|
LATAR BELAKANG I: PARA MUSAFIR DAN BUAH
ANGGUR
Ada tiga jenis budaya: budaya duniawi, menumpuk
informasi belaka; budaya religius, mengikuti aturan;
budaya elit, pengembangan-diri.
(Guru Hujwiri,
Kasyful-Mahjub)
Ada sebuah kisah dalam fabel Aesop tentang tikus tanah
muda menemui ibunya untuk memberitahukan bahwa dirinya telah
bisa melihat. Namun dikatakan banyak orang, penglihatan
tikus tanah itu kurang sempurna. Mendengar laporan itu,
ibunya memutuskan untuk menguji daya lihatnya. Ia menaruh
sepotong kemenyan dan bertanya kepada anaknya, "Apa
ini?"
"Batu," jawab tikus kecil.
"Engkau tidak hanya buta," kata ibunya, "tapi juga
kehilangan indera penciumanmu."
Aesop -- menurut tradisi para Sufi dinilai sebagai guru
praktis dari ajaran hikmah kuno yang bisa dicapai dengan
melatih pikiran, tubuh dan persepsi secara sadar -- tidak
mudah diapresiasi melalui makna lahir dongeng itu. Beberapa
pengkaji telah mencatat bahwa kisah-kisah Aesop membicarakan
ketimpangan moral (sebenarnya keterangan-keterangan yang
dangkal).
Kita bisa menganalisa fabel ini untuk mengetahui maksud
sebenarnya, bila kita telah mengetahui tradisi sastra Sufi
dan metode mengungkap makna-makna tersembunyi.
"Tikus tanah" dalam bahasa Arab (khuld, dari akar
kata KhLD) dan ditulis dengan ejaan yang sama dengan
khalad, artinya "kekekalan, surga, pemikiran,
pikiran, jiwa", sesuai dengan konteksnya. Karena hanya huruf
konsonan yang tertulis, maka tidak ada maksud narativitas
yang diacu kata ini secara khusus. Jika kata ini digunakan
dalam bahasa Semit dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Yunani oleh orang yang tidak memahami makna gandanya, maka
unsur permainan katanya akan hilang.
Lalu mengapa ada kata "batu" dan "kemenyan"? Karena dalam
tradisi Sufi, "Musa (pembimbing kaumnya) menjadikan
sebuah batu seharum pohon Kasturi." (Hakim Sanai, The
Walled Garden of Truth).
"Musa" di sini melambangkan suatu panduan pemikiran yang
bertujuan mengubah sesuatu yang tampak seperti benda mati
dan lembam menjadi sesuatu yang "seharum pohon Kasturi"
sesuatu yang hampir bisa dikatakan sebagai kehidupan itu
sendiri.
Kisah ini menunjukkan bahwa "induk" pemikiran (asal-usul,
matriks, kualitas esensialnya) mempresentasikan
frankincense (pengalaman tak terpahamkan) bagi
pikiran atau pemikiran. Karena individu (tikus tanah)
terpaku pada "penglihatan" (upaya mengembangkan fakultas
jiwa secara keliru), maka ia kehilangan kemampuan untuk
menggunakan fakultas lainnya.
Menurut Sufi, alih-alih memasuki dirinya sendiri dengan
cara tertentu untuk menemukan dan mencapai perkembangannya,
manusia justru mencari di luar dirinya dan mengikuti
berbagai ilusi (sistem metafisik yang dikembangkannya secara
keliru) serta sebenarnya melumpuhkannya.
Lalu apa potensialitas batin "tikus tanah"? Kita bisa
melihat seluruh kelompok kata dalam bahasa Arab yang berakar
kata KhLD sebagai berikut:
KhaLaD = kekal, abadi.
KhaLLaD = melestarikan sesuatu.
AKhLaD = cenderung, setia sepenuhnya (kepada seorang
sahabat).
KhuLD = keabadian, surga, kesinambungan.
KhuLD = tikus tanah, suara burung.
KhaLaD = pemikiran, pikiran, jiwa.
EL-KhUALiD = pegunungan, karang, penyangga sebuah
pot.
Bagi Sufi, kelompok kata ini mengandung persoalan
esensial tentang pengembangan pribadi manusia. Ia adalah
sebuah peta Sufisme. Karena koinsiden (secara kebetulan),
tikus tanah dipilih sebagai simbol pikiran atau pemikiran.
Ia mempunyai arti yang sama dengan keabadian, kesinambungan,
penyangga. Sufisme berkaitan dengan pelestarian kesadaran
manusia melalui sumbernya di dalam pikiran. Sementara
kesetiaan utuh kepada sesama adalah suatu tugas
esensial.
Oleh karena itu sebagaimana dipercaya para komentator,
kisah Aesop ini bukan berarti bahwa "mengungkap seorang
penipu adalah mudah". Kami tidak mengingkari bahwa "kisah"
itu dianggap demikian selama berabad-abad. Namun penggunaan
kata kemenyan dan tikus tanah serta tradisi Sufi dalam
menyampaikan ajaran tertentu berupa kata-kata seperti dalam
kisah Aesop itu, membantu kita membukakan pintu rahasia.
Dengan melihat sejumlah materi sastra dan filsafat melalui
penjelasan ini, kita terdorong untuk mengingat pesan Rumi,
seorang pengarang dongeng besar dari Asia Minor. Ia
mengatakan bahwa kanal mungkin tidak bisa diminum, namun ia
menyalurkan air kepada orang-orang yang kehausan. Mereka
yang tertarik pada interpretasi simbolisme tikus tanah ini
mungkin kini merasa bahwa hikmah dalam kisah pelipur hati
Aesop ini mengandung "zat gizi" yang kita cari.
Rumi hidup hampir dua abad setelah Aesop. Ia mengatakan,
"Sebuah dongeng, fiksi atau sejenisnya menjelaskan
kebenaran."
Namun kita tidak perlu mengikuti bahasa Arab sendiri
sebagai sumber aktual bahasa Semit dan asal kisah Aesop itu.
Bahasa Arab berguna sebagai alat, karena sebagaimana
dibuktikan para filolog (ahli tentang sifat dan perkembangan
bahasa), ia melestarikan hubungan kata-kata yang,
dikelompokkan sesuai dengan pola primitif. Sementara bahasa
Semit lainnya telah merusak makna-maknanya.
Baik di Barat maupun di Timur, ada banyak contoh tentang
kristalisasi ajaran yang sama dalam kesusastraan, ritual dan
kepercayaan rakyat. Fenomena semacam ini dianggap tidak
penting: seperti berbagai lelucon yang dikaitkan dengan
Nashruddin, Joe Miller dan lainnya, dikaji secara lahiriah.
Banyak Puisi Omar Khayyam yang ditujukan untuk mendorong
para pembacanya berpikir jelas melalui reduksi kehidupan
sebagai absurditas, dipahami secara dangkal sehingga Khayyam
tampak sebagai orang "pesimis". Pemikiran Plato sejalan
dengan maksud para Sufi, yaitu menunjukkan batas-batas
logika formal dan kemudahan orang terjatuh dalam penalaran
yang keliru, namun pemikirannya dianggap defektif (cacat),
tidak lebih dari itu. Dalam beberapa hal, seperti kisah
Aesop, kanal itu tetap menyalurkan air meskipun ia tidak
diakui sebagai kanal. Dengan kata lain, orang-orang tetap
melakukan berbagai ritual dan kepercayaan yang tidak berarti
yang mereka rasionalisasikan sehingga tidak mempunyai
dinamika yang nyata dan sebenarnya hanya tertarik pada
hal-hal yang antik. Penyair besar Sufi, Jami' mengatakan
tentang mereka, "Awan kering tak berair, tidak mengandung
hujan." Namun kultus-kultus itu seringkali hanya merupakan
tiruan dari simbolisme yang disusun secara seksama berdasar
pada analogi puitis dan justru semua itu dikaji dengan
sungguh-sungguh. Sementara orang berpikir bahwa
kultus-kultus itu mengandung kebenaran metafisis dan magis
tertentu, sementara lainnya menganggap bahwa semua itu
mempunyai nilai historis.
Tentang sebuah kultus atau kelompok yang mengikuti sebuah
tema dan pada awalnya disusun dari kelompok kata tertentu,
kita tidak mungkin memahaminya atau bahkan menuliskan
sejarahnya kecuali kalau kita tahu asal-usulnya. Karena
unsur matematisnya yang khas dan dipilih sebagai sarana
untuk menyampaikan pengetahuan tertentu di Timur dan Barat,
maka bahasa Arab sangat penting untuk kajian ini.
