmu tersebut mencakup interaksi dari keadaan-keadaan
jiwa dan hubungannya dengan kejadian-kejadian lahiriah yang
ada di sekitarnya.
Ilmu Yakin (ilmul-yaqin) merupakan pengungkapan kebenaran
(realitas obyektif) melalui keadaan-keadaan khusus dari
pengalaman, bukan melalui penalaran sebagaimana kita
memahaminya dalam dunia konvensional.
Ada tiga jenjang Ilmu (praktik dan persepsi) Yakin, yang
dikiaskan dengan Matahari sebagai obyektivitas: pertama,
mencari petunjuk dari kecemerlangan dan memahami terik panas
matahari; kedua, dengan benar-benar melihat tubuh matahari;
ketiga, meluruskan cahaya mata dengan cahaya matahari itu
sendiri.
Ada tiga tahapan "keyakinan" sebagaimana yang
dirangkum oleh Suhrawardi:
- Ilmul-Yaqin, ilmu yang diketahui, teruji dan
terbukti;
- Ainul-Yaqin, keadaannya mewujud dan tersaksikan;
- Haqqul-Yaqin, suatu cara ganda dimana ada penyatuan
antara yang menyaksikan dan yang disaksikan.
Di luar tingkatan ini, kata-kata tidak bisa mewakilinya,
dan seorang darwis bisa dituduh pantheisme dan lainnya.
Upaya untuk menjelaskannya akan menghasilkan rangkaian kata,
"Penyaksi menjadi mata, mata menjadi penyaksi."
Suatu penyimpangan makna yang muncul dari upaya dalam
menyebarkan proses tersebut melalui istilah-istilah formal,
akan dilestarikan oleh pembaca yang tidak mampu memahaminya
melalui akal telanjang, memahami arti sesungguhnya dari
ungkapan tersebut.
Ajaran tentang esensi, dan hubungannya dengan kepribadian
dan diri, merupakan bagian terpenting dari kajian darwis.
Untuk tujuan-tujuan penggambaran, ada dua jenis esensi:
Pertama adalah esensi dari suatu benda yang merupakan
esensi batin (dzat) dan hakikat dari benda tersebut. Hakikat
di sini bermakna realitas obyektif, makna batin. Orang yang
biasa melihat atau memikirkan penggunaan lahiriah semata
dari suatu benda, tidak akan tahu fungsi utama dari benda
tersebut. Sebagai contoh, sebuah lampu memberikan cahaya. Ia
mungkin digunakan untuk memanaskan, atau untuk hiasan.
Tetapi fungsi-fungsi lain dari realitas sesungguhnya tidak
bisa dimengerti oleh orang awam. Jika melalui suatu
perluasan imajinasi, ada pengukuran ilmiah yang meyakinkan
bahwa lampu tersebut mengeluarkan garis (komunikasi) cahaya
tertentu, mungkin aktivitas ini merupakan ungkapan dari
realitas sejati atau esensi dari lampu tersebut.
Kemudian ada esensi manusia, yang disebut esensi rasional
(spirit manusia) yang dikenal sebagai
"kecerdasan". Ini merupakan keutuhan barakah dari
seseorang.
Pemahaman terhadap cara kerja dan wujud dari unsur-unsur
ini merupakan suatu pemahaman yang sangat sensitif.
Pengetahuan tentang esensi ini diisyaratkan dalam kehidupan
keagamaan. Oleh sebab itu: "Isyarat-isyarat tentang
pengetahuan esensi tersebut ditemukan pada mata rantai dan
(merupakan) syarat bagi ma'rifat kepada
Allah."
Penegasan ini menunjukkan bagaimana semua pengajaran
darwis tidak didasarkan kepada konsep tentang Tuhan, tetapi
didasarkan kepada konsep tentang esensi. Ada sebuah slogan
yang merangkum hal ini, dan dengan jelas menetapkan bahwa
konteks keagamaan dari pemikiran darwis semata-mata
merupakan wahana bagi realisasi-diri: "Ia yang
mengetahui diri esensialnya akan mengenal Tuhannya."
Pengetahuan tentang diri esensial merupakan langkah
pertarna, dimana sebelum langkah tersebut diambil tidak ada
pengetahuan sejati tentang agama. Para Sufi dituduh sesat,
sebab mereka pertama kali menerapkan diri mereka sendiri
terhadap persoalan ini, dengan mempertahankan konteks
keagamaan sebagai suatu tahapan kerja praktis, dan bukannya
sebagai suatu indikasi final dan kebenaran obyektif
Cara-cara penilaian terhadap berbagai tahapan dan
kondisi-kondisi dari esensi serta menjernihkannya secara
terus-menerus tersebut merupakan suatu bagian esensial dari
kegiatan darwis itu sendiri. Di sinilah seorang darwis
membedakan dirinya dari seorang teoritisi semata. Seorang
teoritisi akan berkata, "Aku akan memikirkannya,"
tetapi seorang darwis akan berkata, "Aku akan
mempersiapkan diriku untuk memahaminya, tanpa menggunakan
pemikiran yang terbatas dan menyimpang, suatu proses
kekanak-kanakan.
