MULLAH NASHRUDDIN 1
(CERITA MENUJU AWAL PENCERAHAN)
- Kala Anda sampai di samudera,
- Anda tidak akan berbicara tentang arus sungai.
(Hakim
Sanai, The Walled Garden of
Truth)
Mullah (guru) Nashruddin adalah sosok klasik yang
dirancang oleh para darwis; sebagian untuk tujuan
pemberhentian (jeda) karena situasi-situasi sesaat dimana
didalamnya keadaan-keadaan tertentu dari jiwa dibuat jelas.
Kisah-kisah Nashruddin, dikenal secara menyeluruh di Timur
Tengah, merupakan (dalam manuskrip The Subtleties of
the Incomparable Nasrudin) satu dari sejumlah
pencapaian ganjil (ajaib) di dalam sejarah metafisika.
Namun, secara dangkal kisah-kisah Nashruddin lebih sering
dikenal sebagai kisah humor atau bahan lelucon. Kisah-kisah
itu diceritakan kembali tanpa henti di warung-warung teh dan
di rombongan-rombongan pertunjukan, di rumah-rumah dan di
siaran-siaran radio Asia. Tetapi dalam cerita Nashruddin itu
inheren untuk dipahami adanya kedalaman makna. Terdapat
lelucon, moral dan kelebihan lainnya yang membawa kesadaran
sedikit lebih jauh menuju proses penyadaran dari kekuatan
spiritual yang potensial.
Karena Sufisme merupakan sesuatu yang dijalani dan juga
dipahami, cerita Nashruddin tidak bisa menghasilkan
pencerahan utuh kepada dirinya sendiri. Di sisi lain, ia
menjembatani celah antara kehidupan duniawi dan suatu
perubahan bentuk kesadaran dalam cara yang tidak bisa
dicapai oleh bentuk kesusastraan lainnya.
Manuskrip "Kepelikan" (the Subtleties) belum
pernah dihadirkan secara utuh bagi pembaca Barat.
Kemungkinan karena cerita-cerita tersebut tidak bisa
diterjemahkan secara tepat oleh non-Sufi, atau dipelajari di
luar konteksnya, dan mempertahankan dampak esensialnya. Di
Timur, kumpulan cerita tersebut rata-rata digunakan untuk
maksud kajian semata oleh para Sufi pemula. Lelucon-lelucon
dari kumpulan tersebut secara individual telah menyebar ke
hampir setiap kepustakaan dunia. Dan sejumlah lelucon
tertentu dari perhatian skolastik telah dilekatkan pada
cerita-cerita tersebut. Dalam penilaian ini sebagian sebagai
sebuah contoh gelombang kebudayaan, atau untuk mendukung
argumen-argumen yang menguntungkan identitas-dasar humor di
mana saja. Tetapi jika karena daya tarik humor perenialnya
cerita-cerita itu telah membuktikan kekuatannya, maka hal
ini secara menyeluruh merupakan hal kedua bagi tujuan
kumpulan cerita tersebut, yang dimaksudkan untuk menyediakan
suatu dasar bagi tersedianya sikap Sufi terhadap kehidupan,
dan memungkinkan pada pencapaian penyadaran Sufisme dan
pengalaman mistis.
Legenda Nashruddin (the Legend of Nasrudin), yang
dibubuhkan pada manuskrip the Subtleties dan paling
tidak berasal dari abad ketiga belas, sebagian dimaksudkan
untuk memperkenalkan Nashruddin. Penyebaran humor Nashruddin
tidak bisa dihalangi, ia bisa masuk melalui pola-pola
pemikiran yang dihasilkan manusia melalui kebiasaan dan
rancangan. Dalam sebagian sistem pemikiran yang utuh,
Nashruddin ada pada begitu banyak makna yang dalam sehingga
(keberadaan) dirinya tidak bisa dimusnahkan. Sebagai tolak
ukur kebenaran, hal ini mungkin bisa dilihat pada fakta
bahwa organisasi-organisasi yang beragam dan asing seperti
the British Society for the Promotion of Christian
Knowledge (S.P.C.K) (Perkumpulan Inggris yang bergerak
dalam Penyiaran Pengetahuan Kristiani) dan juga pada
pemerintah Soviet, keduanya telah memanfaatkan Nashruddin.
The S.P.C.K. telah menerbitkan beberapa cerita (Nashruddin)
dengan judul cerita-cerita tentang Khoja
[Khwaja] (Tales of the Khoja); sementara
orang-orang Rusia (mungkin dengan prinsip "Jika Anda tidak
bisa mengalahkan mereka, maka bergabunglah dengan mereka")
telah membuat film tentang Nashruddin dengan judul The
Adventures of Nasrudin. Bahkan orang-orang Yunani, yang
menerima beberapa hal dari orang Turki, menganggap
Nashruddin sebagai bagian dari warisan kebudayaannya.
Pemerintah sekular Turki, melalui departemen penerangannya,
telah menerbitkan sebuah kumpulan lelucon metafisis yang
dinisbatkan kepada tokoh yang dianggap sebagai guru Muslim
ini yang merupakan tipe-ideal mistik Sufi, meskipun
Tarekat-tarekat Sufi ditindas melalui Undang-undang di
Republik Turki.
Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya Nashruddin itu,
kapan dan di mana ia hidup. Tujuan keseluruhan tulisan ini
adalah menampilkan satu sosok yang tidak bisa diberi
karakter yang sesungguhnya, dan yang berada di luar waktu.