Disamping itu, karena hampir semua penyusunan kata secara
aljabar itu terdiri dari tiga huruf, bahasa Arab sangat
simpel yang hampir tidak diperkirakan oleh orang yang tidak
mengetahuinya. Namun kita hanya berhubungan dengan kata-kata
dan kelompok konsonan, bukan tata bahasa, sintaksis, apalagi
huruf-huruf Arab, karena kata-kata itu semuanya bisa
diterjemahkan secara memadai sesuai dengan tujuan kita
melalui huruf-huruf Latin. Kita menyulih satu huruf dengan
huruf lainnya. Biasanya kita memodifikasi huruf itu agar
bisa menyampaikan kata orisinalnya. Secara substansial, hal
ini adalah sebuah seni yang digunakan secara luas di wilayah
Timur ketika huruf Arab dan tradisi pengetahuan Sufi
menyebar dan digunakan oleh orang-orang yang tidak
mengetahui secara mendalam tentang bahasa Arab sendiri. Jadi
bahasa Arab bisa digunakan sebagai kode oleh masyarakat
Timur maupun Barat Latin pada Abad
Pertengahan.1
Hubungan orangtua dan anak itu (tikus tanah dan ibunya)
digunakan oleh para Sufi untuk menjelaskan latihan
"penglihatan" yang sempurna sebagaimana hubungan puncak
antara Sufi dan "penglihatan" terakhir terhadap kebenaran
obyektif. Bagi Sufi, inkarnasi keagamaan atau penjelmaan
hubungan itu hanyalah suatu metode kasar dan sekunder dalam
menggambarkan suatu pengalaman yang terjadi pada individu
atau kelompok -- pengalaman religius dalam melakukan
penyadaran diri.
"Sufi yang sempurna (tercerahkan) adalah manusia agung,
mulia dan luhur. Melalui cinta, aural dan harmoni, ia telah
mencapai tingkat keagungan paling tinggi. Semua rahasia
terungkap baginya dan seluruh kehidupannya dikaruniai
kekuatan magis. Dia adalah Penuntun dan Musafir di Jalan
keindahan, cinta, tahap-tahap pengalaman, kekuatan dan
perwujudan tak terbatas. Dia adalah Penjaga kearifan paling
kuno, Perintis mengungkap rahasia-rahasia terdalam. Dia
adalah Sahabat penuh kasih yang mengangkat keberadaan kita
dan membawa makna baru bagi kemanusiaan."
Semua ini adalah gambaran sang Sufi yang dipaparkan oleh
seorang penulis kontemporer. Meskipun ia sendiri bukan Sufi,
namun ia hidup di antara para penganut Jalan Cinta itu.
Sufi tampaknya merupakan sosok yang senantiasa berubah
sikap. Namun bagi mereka yang mempunyai kepekaan batin, ia
sama, karena kepribadiannya yang hakiki adalah batin, bukan
lahir. Seorang sarjana dari Kashmir yang telah lama sekali
tinggal di sebuah pusat pengajaran Sufi pada abad ketujuh
belas, telah melakukan apa yang dewasa ini disebut sebagai
penelitian karakteristik umum dari mistik Sufi. Dia lah
Sirajuddin yang telah berkelana ke berbagai negara
tetangganya, bahkan sampai ke Jawa, Cina dan Gurun Sahara.
Ia berbicara langsung dengan para Sufi dan menyusun tradisi
mereka yang tak tertulis.
"Sufi adalah manusia sempurna," kata Sirajuddin, "ketika
ia mengatakan, 'Di antara bunga-bunga mawar, ada satu mawar
dan di antara duri-duri, ada satu duri,' ia sama sekali
tidak bermaksud membicarakan perilaku sosial. Para Sufi
adalah penyair dan pecinta. Dilihat dari dasar ajarannya,
mereka adalah pasukan, pelaksana dan tabib. Di mata para
pengamat, mereka tampak seperti tukang sihir, mistikus, para
pekerja seni yang tak terpahami. Bila Anda menghormati
mereka sebagai orang suci, Anda akan mendapat rahmat dari
kesucian mereka. Namun bila Anda bergabung dengan jamaah
mereka, Anda memperoleh rahmat dari jamaah mereka. Bagi
mereka dunia ini adalah suatu perangkat untuk memperbaiki
ummat manusia. Bila kita mengidentifikasi proses kreasi
mereka yang sinambung, mereka sendiri adalah pencipta
manusia sempurna lainnya. Di antara mereka ada yang membuka
suara, namun ada juga yang berdiam diri, ada yang
berjalan-jalan seperti gelisah, namun ada yang duduk
mengajar. Untuk memahami mereka, Anda harus menggunakan
intelegensi intuitif, biasanya dengan menekan musuh
bebuyutannya, yaitu intelegensi logis. Sebelum Anda memahami
ketidaklogisan dan kesia-siaan perilaku mereka, sebaiknya
jauhilah mereka kecuali untuk kebaktian tertentu, formal dan
jelas."2
Seorang Sufi tidak bisa didefinisikan dengan serangkaian
kata-kata atau gagasan, tapi mungkin bisa melalui sebuah
gambaran, gerakan dan isyarat dari dimensi lain. Salah
seorang guru besar Sufi, Rumi, menguraikan keberadaan Sufi
sebagai berikut:
(Ia) mabuk tanpa anggur, kenyang tanpa makanan,
sangat resah, tidak makan dan tidak tidur, raja dengan
jubah sederhana, harta karun di bawah puing-puing
reruntuhan, bukan udara bukan tanah, bukan api dan bukan
air, samudera tiada bertepi. Ia mempunyai seratus bulan,
langit dan mentari. Ia manusia bijak karena mengetahui
kebenaran universal -- tidak seperti sarjana yang belajar
dari buku.3
Apakah ia agamawan? Tidak, ia jauh lebih dari itu, "Ia di
seberang atheisme dan keimanan biasa. Lalu apa arti pahala
dan dosa baginya? Ia tersembunyi -- carilah dia!"
Sebagaimana kita ketahui dalam berbagai pernyataan paling
masyhur dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz pada abad
ketiga belas, Sufi adalah sosok rahasia, tersembunyi lebih
dalam dari pengikut madzhab rahasia mana pun. Nama
individual Sufi banyak dikenal di dunia Timur. Perkampungan
para Sufi terdapat di tanah Arab, Turki, Persia,
Afghanistan, India dan Malaysia.
Para peneliti Barat yang keras kepala semakin berusaha
menggali rahasia-rahasia Sufi, maka tugas itu tampaknya
semakin bertambah rumit. Karya mereka selalu membanjiri
bidang-bidang mistisisme, Arabisme, Orientalisme, sejarah,
filsafat dan bahkan kesusastraan umum. Dalam sebuah ungkapan
Sufi, "Rahasia senantiasa menyembunyikan diri. Ia hanya bisa
ditemukan dalam semangat dan Karya (Sufi)."
Seorang guru besar arkeologi terkemuka mungkin adalah
tokoh terbesar Barat yang mempunyai otoritas kajian Sufi --
bukan lantaran ia seorang akademisi, namun karena ia seorang
Sufi.
Laki-laki atau perempuan Timur mungkin kerapkali
menganggap Sufi sebagaimana orang Barat membayangkan sosok
mistik Timur itu, yaitu anggapan bahwa Sufi adalah orang
yang dilimpahi berbagai kekuatan supranatural, pewaris
berbagai rahasia yang melanjutkan simbol kearifan para
leluhur dan abadi. Sufi dapat membaca pikiran Anda, bisa
berpindah tempat dalam sekejap, mempunyai hubungan-hubungan
khusus dengan makhluk dari dunia lain.
Sufi biasanya dipercaya mampu mengobati penyakit. Tidak
sedikit orang akan bercerita kepada Anda tentang cara para
Sufi menyembuhkan penyakit dalam sekejap atau dengan
cara-cara tertentu yang tak dapat
dijelaskan.4 Para
Sufi dianggap mampu mengatasi tugas-tugas mereka yang sulit:
banyak individu menjadi saksi kepercayaan ini. Meskipun
mereka sering melakukan kesalahan, namun sangat jarang
disanggah dibandingkan orang lainnya. Mereka mendekati
masalah yang sama sekali berbeda dengan orang pada umumnya.
Namun tindakan-tindakan mereka dibuktikan dengan berbagai
peristiwa nyata. Mereka meyakini bahwa mereka sendiri
mengambil bagian dalam evolusi kemanusiaan yang agung.