"Penabiran" atau pemutusan dari penggunaan
spirit manusia (esensi) yang tepat disebabkan oleh suatu
kematangan yang tidak imbang dalam sentimen tertentu
sehingga menciptakan suatu bentuk pemenjaraan (pengondisian)
karakteristik dari hampir semua orang.
"Tabir-tabir" atau "sifat-sifat yang tidak
terpuji" ini ada sepuluh:
- Keinginan. Keinginan-keinginan yang didasari
kebodohan terhadap apa yang seharusnya, dan didasarkan
pada asumsi-asumsi tentang apa yang baik bagi seseorang.
Kecermatan, jika digunakan dengan benar, merupakan
penangkal bagi keinginan yang tidak wajar. Ini merupakan
tahapan dari "Aku ingin gula-gula".
- Pemisahan. Ini merupakan suatu bentuk kemunafikan,
ketika seseorang menggunakan rasionalisasi untuk
membenarkan pemikiran dan tindakan yang terpusat kepada
dirinya sendiri, dan bukan pada realitas terakhir.
Penangkalnya adalah ketulusan.
- Kemunafikan. Dengan cirinya merasa bangga terhadap
diri sendiri, mengagungkan harta-benda, kebebasan semu
dan kekerasan. Hal ini hanya bisa diatasi dengan
pembiasaan sifat-sifat yang tercela di mata masyarakat,
tetapi terpuji dalam pandangan Tuhan. Sifat-sifat
tersebut meliputi pengabdian secara benar, kerendahan
hati dan kefakiran. Sifat-sifat ini hanya dikenali
melalui penilaian yang tepat terhadap nilai sesungguhnya
dari lawan-lawannya.
- Keinginan untuk dipuji dan dicintai. Narcissisme
(kecintaan terhadap diri sendiri secara berlebihan), yang
bisa menghalangi penilaian obyektif terhadap diri
sendiri; mengurangi faktor penyeimbang yang bisa berakhir
pada kehinaan diri.
- Ilusi-ilusi tentang arti penting sifat-sifat
ketuhanan. Hal ini hanya bisa diimbangi dengan keagungan
sifat-sifat Allah.
- Ketamakan dan kekikiran (bakhil). Sifat ini bisa
menimbulkan kedengkian, yang terburuk dari semua sifat
yang ada. Sifat ini hanya bisa dihilangkan jika kekuatan
yang pasti (yakin) telah hadir.
- Loba dan keinginan untuk mendapatkan sesuatu lebih
banyak. Sifat ini berbahaya, sebab ia menjadikan
seseorang seperti rama-rama, yang secara nekat
membentur-benturkan dirinya sendiri, pada nyala lilin.
Sifat ini hanya bisa dilawan dengan kecerdasan dan
kesalehan.
- Tidak bertanggungjawab. Sifat ini diakibatkan oleh
keinginan untuk meraih sesuatu yang telah direncanakan
pikiran. Ia selalu bergerak, seperti bola dunia yang
berputar secara terus-menerus. Ia hanya bisa dihilangkan
dengan kesabaran.
- Cepat lelah. Ini disebabkan kurangnya kemantapan
tujuan dengan manifestasinya yang wajar. Sifat ini
menghalangi manusia untuk menyadari bahwa ada suatu
rangkaian tujuan yang akan menggantikan tujuan-tujuan
sesaat dan wantah. "Sifat yang membinasakan ini
tidak mungkin dihindari, kecuali dengan memantapkan rasa
syukur yang teratur". Latihan-latihan (spiritual)
dipergunakan untuk menanggulangi kecenderungan ini.
- Kelalaian. Kemalasan parah disebabkan oleh kurangnya
kesadaran terhadap tuntutan-tuntutan situasi atau
pribadi. Kesigapan dipertajam melalui obat-obat yang
diterapkan oleh "Para Dokter Esensi" --yakni
para darwis.
Perlu dicatat bahwa umumnya, psikoterapi kontemporer
berusaha mengobati beberapa kondisi ini, tetapi hanya untuk
membimbing pikiran kepada suatu bentuk yang oleh ajaran
psikologis dianggap wajar. Menurut darwis, kondisi-kondisi
yang harus disembuhkan adalah akibat dari keadaan jiwa yang
timpang, yang mencari keseimbangan dan perkembangan. Dari
sudut pandang ini, adalah tidak mungkin untuk berusaha
memperbaiki suatu keseimbangan murni tanpa suatu gerak ke
depan secara dinamis. Psikolog berusaha menjadikan roda yang
melengkung tersebut berputar secara mulus. Darwis berupaya
menjadikan roda tersebut berputar dengan tujuan bisa menarik
kereta.
"IlmuYakin tentang Ruh" --Bagian III dari kitab
darwis dan ditempatkan pada bagian kesebelas pada versi
(terjemahan) Clarke-- melibatkan suatu bentuk pengungkapan
dimana banyak teori bertemu didalamnya. Jika bab ini dikaji
menurut terminologi teknis Sufi, menunjukkan bagaimana
kemajuan jiwa manusia menuju realisasi sesuai dengan
simbol-simbol agama. Kata-kata seperti "malaikat",
"Adam dan Hawa", "barakah" di sini
digunakan dengan cara sedemikian rupa untuk menunjukkan
bagaimana para pemikir Sufi menafsirkan ajaran keagamaan
untuk memberikan suatu pandangan batin yang tepat terhadap
proses-proses yang disimbolkan oleh apa yang secara umum
telah diterima sebagai cerita-cerita historis, legenda atau
fenomena supranatural.