Adalah pesan, dan bukan orangnya, yang penting bagi para
Sufi. Hal ini tidak menghalangi masyarakat untuk memberikan
suatu sejarah yang fiktif, dan bahkan sebuah makam. Para
sarjana -- berlawanan dengan orang yang terlalu formal
dimana dalam cerita-ceritanya seringkali memunculkan
Nashruddin sebagai pemenang -- bahkan telah mencoba
menjadikan manuskrip the Subtleties kedalam
serpihan-serpihan terpisah dengan harapan menemukan bahan
biografis yang memadai. Salah satu "penemuan" mereka
pastilah akan mengingatkan bahwa ia adalah Nashruddin
sendiri. Nashruddin mengatakan bahwa ia memandang dirinya
sendiri secara terbalik di dunia ini, demikian papar seorang
sarjana. Dan pandangan ini ia menarik kesimpulan bahwa tahun
yang diduga merupakan saat kematian Nashruddin, atau
"nisannya" seharusnya tidak dibaca 386, tetapi 683. Profesor
lainnya merasa bahwa angka-angka Arab yang digunakan, jika
benar-benar terbalik, tampaknya lebih menyerupai angka 274
H. Dengan seksama ia mencatat bahwa seorang darwis yang
dimintainya bantuan dalam persoalan ini, "... sekadar
mengatakan, mengapa tidak memasukkan seekor laba-laba ke
dalam tinta dan melihat tanda apa yang dibuatnya di saat
laba-laba itu merayap ke luar. Hal ini akan memberikan waktu
yang benar atau menunjukkan sesuatu."
Sesungguhnya angka 386 bermakna 300 + 80 + 6. Jika
disesuaikan dengan abjad-abjad Arab, hal ini akan berbunyi
Sy, W, F, yang membentuk kata SyaWaF: "Menyebabkan
seseorang melihat, untuk memperlihatkan sesuatu". Laba-laba
darwis tersebut akan "memperlihatkan" sesuatu, sebagaimana
yang ia katakan sendiri.
Jika kita melihat beberapa cerita klasik Nashruddin
dengan cara seutuh mungkin, kita segera menemukan bahwa
keseluruhan pendekatan skolastik merupakan cara terakhir
yang diperbolehkan oleh Sufi:
Nashruddin, ketika menyeberangi perairan yang ganas
bersama seorang sarjana yang berpola pikir kaku dan
formalistik, mengatakan sesuatu kepadanya yang secara kaidah
bahasa tidak sesuai. "Apakah Anda tidak pernah belajar
kaidah-kaidah?" tanya si sarjana tersebut.
"Tidak," jawab Nashruddin.
"Maka separo kehidupan Anda sia-sia," ucapnya kepada
Nashruddin seraya bertanya, "Apakah Anda pernah belajar
berenang?"
"Tidak, mengapa?"
"Maka seluruh kehidupan Anda sia-sia -- kita tengah
tenggelam."
Ini merupakan penekanan terhadap Sufisme sebagai suatu
aktivitas praktis, seraya menolak bahwa pemikiran formal
bisa sampai pada kebenaran, dan pola pemikiran yang
diperoleh dari dunia biasa (pengalamannya) bisa diterapkan
pada realitas yang sesungguhnya, yang bergerak ke dimensi
lainnya.
Hal ini terlihat, bahkan lebih diperkuat oleh sebuah
cerita konyol yang dilontarkan di sebuah warung teh, sebuah
istilah tempat Sufi untuk pertemuan para darwis. Seorang
pendeta masuk dan berkata:
"Guruku mengajariku untuk menyebarkan wejangan bahwa
manusia tidak akan pernah sempurna sampai seorang yang tidak
dizalimi marah pada kezaliman itu, semarah orang yang
benar-benar dizalimi."
Orang-orang yang duduk sesaat merasa terkesan, kemudian
Nashruddin berujar:
"Guruku mengajariku bahwa seharusnya tidak seorang pun
menjadi marah tentang sesuatu sampai ia merasa pasti bahwa
apa yang dipikirnya sebagai suatu kesalahan itu pada
hakikatnya adalah salah -- dan bukan sekadar dugaan."
Nashruddin, dalam kapasitas sebagai guru Sufi, sering
menggunakan teknik darwis bagi dirinya sendiri dengan
memainkan peranan orang yang belum tercerahkan dalam sebuah
cerita untuk menjelaskan suatu kebenaran. Sebuah cerita
terkenal yang menyangkal kepercayaan dangkal (superfisial)
terhadap hukum sebab-akibat menjadikan dirinya sebagai
korban.
Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah
gang ketika seorang jatuh dari atap rumah dan menimpa
tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka -- tetapi
justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini,
Guru?" tanya salah satu muridnya.
"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang
tidak bisa dihindari, meskipun hukum sebab-akibat tampak
tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis
seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya
akan patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang
patah!"
Karena orang kebanyakan berpikir dalam pola-pola (baku)
dan tidak bisa menyesuaikan dirinya pada suatu cara pandang
yang benar-benar berbeda, maka ia kehilangan sejumlah besar
makna kehidupan. Ia mungkin hidup, bahkan maju, tetapi tidak
bisa memahami semua yang terjadi. Cerita tentang penyelundup
menjadikan hal ini semakin jelas.
Nashruddin biasa membawa keledainya yang punggungnya
dimuati kantong-kantong penuh berisi sekam, menyeberangi
perbatasan setiap hari. Karena mengaku sebagai penyelundup
kala berjalan pulang naik keledainya setiap malam, maka para
penjaga perbatasan memeriksanya berkali-kali. Mereka
memeriksa orangnya, menurunkan sekamnya, kemudian
memasukkannya ke dalam air dan bahkan membakarnya dari waktu
ke waktu.
Meskipun demikian ia menjadi semakin makmur dan mencolok.
Pada saatnya ia berhenti dan pindah ke negeri lain. Di
tempat baru ini ia sudah bertahun-tahun, dimana salah satu
petugas bea cukai bertemu dengannya.
"Sekarang Anda bisa menceritakan kepadaku, Nashruddin!"
ucapnya. "Apa sebenarnya yang Anda selundupkan dulu,
sehingga kami tidak pernah bisa menangkapnya?"
"Keledai," jawab Nashruddin.
Cerita ini juga menekankan salah satu dari kandungan
besar Sufisme --bahwa pengalaman yang tidak biasa dan tujuan
mistik merupakan sesuatu yang lebih dekat kepada manusia
dibanding yang disadari. Anggapan bahwa sesuatu yang
esoteris atau transenden pastilah jauh atau rumit telah
dianut oleh orang-orang bodoh. Dan orang semacam ini tidak
memiliki syarat untuk memberikan penilaian terhadap
persoalan. Ini menjadi " jauh" hanya dalam arah yang tidak
ia sadari.