Bila kepercayaan populer yang mungkin mencakup sejumlah
kultus terhadap orang suci di seluruh wilayah Timur Tengah
kini tersebar luas, semua ini karena pengaruh berbagai
legenda dan tradisi para guru Sufi, pribadi yang
diagung-agungkan oleh para penganut dari semua aliran
kepercayaan. Para Sufi tempo dulu bisa berjalan di atas air,
menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi di tempat-tempat
yang sangat jauh, mengalami realitas kehidupan sejati dan
banyak lagi hal-hal serupa. Bila seorang guru Sufi
berbicara, para pendengarnya mengalami semacam keterpesonaan
mistikal dan kekuatan magis yang matang. Di mana pun Sufi
berada, para mistikus dari kepercayaan lain dan seringkali
tokohnya yang terkemuka, menjadi murid-muridnya --
kadangkala tanpa diperintah.
Di dunia material, pengaruh Sufi berdasar pada karya dan
kreativitas, serta secara umum diakui karena prestasi
individual Sufi. Filsafat dan berbagai penemuan ilmiah Sufi
pada umumnya dianggap telah dicapai melalui kemampuan khas
mereka. Sementara kalangan teosofis atau intelektual
konvensional merasa bahwa mereka berada dalam posisi yang
tidak menguntungkan, sehingga meskipun mereka seringkali
mengingkari kemungkinan suatu bentuk kesadaran khas yang
dicapai oleh kalangan elit mereka, mereka terpaksa mengakui
bahwa para Sufi adalah pahlawan-pahlawan bangsa di beberapa
negara dan berjasa dalam mengembangkan sastra klasik di
negara lainnya. Diperkirakan dua puluh sampai empat puluh
juta orang menjadi anggota atau berafiliasi dengan
madzhab-madzhab Sufi sehingga para Sufi semakin besar
jumlahnya.
Mungkin saja tetangga Anda adalah Sufi, atau mungkin
orang yang ada di seberang jalan, perempuan yang membantu
tugas Anda, seorang pertapa di saat-saat tertentu, baik kaya
maupun miskin adalah seorang Sufi.
Tiada penyelidikan terhadap realitas Sufi yang dapat
sepenuhnya dilakukan dari luar, karena Sufisme menuntut
partisipasi, latihan dan pengalaman. Meskipun para Sufi
telah menulis banyak buku, namun mereka mungkin menggunakan
cara-cara khas dan tampaknya bertentangan satu sama lain
serta tidak mudah dipahami orang yang tidak berpengalaman
atau ternyata mempunyai maksud-maksud yang berbeda
dibandingkan maksud-maksud yang dangkal.
Salah satu kendala untuk memahami Sufisme melalui
kepustakaan Timur telah dicatat beberapa sarjana yang telah
mencoba menelitinya, termasuk Profesor Nicholson yang telah
lama bekerja untuk memahami dan memperkenalkan pemikiran
Sufi ke dunia Barat. Dalam karya seleksi beberapa tulisan
Sufi, ia mengakui bahwa "sebagian besar karya tulis mereka
aneh dan unik, karena semua karya mereka yang masih ada
jarang menunjukkan makna yang jelas kecuali bagi mereka yang
mempunyai kunci rahasianya. Sementara orang yang tidak
mengetahuinya, hanya akan memahaminya secara literal atau
tidak sama sekali."5
Sebuah buku seperti ini "menyusun dirinya sendiri" sesuai
dengan pola (karangan) Sufi; dan secara definitif buku ini
harus mengikuti pola Sufi, bukan pola konvensional. Oleh
karena itu, materi dan metodenya khas dan tidak dapat
didekati melalui kriteria umum. Inilah yang dikenal dengan
metode "menabur", dan hasilnya dianggap efektif jika
berdasar pada kegiatan majemuk.
Dalam kehidupan sehari-hari, beberapa bentuk pemahaman
menjadi mungkin karena ditunjang pengalaman. Pikiran manusia
adalah satu bagian, bagian lain adalah dampak-dampak yang
diterima dan kemampuannya untuk memahami dampak-dampak itu.
Interaksi antara dampak dan pikiran itu menentukan kualitas
kepribadian. Dalam Sufisme, proses fisik dan mental itu
dijalani dengan sadar. Hasil proses ini dianggap lebih
efisien. Alih-alih waktu, zaman dan kebetulan, "Hikmah"
dipandang sebagai hasil yang tak terelakkan. Para Sufi
menyamakan proses ini dengan analogi antara orang liar yang
makan segala sesuatu dan orang beradab yang memilih makanan
yang sehat dan enak baginya.
Maka dari itu kita tidak mungkin dapat menguraikan maksud
pemikiran dan tindakan Sufi dengan cara konvensional serta
sederhana dan metode perbincangan, karena alasan-alasan di
atas. Ketidakmungkinan ini diibaratkan dalam pepatah Sufi:
"mengirimkan ciuman melalui orang lain". Sufisme mungkin
muncul secara alamiah, namun juga merupakan bagian dari
perkembangan manusia yang lebih tinggi dan perkembangan
kesadaran manusia sendiri. Sarana pengungkapannya yang
memadai biasanya tidak ada di dalam masyarakat yang tidak
menjalankan bentuk pengembangan lanjut itu. Disamping itu,
iklim pengungkapannya (sastra, pemakaian bahasa rahasia,
contoh, dan lain-lainnya) berada di wilayah yang
berbeda.
Sementara kalangan yang berpikir metafisik dan terutama
mereka yang merasa bahwa dirinya meminati bidang mistisisme
atau "persepsi batin", biasanya tidak mempunyai pemahaman
yang lebih luas tentang kemanusiaan tempat Sufisme
memusatkan perhatiannya. Terutama menyangkut pemahaman kuat
tentang keunikan personal "yang ditangkap" dari orang lain,
subyektivitas mereka mungkin merupakan kelemahan yang
serius.
Tidak ada Sufisme yang dapat disederhanakan, namun ia
tidak berada di wilayah kognisi pikiran kabur, sebagaimana
mungkin orang mengira bahwa pikiran dapat memahaminya dan
menyerap hal-hal spiritual berdasarkan pikiran yang sangat
kabur sesuai dengan asumsi dirinya. Bagi Sufi, personalitas
demikian, betapapun vokalnya (dan seringkali demikian),
hampir tidak ada.
Seseorang yang berkata, "Semua itu memang tak terperikan,
tetapi saya tentu saja bisa merasakan 'apa yang Anda
maksud'," ia tidak mungkin dapat mengambil manfaat dari
Sufisme. Hal ini karena para Sufi bekerja dan melakukan
suatu upaya untuk membangkitkan suatu bidang kesadaran
melalui suatu pendekatan khas, bukan secara kebetulan.
Sufisme tidak bekerja dengan kejujuran yang dibuat-buat,
tidak mengharapkan pujian dan sikap setengah-setengah.
Seperti sebuah sengatan yang kemudian menghilang, demikian
pula unsur Sufi menghilang dari suatu situasi atau
sebaliknya. Sufisme tidak ditujukan kepada sebagian
masyarakat -- karena masyarakat tidak terpecah-pecah
sedemikian rupa. Namun ia ditujukan pada fakultas tertentu
dari setiap individu. Bila fakultas ini tidak diaktifkan,
maka di sana tidak ada Sufisme. Fakultas ini terdiri dari
realitas-realitas "keras" maupun "lunak", kontradiksi maupun
harmoni, kecemerlangan kesadaran maupun kegelapan
remang-remang dan membuat orang terlena.
Faktor sentral ini diekspresikan dengan baik dalam puisi
Sufi, dan seringkali dengan teknik yang sempurna. Kadangkala
secara manusiawi, kadangkala dengan teknik yang tidak lazim.
Generasi ahli puisi konvensional telah mencurahkan kehidupan
mereka untuk menganalisa khazanah yang unik ini dari sudut
pandang berbeda -- dari sudut "variasi kualitas" seorang
penyair. Seorang penyair menanggapi hal ini sebagai
berikut:
Wahai kucing dengan cita rasa susu asam, ahli
dalam menyamarkan rasa pahit! Engkau adalah sampah yang
telah bersepakat tentang susu asam. Dengan maksud yang
sama engkau membenci keju, mentega dan susu hangat dari
perahan kelenjarnya. Engkau bukan ahli keju, begitu
katamu kan? Sesungguhnya ia lebih dekat dari urat nadimu
sendiri.