Apa pun kebenaran literatur tentang penciptaan Hawa dari
tulang rusuk Adam, Suhrawardi mengajarkan pemahaman Sufi
tentang peristiwa tersebut sebagai suatu proses mistikal
berkelanjutan.
"Dalam setiap diri manusia, suatu contoh lain yang
terjadi --melalui penyatuan ruh dan esensi-- terbentuk dari
contoh Adam dan Hawa" Apa yang disebut "hati"
adalah kombinasi dari Adam dan Hawa, jiwa dan dzat. Unsur
laki-laki berasal dari jiwa universal. Unsur perempuan
berasal dari esensi universal. Dengan esensi inilah manusia
(Adam) melakukan hubungan dengan dirinya sendiri dan muncul
dalam bentuk Hawa. Karena Hawa muncul dari Adam, maka ia
mewakili esensi khusus, batin, pengetahuan sejati tentang
esensi, yang dihasilkan manusia dari sumber-sumber daya
batinnya.
Karena penjelasan psikologis ini, sebagai akibat dari
pengalaman-pengalaman aktual dengan sifat yang beruntun,
para darwis dipandang sesat oleh para teolog ortodoks,
karena mengabaikan penafsiran harfiah dari kitab-kitab suci.
Tetapi realitas historis atau versi kerakyatan dari
cerita-cerita dalam kitab suci tidak menarik perhatian
seorang darwis. Ia telah melampaui wahana tersebut.
"Bagi Adam, semua nama diketahui."
Semua benda yang tercipta merupakan hasil dari suatu
perpaduan antara dua prinsip yang disebut esensi dan jiwa,
"Berdasar tindakan aktif, tindakan dan kekuatan pasif,
kelemahan, sifat laki-laki dan perempuan muncul. Dalam jiwa
yang tumbuh dan esensi universal, kebiasaan bercinta
dibenarkan melalui jalinan temperamen. Melalui wahana
perkawinan, ras-ras dunia lahir dan melalui tangan bidan
Nasib muncul di dunia yang kasat mata."
Ada penjernihan-penjernihan sinambung terhadap realitas
sejati, masing-masing proses tersebut muncul sebagai
kemutlakan dalam bidang pemahamannya sendiri. "Nafas
adalah akibat ruh, ruh adalah keteraturan."
Para malaikat, sebagaimana yang ditegaskan oleh guru-guru
darwis lainnya, merupakan perkembangan-perkembangan yang
lebih tinggi dari jiwa. Sebagian (dari yang disebut
malaikat) di sini dikatakan sebagai wujud dari sifat
keindahan (Jamal), sedangkan yang lain dari sifat
keperkasaan (Jalal).
Ajaran tentang "pengumpulan dan pembubaran"
(jam' dan tafriqah) sebagaimana dijabarkan dalam bagian
ini membahas hubungan antara kehidupan di dunia dan
kehidupan dalam dimensi lain. Orang arif, Sufi paripurna,
berada di dunia ini, tetapi ia tidak ada di dalamnya. Ia
berada pada suatu keadaan harmoni yang benar dengan
rangkaian-rangkaian dimana didalamnya eksistensi yang tampak
ini hanyalah suatu bagian kecil. Ia menyatu dalam tubuh dan
bukan tubuh, sebagaimana keduanya digambarkan dalam
pengungkapan biasa. Ia memahami cara-cara sesuatu terjadi
yang menghasilkan kepercayaan pada eksistensi penciptaan dan
kemitraan yang mendasarinya.
"Penyinaran dan penyembunyian" merupakan
istilah ganda yang berkaitan dengan perwujudan dan kurangnya
pemahaman terhadap Tuhan dalam diri manusia.
"Penyinaran" berarti penembusan matahari realitas
Tuhan terhadap awan-awan kemanusiaan. Awan-awan tersebut
merupakan segi yang tersembunyi dari obyektivitas (hakikat)
ini.
Roman Majnun ("orang gila") dan Laila yang
terkenal itu digunakan untuk mengiaskan kekuatan
"penyinaran" dan ketidakmampuan sang pengembara
(orang gila) untuk menahan kecemerlangan dari penyinaran
tersebut karena tidak melalui persiapan yang semestinya.
Suku orang gila tersebut meminta kepada beberapa anggota
suku Laila agar Majnun diperbolehkan untuk disinari oleh
"kecantikan Laila."
Suku Laila menjawab bahwa hal itu tidak berbahaya,
"Tetapi Majnun tidak mampu menahan kilauan kecantikan
Laila."
Mereka membawa si gila tersebut, dan satu sudut tenda
Laila dikuakkan untuknya. "Tatapannya langsung terjatuh
pada lipatan gaun Laila --dan ia pun tersungkur tak sadarkan
diri."