Nashruddin, seperti Sufi lainnya, tidak merusak
kaidah-kaidah zamannya. Tetapi Ia menambahkan suatu dimensi
baru bagi kesadarannya, dengan menolak menerima terhadap
tujuan-tujuan khusus dan terbatas. Bahwa kebenaran,
katakanlah demikian, merupakan sesuatu yang bisa diukur
sebagaimana sesuatu yang lain. Apa yang disebut oleh
masyarakat sebagai kebenaran adalah relatif pada situasi
mereka. Dan ia tidak bisa menekannya sampai menyadarinya.
Salah satu cerita Nashruddin, salah satu yang paling cerdik,
memperlihatkan bahwa sampai seseorang bisa melihat melalui
kebenaran relatif, maka tidak ada kemajuan bisa dibuat.
Suatu hari Nashruddin duduk di pengadilan. Raja mengeluh
bahwa para pejabatnya tidak jujur. "Paduka," ucap
Nashruddin, terdapat kebenaran dan kejujuran. Orang harus
mempraktekkan kebenaran sejati, sebelum mereka bisa
menggunakan kebenaran relatif. Mereka selalu mencoba-coba
cara lain. Akibatnya adalah bahwa mereka berlaku lancang
dengan kebenaran buatan-manusia, sebab secara naluri mereka
mengetahui bahwa itu hanyalah suatu ciptaan (manusia)."
Raja menganggap hal ini terlalu rumit, "Sesuatu harus
benar atau salah. Aku akan membuat orang berkata
jujur dan dengan praktek ini mereka akan terbiasa
jujur."
Ketika gerbang kota dibuka pada esok harinya, sebuah
gantungan telah dipasang, yang dipimpin oleh seorang kapten
dari pengawal istana. Sebuah pengumuman dilontarkan:
"Siapa saja yang memasuki kota, pertama-tama harus
menjawab benar pertanyaan yang akan dikemukakan kepadanya
oleh kapten pengawal."
Nashruddin, yang tengah menunggu di luar, maju
pertama.
Kapten tersebut berkata, "Mau ke mana engkau? Jawab
dengan jujur -- alternatifnya adalah hukuman mati dengan
digantung."
"Aku akan," jawab Nashruddin, "digantung di atas tiang
gantungan itu."
"Aku tidak mempercayaimu."
"Jika demikian, baiklah. Jika aku berdusta, gantung
aku."
"Tetapi hal itu akan menjadikannya (kebohongan) sebagai
kebenaran."
"Tepat," ucap Nashruddin, "kebenaranmu."
Calon Sufi juga harus memahami bahwa tolok ukur kebaikan
dan keburukan didasarkan pada ukuran individu atau kelompok,
bukan atas dasar fakta obyektif. Sampai ia mengalami hal ini
secara internal dan juga menerimanya secara intelektual, ia
tidak akan mampu mencapai pemahaman yang lebih dalam
(batin). Skala pengubahan ini digambarkan oleh cerita
tentang perburuan:
Seorang raja yang senang bergaul dengan Nashruddin, dan
juga senang berburu, memerintahkannya untuk menyertainya
dalam sebuah perburuan beruang. Nashruddin merasa sangat
ketakutan.
Ketika Nashruddin kembali ke desanya, seseorang bertanya
kepadanya, "Bagaimana berburunya?"
"Luar biasa!"
"Berapa ekor beruang yang Anda lihat?"
"Tidak seekor pun."
"Lantas, bagaimana bisa luar biasa?"
"Jika engkau berburu beruang, dan jika engkau adalah aku,
tidak melihat satu pun beruang merupakan pengalaman luar
biasa."
Pengalaman internal tidak bisa disalurkan melalui
pengulangan, tetapi harus disegarkan kembali secara
terus-menerus dari sumbernya. Banyak madzhab yang tetap
beroperasi lama setelah dinamika aktualnya telah kering,
semata-mata menjadi pusat pengulangan suatu doktrin yang
semakin melemah. Nama ajaran tersebut mungkin tetap sama.
Ajaran tersebut mungkin tidak memiliki nilai lagi, bahkan
mungkin bertentangan dengan makna asalnya, yang hampir
semuanya selalu merupakan pendangkalan terhadap makna salah
satu persoalan pokok dalam ceritanya tentang "Kuah Sup
Bebek".
Seorang kerabat jauh mengunjungi Mullah Nashruddin,
dengan membawa seekor bebek sebagai buah tangan. Karena
gembira, Nashruddin memasaknya dan menyantapnya bersama
tamunya. Akan tetapi, akhir-akhir ini orang-orang pedalaman
silih berganti mengunjungi rumah Nashruddin, masing-masing
orang mengaku sahabat dari "orang yang membawakan bebek itu
sebagai buah tangan".
Lama-kelamaan Nashruddin terkuras. Akan tetapi, pada
suatu hari seorang asing lainnya berkunjung, "Aku adalah
sahabat dari sahabat dari sahabat kerabat yang membawakan
bebek kepada Anda."
Ia duduk, seperti semua tamu-tamunya, mengharapkan sebuah
hidangan. Akhirnya Nashruddin menghidangkan kepadanya
semangkuk air panas.
"Apa ini?"
"Ini adalah sup dari sup dari sup bebek yang dibawa oleh
kerabatku."
Persepsi tajam yang dicapai Sufi kadang-kadang
memungkinkan dirinya mengalami hal-hal yang tidak terlihat
oleh orang-orang lain. Karena tidak mengetahui hal ini, para
anggota dari madzhab-madzhab lainnya secara umum
memperlihatkan kelemahan persepsinya dengan mengatakan atau
melakukan sesuatu yang secara jelas merupakan akibat dari
ketidakmatangan spiritualnya, sehingga seorang Sufi bisa
membaca dirinya seperti sebuah buku. Oleh karena itu,
persepsi tersebut digambarkan oleh cerita Nashruddin
lainnya:
Nashruddin memasuki sebuah rumah besar untuk mengumpulkan
sedekah. Sang pembantu berkata, "Tuanku sedang keluar."