Penyair Sufi lain, dengan gaung modern yang terdengar
aneh, mengemukakan tulisan cerdas berikut ini:
Bisakah kita melukis sebuah gambar sempurna atau
memintal permadani secara sempurna? Bisakah kita
menggetarkan lidah kita sepanjang malam untuk menyelidiki
setiap orang yang menyimpang dari kesempurnaan? Hal ini
baik, ini adalah tugas manusia sempurna. Semacam tugas
seorang bocah yang bersungguh-sungguh dalam menentukan
bahan-bahan yang menyempumakan pembuatan kue lumpurnya.
Seseorang yang telah merasakan keju-keju supermarket
kontemporer yang sangat steril, namun tidak terlalu steril,
ia akan mempunyai cita rasa sang penyair, demikian
kiranya.
Hilaly yang dituduh "menggunakan pedang untuk memotong
seutas benang", menyatakan, "Mungkinkah saya menggunakan
madu untuk menaklukkan unta?"
Ada banyak Sufi palsu. Mereka mencoba mengambil manfaat
dari prestise gelar Sufi. Di antara mereka ada yang telah
menulis buku, namun mereka hanya menambah kebingungan para
pengamat.
Beberapa spirit Sufi mungkin saja bisa disampaikan
melalui tulisan, dengan syarat kita sepakat bahwa sebenarnya
Sufisme harus dialami secara sinambung atau dibuktikan
dengan pengalaman sendiri. Sufisme tidak hanya tergantung
pada dampak artistik, namun mesti berdampak pada kehidupan
nyata.
Dalam sebuah definisi, Sufisme adalah kehidupan
manusia. Kekuatan magis dan metafisik biasanya bersifat
insidentil, meskipun kekuatan ini mungkin berperan dalam
proses kehidupan, jika tidak dalam keunggulan atau kepuasan
personal. Adalah benar bila upaya menjadi Sufi yang didorong
oleh hasrat untuk memperoleh kekuatan personal itu tidak
akan berhasil. Yang valid adalah hasrat murni untuk mencapai
kebijaksanaan. Langkah ini adalah metode asimilasi, bukan
metode kajian.
Untuk mengamati para Sufi melalui apa yang sebenarnya
merupakan derivasi dari teknik-teknik Sufi, pertama kita
seharusnya melihat beberapa hal penting namun tetap
mempunyai tujuan yang sama. Langkah ini dapat diilustrasikan
sebagai berikut. Seorang anak yang belajar membaca, pertama
ia harus mengetahui aksara. Ketika dapat membaca kata-kata,
ia tetap menggunakan pengetahuannya tentang aksara, namun ia
kini membacanya dalam kata-kata. Jika hanya memperhatikan
aksara demi aksara, ia mungkin sangat mengalami kesulitan
dalam membaca, karena ia masih menggunakan pengetahuannya di
jenjang pertama. Kata maupun aksara kini harus dipandang
dalam perspektif yang lebih utuh, demikian pula metode
Sufi.
Proses ini sebenarnya lebih mudah dijalankan ketimbang
didengarkan, sebab melakukan sesuatu seringkali lebih mudah
dibandingkan memaparkannya.
Saya ingin mengemukakan pandangan sekilas tentang sebuah
lingkaran (halaqah) Sufi, unit dasar dan inti
kegiatan Sufi. Sekelompok murid tertarik kepada seorang
guru. Mereka menghadiri majelis gurunya pada setiap malam
Jum'at. Tahap awal acara ini kurang begitu formal, yaitu
waktu bagi para murid untuk mengajukan pertanyaan dan
menerima jawabannya.
Pada kesempatan ini, seorang murid baru bertanya kepada
guru kami, Agha, apakah dasar utama pengalaman mistik yang
dimiliki manusia.
Agha menjawab, "Kita mempunyai sebuah istilah yang
merangkum semua pengalaman mistik itu. Istilah ini
melukiskan apa yang sedang kita kerjakan dan merangkum pola
pemikiran kita. Dan istilah ini engkau akan dapat memahami
dasar eksistensi kita dan alasan mengapa manusia pada
umumnya memperselisihkannya. Istilah ini berbunyi
Anguruzuminabstafil." Kemudian ia mengisahkan melalui
kisah tradisional berikut ini:
Konon ada empat pria -- orang Persia, Turki, Arab dan
Yunani -- berhenti di sebuah jalan desa. Mereka tengah
mengadakan perjalanan bersama-sama dan telah melalui
beberapa tempat terpencil. Pada saat itu mereka berdebat
untuk membelanjakan sekeping uang sisa bekal mereka.
"Aku ingin membeli angur," kata si orang
Persia.
"Aku ingin uzum," kata si orang Turki.
"Aku menginginkan inab," kata si orang Arab.
"Tidak!" kata si orang Yunani, "kita seharusnya membeli
stafil."
Seorang pengembara lain lewat, seorang ahli bahasa, dan
berkata, "Berikan uang logam itu kepadaku. Aku akan berusaha
memenuhi semua keinginan kalian!"
Mulanya mereka tidak mempercayainya. Akhirnya mereka
memberikan uang logam itu kepadanya. Ia lalu pergi ke toko
buah dan kembali membawa empat ikat anggur.
"Inilah angur-ku," kata-orang Persia.
"Nah, ini yang kusebut uzum," kata orang
Turki.
"Wah, engkau telah membawakan inab bagiku," kata
orang Arab.
"Tidak!" kata orang Yunani, "dalam bahasaku ini
stafil."
Anggur-anggur itu dibagikan kepada mereka. Masing-masing
menyadari bahwa perbedaan pendapat itu disebabkan oleh
bahasa mereka yang berbeda satu sama lain.
"Para pengembara itu adalah masyarakat pada umumnya,"
kata guru Agha. "Sementara ahli bahasa itu adalah Sufi.
Masyarakat sadar bahwa mereka menginginkan sesuatu, namun
ada kebutuhan batin yang sama dalam diri mereka. Mereka
memberikan nama-nama berbeda untuk itu, namun pada dasarnya
sama. Apa yang disebut agama mempunyai nama yang
berbeda-beda, bahkan mungkin gagasan yang berbeda. Apa yang
disebut ambisi mereka adalah upaya mencari ruang lingkup
agama dengan cara berbeda. Hanya saja ketika seorang ahli
bahasa muncul, yaitu orang yang mengetahui apa yang
sebenarnya mereka maksudkan, mereka kemudian berhenti
bertikai. Mereka lalu melanjutkan makan anggur-anggur
itu."
Agha melanjutkan bahwa kelompok pengembara itu lebih
dewasa dari orang kebanyakan, karena mereka sebenarnya
mempunyai gagasan positif tentang kebutuhan mereka, meskipun
tidak bisa mengkomunikasikannya. Pada umumnya individu
berada pada tingkat aspirasi lebih awal dibandingkan pada
tingkat pemikiran. Ia menginginkan sesuatu, namun tidak tahu
apa keinginannya itu -- meskipun mengira bahwa dirinya
tahu.
Pola pemikiran Sufi itu terutama sesuai dengan bidang
komunikasi massa, karena setiap upayanya bertujuan
meyakinkan masyarakat bahwa mereka menginginkan atau
membutuhkan beberapa hal, bahwa mereka seharusnya
mempercayai beberapa hal. Akibatnya mereka seharusnya
melakukan beberapa hal yang diinginkan oleh para manipulator
mereka.
Sang Sufi berbicara tentang sari anggur, hasil dari buah
anggur dan potensi rahasianya, sebagai sarana baginya untuk
mencapai "kemabukan". Buah anggur dipandang sebagai bahan
mentah minuman anggur. Sementara buah-buah anggur itu adalah
ibarat dari agama biasa dan minuman anggur adalah inti
agama. Oleh karena itu, empat pengembara itu dianggap
sebagai manusia biasa dengan agama yang berbeda-beda. Sufi
menunjukkan kepada mereka bahwa dasar agama sebenarnya sama.
Namun ia tidak menawarkan saripati anggur kepada mereka,
yaitu esensi agama, ajaran batiniah yang ditangguhkan
pengajarannya dan hanya digunakan dalam mistisisme. Ini
adalah suatu bidang yang lebih matang dibandingkan agama
yang mapan. Bidang ini berada di jenjang berikutnya. Namun
peran Sufi sebagai pelayan kemanusiaan ditunjukkan bahwa
meskipun ia berada pada tingkat lebih tinggi, ia membantu
agamawan formal semampunya, dengan menunjukkan identitas
fundamental dari kepercayaan agama. Tentu saja ia
melanjutkan pada pembahasan tentang berbagai manfaat
saripati anggur itu. Namun apa yang dibutuhkan para
pengembara itu adalah buah anggur, sehingga mereka hanya
menerima buah anggur. Menurut Sufi, bilamana pertikaian
tentang persoalan-persoalan yang lebih kecil mereda, maka
pengajaran yang lebih agung bisa diberikan. Untuk itu
beberapa ajaran awal harus diberikan.