Pencerahan tidak bisa diterima oleh seseorang yang tidak
siap untuk menerimanya. Paling jauh ia akan terlempar dalam
suatu keadaan ekstatik dimana dalam keadaan tersebut ia
lumpuh, sebagaimana yang terjadi di atas, dan tidak mampu
merasakan hubungan tersebut. Karena itulah, meskipun para
penyair darwis berbicara tentang keadaan "gila karena
cinta", mereka menekankan bahwa kegiatan ini merupakan
akibat dari peninjauan, bukan akibat dari pengalaman
langsung. Ditengarai bahwa pengalaman murni tersebut
pastilah penuh makna, bukan suatu bentuk kemabukan yang
tidak berguna.
Para mistikus yang "mabuk" adalah mereka yang
berhenti sebentar pada tahapan ini, dan mencoba untuk
menghasilkan kembali pengalaman tersebut secara
berulang-ulang, atau mendekatinya di atas kertas (tulisan)
atau dalam seni emosional. Inilah tahapan dimana di dalamnya
banyak eksperimentasi dalam mistisisme menjadi terhenti.
"Kegairahan" (wajd) dan "eksistensi"
(wujud) merujuk pada dua keadaan dimana yang pertama
merupakan pengantar bagi yang kedua (Junaid). Dalam
kegairahan (spiritual), seseorang tenggelam dalam suatu
perasaan (sensasi) yang berlawanan dengan keadaan yang
sebelumnya ia kenal. Ia juga mencapai suatu bentuk pemahaman
yang berbeda dengan pemahaman biasa sebelumnya. Seseorang
mengalami keadaan ini ketika masih berada pada tahapan
tersebut dan secara primitif terkait dengan
kualitas-kualitas inderawi serta hanya memiliki sedikit
pemahaman terhadap perspektif yang lebih dalam.
Wujud merupakan nama yang diberikan pada keadaan
"kematangan" dalam wujud sejati, sebagaimana
dibedakan dari wujud lahiriah yang wantah, bisa terlihat
oleh orang yang mengabdi tersebut.
"Periode" dan "saat" (moment) adalah
dua konsep yang dikaitkan dengan suatu saat persepsi pada
saat terjadinya hubungan, suatu pemahaman sesaat, yang
menjadi sarana untuk menciptakan keadaan-keadaan wujud yang
lebih jauh. Beberapa konsep dan latihan-latihan lainnya
terkait dengan dua konsep ini. Salah satunya adalah latihan
untuk "menghentikan" gerakan, dengan menghentikan
proses asosiatif biasa untuk sementara waktu. Latihan
lainnya adalah menggunakan "Penghentian Waktu",
dan "Penghentian Ruang", yang memungkinkan
terjadinya operasi "waktu" konstruktif.
Seorang Sufi Paripurna mungkin bisa disebut sebagai
Penguasa Waktu, artinya orang yang ahli untuk memulai dan
menghentikan, ahli untuk membentuk pemahaman. Seseorang yang
bisa bekerja dalam tataran ini oleh Syibli disebut orang
yang telah lolos dari kekuasaan "hal", keadaan
mistikal berupa kegairahan yang meluap (yang sebenarnya)
hanyalah kegembiraan umum.
Saat merupakan istilah yang juga diberikan untuk
"nafas". Ia berarti latihan-latihan fisik yang
terkait dengan pernafasan dan juga penggambaran tentang
kenyataan bahwa perkembangan Sufi merupakan suatu rangkaian,
seperti pernafasan, bukan suatu kondisi statis atau gerakan
tidak teratur.
Dengan demikian: "Saat adalah suatu keadaan di suatu
tempat 'pemberhentian'. Waktu adalah untuk pemula.
Nafas adalah untuk manusia paripurna."
"Kehadiran" dan "kegaiban" (syuhud
dan ghaibat) adalah istilah-istilah yang menunjukkan
keadaan-keadaan kesufian yang benar-benar tidak bisa
dimengerti oleh orang-orang awam. Seorang darwis mungkin
bisa hadir di dunia tak kasat mata, tetapi (ia bisa) tidak
ada di dunia kasat mata.
Sir Sayyid Ahmad Khan mendefinisikan kegaiban jenis ini
sebagai semua yang berada di luar pandangan kita, seperti
kekuatan gravitasi.
Syibli pernah mengunjungi seorang arif besar, yaitu
Junaid. Kala itu istri Junaid mau menyembunyikan dirinya di
belakang tabir. Kemudian Junaid berkata, "Tetap di
tempatmu -- Syibli tidak ada." Pada saat itu Syibli
mulai menangis. Junaid berkata, "Engkau sekarang pasti
tidak ada, karena Syibli telah kembali." Ketidakhadiran
atau tersembunyi berarti bahwa seorang darwis tengah bekerja
di dimensi lainnya, dan tampak tidak hadir.
Keadaan ini tidak sama dengan ketiadaan pikiran yang
justru bukan keadaan (jiwa) konstruktif atau positif Istri
Junaid tidak mampu melihat ketidakhadiran Syibli. Junaid
harus memberitahukannya. Begitu juga, orang awam bahkan
menyangkal kemungkinan terjadinya keadaan semacam ini, sebab
ia tidak bisa memahaminya. Baginya, ini bukan saja tidak
hadir, tetapi tersembunyi, tertutup, seperti ketertutupan
Syibli.