"Baiklah, " ucap Nashruddin, "meskipun ia tidak bisa
menyumbang, tolong sampaikan nasehatku kepadanya. Katakan,
'Lain kali jika Tuan keluar, jangan tinggalkan wajah Tuan di
jendela -- seseorang mungkin bisa mencurinya'."
Orang tidak tahu ke mana harus menoleh kalau mereka
mencari pencerahan. Akibatnya, tidaklah mengejutkan jika
mereka menempelkan dirinya pada suatu cara penyembahan
(kultus), menenggelamkan dirinya pada semua cara
teori-teori, dengan meyakini bahwa mereka memiliki kapasitas
kebenaran dari yang salah (yang sejati dari yang palsu).
Nashruddin mengajarkan hal ini dalam berbagai cara. Pada
suatu kesempatan seorang tetangga menemukannya tengah
berlutut mencari sesuatu.
"Apa yang hilang, Mullah?"
"Kunciku," jawab Nashruddin.
Setelah beberapa menit mencari, tetangga itu bertanya,
"Di mana Anda menjatuhkannya?"
"Di rumah."
"Demi Allah, lantas mengapa Anda mencarinya di sini?"
"Sebab di sini lebih banyak cahaya."
Cerita ini merupakan salah satu yang paling terkenal dari
semua cerita Nashruddin, yang digunakan oleh para Sufi,
untuk mengulas orang-orang yang mencari sumber-sumber
lahiriah bagi pencerahan. Kisah ini merupakan bagian dari
pertunjukan Karl Vallentin, "badut metafisis" akhir dari
Munich.
Mekanisme rasionalisasi merupakan salah satu penghalang
efektif bagi pendalaman persepsi. Dampak Sufistik mungkin
seringkali disia-siakan karena individu tersebut tidak akan
menyerapnya secara tepat.
Seorang tetangga datang untuk meminjam tali jemuran
Nashruddin.
"Maaf, aku tengah mengeringkan bubuk gandum di
atasnya."
"Tetapi bagaimana engkau bisa mengeringkan bubuk gandum
di atas tali jemuran?"
"Hal ini tidak sesulit yang Anda kira, jika Anda tidak
ingin meminjamkannya."
Di sini Nashruddin menampilkan dirinya sendiri sebagai
bagian jiwa/akal yang selalu menolak, yang tidak akan
menerima bahwa terdapat cara lain untuk mendekati kebenaran
selain pola-pola konvensional.
Dalam perkembangan pikiran manusia, terdapat perubahan
konstan dan membatasi kegunaan setiap teknik khusus.
Karakteristik praktek Sufi ini terabaikan dalam
sistem-sistem yang bersifat pengulangan, yang mengondisikan
pikiran dan menciptakan suatu suasana pencapaian atau
kedekatan pada pencapaian, tanpa benar-benar
menghasilkannya. Nashruddin menggambarkan karakteristik
tersebut dalam sebuah cerita yang berusaha memperjelas hal
itu.
Mullah Nashruddin hampir terjatuh ke dalam kolam air.
Seorang yang lewat menyelamatkannya, di saat yang tepat.
Setiap kali mereka bertemu, orang tersebut mengingatkan
Nashruddin betapa ia telah mencegahnya untuk tidak basah
kuyup.
Akhirnya karena tidak tahan lagi, Nashruddin membawa
"dewa penolongnya" tersebut ke kolam, kemudian ia
menceburkan diri sampai sebatas leher, dan berteriak,
"Sekarang aku basah kuyup seperti seandainya tidak pernah
bertemu dengan Anda! Maukah Anda membiarkanku sendiri?"
Lelucon atau dongeng biasa, yang hanya mengandung satu
persoalan atau penekanan, tidak bisa dibandingkan dengan
sistem Nashruddin -- secara ideal merupakan suatu
partisipasi-pembacaan yang menghasilkan pengaruh batin,
begitu juga pengaruh lahir atau superfisial. Dongeng dan
lelucon biasa secara mistik dipandang steril karena tidak
memiliki kekuatan menembus atau regenerasi sejati.
Meskipun kepiawaian dan tujuan yang rumit dari cerita
Nashruddin jauh lebih tinggi, katakanlah dibanding tokoh
Baldakiev bagi orang-orang Rusia, Joha bagi orang-orang
Arab, atau Bertoldo bagi orang-orang Italia -- semuanya
adalah tokoh-tokoh komik yang terkenal -- perbedaan tertentu
dari kedalaman makna pada cerita-cerita bisa dimasukkan
melalui cara-cara lelucon Nashruddin dan kesepadanannya pada
peristiwa sporadis di mana saja.
Sebuah cerita Zen memberikan satu contoh menarik. Dalam
cerita ini seorang pendeta bertanya kepada seorang guru
untuk memberikan suatu gambaran realitas (yang ada) di luar
realitas. Guru tersebut menggambar sebuah apel yang busuk,
dan pendeta tersebut menangkap kebenaran itu melalui tanda
ini. Kita tetap dalam kegelapan tentang apa yang ada di
balik, atau yang membawa kepada, pencerahan tersebut.
Cerita Nashruddin tentang apel mengisi sejumlah besar
rincian yang hilang tersebut. Nashruddin tengah duduk di
antara murid-muridnya, ketika salah seorang muridnya
bertanya kepadanya tentang hubungan antara hal-hal yang ada
di dunia ini dan hal-hal yang ada di suatu dimensi yang
berbeda. Nashruddin mengatakan, "Engkau harus memahami
tamsil!" Murid tersebut berkata, "Perlihatkan kepada kami
sesuatu yang praktis -- sebagai contoh sebuah apel dari
Firdaus!"
Nashruddin memetik sebuah apel dan menyerahkannya kepada
murid tersebut. "Namun apel ini jelek di salah satu
bagiannya -- apel surgawi seharusnya sempurna."
"Sebuah apel surgawi seharusnya sempurna," ucap
Nashruddin, "tetapi sejauh engkau bisa menilainya, sementara
kita berada di dunia yang tidak sempurna ini, serta dengan
kemampuanmu yang ada saat ini, apel ini mendekati apel
surgawi yang bisa engkau peroleh."