Sementara orang yang belum tercerahkan tidak pernah
begitu memahami dengan jelas apa dasar utama mistisisme
itu.
Dalam sebuah versi kisahnya (Matsnawi, Buku II),
Rumi menyinggung sistem latihan Sufi itu ketika ia
menyatakan bahwa anggur-anggur yang diperas bersama-sama
akan menghasilkan satu sari buah -- anggur Sufisme.
Para Sufi seringkali memulai ajarannya dari sudut pandang
non-religius.6
Menurut mereka, jawabannya ada di dalam pikiran manusia
sendiri. Pikiran ini harus dibebaskan, sehingga melalui
pengetahuan-diri, intuisi menjadi pemandu bagi penyempurnaan
manusia. Langkah lain yaitu metode latihan, hanya akan
menekan dan menenangkan intuisi. Kemanusiaan ini dibawa ke
dalam kondisi binatang oleh sistem non-Sufi, bila dikatakan
bahwa seseorang yang mempunyai pilihan berbuat dan berpikir
adalah manusia bebas.
Sufi adalah individu yang percaya bahwa melalui
ketakberpihakan yang lentur dan identifikasi kehidupan, ia
akan menjadi bebas. Ia adalah seorang mistikus, karena
percaya bahwa dirinya bisa menyesuaikan diri dengan tujuan
kehidupan. Ia adalah praktisi, karena percaya bahwa proses
itu harus dijalankan dalam masyarakat biasa. Ia harus
melayani kemanusiaan karena ia adalah bagian darinya.
At-Tughrai yang agung, tokoh Sufi sezaman dengan Omar
Khayyam, menulis peringatan berikut ini pada tahun 1111 M.:
"Wahai manusia, ilmu itu banyak sekali mengandung informasi
untuk memahami rahasia-rahasia; simaklah, karena diam
berarti selamat -- 'Mereka telah membantumu mencapai sebuah
tujuan, sehingga engkau benar-benar memahaminya.
Hati-hatilah terhadap mereka sendiri, agar engkau tidak
memberi makan kambing yang hilang'." Bagian ini
diterjemahkan Edward Pococke pada tahun 1661.
Agar upaya itu berhasil, ia harus mengikuti metode yang
telah dipikirkan oleh para guru terdahulu, yaitu metode
melepaskan berbagai latihan yang mengungkung sebagian besar
masyarakat dalam lingkungan dan dampak pengalaman mereka
sendiri. Latihan-latihan dari para Sufi itu dikembangkan
melalui interaksi dua hal -- intuisi dan perubahan
aspek-aspek kehidupan manusia. Sementara keanekaragaman
metode intuitif itu mengesankan kemandiriannya dalam
berbagai masyarakat dan setiap zaman. Ini bukan tidak
konsisten, karena intuisi sejati itu sendiri selalu
konsisten.
Sufi dapat hidup di zaman dan tempat manapun. Mereka
tidak perlu meninggalkan dunia, berbagai gerakan
terorganisir atau dogma. Kehidupan mereka menyatu dengan
kemanusiaan. Oleh karena itu, pemikiran mereka secara akurat
tidak dapat diistilahkan sebagai sistem dari Timur.
Pemikiran mereka telah mempengaruhi secara mendalam baik di
Timur maupun dasar-dasar peradaban Karat tempat sebagian
besar kita hidup di dalamnya -- perpaduan orang Kristen,
Yahudi, Muslim dan warisan Timur Dekat atau Mediterania yang
biasa disebut "Barat".
Menurut para Sufi, ummat manusia selamanya dapat
disempumakan. Kesempurnaan itu dicapai melalui penyesuaian
dengan keseluruhan eksistensi. Kehidupan fisik dan mental
akan berpadu bila benar-benar ada keseimbangan yang sempurna
di antara keduanya. Sementara sistem-sistem yang mengajarkan
pemisahan dari dunia ini dianggap sebagai tidak
seimbang.
Latihan-latihan fisik itu berkaitan dengan pola-pola
teoritis. Dalam psikologi Sufi, ada hubungan penting,
misalnya antara ajaran Tujuh Jenjang
Manusia7
dengan integrasi kepribadian; dan antara gerakan, pengalaman
dengan pencapaian progresif pada personalitas yang lebih
tinggi.
Kapan dan di mana pemikiran Sufi dimulai? Bagi mayoritas
Sufi, pertanyaan ini kurang begitu relevan bagi aktivitas
mereka. "Tempat" Sufisme di dalam kemanusiaan. "Tempat"
karpet ruang tamu Anda berada di lantai rumah Anda -- bukan
di Mongolia, meskipun asal-usulnya dari sana.
"Praktek Sufi sangat sublim untuk dicari asal-usulnya,"
kata kitab Asrar al-Qadim wal-Qadim (Rahasia-rahasia
Masa Lampau dan Masa Depan). Namun selama kita ingat bahwa
sejarah kurang penting dibandingkan masa kini dan masa
depan, maka ada banyak bahan untuk dikaji dari tinjauan
penyebaran trend Sufi modern sejak tradisi ini menyebar dari
daerah-daerah yang ter-Arab-kan sekitar empat belas abad
yang lalu. Dengan memandang sekilas periode perkembangan
ini, para Sufi menunjukkan bagaimana dan mengapa risalah
penyempurnaan diri itu bisa diterapkan pada setiap bentuk
masyarakat dan terlepas dari agama nominal atau komitmen
sosial.
Sufisme dipercaya oleh para pengikutnya sebagai ajaran
batiniah, ajaran "rahasia" yang terkandung dalam setiap
agama. Lantaran dasar-dasarnya terdapat dalam setiap pikiran
manusia, maka perkembangan Sufi niscaya menemukan
pengungkapannya di mana saja. Periode historis ajaran ini
bermula dengan ledakan Islam dari padang pasir Arabia ke
masyarakat-masyarakat mapan di Timur Dekat.
Menjelang pertengahan abad ketujuh, ekspansi Islam ke
luar perbatasan Arabia merupakan sebuah tantangan dan segera
menjatuhkan kerajaan-kerajaan di Timur Tengah. Sementara
setiap kerajaan telah mempunyai tradisi yang patut dihargai
dalam bidang politik, militer dan agama. Pasukan Islam pada
mulanya terdiri dari kaum Badui, namun kemudian merekrut
dari suku-suku lain. Mereka telah menyerang wilayah utara,
timur dan barat. Para Khalifah telah mewariskan tanah-tanah
Ibrani, Byzantium, Persia dan Graeco-Budhis. Para penakluk
ini telah mencapai wilayah selatan Perancis di Barat dan
lembah Indus di Timur. Penaklukan militer, politik dan
keagamaan dari pusat negara-negara dan masyarakat Muslim itu
kini meluas sejak dari Indonesia di Samudera Pasifik sampai
Maroko di Samudera Atlantik.
Dari latar belakang inilah para Sufi menjadi terkenal di
Barat. Mereka mempertahankan suatu bentuk ajaran yang
menghubungkan masyarakat spiritual sejak dari Timur Jauh
sampai Barat terjauh.
Para Khalifah awal sendiri telah memiliki kekuasaan
wilayah lebih dari berjuta-juta ini, kekayaan yang sangat
berlimpah, supremasi politik atas wilayah-wilayah terkenal
pada Abad Pertengahan. Pusat-pusat pengetahuan kuno,
terutama sekolah tradisional untuk pengajaran mistik, hampir
semuanya jatuh ke tangan mereka. Afrika, masyarakat Mesir
kuno termasuk Alexandria [Iskandariah] dan wilayah
Barat terjauh, Chartage, tempat St. Agustinus mempelajari
dan menyebarkan ajaran-ajaran esoteris
pra-Kristiani.8
Demikian pula Palestina dan Syria sebagai kampung halaman
ajaran-ajaran rahasia; Asia Tengah tempat para pengikut
Budha sangat berakar kuat, India Barat Laut dengan latar
belakang mistisisme dan pengalaman agama yang patut dihargai
-- semuanya berada dalam imperium Islam.