Kehadiran, tentu saja merupakan bentuk lain dari
kegaiban, bergantung pada sudut pandangnya: "Hadir (di
haribaan) Tuhan berarti tidak hadir di hadapan
manusia." Sebagian darwis berganti-ganti diantara
polaritas (pengutuban) ini, mungkin secara perlahan-lahan,
mungkin secara cepat. Ketika peleburan utuh (alkimialisasi)
terjadi, maka tidak ada lagi dualitas. Mereka secara mantap
berada dalam keadaan hadir, dan mereka tidak tersembunyi
dari dunia lainnya.
Metodologi para darwis memasukkan penggunaan
latihan-latihan yang dimaksudkan untuk menghasilkan tajrid
(pelepasan lahir) dan tafrid (kesendirian batin).
Keseimbangan yang benar bagi integrasi fakultas-fakultas
khusus bisa dicapai dengan "melepaskan
keinginan-keinginan terhadap dunia ini secara lahiriah dan
secara batiniah menolak ganjaran di akhirat dan di dunia
ini". Inilah yang dimaksud tafrid.
Tafrid bukan esensi tajrid. Tetapi ia berhubungan
dengannya, atau bisa jadi ia memang demikian. Ia mencakup
"penolakan terhadap bertambahnya amalan-amalan bagi
dirinya sendiri, dan menyembunyikan penampakannya karena
mengharap keridhaan dan karunia Allah atas
dirinya".
Metode ini menjelaskan kekurangan-kekurangan yang
berkembang dalam agama biasa, yang memusatkan perhatian pada
akhirat. Bagi seorang darwis, ini merupakan suatu tahapan
awal, yang harus ditinggalkan ketika amal yang sesungguhnya
dimulai.
Peniadaan dan penetapan eksistensi penghambaan merupakan
penafsiran dari dua kata kembar mahw (peniadaan) dan isbat
(penetapan). Penggambaran skematis dari satu segi keberadaan
darwis ini secara luas disalahpahami oleh orang-orang awam.
Setiap peniadaan merupakan suatu penetapan --peniadaan
sifat-sifat yang tidak diinginkan atau negatif menghasilkan
pengaktifan sifat-sifat positif yang setara. Perkiraan
dangkal menganggap teori dan proses ini sebagai peniadaan
akal atau jiwa dari seorang darwis. Karena gagal --sebab
para darwis menitikberatkan pada amal dan bukan pada teori
atau terkait dengan penafsiran-- maka label ini telah
menempel pada kata-kata tersebut.
"Perubahan" (talwin) dan "ketenangan"
(tamkin) merujuk pada sikap-sikap jiwa dan tubuh, begitu
juga kondisi-kondisi batin. Ketenangan adalah istilah lain
bagi manifestasi kebenaran permanen. Dalam kondisi ini
seorang darwis mengalami suatu ketenangan hati permanen yang
memungkinkannya untuk memahami realitas sejati atau
kenyataan obyektif, yang secara umum disebut kebenaran.
Perubahan adalah (bentuk) latihan dan juga kondisi
ketenangan hati, dengan melakukan latihan-latihan kehadiran
dan kegaiban, sebagaimana telah disebutkan, dan
prosedur-prosedur lainnya.
Latihan-latihan doa, dimana didalamnya
penafsiran-penafsiran dan penggunaan-penggunaan khusus dari
rumusan-rumusan Islam dipusatkan, membentuk bagian besar
dari terjemahan kitab Hadiah versi Clarke. Kemudian menyusul
pembahasan tentang makna-makna kiasan dari kecerdasan,
kemiskinan dan kerendahan hati, membujang dan perkawinan,
kejujuran, kepuasan dan cinta.
Cinta merupakan tema besar yang mewarnai hampir semua
puisi Sufi dan juga ajaran-ajaran pribadi dari para guru.
Secara esensial, cinta merupakan pencipta keadaan-keadaan
pengalaman yang semuanya itu disebut sebagai
"karunia' itu sendiri. Ada dua bentuk umum dari
cinta --Cinta Biasa dan Cinta Khusus. Mereka yang tidak
mengikuti perkembangan-perkembangan dalam bidang para Sufi
ini akan selalu merancukan antara (cinta) yang satu dengan
lainnya, dalam bentuk pergantian yang mengaburkan sehingga
menyelewengkan persepsi mereka. Orang-orang seperti ini,
sebagai contoh, melakukan kesalahan-kesalahan serius dalam
menilai pribadi, kelompok dan keadaan. Menyadari hal ini,
biasanya mereka dengan susah payah mencoba memperbaiki
kesalahan-kesalahannya secara berkelanjutan (rasionalisasi),
akibatnya mungkin tampak rancu bagi mereka yang
mengamatinya, apakah prakarsa atau sebaliknya. Muslihat-diri
merupakan suatu gejala (penyakit) dari bentuk cinta ini,
tanpa mempertanyakan ketulusannya. Meskipun demikian,
kualitasnya merupakan subyek bagi perubahan-perubahan yang
tidak bisa dipahami oleh individu tersebut.
Perbandingan antara Cinta Biasa dan Cinta Khusus
dipaparkan. Suatu persepsi barakah dalam bentuk atau wujud
nyata dari suatu benda merupakan kualitas dari Cinta Biasa.