Murid tersebut memahami bahwa istilah-istilah yang kita
gunakan untuk hal-hal metafisis itu didasarkan atas istilah
fisik. Dalam rangka menembus dimensi lain dari pemikiran
(pemahaman), kita harus menyesuaikan pada cara pemahaman
bagi dimensi tersebut.
Cerita Nashruddin, yang sangat mungkin merupakan asal
dari tamsil apel tersebut, dirancang untuk menambahkan suatu
rasa bagi pemikiran pendengarnya yang dibutuhkan untuk
membangun kesadaran bagi pengalaman-pengalaman yang tidak
bisa dicapai sampai suatu jembatan (kesadaran) telah
dicapai.
Pembentukan kesadaran-batin secara bertahap ini merupakan
karakter dari metode Sufistik Nashruddin. Kilatan pencerahan
intuitif yang dihasilkan oleh cerita-cerita tersebut
sebagian merupakan suatu pencerahan kecil pada dirinya
sendiri, dan bukan suatu pengalaman intelektual. Ia juga
merupakan batu loncatan menuju pembentukan kembali persepsi
mistik dalam suatu penulisan yang menjebak, yang secara
terus-menerus pemikiran dikondisikan oleh sistem-sistem
pelatihan dalam kehidupan material.
Sebuah lelucon Nashruddin, yang dipisahkan dari
terminologi teknisnya (kemungkinan akibat penterjemahan),
masih bisa dirasakan nilai humornya. Dalam hal ini sebagian
besar dampaknya mungkin hilang. Contohnya adalah lelucon
tentang garam dan wool:
Nashruddin tengah membawa muatan garam ke pasar.
Keledainya berjalan menyeberangi sungai, dan garamnya pun
meleleh. Ketika sampai di seberang sungai, keledai tersebut
berjalan lincah karena muatannya menjadi ringan. Maka
Nashruddin menjadi marah. Pada hari pasaran berikutnya ia
memuati kantong pelananya dengan wool. Keledainya hampir
tenggelam dengan meningkatnya beban ketika binatang tersebut
keluar dari air.
"Bah!" ucap Nashruddin penuh kemenangan, "itu akan
mengajari untuk berpikir bahwa engkau akan memperoleh
sesuatu setiap kali engkau melewati air."
Pada cerita asalnya, dua istilah teknis dipergunakan,
garam dan wool. "Garam" (milh) adalah homonim untuk
"menjadi baik, bijak". Keledai adalah simbol untuk manusia.
Dengan menumpahkan beban kebajikan umumnya, seseorang akan
merasa lebih baik, karena kehilangan beban. Akibatnya ia
kehilangan makanannya, sebab Nashruddin tidak bisa menjual
garam untuk membeli pakan ternaknya. Kata "wool" tentu saja
merupakan kata lain untuk "Sufi". Pada perjalanan keduanya,
keledai tersebut telah meningkatkan bebannya melalui wool,
karena adanya maksud dari sang guru, Nashruddin. Bebannya
meningkat selama perjalanan menuju pasar. Tetapi hasil
akhirnya menjadi lebih baik, sebab Nashruddin menjual wool
basah, tentu saja lebih berat dari sebelumnya, dengan harga
yang lebih tinggi dari wool kering.
Lelucon lain, yang juga ditemukan pada Cervantes (Don
Quixote, Bagian 5), tetap menjadi sebuah lelucon
meskipun istilah teknis "takut" semata-mata diterjemahkan
apa adanya dan tidak dijelaskan:
"Aku akan mengantungmu!" ucap seorang raja lalim dan
bodoh kepada Nashruddin. "Jika engkau tidak bisa membuktikan
bahwa dirimu memiliki wawasan yang mendalam seperti yang
telah dinisbatkan kepadamu." Mendadak Nashruddin menyatakan
bahwa dirinya bisa melihat seekor burung emas di langit dan
iblis di dalam bumi. "Tetapi bagaimana engkau bisa
melakukannya?" tanya sang raja. "Rasa takut," jawab
Nashruddin, "itulah yang Tuan perlukan."
"Takut" dalam kosa kata Sufi, merupakan pengaktifan
kesadaran yang bisa menghasilkan persepsi surga-inderawi
(extra -sensory).
Ini merupakan suatu kawasan dimana akal-formal tidak
dipergunakan, dan fakultas lain dari jiwa (mind)
didorong untuk bekerja.
Tetapi Nashruddin, dengan cara yang sama sekali unik,
berusaha mempergunakan pirantHntelektualitas yang sama untuk
tujuan-tujuannya sendiri. Gema dari tujuan ini bisa
ditemukan pada the Legend of Nasrudin, dimana di
dalamnya diriwayatkan bahwa Hussein, pendiri sistem
tersebut, mengambil utusannya yang telah dirancang,
Nashruddin, dari cengkeraman "Pendosa Tua" -- sistem
pemikiran yang mentah dimana hampir kita semua hidup di
dalamnya.
"Hussein" dalam bahasa Arab dikaitkan dengan konsep
kebajikan, "Hussein" bermakna "kuat, sulit untuk
dimasuki".
Ketika Hussein mencari ke seluruh dunia seorang guru yang
akan membawa pesannya ke seluruh generasi, ia hampir putus
asa ketika mendengar suara ribut. Sang Pendosa-Tua memakai
salah satu muridnya karena menceritakan lelucon.
"Nashruddin" bentak sang Pendosa-Tua, "karena sikapmu yang
keterlaluan aku mengutukmu menjadi bahan kekonyolan dunia.
Oleh sebab itu, jika satu dari cerita-ceritamu yang rancu
diceritakan, maka enam cerita lagi pasti akan terdengar
secara beruntun sampai engkau terlihat jelas sebagai sosok
yang lucu."
Diyakini bahwa pengaruh mistis dari tujuh cerita
Nashruddin, yang dipelajari secara beruntun, adalah cukup
untuk mempersiapkan seseorang menuju pencerahan.