Di pusat-pusat inilah kalangan mistik Arab mengadakan
perjalanan yang pada masa kuno dikenal dengan orang-orang
yang mendekatkan diri (muqarribun) kepada Dzat
Transenden. Mereka percaya bahwa secara esensial ada
kesatuan di antara ajaran batiniah dari semua agama. Seperti
John the Baptist, mereka mengenakan pakaian dari kulit unta,
dan karena inilah mereka dikenal sebagai Sufi (Orang-orang
yang mengenakan pakaian wool), meskipun hal ini bukan alasan
satu-satunya. Sebagai dampak dari hubungan dengan kalangah
Hanif itu,9 maka
setiap pusat pengajaran tradisi rahasia kuno menjadi kubu
Sufi. Kesenjangan antara tradisi dan praktek rahasia dari
penganut Kristen, Zoroaster, Yahudi, Hindu, Budha dan
lainnya dijembatani. Proses ini, yaitu titik pertemuan
esensi ajaran itu, tidak pernah dipahami oleh kalangan
non-Sufi sebagai suatu realitas. Oleh karena pengamat
semacam ini ternyata tidak mungkin menyadari bahwa Sufi
melihat dan menghubungkan aliran Sufi dalam setiap budaya,
laksana seekor lebah mengisap berbagai bunga tanpa menjadi
bunga. Bahkan penggunaan terminologi "pertemuan" untuk
menunjukkan fungsi itu sangat tidak
dipahami.10
Mistisisme Sufi secara mendasar berbeda dengan
kultus-kultus lain yang mengklaim sebagai kultus mistik.
Bagi Sufi, agama formal adalah semacam kerangka untuk
menjalankan sebuah fungsi, meskipun sebagai kerangka asli.
Ketika kesadaran manusia itu menyebar melampaui kerangka
sosial itu (agama formal), Sufi tetap memahami tujuan agama
yang sejati. Sementara persuasi kalangan mistik lainnya sama
sekali tidak berpikir dengan pola pemikiran ini. Mereka
mungkin bisa melampaui bentuk-bentuk lahiriah agama, namun
mereka tidak memperhatikan fakta bahwa agama lahiriah
hanyalah semacam pengantar pada pengalaman khas. Mayoritas
orang yang telah mencapai ekstase masih tetap terikat pada
simbolisasi yang mempesonakan dari beberapa konsep yang
diderivasi dari agama mereka. Sufi menggunakan agama dan
psikologi untuk melampaui semua ini. Dengan demikian, Sufi
"kembali ke dunia" untuk membimbing sesamanya di jalan
itu.
Profesor Nicholson menekankan visi agama ini dari sudut
pandang obyektif, dengan menterjemahkan syair Rumi berikut
ini:11
- Jika ada pecinta di dunia ini wahai Muslim, itulah
Aku.
- Jika ada mukmin atau pertapa Kristiani, itulah
Aku.
- Ampas anggur; pelayan kedai minuman, meja, harpa dan
musik,
- Kekasih, lilin, minuman dan senda-gurau pemabuk,
itulah Aku.
- Tujuh puluh dua kredo dan sekte di dunia ini,
- Sebenarnya tidak ada: Aku bersumpah demi Tuhan
bahwa
- setiap kredo dari sekte, itulah Aku.
- Tanah, udara, air dari api, duhai, tubuh dan jiwa,
itulah Aku.
- Benar dan salah, baik dan buruk, mudah dan sulit
dari
- awal hingga akhir, itulah Aku.
- Pengetahuan, ilmu, asketisme, kesalehan dan iman,
itulah Aku.
- Api neraka, tentu saja dengan apinya yang
berkobar-kobar,
- Ya, surga, Eden dan Bidadari, itulah Aku.
- Bumi dan langit dengan segala isinya, itulah
Aku.
- Malaikat, Peri, Jin, dan Manusia, itulah Aku.
Rumi telah membongkar batas-batas kesadaran biasa. Kini
ia dapat melihat segala sesuatu secara nyata, untuk memahami
afinitas dan kesatuan dari segala sesuatu yang tampak
berbeda, memahami peran manusia dan terutama peran Sufi. Ini
adalah pemahaman yang jauh lebih mendalam dibandingkan apa
yang biasanya disebut mistisisme.
Di hadapan sebagian besar Muslim fanatik yang bersemangat
dan berjaya, memang rawan bila mengklaim sebagaimana
dilakukan para Sufi bahwa realisasi manusia hanya berasal
dari dalam dan tidak semata melakukan beberapa dan serta
meninggalkan beberapa hal lainnya. Pada saat yang sama, Sufi
berpendirian bahwa mistisisme harus dilepaskan dari sifatnya
yang sangat rahasia, jika ingin menjadi kekuatan yang dapat
melampaui setiap kemanusiaan.
Dalam tradisi mereka sendiri, para Sufi memandang diri
mereka sendiri sebagai pewaris suatu ajaran tunggal -- yang
terpecah menjadi begitu banyak segi -- yang berguna sebagai
sarana pengembangan manusia. "Sebelum kebun, tanaman dan
buah anggur tercipta di dunia ini," tulis seorang Sufi, "
jiwa kami telah mabuk karena sari anggur abadi."
Dasar penyebaran pemikiran dan praktek Sufi diletakkan
oleh para guru periode klasik -- mungkin dilakukan sekitar
delapan ratus tahun pertama setelah lahirnya Islam --
kira-kira antara tahun 700 M. sampai 1500 M. Sufisme
didasarkan pada cinta, dipraktekkan melalui dinamika cinta
dan memanifestasikan dirinya melalui kehidupan manusia,
Puisi dan karya.
Karena para Sufi memandang Islam sebagai suatu
manifestasi ketinggian esensi ajaran transendental, di sana
tiada konflik antara Islam dan Sufisme. Sufisme telah
mengambil dan memberi realitas batin Islam, seperti halnya
setiap agama lainnya dan tradisi asli dalam aspek yang
lama.
Dalam Rubaiyat-nya, Sufi besar Omar Khayyam
menekankan bahwa pengalaman batiniah ini tidak mempunyai
hubungan nyata dengan teologi yang dianggap orang secara
keliru sebagai agama yang sebenarnya:
- Di sel dan altar di biara dan sinagog,
- Sebagian takut akan neraka, yang lain mendambakan
surga.
- Namun tak seorang pun mengetahui rahasia
ketuhanan,
- Sehingga hatinya mempunyai pandangan seperti
itu.
Tahap untuk ikut serta dalam apa yang disebut Sufisme
berbeda-beda dari segi iklim dan lingkungan, namun identik
dari segi kesinambungan ajaran. Agamawan yang kaku dan
formalis tidak mungkin mengakui hal ini, namun mereka
relatif tidak penting. "Barangsiapa dapat melihat semua
(segi) lukisan, ia akan dapat memahami atau
mengungkapkannya." Prof. E.G. Browne menyatakan, "Bahkan
asal-usul para Sufi sangat berbeda satu sama lain, karena
sistem mereka pada hakikatnya individualistik dan kurang
tertarik pada propaganda. Arif, gnostik atau manusia
Bijak yang sangat maju itu telah melalui berbagai jenjang
dan serangkaian latihan di bawah bimbingan para pir,
mursyid atau pembimbing spiritual, sebelum ia
mencapai tingkat gnosis (irfan) yang dipandang oleh
semua agama kurang lebih sebagai ungkapan kabur dari
Kebenaran mendasar dan agung. Dari sinilah ia pada akhirnya
mencapai penyatuan dengan Kebenaran. Ia juga tidak pernah
dapat dan berkeinginan menyusunnya untuk menyampaikan
konsepsinya tentang Kebenaran itu kepada siapa pun kecuali
kepada sebagian kecil orang yang dengan latihan serupa siap
menerimanya."12
Kadangkala orang yang mempunyai pola pikir konvensional
sulit untuk memahami bagaimana aturan tindakan esensial Sufi
itu mempunyai pengaruh yang luas. Karena Sufisme bisa eksis
dalam Islam seperti dalam agama lainnya, maka dengan mudah
ia dapat diajarkan melalui Islam. Perlu dicatat bahwa dua
buku ikhtisar teologis dan legalistik, tentu saja dalam
upaya mempublikasikan Sufisme sebagai ortodoksi agama, telah
ditulis oleh para tokoh Sufi -- Kitab Ta'aruf dari
Kalabadzi al-Bukhari (w. 995) dan risalah Sufi Persia yang
pertama, Kasyful-Mahjub karya Hujwiri (w. 1063).