Ketika hal ini menjadi cinta (Khusus) yang kuat, ia berubah
menjadi kecenderungan diri untuk melihat keindahan esensi
(dzat) - bukan bentuk. Pengaruh cinta diperlihatkan dengan
cara mengontraskan cinta yang melihat keindahan eksistensi
(Cinta Biasa) dengan cinta yang menghaluskan eksistensi
(Cinta Khusus).
Cinta Sejati secara esensial tidak bersifat umum, tetapi
khusus. Ia mungkin bisa melihat keindahan dalam semua
bentuk, tetapi perhatiannya yang benar-benar diarahkan pada
esensi merupakan satu-satunya cinta dalam pengertian
finalnya. Seseorang tidak mencintai dalam pengertian ini
jika cintanya menimbulkan kebingungan. Hal ini digambarkan
melalui sebuah cerita:
Seorang laki-laki suatu kali bertemu dengan seorang
perempuan cantik. Ia mengungkapkan cintanya kepadanya.
Perempuan tersebut berkata, "Di sampingku ada seorang
yang lebih cantik dariku, dan lebih sempurna kecantikannya.
Ia adalah saudara perempuanku." Ia pun pergi untuk
melihat perempuan ini. Kemudian perempuan yang pertama
tersebut berkata, "Pembual! Ketika aku melihatmu dari
kejauhan, kupikir engkau adalah orang bijak. Ketika engkau
mendekat, aku pikir engkau adalah seorang pecinta. Sekarang
aku tahu bahwa engkau bukan keduanya."
Hikmah dari para darwis menggambarkan suatu karakteristik
cinta yang begitu langka sehingga hampir-hampir tidak
dimengerti oleh kemanusiaan. Pecinta menganggap pandangan
yang sebenarnya kecil menurut kekasihnya sebagai hal besar.
Tetapi menyangkut anggapannya sendiri terhadap kekasihnya,
ia berpikir kecil. Dari sudut pandang ini, perasaan-perasaan
dari Cinta Biasa memantulkan egosentrisitas.
Dalam versi terjemahannya, Clarke tetap memakai sejumlah
definisi dari para pribadi Sufi dan keadaan-keadaan Sufi
yang tidak mudah diungkapkan secara sederhana. Selama tujuh
puluh tahun sejak buku tersebut muncul, harus diakui bahwa
pengertian Sufi dalam definisi yang beragam sesuai dengan
banyaknya faktor itu (memang) belum mantap, katakanlah, di
Inggris. Tetapi kemungkinan ini tidak bisa dihindari selama
kamus-kamus yang ada tetap mempertahankan anggapan bahwa
keringkasan adalah mungkin bagi semua definisi.
Sebagai contoh, seorang Fakir bukanlah orang yang miskin
(harta). Ia tidak harus seorang zahid, yang merupakan
seorang pertapa ketat dan mungkin miskin (harta) atau tidak.
Tetapi seorang fakir bisa jadi seseorang yang pada suatu
waktu (bersikap) ketat dan di saat lain tidak. Demikian juga
seorang yang ketat mungkin tidak menjadi seorang fakir dalam
pengertian miskin intelektual secara sengaja atau rendah
hati. Orang fakir telah melepaskan kepercayaan terhadap arti
penting harta-benda yang terlalu dibesar-besarkan. Sampai
pada tingkatan ini ia baik, dan sesuai untuk Jalan tersebut.
Ia bahkan mungkin mengabaikan semua gagasan tentang
tahapan-tahapan perkembangan, keadaan (hal) atau bahkan
tahapan-tahapan amal. Tetapi ia bisa melakukan hal ini hanya
ketika telah sampai pada suatu kondisi yang mungkin baginya,
ketika hal ini menjadi fungsinya, bukan pilihannya. Sufi
melampaui kefakiran, sebab fakir pada awalnya menginginkan
kefakiran, sementara Sufi tidak menginginkan apa pun. Maka
dari itu, seorang Fakir mungkin bisa menjadi seorang Sufi,
dalam hal ini kefakirannya tidak berpengaruh pada
jiwanya.
Tidak ada pemantapan istilah-istilah Sufistik yang secara
mendasar mungkin dilakukan, meskipun dengan melihat pada
keseluruhan ajaran (tradisi) Sufi dan beberapa penggunaan
dari nama-nama yang diberikan untuk para Sufi bisa
memberikan suatu kesan tentang bagaimana sistem-sistem
tersebut bekerja.
Apakah seorang darwis itu?
Pendeta Joseph Wolff telah melakukan perjalanan berbahaya
melintasi Asia pada abad kesembilan belas, untuk mencari
Stoddard dan Conolly, dua perwira Inggris yang ditawan oleh
Emir Bukhara. Sebagai seorang bekas pemelukYahudi dan
pendeta gereja di Inggris, ia mendapatkan dukungan dari
orang-orang berpengaruh di Inggris. Ia bisa bepergian secara
bebas di Asia Tengah hanya karena menyebut dirinya sendiri
"Derwis Kristiani", dengan memanfatkan prestise
dari istilah tersebut.