Hussein, yang menguping hal itu, menyadari bahwa dari
setiap situasi akan muncul pengobatannya sendiri, dan dengan
demikian dari cara dimana kejahatan-kejahatan Pendosa-Tua
terjadi itulah bisa dibawa pada perspektifnya yang sejati.
Ia akan menjaga kebenaran melalui Nashruddin.
Ia memanggil Nashruddin dalam mimpi dan menanamkan
sejumlah berkahnya kedalam dirinya. Barakah merupakan
kekuatan Sufi, menembus secara batin ke dalam
signifikansi-nominal dari makna. Dan sinilah semua cerita
tentang Nashruddin menjadi karya seni "independen". Mereka
bisa dipahami sebagai lelucon; mereka memiliki suatu makna
metafisis; cerita-cerita itu demikian kompleks dan
mengandung sebagian dari sifat keutuhan dan kesempurnaan
yang telah dicuri dari kesadaran manusia karena
aktivitas-aktivitas dari Pendosa-Tua tersebut (sistem
pemikiran yang mentah).
Dilihat dari sudut pandang biasa, barakah memiliki
kualitas "magis" -- meskipun ia secara esensial merupakan
suatu kesatuan dan pendorong serta substansi dari realitas
obyektif. Salah satu dari kualitas ini adalah siapa saja
yang diberi barakah, atau setiap obyektif yang
terkait dengannya, tidak menjadi soal berapa banyak ia telah
diubah karena dampak dari orang ini secara spiritual
tercurahkan. Oleh sebab itu, pengulangan semata-mata sebuah
lelucon Nashruddin akan membawa barakah. "Maka dengan
cara inilah ajaran-ajaran Nashruddin dari jalur Hussein
ditanamkan selamanya di dalam suatu piranti yang secara
keseluruhan tidak bisa diselewengkan tanpa bisa diperbaiki
kembali. Seperti air, secara esensial semuanya adalah air,
maka dalam pengalaman-pengalaman Nashruddin terdapat suatu
takaran minimum yang tidak teredaksi yang bisa memberikan
jawaban suatu panggilan, dan akan berkembang jika didorong."
Takaran minimum tersebut adalah kebenaran (truth),
dan melalui kebenaran inilah dicapai kesadaran sejati.
Nashruddin merupakan cermin bagi seseorang untuk melihat
dirinya sendiri. Tidak seperti cermin kebanyakan, semakin
sering dilihat, maka semakin tampak sosok Nashruddin yang
asli terproyeksikan di dalamnya. Cermin ini serupa dengan
Cup of Jamshid yang termasyhur, sang pahlawan Persia;
yang mencerminkan seluruh dunia, dan dalam cermin inilah
para Sufi "melihat".
Karena Sufisme tidak dibangun diatas perilaku artificial,
dalam pengertian tersurat dengan rincian eksternal
(lahiriah), tetapi di atas rincian komprehensif (pemahaman),
maka cerita-cerita Nashruddin harus dialami, begitu juga
direnungkan. Selain itu, merasakan kandungan setiap cerita
melalui pengalaman langsung akan mendorong "kehadiran"
mistik. Salah satu dari perkembangan pertama kehadiran
tersebut adalah ketika seorang Sufi memperlihatkan
tanda-tanda persepsi superior. Sebagai contoh, ia akan mampu
memahami suatu keadaan melalui ilham, bukan melalui
penalaran formal. Akibatnya, tindakan-tindakannya
kadang-kadang bisa membingungkan para pengamat yang bekerja
pada tataran kesadaran-biasa; meskipun demikian yang
dihasilkannya akan tepat.
Sebuah cerita Nashruddin yang memperlihatkan bagaimana
hasil yang tepat dicapai seorang Sufi melalui suatu
mekanisme khusus ("cara yang salah" dalam pandangan
orang-orang yang belum tercerahkan) bisa menjelaskan
sebagian besar eksentrisitas para. Sufi:
Dua orang menghadap Nashruddin ketika ia berperan dalam
kapasitasnya sebagai hakim. Salah satunya berkata, "Orang
ini telah menggigit telingaku -- aku menuntut
qishas!" Yang lain bertutur, "Ia menggigitnya
sendiri." Nashruddin menunda kasus tersebut dan masuk
kedalam ruangannya. Di sana ia menghabiskan waktu setengah
jam berusaha untuk menggigit telinganya sendiri. Seluruh
upayanya hanya mengakibatkannya terjerembab dan keningnya
lecet. Kemudian ia kembali ke ruang sidang.
"Periksa orang yang telinganya digigit!" perintahnya.
"Jika keningnya lecet, berarti ia melakukannya sendiri, dan
kasus ditutup. Jika tidak, maka orang satunya yang
melakukannya, dan orang yang digigit tersebut mendapat
ganti-rugi tiga keping perak." Keputusan yang benar tersebut
bisa dicapai melalui suatu cara yang tampaknya tidak
logis.
Di sini Nashruddin sampai pada jawaban tepat, tanpa
melihat logika yang jelas dari situasinya. Dalam cerita
lainnya, dimana ia sendiri mengambil peranan orang bodoh
(bagi Sufi ini merupakan "Jalan Kehinaan") dalam bentuk yang
ekstrim, Nashruddin menggambarkan (cara) pemikiran manusia
kebanyakan:
Seorang pelawak bertanya kepada Nashruddin untuk menebak
apa yang ada dalam tangannya.
"Beri aku suatu tanda," kata Mullah.
"Aku akan memberikan beberapa tandanya," tutur sang
pelawak, "yang berbentuk seperti telur, seukuran telur,
penampilan, rasa dan baunya seperti telur. Di dalamnya ada
(benda) berwarna kuning dan putih. Benda di dalamnya
tersebut cair sebelum Anda memasaknya, tetapi lewat
pemanasan akan mengeras. Selain itu, benda ini dihasilkan
seekor unggas piaraan ..." "Aku tahu!" sela Mullah, "ia
sejenis kue."
Saya pernah mencoba pertanyaan serupa di London. Kepada
tiga orang penjual rokok, secara beruntun saya menanyakan
tentang, "Benda berbentuk silinder dari kertas yang dipenuhi
racikan tembakau, panjangnya sekitar tiga inci, dibungkus
dalam karton, kemungkinan dengan diberi gambar padanya."