Kedua pengarang ini mempunyai kedudukan tertinggi dalam
peringkat Sufi, namun masing-masing berbicara layaknya
seorang pengamat, bukan sebagai pemula. Omar Khayyam juga
seringkali berbuat demikian dalam membahas mistifikasi dari
para komentator literalis yang percaya begitu saja pada
puisi-puisinya. Para pengarang ini sangat memahami
makna-makna rahasia. Mereka tidak pernah mereproduksi
terjemahan. Oleh karena itu, memang benar bila
Tarekat-tarekat Sufi Abad Pertengahan berkarya dengan cara
itu. Mereka tetap melanjutkan kegiatannya yang secara umum
dianggap sah dalam dunia Islam. Namun sebagaimana beberapa
Sufi mencatat, "Sufisme secara eksklusif diajarkan sekaligus
melalui tanda-tanda." Hasil akhir, yaitu Manusia Sempurna,
juga dapat dicapai melalui kedua langkah itu. Simbolisme dan
serangkaian pengalaman yang bertempat dalam Islam dan sistem
lainnya yang berpadu melalui praktek Sufi itu adalah masalah
lain, yang hanya bisa diberikan kepada para praktisi yang
terkandung dalam diktum, "Barangsiapa mengalami, ia
mengetahui."
Meskipun banyak penjelasan telah diberikan -- dengan
berbagai alasan -- untuk mengadopsi istilah "Sufi", ada
suatu istilah penting yang diajarkan kepada para pengikut
mistik ini -- yaitu istilah yang mengandung konsep Cinta
dengan kata sandi. Demikian pula metode pemakaian sandi,
saat ini menggunakan bahasa sandi konvensional, adalah
kata-kata yang lebih lanjut dan mengandung pesan penting
serta singkat. Sandi berfungsi melampaui dan meluruskan,
sebagai pusaka dan bisa memenuhi kebutuhan dalam atau pada
saat yang tepat. Jadi Sufisme adalah semacam filsafat
transendental yang meluruskan dan diturunkan dari ajaran
masa lampau serta sesuai dengan masyarakat kontemporer.
Tujuan semua agama adalah pengembangan kemanusiaan. Bagi
Sufi, evolusi Sufisme ada dalam dirinya sendiri dan dalam
hubungannya dengan masyarakat. Perkembangan masyarakat dan
nasib setiap makhluk -- bahkan termasuk makhluk tak hidup
berkaitan dengan nasib Sufi. Selama beberapa waktu ia
mungkin harus mengasingkan diri dari masyarakat -- selama
beberapa saat, sebulan atau bahkan lebih -- namun pada
akhirnya ia menyatu dengan keseluruhan yang abadi. Oleh
karena itu peran Sufi sangat luas, tindakan dan kehadirannya
akan tampak beragam sesuai dengan tuntutan kemanusiaan dan
ekstra kemanusiaan. Jalaluddan Rumi menekankan ciri
evolusioner dari upaya manusia yang berlaku baik pada
individu maupun masyarakat. Ia menulis, "Aku mati sebagai
materi yang kasar dan hidup sebagai tumbuhan. Aku mati
sebagai tumbuhan dan hidup sebagai binatang. Aku mati
sebagai binatang, lalu sebagai manusia. Jadi mengapa aku
harus takut kehilangan karakter 'kemanusiaanku'? Aku akan
mati sebagai manusia, untuk bangkit dalam bentuk 'malaikat'
..." (Matsnawi, III, Kisah XVII).
Sesuai dengan pola Sufi, pendirian ini menjelaskan
berbagai perilaku dan sikap para Sufi. Sambil menyesuaikan
diri dengan realitas-realitas masyarakat, para Sufi periode
awal Islam menekankan kepentingan mengasingkan diri dan
disiplin -- faktor-faktor yang sangat merintangi ekspansi
dan kemakmuran masyarakat yang tengah menyusun basis
kemenangan militer di Timur Dekat. Sejarawan biasa
melalaikan fakta ini dan konsekuensinya mereka mengamati
para Sufi secara historis. Dalam hal ini mereka percaya
bahwa mereka bisa memaparkan perkembangan independen dari
para penganut Sufisme, misalnya Rabi'ah al-'Adawiyah (w.
802), perempuan Sufi yang konon menekankan ajarannya pada
Cinta (Ilahi) dan Abu al-Husain an-Nuri (w. 907) dengan
ajarannya tentang pengasingan diri dari dunia. Kemudian dari
satu titik tolak lebih lanjut, kita dikenalkan dengan
pandangan hidup yang lebih rumit -- spekulatif dan
filosofis. Lebih dari itu, muncul para pengikut trend
Sufi berdasarkan prasangka tanpa menjalankan kultus.
Perkembangan Sufisme itu tentu saja adalah sebuah fakta
dan menurut Sufi penjelasannya sangat berbeda dengan fakta
yang ditampilkan. Alasan utama karena unsur-unsur Sufisme
selalu ada dalam keutuhan (hidup) mereka, di dalam pikiran
mereka sendiri. Sementara variasi bentuk ajaran ditekankan
di waktu yang berbeda-beda -- "Tidak ada orang yang
menghabiskan seluruh waktunya untuk marah-marah."
Individu seperti Rabi'ah dipilih sebagai contoh tentang
beberapa aspek ajaran Sufi. Dalam membaca karya tulis itu,
para pembaca yang belum mengenal Sufisme biasanya mempunyai
asumsi kuat bahwa Sufi tertentu menghabiskan seluruh
waktunya untuk menjaga aib-diri, bahwa sebelum Bayazid
al-Bisthami (w. 875), tidak ada kemiripan antara Vedantisme
dengan Budhisme, dan sebagainya. Mungkin berbagai kesimpulan
itu mengandung kepastian, namun menunjukkan kemiskinan
bahan-bahan kajian yang tersedia bagi murid biasa. Di sisi
lain tentu saja selalu banyak Sufi yang ingin menjelaskan
masalah ini, dan bagi mereka biasanya merupakan penjelasan
umum. Namun adalah inheren di dalam pemikiran skolastik
bahwa sesuatu yang dituliskan mempunyai validitas yang kuat
dibandingkan sesuatu yang dikatakan atau dialami. Jadi lebih
memungkinkan bila representasi Sufisme yang hidup sangat
jarang dirujuk oleh para akademisi.
Pengakuan atas iklim yang telah dikembangkan Islam
sebagai iklim yang sesuai dengan penerapan kebijaksanaan
Sufi mudah untuk dicatat. Meskipun berkembang suatu sistem
kependetaan yang tidak diakui dalam Islam, yaitu para
skriptualis berpikiran sempit yang bersikeras pada
penafsiran dogmatis ajaran agama, Islam menyediakan kondisi
yang lebih baik bagi propaganda suatu ajaran batiniah
dibandingkan agama sebelumnya yang mana pun. Agama minoritas
dijamin kebebasannya -- suatu kekebalan (hukum) yang sangat
ditaati selama periode Para Sufi tampak aktif menyebarkan
ajarannya. Islam sendiri kira-kira adalah suatu definisi
legal. Lalu siapa itu orang mukmin? Minimal ia adalah
seseorang yang mengucapkan kalimat La-ilahaa-illa-Allah,
Muhammad ar-Rasul Allah, yang artinya, "Tidak ada yang
disembah kecuali Ketuhanan, orang yang Terpuji adalah
pengemban risalah peribadatan." Biasanya kalimat ini
dipahami, "Tidak ada tuhan kecuali Allah, dan Muhammad
adalah Utusan-Nya." Orang kafir adalah orang yang
mengingkari secara aktif kalimat pernyataan Iman itu. Namun
tidak ada orang yang dapat menilai isi hati, dengan demikian
kepercayaan tidak dapat didefinisikan, tapi hanya bersifat
inferensial (dugaan).
Namun seseorang yang menyatakan bahwa ia sanggup
melaksanakan kalimat itu, ia tidak dapat bertindak melawan
bid'ah. Tidak ada dogma tentang karakter Ketuhanan dan
hubungannya dengan Nabi yang tidak dapat diamalkan oleh
seorang Sufi. Interpretasinya mungkin lebih bersifat mistik
dibandingkan interpretasi kalangan skolastik. Namun tidak
ada kekuatan yang eksis, tidak ada sistem kependetaan yang
ditahbiskan, misalnya yang kemudian mengukuhkan kekuasaan
kaum klerikal. Pada akhirnya Islam sebagai sebuah komunitas
diatur oleh berbagai interpretasi para ahli hukum keagamaan.