Seorang darwis adalah seorang Sufi. Di Afrika Utara,
"darwis" adalah nama yang terhormat, menunjukkan
sesuatu yang sedikit lebih (rendah) dari seorang arif,
sementara seorang Sufi dipandang dengan rasa curiga sebagai
seseorang yang terlibat dalam proses-proses misterius. Di
Inggris, seorang Sufi dianggap sebagai "seorang
penganut mistik Muhammad dalam bentuk pantheistik",
sementara seorang darwis adalah sosok yang aneh --sesuatu
yang mungkin oleh orang Afrika Utara disebut sebagai
"Sufi".
Sekalipun para raja bahkan mungkin menyebut dirinya
sendiri sebagai "Fakir", penamaan ini di beberapa
tempat bisa memalukan. Seorang akademisi India yang terkenal
berkata: "Fakir" dirancukan dengan para pesulap
Hindu --dan lebih buruk lagi dari itu. Saya memandang Anda
bukan sebagai seorang Fakir, tetapi sebagai orang yang
mengikuti Jalan."
Dengan meletakkan kata tersebut ke dalam sebuah ungkapan,
maka akan membantu menjelaskan penggunaannya. "Ia
seorang Darwis," berarti "sosok pribadi yang baik,
sederhana dan mencurahkan dirinya pada kebenaran".
"Ia seorang Fakir," berarti, "seorang yang
berjuang untuk meningkatkan dirinya, dengan kerendahan
hati". "Ia adalah seorang Sufi," berarti,
"seseorang yang mengikuti Jalan Sufi", juga
berarti, "seseorang yang telah meraih kemajuan di Jalan
tersebut".
Kebingungan tersebut muncul karena beberapa faktor. Tidak
kalah pentingnya dari faktor-faktor ini adalah ternyata para
Sufi sendiri tidak mempergunakan penamaan tertentu untuk
menunjukkan keadaan atau tahapan, sebab memang tidak ada hal
semacam ini dalam Sufisme. Anda bisa menamakan satu pound
keju (dengan sebutan) "keju", tetapi seorang Sufi
tidak pernah selamanya (menjadi) seorang darwis atau arif.
Statusnya berubah sejalan dengan jenjang-jenjang kebenaran
dan obyektivitas yang tidak terbatas.
Dalam literatur Sufi, kata-kata "Sufi",
"Darwis" dan "Fakir" lebih jarang
digunakan dibandingkan kata "Arif",
"Pecinta", "pengikut",
"pengembara". Kata-kata (sebutan) lainnya
cenderung merupakan penamaan lahiriah.
Dalam Sufisme, kesalahan-kesalahan dari definisi-definisi
kamus mungkin diungkapkan secara lebih mencolok dibandingkan
bidang-bidang lainnya. Demikianlah tertulis pada
Chambers' Dictionary (edisi 1955):
DARWIS: "Seorang anggota dari salah satu
persaudaraan Mohammedan (Muslim) yang bermacam-macam
..."
SUFI: "Seorang mistikus Islam yang pantheistik
..."
FAKIR: "Seorang pengemis keagamaan (terutama Islam),
yang zuhud ..."
Makna-makna dari kata "Mohammed" --atau bahkan
"Mohammedan"-- fraternity (persaudaraan),
"pantheisme", "mistik",
"religius", "pengemis" dan
"asketik" (zuhud) tidak sama dengan penggunaan
kata-kata tersebut di Timur, dan terutama dalam pemakaian
Sufi, daripada dalam bahasa Inggris.
Sebuah kamus bahasa Persia, mungkin lebih bersifat
puitis, meskipun tampak kurang jelas, mengatakan,
"Apakah seorang Sufi itu? Seorang Sufi adalah seorang
Sufi" --dan dalam bentuk rima: Sufi chist?-- Sufi
Sufi'st. Ini benar-benar merupakan kutipan dari
pernyataan Sufi. Penyusun kamus tidak percaya untuk mencoba
mendefinisikan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Sebuah
kamus bahasa Urdu mengatakan, "Sufi merujuk kepada
sesuatu dengan ciri khas yang beragam, tetapi secara
berturut-turut bisa disebutkan; tahapan-tahapan wujud,
terbuka bagi kemanusiaan di bawah lingkungan-lingkungan
tertentu, hanya bisa dipahami dengan benar oleh mereka yang
berada dalam keadaan 'kerja' (amal) ini; dipandang
misterius, tidak bisa dimasuki atau tidak terlihat bagi
mereka yang tidak memiliki cara-cara memahaminya."
Clarke mengutip literatur Sufi dari para penulis yang
paling klasik lebih dari periode tujuh ratus tahun (dari
tahun 911 sampai tahun 1670) --Persia, Afghanistan,
Turkistan, Arab, India.
Sumber-sumber Baratnya mencakup dari tahun 1787 sampai
1881, hampir seratus tahun. Sementara terjemahan kitab
Hadiah diterbitkan oleh pers pemerintah India di
Calcutta.
Karya khusus ini disesuaikan dengan penjelasan rinci di
luar bentuk kultural biasa sebagian, karena ia sendiri
merupakan produk dari sebuah sekolah yang menjalin, dengan
menyilangkan dan menyilang ulang, aliran Sufistik
tradisional selama berabad-abad dimana dalam kurun waktu
tersebut sosok darwis telah dikenal jelas.