Tidak satu pun dari orang-orang yang sehari-harinya
menjual rokok tersebut bisa mengenali apa yang saya
inginkan. Dua orang dari mereka memberikan jawaban sekenanya
-- yang satunya mengarahkannya kepada grosir mereka,
sementara yang lain kepada sebuah toko yang khusus menjual
barang-barang impor eksotik bagi para perokok."
Kata "rokok" mungkin menjadi pelatuk, yang penting untuk
menggambar benda berbentuk silinder yang dibuat dari kertas
dan dipenuhi tembakau. Tetapi kebiasaan untuk memerlukan
pelatuk tersebut, yang bergantung pada asosiasi-asosiasi,
tidak bisa digunakan dengan cara yang sama dalam
kegiatan-kegiatan pemahaman. Kesalahannya adalah membawa
satu bentuk pemikiran -- meskipun mengagumkan pada tempatnya
yang tepat -- ke dalam konteks yang berbeda, dan berusaha
menggunakannya di sana.
Rumi menceritakan sebuah kisah yang menyerupai cerita
Nashruddin tentang telur tersebut, tetapi dengan menekankan
faktor penting lainnya. Seorang putra raja telah dititipkan
kepada para guru mistik yang melaporkan bahwa mereka tidak
bisa lagi mengajarinya. Untuk mengujinya, sang raja
menanyakan apa yang ada di dalam tangannya. "Benda ini
bulat, keras dan berwarna kuning." "Ini pasti sebuah
ayakan," jawab si anak. Sufisme menekankan perkembangan
imbang persepsi-batin, perilaku manusia wajar dan
penggunaannya.
Anggapan bahwa hanya karena seseorang hidup maka ia
memiliki persepsi, ditolak oleh Sufisme, sebagaimana yang
telah kita lihat. Seseorang mungkin secara klinis hidup,
tetapi secara perseptif mati. Logika dan filsafat tidak bisa
membantunya mencapai persepsi. Satu segi dari cerita berikut
menggambarkan hal ini:
Mullah Nashruddin tengah berpikir keras.
"Bagaimana aku tahu apakah aku mati atau hidup?"
"Jangan bersikap bodoh," ucap istrinya, "jika engkau mati
lenganmu akan dingin."
Segera setelah itu Nashruddin sudah berada di hutan
memotong kayu. Saat itu tengah musim angin. Tiba-tiba ia
merasa tangan dan kakinya dingin.
"Aku pasti mati," pikirnya, "maka aku harus berhenti
bekerja, sebab mayat tidak bekerja."
Dan karena mayat tidak berjalan, ia berbaring di atas
rerumputan.
Segera setelah itu sekawanan srigala muncul dan mulai
menyerang keledainya yang ditambatkan ke sebuah pohon.
"Ya, teruskan, ambillah keuntungan dari orang mati!" ucap
Nashruddin dari posisinya yang terlentang, "tetapi
seandainya aku hidup, tidak akan membiarkan kalian berbuat
seenaknya terhadap keledaiku."
Persiapan pikiran Sufi tidak akan memadai sampai
seseorang mengetahui bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk
dirinya sendiri -- dan berhenti berpikir bahwa orang lain
bisa melakukannya untuk dirinya. Nashruddin membimbing
manusia awam dengan menggunakan "kaca-pembesarnya":
Suatu hari Nashruddin pergi ke toko orang yang menjual
segala jenis barang (peralatan).
"Anda punya kulit?"
"Punya."
"Juga paku?"
"Punya."
"Juga zat pewarna?".
"Punya."
"Lantas mengapa Anda tidak membuat sepasang sepatu untuk
diri Anda sendiri?"
Cerita tersebut menekankan peran guru mistik, yang
esensial dalam Sufisme, yang mempersiapkan titik awal bagi
calon Salih (pencari) untuk melakukan sesuatu bagi dirinya
sendiri -- sesuatu tersebut adalah "kerja-diri" di bawah
bimbingan tertentu yang merupakan karakteristik utama dalam
sistem Sufisme.
Pencarian Sufi tidak bisa dilakukan dalam persahabatan
yang tidak lazim. Nashruddin menekankan persoalan ini dalam
kisahnya tentang undangan yang salah-waktu:
Malam telah larut, dan Nashruddin tengah
berbincang-bincang di warung teh dengan para sahabatnya.
Ketika mereka pergi, mereka menyadari bahwa mereka lapar.
"Datang dan makanlah di rumahku!" ucap Nashruddin, tanpa
memikirkan akibatnya.
Ketika rombongan tersebut hampir sampai di rumahnya, ia
berpikir bahwa seharusnya ia pergi lebih dulu untuk
mengatakan kepada istrinya. "Kalian tunggu sejenak di sini!
Aku akan memberitahu istriku," tuturnya kepada mereka.
Ketika menceritakan kepada istrinya, ia berujar, "Di
rumah tidak ada apa-apa! Berani-beraninya kau mengundang
semua temanmu ...!"
Nashruddin pergi ke loteng dan bersembunyi.
Para tamu yang kelaparan itu pun segera menghampiri
rumahnya dan mengetuk pintu.
Istri Nashruddin menjawab, "Mullah tidak ada di
rumah!"
"Tetapi kami melihatnya masuk melalui pintu depan!"
teriak mereka.
Ia tidak bisa berpikir apa-apa untuk menjawabnya.
Karena diliputi kecemasan, Nashruddin yang menyaksikan
percakapan tersebut dari jendela loteng, nongol dan berkata,
"Aku bisa keluar lagi melalui pintu belakang, bukankah
demikian?"
Beberapa cerita Nashruddin menekankan akan kesalahan dari
kepercayaan umum bahwa manusia memiliki kesadaran yang
stabil. Dengan adanya kekuatan pengaruh-pengaruh batin dan
lahir, perilaku semua orang akan berbeda-beda sesuai dengan
perasaan-hatinya dan kesehatannya. Meskipun kenyataan ini
diakui dalam kehidupan sosial, tetapi hal ini tidak diakui
sepenuhnya dalam filsafat dan metafisika formal. Paling
jauh, seseorang diharapkan menciptakan suatu kerangka kerja
dari kesungguhan atau pemusatan dalam dirinya sendiri, dan
melalui cara ini diharapkan ia bisa mencapai pencerahan.