Mereka tidak dapat mendefinisikan Allah Yang berada di luar
definisi manusia. Mereka juga tidak dapat
menginterpretasikan kenabian secara tepat sebagai sebuah
hubungan unik antara Tuhan dan manusia. Lebih jauh dari itu,
Para Sufi dengan bebas menyatakan kalimat berikut ini, "Aku
adalah penyembah berhala, karena aku paham apa makna
penyembahan berhala, sementara penyembah berhala sendiri
tidak."
Menurut tradisi Sufi, disintegrasi tarekat tua di Timur
Dekat menyatukan kembali "untaian suhu" sebagai madzhab
esoteris yang menjalankan "aliran air raksa" di kerajaan
Mesir, Persia dan Byzantium. Madzhab ini secara intrinsik
merupakan Sufisme evolusioner.
Bahkan Para Sufi menetapkan prinsip, yang seringkali
diterima oleh dewan hukum Islam, bahwa berbagai pernyataan
yang tampaknya tidak sopan dan diungkapkan dalam keadaan
ekstase, tidak dapat dinilai secara lahiriah. "Jika semak
belukar bisa mengatakan 'Akulah Kebenaran,' demikian pula
manusia," kata seorang Sufi terkenal.
Ada juga kepercayaan kuat di masyarakat bahwa Muhammad
saw. mempunyai hubungan khusus dengan kalangan mistik lain,
dan bahwa penganut yang taat dan "Para Pencari
Kebenaran"13
yang sangat dihormati itu menyertai Muhammad selama
hidupnya. Mereka mungkin adalah penerima suatu ajaran
rahasia yang telah diajarkan Muhammad secara pribadi. Perlu
diingat bahwa Muhammad tidak mengklaim membawa suatu agama
baru. Ia melanjutkan tradisi monotheistik yang telah lama
hidup. Ia menanamkan rasa hormat kepada para penganut
kepercayaan lain dan berbicara tentang arti penting guru
spiritual lainnya. Al-Qur'an sendiri diwahyukan melalui
metode mistis dan mengandung banyak indikasi tentang
pemikiran mistik.
Dalam bidang keagamaan, al-Qur'an mempertahankan kesatuan
agama-agama dan asal-usul identik dari setiap agama
--"Setiap bangsa mempunyai Pemberi Peringatan." Islam
mengakui Musa, Yesus dan lainnya sebagai Nabi. Lebih dari
itu, pengakuan atas risalah Muhammad dari orang-orang
Yahudi, Kristiani dan Majusi (termasuk para pendeta) dan
sebagian dari mereka telah mengadakan perjalanan ke Arabia
untuk mencari seorang guru selama hidupnya, menunjukkan
suatu basis yang lebih lanjut tentang kepercayaan akan suatu
kesinambungan ajaran kuno, bukan lokal. Suatu kesinambungan
yang mungkin hanya dielaborasi dan dipopulerkan oleh
agama-agama mapan sebelumnya.
Karena itulah dalam tradisi Sufi, "Rantai Transmisi"
madzhab-madzhab Sufi mungkin berkaitan dengan Nabi Muhammad
saw. di satu sisi, dan dengan Elias di sisi lain. Salah satu
guru Sufi yang sangat dihormati pada abad ketujuh, yaitu
Uwais al-Qarni (w. 657), tidak pernah bertemu Muhammad,
meskipun ia hidup di Arabia pada saat yang lama dan hidup
lebih lama dari Muhammad. Disamping itu, penting untuk
dicatat bahwa nama "Sufi" telah digunakan sebelum deklarasi
risalah kenabian Muhammad.14
Hal ini penting sekali untuk disadari, yaitu tentang
kesinambungan ajaran batiniah itu, dan juga kepercayaan pada
evolusi masyarakat, jika para Sufi untuk dipahami dari
tataran mana pun.
Sumbangan terbesar Islam pada perkembangan pemikiran Sufi
mungkin adalah penolakannya terhadap eksklusivisme dan
penerimaannya pada teori bahwa peradaban adalah evolusioner,
bahkan organis. Tidak seperti agama-agama sebelumnya, Islam
menekankan bahwa kebenaran ada dalam setiap masyarakat pada
tahap-tahap tertentu perkembangan mereka, dan bahwa Islam,
bukan sebagai agama baru, tidak lebih dan tidak kurang
adalah agama besar terakhir yang dialamatkan kepada seluruh
masyarakat dunia. Dengan menyatakan bahwa tidak ada Nabi
setelah Muhammad, Islam secara sosiologis merefleksikan
kesadaran manusia bahwa masa kebangkitan sistem otokrasi
yang baru telah berakhir. Berbagai peristiwa yang terjadi
dalam empat belas abad menunjukkan kebenaran hal itu. Karena
perkembangan masyarakat seperti dewasa ini, maka sulit
dibayangkan bila para guru keagamaan baru setingkat para
pendiri agama dunia akan mendapatkan keutamaan sebanding
dengan Zoroaster,
Budha, Musa,
Yesus dan
Muhammad.
Setelah perkembangan pesat peradaban Islam pada abad-abad
pertengahan, hubungan antara berbagai aliran pemikiran dari
setiap masyarakat telah mencapai keakraban yang jauh lebih
erat dibandingkan selama masa-masa legendaris ketika praktek
mistisisme relatif terbatas pada kelompok-kelompok kecil dan
sangat rahasia. Dewasa ini Sufisme mulai berkembang dengan
berbagai cara. Sementara para guru Sufi khusus yang
mengajarkan konsentrasi dan kontemplasi telah mengurangi
perkembangan materialisme yang lebih kuat melalui
penyeimbangan materialisme dan asketisme. Sebagaimana
diingatkan oleh Sufi besar Hasan al-Bashri (w. 728),
asketisme bisa menjadi kesenangan akan penderitaan, bila
penerapannya tidak disertai dengan keuletan. Setiap Sufi
harus memulai serangkaian latihan -- yang lama atau sebentar
sesuai dengan kapasitasnya -- sebelum ia dapat dianggap
cukup seimbang untuk "berada di dunia tanpa menjadi bagian
darinya". Sambil menyesuaikan ajaran mereka dengan
masyarakat, para penyair dan penyanyi Sufi menciptakan
karya-karya besar yang kemudian menjadi warisan Timur
klasik. Di tempat-tempat hiburan yang kumuh, teknik-teknik
Sufi menyesuaikan diri dengan musik dan tari, melalui ajaran
yang disampaikan dengan kisah-kisah romantis dan menakjubkan
serta humor. Pemusatan perhatian pada tema cinta dan
kelalaian pada manusia atas tujuan hidupnya, mulanya
diperkenalkan dalam bidang militer. Di bidang ini, ksatriaan
dan tema pencarian kekasih serta penyempurnaan diri yang
terakhir menghasilkan kepustakaan yang luas dan pembentukan
ordo-ordo Ksatria yang kemudian sangat berpengaruh di Timur
dan Barat.
Catatan kaki:
1 Lihat anotasi
"Bahasa-bahasa".
2 Safarnamah karya
Sirajuddin Abbasi, 1649.
3 Pendeta Canon Sell,
seorang pakar Sufisme, tampaknya mengira bahwa pengetahuan
tanpa buku itu adalah pengetahuan teologis, intinya:
"Belajar semata-mata melalui buku tidak akan menjadikan
seorang teolog," katanya dalam sebuah catatan kaki di
bukunya. (Dr. Sell, Sufism, Christ. Lit. Soc. 1910,
hlm. 63). Ia memecahkan kesulitan memahami Rumi dengan
menyatakan (ibid., hlm. 69), "Hanya murid sabar yang dapat
memahami maksud esoteris sang Penyair."
4 Lihat anotasi
"Kesadaran".
5 R. A. Nicholson,
Tales of Mystic Meaning, London, 1931, hlm. 171.
6 "Kata-kata tidak dapat
digunakan untuk menunjukkan kebenaran agama, kecuali sebagai
analogi." [Hakim Sinai, The Walled Garden of
Truth (Taman Kebenaran Berdinding)].
7 "Jenjang-jenjang" dalam
kepustakaan Sufi berhubungan dengan peralihan tujuh "diri",
sebuah istilah teknik untuk Nafs. Lihat anotasi
"Tujuh Diri".
8 Lihat anotasi
"St. Agustinus".
9 Lihat anotasi
"Para Hanif".
10 Lihat anotasi
"Pertemuan".
11 R.A. Nicholson,
The Mystics of Islam, 1914, hlm. l61 dan
seterusnya.
12 E.G. Browne, A
Literary History of Persia, 1909, him. 424.
13 Tulab
al-Haqq.
14 Kitab
al-Luma'.
|