Hubungan saling mempengaruhi ini penting, sebab ia
menunjukkan bagaimana aliran Sufistik bertemu, bercampur dan
membentuk kembali dengan suatu cara yang menurut penilaian
dangkal tentang tarekat-tarekat darwis (justru) tidak
diperkirakan.
Penulis kitab tersebut adalah Syekh Syahabuddin Muhammad
as-Suhrawardi, seorang murid dari pendiri Tarekat darwis
as-Suhrawardiyah. Tarekat tersebut didirikan atas dasar
madzhab pengajaran oleh Ziyauddin Najib Suhrawardi, yang
meninggal pada 1167. Ia menulis kitab Kewajiban-kewajiban
Murid. Kehidupannya, seperti kehidupan kebanyakan para guru
perintis, tidak didokumentasikan dengan baik. Ini merupakan
bagian dari kebijaksanaan yang disengaja, karena pendiri
suatu madzhab bermaksud untuk memusatkan perhatiannya kepada
madzhab tersebut dan bukan kepada pribadinya.
Syahabuddin Muhammad as-Suhrawardi merupakan mahaguru
Sufi di Baghdad; ia menjadi sumber pemusatan dan penyampaian
ajaran Sufi pada masanya.
Para muridnya berkelana jauh dan luas, dengan membawa
metodologi dari tarekat tersebut. Sayyid Nuruddin al-Afghani
(Ghazna) membawa sistem tersebut ke India, dimana Raja
Altamash mengangkatnya sebagai "Syekh Negara"
tertinggi. Murid lainnya adalah Najmuddin Kubra, yang
mendirikan tarekatnya sendiri --al-Kubrawiyah-- dan
merupakan guru bagi semua bentuk keajaiban. Sebagai contoh,
ia mempunyai pengaruh gaib, bahkan terhadap bintang,
semata-mata melalui proyeksi pemikiran. Begitu banyak dari
murid-muridnya menjadi guru (Sufi) karena berkahnya,
sehingga gelarnya adalah "Pencetak Auliya"'.
Sedikit saja Sufi yang telah mencapai kekuatan atau
popularitas seperti ini. Tarekat Suhrawardiyah ditemukan di
semua dunia Islam, dari Atlantik sampai Pasifik.
Di satu tempat, seorang guru darwis Suhrawardi Bukhara
(Syamsuddin Hussein) memiliki empat ratus ribu murid. Ia
menikahi putri Sultan Turki Bayazid I, Nilufer Khanum.
Penyair besar Sa'di asy-Syirazi adalah murid dari
penulis kitab tersebut, dan ia sendiri adalah keponakan
serta penerus dari pendiri tarekat tersebut.
Berkah dari tarekat ini membekas kepada guru-guru Sufi
klasik yang sama yang memberikan inspirasi bagi
tarekat-tarekat dan madzhab-madzhab lainnya. Oleh sebab
itulah karakter esensial dari ajaran tersebut harus dilihat
sebagai hanya diwarnai secara tipis melalui penggambaran
organisasi yang dikenal sebagai Tarekat Suhrawardiyah, dan
biasanya kata "tarekat" oleh orang-orang Barat
diterjemahkan dengan kata "order".
Bersumber dari asal-usul yang sama, mereka adalah guru
Sufi yang memandang bahwa as-Suhrawardiyah, sebagaimana ia
disebut dalam bahasa Arab, mewakili ajaran-ajaran Sufi yang
benar pada masa tersebut. Oleh karena itu, ada sejenis
pertukaran keanggotaan dalam tarekat-tarekat tersebut yang
tampaknya membingungkan. Sebagian dari guru-guru yang
termasyhur tersebut adalah para sayyid, keturunan Muhammad
(saw); yang lain adalah keturunan langsung dari
tarekat-tarekat lainnya, seperti Bahauddin Zakaria, cucu
pendiri Tarekat Qadiriyah. Syekh Jalaluddin at-Tabrizi yang
Agung dibesarkan oleh (Tarekat) as-Suhrawardiyah, kemudian
bergabung dengan Tarekat Chisytiyah setelah tujuh tahun
bersama Syahabuddin di Baghdad. Di sini Sufisme harus
dilihat sebagai suatu cara untuk memusatkan suatu ajaran
tertentu dan menyebarkannya, melalui wahana manusia, melalui
iklim-iklim yang dipersiapkan untuk menerimanya. Sebelum dan
sesudah Clarke, hal ini telah diupayakan di Eropa, dengan
keberhasilan yang berbeda-beda. Bagaimanapun pengaruh
tersebut telah melemparkan kembali seseorang pada akar-akar
ajaran tersebut di Timur, di mana ajaran tersebut masih
terpusat. Banyak Sufi yang hidup dan bekerja di Barat,
tetapi hanya akhir-akhir ini kondisi-kondisi yang benar
telah ada untuk melakukan naturalisasi dan pengenalan
kembali suatu madzhab penyebaran murni di dunia Barat.
Ketidaksabaran dari kebanyakan calon murid hanya sedikit
berguna dalam evolusi dari suatu "kerja" semacam
ini.
Di antara batu pijakan bagi perkembangan jenis ini, versi
terjemahan kitab Hadiah dari Kolonel Clarke pasti harus
disebutkan.
|