Dalam Sufisme, kesadaran utuh itulah yang pada akhirnya
harus diubah, dimulai dari pengakuan bahwa orang yang 'belum
tercerahkan' itu sedikit lebih dari sekadar bahan mentah. Ia
tidak memiliki sifat yang pasti, tidak memiliki kesadaran
tunggal. Di dalam dirinya terkandung "esensi". Esensi ini
belum menyatu dengan keseluruhan wujudnya atau bahkan belum
menyatu dengan kepribadiannya. Pada puncaknya, tidak seorang
pun mengetahui secara otomatis "siapa" sejatinya dirinya,
meskipun terdapat gambaran semua yang bertentangan dengan
"kesejatian" tersebut. Hal ini ditekankan dalam cerita
Nashruddin berikut:
Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah toko.
Pemilik toko menuju untuk melayaninya.
"Pertama-tama," ucap Nashruddin, "apakah Anda melihatku
memasuki toko Anda?"
"Tentu."
"Apakah Anda pernah melihatku sebelumnya?"
"Belum pernah sama sekali."
"Lantas bagaimana Anda tahu bahwa ini adalah 'aku'?"
Betapapun kisah ini bernilai semata-mata sebagai lelucon,
tetapi bagi mereka yang memandangnya sebagai idea dari orang
bodoh, dan tidak mengandung makna yang lebih dalam, maka
mereka tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan pencerahan yang
terkandung dalam cerita tersebut. Anda memeras dari sebuah
cerita Nashruddin hanya sedikit lebih dari yang Anda
curahkan. Jika cerita itu tampak tidak lebih dari sekadar
sebuah lelucon, maka orang tersebut perlu melakukan
"kerja-diri" (mujahadah) lebih jauh. Orang seperti ini
digambarkan dalam percakapan Nashruddin tentang
rembulan:
"Apa yang mereka lakukan terhadap bulan kala ia tua?"
seorang yang pandir bertanya kepada Nashruddin.
Jawabannya disesuaikan dengan pertanyaannya, "Mereka
memotong-motong setiap bulan tua menjadi empat puluh
bintang."
Banyak dari cerita Nashruddin menjelaskan kenyataan bahwa
biasanya orang mencari pencapaian mistis dengan mengharapkan
hal itu diperoleh melalui pemahaman mereka sendiri, dan oleh
sebab itu secara umum menutup diri mereka sendiri dari
pencapaian tersebut sebelum memulainya. Tidak seorang pun
bisa berharap untuk sampai mengetahui apa sesungguhnya
pencerahan itu dan meyakini bahwa ia bisa mencapainya
melalui suatu jalan yang telah ditetapkan dengan baik yang
bisa dibentuk sejak awal. Inilah inti persoalan yang
digambarkan pada cerita tentang perempuan dan gula berikut
ini:
Ketika Nashruddin menjadi hakim, seorang perempuan
menemuinya dengan membawa anaknya. "Anak ini," tutur si ibu,
"terlalu banyak makan gula. Aku tidak bisa membiarkannya
melakukan hal itu. Oleh sebab itu, aku meminta Anda secara
resmi melarang memakannya, sebab ia tidak akan
mematuhiku!"
Nashruddin mengatakan kepadanya untuk kembali dalam waktu
seminggu lagi.
"Sekarang," ucap Nashruddin kepada si anak. "Aku
melarangmu memakan gula lebih dari jumlah ini setiap
hari!"
Pada akhirnya perempuan tersebut menanyakan kepadanya,
mengapa begitu lama diperlukan sebelum sebuah perintah
sederhana bisa diberikan.
"Sebab aku harus membuktikan apakah aku sendiri dapat
menghentikan kebiasaan makan gula sebelum memerintahkan
orang lain melakukannya."
Permintaan perempuan tersebut, selaras semata-mata
didasarkan pada anggapan-anggapan tertentu. Pertama, bahwa
keadilan bisa dilaksanakan semata-mata dengan memberikan
perintah. Kedua, bahwa sesungguhnya seseorang bisa makan
sedikit gula sebagaimana yang ia inginkan kepada anaknya
untuk memakannya. Ketiga, bahwa sesuatu itu bisa disampaikan
kepada orang lain oleh seseorang yang tidak terlibat
langsung dengan sesuatu tersebut.
Cerita ini bukan sekadar suatu cara mengubah "redaksi"
pernyataan, "Kerjakan seperti yang kukatakan, bukan seperti
yang kulakukan!" Jauh dari wujud ajaran etis, ini merupakan
suatu keharusan yang tidak bisa ditawar.
Ajaran Sufi hanya bisa dilakukan oleh seorang Sufi, bukan
oleh seorang teoritisi atau eksponen intelektual.
Karena sejalan dengan realitas-sejati, maka Sufisme tidak
bisa dibuat secara dekat untuk menyerupai apa yang kita
anggap sebagai realitas, tetapi ia benar-benar merupakan
aturan yang didasarkan atas pengalaman nyata yang lebih
mendasar. Sebagai contoh, kita cenderung melihat
peristiwa-peristiwa secara sepihak. Kita juga beranggapan
tanpa suatu pembenaran, bahwa suatu peristiwa terjadi
seolah-olah hal itu terjadi pada suatu "ruang hampa". Dalam
hakikatnya, semua peristiwa terkait dengan
peristiwa-peristiwa lainnya. Hanya ketika kita telah
mengalami keterkaitan dengan organisme kehidupan itulah kita
bisa memahami pengalaman mistis. Jika Anda melihat tindakan
yang Anda lakukan, atau yang dilakukan orang lain, Anda akan
menemukan bahwa hal itu didorong oleh salah satu dari
berbagai stimulan; dan Anda juga menyadari bahwa hal itu
bukan suatu tindakan yang "terkecil" -- ia memiliki
akibat-akibat, kebanyakan justru yang tidak Anda
harapkan.
|